Kamis, 17 November 2011

SBY PRESIDEN PALING PENGECUT DAN DOYAN DI DIKTE

Maaf jika tulisan ini terlalu menyudutkan beliau, bagaimana tidak dikatakan seperti itu karena tidak semua masyarakat indonesia itu bodoh dan mau dibodoh-bodohi. Semua masyarakat indonesia bisa menilai mana pempimpin yang layak di sebut pemimpin dan mana yang bukan. Saya rasa bukan hanya saya yang memiliki penilaian bahwa pak SBY itu tak ubah presiden yang “,,pengecut dan suka didekte,,” Karena kita bisa menilai sendiri dari pertama beliau menjabat president di negeri ini,kasus yang tak pernah terselesaikan adalah KORUPSI, bahkan bisa dikatakan beliau mungkin sengaja membiarkan berkembang-biaknya KORUPSI di negara ini.

KORUPSI adalah suatu penyakit yang berbahya dalam bidang PEMERINTAHAN yang selain membawa dampak negatif yang besar terhadap image suatu negara juga sangat merugikan rakyat indonesia. “.. Rakyat miskin tambah melarat Tapi para Pejabat Tambah Kaya menikmati Korupsi uang rakyat..” Dan jika ketahuan KORUPSI, Pejabat tersebut hanya tersenyum sinis dan dia berkata dengan bangganya. “…WAHAI ANAK ISTRIKU JANGANLAH TAKUT, AKU PERGI TAKKAN LAMA PALING HANYA 8 BULAN DAN PARAH-PARAHNYA JUGA PALING HANYA 1.5 TAHUN…”

Hal yang paling tambah membuat saya muak adalah,,Ketika saya mendengar berita dari salah satu Stasiun TV Swasta mengabarkan bahwa …BEBERAPA KORUPTOR MENDAPAT REMISI BEBAS MENJELANG HARY RAYA IDUL FITRI KEMARIN… Dan yang paling anehnya SBY hanya diam saja seolah tidak mau tahu masalah ini, dengan alasan sibuk mengurus yang lain..padahal dalam pidato beliau pada saat dilantik menjadi Presiden yang ke-2 kalinya beliau mengatakan akan memberantas KORUPSI sampai keakar-akarnya,,,,Haacchhhhhh Bacot Kosong Doang loe SBY,,,,Kalo pak SBY memang memiliki program yang mulia seperti diatas, saya rasa pak SBY akan gerah dan akan merevisi keputusan REMISI BEBAS untuk para KORUPTOR diatas,,, Bukannya diam saja, itu artinya pak SBY membenarkan perkataan pejabat yang ketahuan KORUPSI diatas (Pamitan sama anak istrinya).

Kalau pak SBY hanya diam saja dengan REMISI BEBAS diatas, saya rasa SBY perlu merevisi isi pidato diatas menjadi “”…Saya akan mengembang-biakkan KORUPSI sampai sebanyak-banyaknya…”" Nahhh….Hal ini mungkin baru cocok buat isi pidato pak SBY.

Hukuman yang paling cocok dan pas untuk membasmi para KORPUSI di negeri ini, tidak lain adalah HUKUMAN MATI, dan jika SBY berani mengambil keputusan ini saya yakin KORUPSI di negeri ini akan dapat dibasmi sampai keakar-akarnya, dan rakyat seluruh indonesia pasti setuju dan pasti akan mempercayai SBY menjadi PRESIDEN SEUMUR HIDUP…

Salam
Rudy Karetji

Minggu, 30 Oktober 2011

DASAR KAU KEONG RACUN

“Keong Racun”!
 “Dasar kau keong racun, baru kenal, eh, ngajak tidur…, kau goda diriku kau rayu diriku….”
Entah sudah banyak yang sadar atau tidak, politik dan demokrasi di Indonesia masa kini sesungguhnya adalah keong racun. Sudah banyak orang yang –baik sadar atau tidak sadar- menjadi korban keong racun politik-demokrasi di Indonesia.

Politik itu kejam. Kejam tapi menggiurkan. Demokrasi di Republik ini adalah kebenaran versi yang banyak. Siapa yang lebih banyak, bertaring dan bercakar, dialah yang dianggap benar. benarnya sendiri. Tapi tidak sendirian, melainkan banyak-banyakan, kuasa-kuasaan.
Bullshit politik-demokrasi menempatkan kedaulatan ditangan rakyat. Di muka bumi Indonesia ini kedaulatan dipegang oleh pemerintah yang sejatinya adalah gundik para kapitalis alias “penjajah” rakyat jelata!

Fakta yang ada sekarang, kedaulatan yang ada sekarang berada ditangan kapitalis yang mempunyai modal besar. Atas nama rakyat, bajingan-bajingan kapitalis itu perlahan tetapi pasti mengeruk harta rakyat dengan rayuan keong racunnya mengobral janji-janji gombal.. Yang menyeramkan, mereka sangat bernafsu memperkosa berbagai sumber daya alam, dan mengeksploitasi aset-aset bangsa yang sebenarnya milik rakyat bersama, mereka meraup keuntungannya sendiri dan menjadikan orang-orang terdekat mereka makin gemuk, makmur, berkuasa, kaya-raya, dstnya.

Sebagai contoh; hasil bumi Papua sangat kaya raya. Freeport adalah tambang tembaga terbesar di dunia, belum lagi tambang emasnya. Tetapi rakyat Papua sangat miskin, bahkan Papua dan Papua Barat menjadi dua propinsi termiskin di Indonesia. Ini benar-benar gila bin edan dan sangat kurang ajar! Yang kaya dan makin gemuk adalah penjajahnya yakni para kapitalis yang didukung oleh pemerintahan yang dzolim, pemerintah yang telah menjajah bangsanya sendiri! Pantaslah jika ada rakyat Papua yang ingin merdeka, sebab mereka bukan sekedar hanya merasa dijajah, melainkan mereka memang hakikatnya sedang terjajah!

Keong racun. Baru kenal sudah ngajak tidur. Tidur bukan sembarang tidur. Mengajak tidur lelap meninggalkan-melupakan realita, dan selanjutnya masuk ke alam mimpi-mimpi belaka. Dibius masuk dalam pekat alam impian, bak mimpi (janji-janji gombal) yang berhasil diberikan pada gadis lugu dari desa yang hendak menggapai bintang di langit metropolitan. Saat mimpi itu disangka hendak menjadi kenyataan, segeralah harta paling berharganya dirampok habis-habisan, kemurnian dan normanya terkoyak-koyak, nilai-nilai luhur mulia warisan nenek moyangnya perlahan tetapi pasti mulai terkikis oleh kenajisan metropolis.

Merusak realita masa depan yang luhur bagi kemanusiaan, bahkan menghancur leburkannya. Menciptakan lobang hitam yang menganga angker. Yang selanjutnya, setelah perselingkuhannya dengan impiannya itu menghasilkan buah, maka ditahun-tahun terkemudian lahirlah bayi-bayi bejat-bertaring, yang tumbuh kembangnya diasupi susu haram oleh pejabat pemerintah, yang segera akan tumbuh besar dan menjadi drakula-drakula kapitalis penghisap darah.

Sedikit orang yang mampu terjaga/tersadar dari racun impian alias rayuan gombal amoh yang ditebarkan oleh keong racun. Mimpi-mimpi indah yang sebenarnya busuk itu, yang diciptakan oleh para tuan (pemerintah). Para penguasa yang lalim!

Demokrasi made in pemerintah, yang sebenarnya adalah bajingan-bajingan tengik bertopeng juruselamat itu, begitu indah kala dijanjikan oleh mulut manis mereka, agung dibayangkan, dikira mampu memuaskan hasrat yang selama ini terpendam. Dan memang perkiraan tersebut benar. Benar bagi golongannya sendiri.

Yakni politik-demokrasi mampu membuat hasrat libido para pelakunya tersalurkan seketika, apalagi dipoles dengan topeng baru bergembor pembela HAM (Hak Asasi Manusia) yang membuat demokrasi makin lihai bergerak liar dan rakus saja, hingga sering menggelinjang-gelinjang lupa daratan. Apalagi ditambahi dengan “pil-pil mak erot” (perangsang dan pemacu) berupa KEKUASAAN dan KORUPSI yang manjur membuat gurita penguasa makin bertahan lama, besar dan makin panjang.

Membuat para pelakunya sanggup berulangkali kali mencapai “orgasme kenikmatan mimpi”.
Ber-uhh..ahh…uhh..ahh… dengan tak tahu malu meskipun “maninya” (baca: kerakusannya, keserakahannya, semangat koruptifnya, hasrat kapitalisnya) sudah menyembur muncrat tak karuan di sana-sini disaksikan jutaan rakyat yang hanya bisa geleng-geleng kepala dan mengelus dada, diiringi tangisan kaum papa yang terpaksa hanya bisa nelangsa saja setelah diperkosa para penguasa.

Seperti korban lumpur lapindo yang adalah korban perselingkuhan antara pejabat pemerintah bajingan dengan perusahaan pemerkosa alam. Tangis para korban hanya ditepiskan, seakan dianggapnya raungan binatang saja.

Para pejabat, yang sulit dibedakan dengan penjahat itu, suka petentang-petenteng kunjungan ke sana kemari, dengan berbagai simbol kemewahan melekat di sekitarnya: rumah mewah, mobil mewah, safari mahal, sepatu mengkilat buatan luar negeri, jam tangan emas-perak hasil merapok kekayaan negeri yang sebenarnya milik bersama, hingga senyuman malaikat yang sebetulnya hanyalah topeng guna menutupi jiwanya yang adalah vampire, setan gondol, sontoloyo!

Segala simbol kemewahan para penjahat (pejabat), yang tiap hari riwa-riwi menebar pesona di negeri ini sambil terus mengeksploitasi rakyat miskin, semua itu hanya makin menelanjangi kesenjangan sosial yang memang sudah telanjang bulat di negeri tempat bernaung para bangsat ini. Sebutan “bangsat” yang pernah muncrat dari mulut Ruhut Sitompul layak dikenakan pada diri mereka sendiri. Ya, rupanya, sejatinya, mereka bukan bangsa Indonesia, melainkan bangsat Indonesia!
Hhhh….! Politik dan demokrasi, yang kini ada di tangan pemerintah Indonesia, adalah keong racun!

Wahai Pak Presiden beserta antek-antekmu, yakni para pejabat (penjahat?) pemerintahan mulai tingkat pusat hingga tingkat daerah, sudah terlalu sering, kau goda diriku …kau rayu diriku…. Kau tak tahu malu…. Dan, …kutakut sekali..!
Ah…, dasar kau, keong racun!

RUDY KARETJI
KRAK INDONESIA

KEGIATAN INDUSTRI SKALA INTERNASIONAL & NASIONAL SUDAH MENGKHIANATI ADAT DAN MASYARAKAT PRIBUMI PAPUA

Faktor penyebab situasi di Papua terus memanas sudah barang tentu sangat kompleks. Lebih dari sekadar konflik politik, berbagai bentuk kericuhan yang terus meletup di Papua sesungguhnya adalah imbas kekeliruan dalam memilih strategi pembangunan dan penerapan model pendekatan keamanan yang cenderung bersifat represif.

Terlepas dari siapa yang menjadi dalang dan patut dipersalahkan atas berbagai kericuhan di Papua, inti munculnya keresahan dan resistansi sosial di Papua adalah penolakan terhadap kebijakan pembangunan yang mengabaikan keberadaan masyarakat lokal. Pembangunan yang bersifat sentralistis dan dipaksakan dari atas tidak hanya melahirkan perubahan pada tradisi, tercabiknya nilai-nilai spiritual, perubahan pada pola mata pencaharian penduduk, tetapi juga mengakibatkan terjadinya kesenjangan sosial dan perampasan hak-hak adat masyarakat lokal.

Dalam rangka kembali menuntut hak-hak mereka itulah, akhirnya di kalangan masyarakat Papua tidak hanya terjadi protes sosial, tetapi juga lahir gerakan sosial yang berkepanjangan.
Sebagai sebuah daerah pedalaman yang resah karena dihela industrialisasi dan pembangunan yang lebih mementingkan produksi, salah satu konsekuensi yang tak terhindarkan untuk muncul di Papua adalah berbagai bentuk perlawanan, ancaman terhadap stabilitas, bahkan teror.

Di wilayah Papua, sudah menjadi keresahan umum masyarakat pedalaman, ketika industrialisasi mulai merambah ke sana, yang namanya tanah adat dan tanah milik penduduk lokal sering kemudian dikorbankan untuk kepentingan yang bersifat ekstraktif atau kepentingan orang-orang yang datang dari luar daerah.

Secara teoretis, proses industrialisasi yang merambah tanah adat serta kebijaksanaan pembangunan yang lahir dan serba dikendalikan oleh negara niscaya tidak cuma menelikung pranata-pranata komunitas masyarakat pedalaman, tetapi dalam banyak kasus juga makin menambah beban kemelaratan penduduk lokal yang marginal, bahkan mengakibatkan merebaknya polarisasi sosial di kalangan penduduk asli dan para pendatang.

Pendek kata, sepanjang kegiatan pembangunan dan industrialisasi yang berlangsung di Papua tidak berusaha mengembangkan mekanisme redistribusi aset atau pembagian kembali sebagian keuntungan untuk kepentingan pengembangan SDM penduduk setempat secara sungguh-sungguh, sepanjang itu pula akan senantiasa muncul resistansi dan kericuhan.

Selama ini, banyak bukti menunjukkan bahwa kegiatan industrialisasi yang semata-mata mementingkan kepentingan produksi dan tujuan komersial tidak saja mengakibatkan berkembangnya kecemburuan sosial masyarakat lokal, tetapi juga melahirkan tekanan-tekanan yang bersifat struktural. Bisa dibayangkan apa jadinya jika sebuah dunia usaha dibangun sedemikian gigantik, tetapi ternyata di sekitar mereka penduduk lokal masih hidup dengan cara mengais-ngais kemiskinan dan menjadi pesakitan di tanah kelahiran sendiri.

Di berbagai daerah di Papua, sudah sering terjadi kegiatan industrialisasi yang pongah justru melahirkan potensi pergesekan, bahkan konflik terbuka, antara penduduk setempat dan kekuatan komersial yang mengeksploitasi sumber daya alam setempat. Di kawasan Papua yang kaya akan sumber daya laut dan tambang, sering terjadi permasalahan yang dihadapi penduduk setempat adalah adanya intervensi berbagai perusahaan komersial yang sangat mengganggu keamanan sumber pangan penduduk lokal.

Pembangunan dan industrialisasi di Papua harus diakui telah melahirkan sejumlah dilema. Di satu sisi, industrialisasi diharapkan dapat menjadi jalan keluar serta pintu terobosan untuk mempercepat upaya penanggulangan kemiskinan dan keterbelakangan masyarakat Papua. Tetapi, di sisi lain, industrialisasi dan investasi berbagai kekuatan komersial, ternyata, sering malah melahirkan marginalisasi dan kerusakan ekologis serta tidak berkesesuaian dengan kebutuhan masyarakat lokal. Lantas, apa sebetulnya yang harus dikembangkan agar pembangunan di Papua tidak salah arah?

Pada era Orde Baru, ketika pemerintah mencanangkan program yang disebut ”kebijakan ke arah timur”, yang bertujuan mendorong investasi di wilayah Indonesia bagian timur, sejak itu pula arus investasi yang masuk ke wilayah Papua mulai meningkat pesat. Sejumlah perusahaan di bidang perkayuan, perikanan, pertanian, dan pertambangan mulai melirik Papua. Sebab, potensi sumber daya alam di kawasan itu memang menjanjikan.

Dari segi investasi untuk kepentingan negara, perubahan dan modernisasi yang merambah wilayah Papua, termasuk imbas berupa munculnya berbagai kericuhan dan resistansi penduduk lokal, barangkali dipahami sebagai konsekuensi yang tidak terhindarkan. Tetapi, untuk memastikan agar arah perubahan dan pembangunan yang berlangsung di Papua tidak terperosok menjadi kolonialisasi model baru yang merugikan kepentingan penduduk setempat, mau tidak mau harus dilakukan rekonstruksi paradigma pembangunan secara mendasar.

Membangun sebuah wilayah –dan bagaimana menghargai masyarakat lokal di Papua– tidaklah cukup hanya dilakukan dengan cara memberikan ganti rugi material semata secara karitatif melalui program CSR atau kompensasi politik dalam bentuk pemberian otonomi daerah. Bagaimanapun, menghargai dan menempatkan hak-hak masyarakat lokal secara proporsional dan adil serta menempatkan mereka sebagai tuan di tanah kelahiran sendiri adalah kunci untuk mempersiapkan masa depan Papua ke arah yang lebih bermartabat.

RUDY KARETJI
DIREKTUR EKSEKUTIF
KOMITE RAKYAT ANTI KORUPSI INDONESIA

Kamis, 28 Juli 2011

ADA APA DENGAN ANGGARAN NEGARA

1. Masalah pemberantasan korupsi di masa mendatang bukan terletak pada faktor penghukuman semata-mata, melainkan seberapa jauh kinerja KPK dan Kejaksaan Agung dapat membangun sistem birokrasi yang "aman dan terlindungi" dari perilaku koruptif serta seberapa banyak kontribusinya terhadap kesejahteraan rakyat melalui peningkatan pengembalian aset hasil korupsi yang disembunyikan di dalam negeri dan ditempatkan di luar negeri.Ketiga strategi baru pemberantasan korupsi di masa mendatang harus diperlakukan secara seimbang, direncanakan dengan baik dan berkesinambungan, sehingga persoalannya nanti bukan terletak pada mana yang lebih penting: menghukum atau mengembalikan aset korupsi, melainkan terletak pada efisiensi dan efektivitas penegakan hukum yang memiliki kepastian hukum dan berkeadilan sosial.

2. Pengelolaan anggaran negara memasuki fase yang sangat mengkhawatirkan, bahkan telah sampai pada titik kritis. Anggaran publik yang seharusnya digunakan dan dikembalikan  untuk kepentingan publik justru digunakan oleh episentrum kekuasaan pemilik kuasa atas anggaran secara zalim. Adalah DPR dan pemerintah yang menjadi "aktor utama" dibalik amburadulnya pengelolaan anggaran negara. Data menyebutkan besaran anggaran yang digunakan untuk membiayai perjalanan dinas ke luar negeri oleh DPR dan pemerintah mencapai angka 19.5 Triliun (20/9). Angka ini berbanding terbalik dengan pos anggaran yang digunakan untuk membiayai kebutuhan publik secara langsung, sebut saja anggaran Jaminan Kesehatan Masyarakat yang hanya berkisar 4,5 triliun. Ada upaya "manipulasi sistemik" yang dilakukan untuk menggerogoti dana publik melalui kebijakan yang sebetulnya tidak memberikan manfaat bagi kepentingan publik itu sendiri. Kecaman dari berbagai pihak tidak menyurutkan langkah para "penguasa negara" untuk menghentikan pemborosan anggaran yang menghabiskan dana publik. Yang muncul justru perlawanan dan sikap resisten terhadap koreksi atas perilaku buruk mereka.

3. Sarang Korupsi, kekhawatiran publik bukannya tanpa alasan, perjalanan dinas yang dilakukan ditengarai tidak mencantumkan indikator yang jelas baik mengenai urgensinya sampai kepada pertanggungjawabannya. Situasi semacam ini dapat berpotensi dan mengarah kepada pemborosan dana publik. Perjalanan dinas para pejabat negara sering kali tidak menunjang kinerja mereka, hal ini didasarkan karena tidak memiliki ukuran yang jelas sejauh mana perjalanan dinas diperlukan untuk menunjang kinerja. Sebaliknya, evaluasi terhadap perjalanan dinas itu sendiri hampir dipastikan tidak ada. Alhasil, setiap tahun anggaran dana perjalanan dinas menjadi bagian yang memakan porsi anggaran yang besar. Bahkan, setiap tahun biaya perjalanan dinas mengalami peningkatan yang luar biasa.

4. Kanker Anggaran, secara hukum, pengambilan keputusan dalam penganggaran (budgeting) memang berada di bawah kekuasaan DPR. Sementara itu, pemerintah juga menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam proses tersebut. Akibatnya, kedua lembaga inilah yang berhak menentukan penggunaan dana publik melalui penyusunan anggaran yang dilakukan setiap tahun.
Kekuasaan yang begitu besar serta proses penganggaran yang sangat buruk dan cenderung tertutup menjadikan kedua lembaga ini sebagai aktor utama dalam penyalahgunaan dana-dana publik melalui kebijakan yang dilegalkan, seperti alokasi dana perjalanan dinas ke luar negeri yang minim pertanggungjawaban. Agaknya dalil yang pernah diungkapkan oleh Lord Acton bahwa setiap kekuasaan cenderung disalahgunakan, apalagi kekuasaan yang absolut sudah pasti (absolutely) akan disalahgunakan menjadi kenyataan pahit dalam pengelolaan dana publik.
Problem penganggaran seperti ini ibarat penyakit "kanker" yang telah menjalar hingga ke setiap proses yang dilaluinya. Jika DPR dan pemerintah sadar akan "penyakit" ini, tindakan untuk mengevaluasi penggunaan anggaran penting untuk dilakukan. Jangan sampai rakyat yang akan mengambil tindakan untuk "mengamputasi" kewajiban mereka kepada negara karena perilaku zalim penguasa dalam pengelolaan anggaran.


5. Secara Nominal, besaran alokasi anggaran pendidikan meningkat terus dari tahun ke tahun, dengan senantiasa mempertahankan prosentasenya di kisaran 20%. Pada TA 2009, anggaran pendidikan dialokasikan sebesar Rp207.413,5 miliar (20,0%) dari Rp1.037.067,3 miliar sebagaimana tercantum dalam UU Nomor 41 Tahun 2008. Terdapat kenaikan anggaran secara nominal sebesar Rp2.124,1 miliar pada TA 2010, sehingga anggaran pendidikan menjadi sebesar Rp209.537,6 miliar (20,0%) dari total belanja negara sebesar Rp1.047.666,0 miliar, sebagaimana tercantum dalam UU Nomor 47 Tahun 2009. Selanjutnya untuk TA 2011, prosentase anggaran pendidikan naik sedikit menjadi 20,2% yaitu dialokasikan sebesar Rp248.978,5 miliar dari total belanja negara sebesar Rp1.229.558,5 miliar sebagaimana tercantum dalam UU Nomor 10 Tahun 2010. Dalam postingan ini, penulis membatasi kajian hanya sebatas siapa penerima manfaat anggaran pendidikan 20%, dengan pertimbangan bahwa anggaran pendidikan yang sedemikian besar perlu dikelola secara hati-hati (prudent), direncanakan secara cermat, dan dilaksanakan secara efektif dan efisien untuk menjamin hak warga negara memperoleh akses pendidikan yang bermutu dan terjangkau. Lalu bagaimana dengan pendidikan kita pada saat ini ???????

Jumat, 22 Juli 2011

HASRAT KORUPSI

SETIAP kita dianugerahi potensi menjadi baik atau buruk, dengan otoritas sepenuhnya pada diri kita sendiri hendak memanfaatkan yang mana; apakah cukup salah satu potensi saja atau malah kombinasi keduanya. Orang bisa tampak baik di hadapan orang lain meski sejatinya ia buruk sekali. Tampil manis di muka umum demi menutup wajah bopeng yang tersembunyi di balik topeng.
Sebab hidup adalah pilihan. Sepanjang pilihan itu diputuskan dalam kesadaran lahiriah sebagai makhluk berakal, maka manusia tak bisa mengelak dengan dalih, katakanlah, berlaku jahat di luar kesadaran. Atau, yang sering kita dengar, terpaksa melakukan kejahatan. Dipaksa oleh siapa? Bagaimana kalau yang memaksa adalah hasrat dalam diri? Bisakah tetap disebut sebagai terpaksa ?
Meski memiliki potensi kebaikan sekaligus keburukan, manusia tetap mendapat kuasa untuk menentukan hasrat mana yang harus dipenuhi. Para penganjur hidup lurus kerap menyebutnya sebagai pengendalian hawa nafsu. Semacam usaha mengatur keseimbangan antara kewajiban berbuat baik dan keharusan mengabaikan perbuatan buruk. Dan ini adalah pekerjaan sehari-hari, karena dalam hal apa pun hidup memang menghadapkan kita pada, selalu saja, pilihan-pilihan dengan implikasi yang bisa positif bisa pula negatif.
Jangankan urusan seserius surga-neraka, untuk pilihan apakah kita hendak selamat di akhirat kelak dan untuk itu harus banyak-banyak beramal saleh, atau cuek saja dengan nasib hari akhir sehingga menjalani hidup suka-suka, bahkan yang seolah sepele seperti sarapan pagi pun kita harus memutuskan sebuah pilihan. Memutuskan sarapan atau tidak sarapan sudah satu soal. Setelah itu, kita masih harus menentukan pilihan lain lagi; sarapan apa, di mana, dengan siapa, porsinya seberapa dan sebagainya, dan seterusnya.
Maka, memenuhi sebuah hasrat atau mengabaikannya adalah pilihan, dan kita dipercaya menjadi panglima atas diri kita sendiri; kita yang menentukan menjadi baik atau buruk hidup kita.
***
Saya termasuk percaya bahwa korupsi, entah sebagai budaya maupun penyakit, adalah buah dari manajemen hasrat yang salah pada sebagian kita. Betapa sang panglima tak sanggup menolak hasrat berbuat jahat, bahkan meskipun latar belakang agama dan pendidikan sudah begitu kuatnya. Mau bukti? Tengoklah nama-nama koruptor yang divonis bersalah belakangan ini. Mereka bukan saja tampil alim sehari-hari, tetapi juga bergelar doktor dan profesor.
Penghuni penjara bukan lagi melulu pelaku kriminal berwajah beringas dengan tubuh penuh tato, yang sepanjang hidupnya mungkin tak pernah mendengar ceramah agama dan mengenyam pendidikan, tetapi juga orang-orang terhormat yang selama ini diciumi tangan dan kakinya, dipuja-puja sebagai raja, dihormati karena cendikia, dielu-elukan seakan-akan begitu sempurna dan mulia. Yang menyedihkan, mereka bukan dipenjara karena harus membela kebenaran atau melawan kebatilan, seperti kisah-kisah heroik yang biasa kita dengar. Mereka dipenjara karena korupsi duit rakyat.
Dalam kasus pejabat-pejabat yang terlibat penilepan uang negara, hasrat untuk korupsi mungkin terlalu dominan sehingga bukan saja mengalahkan hasrat mengabdi dan berbuat baik bagi rakyat, tetapi juga menenggelamkan keinginan berlaku jujur. Hebatnya, selalu saja ada dalih untuk membenarkan setiap perbuatan, meskipun dalih itu harus dibuat-buat dan diliputi kebohongan. Dosanya pun menjadi ganda; sudah korupsi, berbohong pula.
Hukum di republik ini memang masih sangat toleran terhadap perbuatan korupsi. Selain vonis penjara bagi koruptor sering lebih ringan dibandingkan kejahatan jenis apapun, termasuk sekelas maling ayam, ukuran korup atau tidak korup pun sebenarnya hanya sebatas hukum administratif saja. Orang dituduh korupsi ketika secara administratif pertanggungjawaban uang yang dipakainya bermasalah. Kalau administrasi beres, ya no problem, meskipun sebenarnya korupsi juga.
Penanganan kasus-kasus korupsi selama ini belum menyentuh asas moralitas dan kepatutan, karena mengukurnya memang sulit. Artinya, para pejabat kita sebenarnya boleh memakan uang rakyat, sepanjang administrasinya lengkap dan tak kedapatan melanggar undang-undang. Siapapun dipersilakan korupsi selama uang yang dikorupsi itu mendapat legitimasi hukum, dan karena itu berstatus legal. Hahaha, korupsi yang legal, begitulah. Masalah patut dan tak patut biar jadi urusan dengan Tuhan.
Itu sebabnya kita hanya bisa geleng-geleng kepala menyaksikan betapa pejabat-pejabat publik kita kaya raya. Untuk ukuran camat dan kepala desa saja banyak yang tampak sangat berkecukupan, terutama bila pembandingnya adalah masyarakat kebanyakan yang konon mereka urusi dan ayomi.
Kepala-kepala dinas, kepala kantor, kepala badan, orang-orang berdasi di pemerintahan, sudah kaya-kaya. Jangan tanya sekelas bupati, karena ada bupati di Kaltim yang saking kayanya bisa menitip uang pengembalianRp 34 miliar lebih untuk pengganti uang yang dituduhkan telah dikorupsinya. Itu sebabnya, jangan kaget bila pejabat-pejabat yang divonis penjara karena korupsi, masih tetap kaya raya setelah bebas kelak, meskipun sebagian hartanya sudah dikuras untuk membayar ganti kerugian negara.
Fakta ini membuat banyak anak muda kita akhirnya tergiur juga jadi pegawai negeri, dengan harapan kelak kariernya bagus dan bisa naik kelas jadi pejabat. Atau melibatkan diri ke partai politik sambil menyusur jalan menuju jaminan hidup mapan di masa depan. Di jalur politik ini karier malah bisa melompat-lompat di luar dugaan. Misalnya, ada yang baru dua tahun jadi wakil rakyat, sudah mengoleksi beberapa mobil mewah dan rumah mentereng, padahal sebelum jadi anggota legislatif ke mana-mana pakai sepeda motor dan tinggal di rumah kontrakan. Bukan hendak tampil sederhana, tapi karena waktu itu memang masih tak punya apa-apa.
***
Mari kita bikin hitung-hitungan sederhana. Gaji tertinggi seorang bupati paling banter Rp 15 juta sebulan (sangat mungkin lebih kecil dari ini). Ditambah tunjangan ini-itu, ya kira-kira bisa menjadi Rp 50 juta sebulan. Ini sungguh pendapatan resmi. Kalau kita tambahkan pendapatan tidak resmi maksimal 10 kali lipatnya saja, ketemu angka Rp 500 juta sebulan. Wow, besar sekali? Nanti dulu. Mari kita tengok hitung-hitungan berikutnya.
Untuk jadi bupati dalam sebuah pemilihan langsung, sudah lazim istilah menyewa perahu agar diusung partai politik. Semacam mahar untuk sebuah lamaran. Tarifnya bervariasi. Tetapi dari cerita-cerita yang beredar selama ini, angkanya tak kurang dari Rp 5 miliar. Proses sosialisasi dan kampanye memakan biaya tak kalah gede. Bisa dua kali lipat harga sewa perahu, kira-kira Rp 10 miliar. Total, Rp 15 miliar. Itu modal minimum saja, karena pengakuan beberapa kepala daerah, mereka menghabiskan uang lebih dari itu.
Lha, kalau pendapatan sebagai bupati hanya Rp 500 juta sebulan, maka perlu waktu 30 bulan untuk balik modal. Lebih separo masa jabatan. Itu dengan catatan Rp 500 juta itu dipakai untukbalikin modal semuanya. Jadi, bahkan setelah ditambah pendapatan tak resmi pun, dalam logika apa saja, masih sulit mengembalikan Rp 15 miliar dalam waktu segera.
Nah, bayangkanlah kalau si bupati lurus-lurus saja, tanpa mencari pendapatan tak resmi. Dengan pendapatan maksimal Rp 50 juta sebulan, dia harus mengembalikan biaya Rp 15 miliar dalam waktu 5 tahun masa jabatan. Itu sama dengan Rp 3 miliar setiap tahun, atau Rp 250 juta setiap bulan. Hmm, katakanlah gaji resmi yang maksimal Rp 50 juta tadi semuanya dipakai untuk mencicil pengembalian modal, dari mana nombokin kekurangan Rp 200 juta per bulan? Apa iya ada yang masih mau jadi bupati kalau bakal nombok begini?
Hebatnya, entah cari modal dari mana, ada kepala daerah yang belum habis masa jabatan, malah sudah bersiap bertarung lagi dalam pilkada berikutnya, untuk jabatan yang lebih tinggi tentu saja. Kita lantas bertanya-tanya, apa modal untuk pilkada sebelumnya sudah kembali? Lalu ke mana cari modal baru untuk pilkada yang baru? Iya kalau modalnya Rp 15 miliar. Kalau lebih? Untuk informasi kita-kita aja nih, modal maju jadi gubernur konon tak kurang dari Rp 30 miliar!
***
Beda antara korupsi dan tidak korupsi menjadi setipis kulit bawang, ketika yang kita bicarakan adalah hukum administrasi dan legalitas penggunaan uang negara. Tetapi bila perbincangannya masuk pada ihwal etika, moral dan kepatutan, maka rasanya sulit menghindarkan kecurigaan kita bahwa pejabat publik yang kaya-kaya itu sebenarnya koruptor semua.
Mereka bukan pewaris harta dari moyang yang kaya, bukan pula penemu harta karun seperti kisah dalam dongeng-dongeng petualangan. Mereka juga tak dikenal sebagai pemilik perusahaan atau ahli niaga. Hidup mereka selama ini sangat bergantung pada pekerjaan sebagai abdi rakyat. Dari mana duit menumpuk kalau bukan karena keberadaan mereka di lembaga pemerintah? Apa iya bisa kaya tanpa korupsi?
Entahlah. Anggap saja ini pertanyaan ceroboh dari seorang rakyat yang mau tau urusan pejabat. Atau lazimnya kecemburuan orang miskin kepada orang kaya. Bahwa korupsi memang (masih dan terus) terjadi di mana-mana, dan republik ini tetap betah saja berada di urutan atas negara-negara terkorup di dunia, begitulah faktanya. Seorang kawan dengan enteng berujar kepada saya,… hasrat korupsi ada pada setiap kita. Kalau kamu jadi pejabat dan kesempatannya ada, kamu mungkin akan korupsi juga.
Hahaha, saya tertawa, kemudian berdoa: kalau begitu, Ya Allah, jangan pernah berikan kesempatan itu

salam
Rudy Karetji

KOMITE RAKYAT ANTI KORUPSI INDONESIA: Kartini dan Perjuangan Anti Korupsi

KOMITE RAKYAT ANTI KORUPSI INDONESIA: Kartini dan Perjuangan Anti Korupsi: "Kondisi kekinian Indonesia sungguh sangat menyedihkan, dimana kasus korupsi sudah mendarah daging bahkan sudah menjadi budaya dan telah mero..."

Kartini dan Perjuangan Anti Korupsi

Kondisi kekinian Indonesia sungguh sangat menyedihkan, dimana kasus korupsi sudah mendarah daging bahkan sudah menjadi budaya dan telah merongrong semua sendi kehidupan. Dan di tengah hiruk pikuk kasus-kasus korupsi yang menyengsarakan hampir semua lapisan masyarakat ini, sungguh ironis jika perempuan Indonesia yang notabene mengemban amanah perjuangan Kartini justru seakan menjadi bunga di tengah-tengahnya.

Tengoklah kaus Nunun Nurbaiti yang dituduh sebagai otak pemberi cek pelawat kepada sejumlah anggota DPR pada kasus Mirandagate, karena dia kabarnya sakit sehingga KPK tidak mampu mendatangkanya walau para penerima cek pelawatnya telah dan sedang diadili. Juga ulah Artalita Suryani alias Ayin, sang narapidana penyuap jaksa Urip Tri Gunawan yang menyulap kamar tahananya di Rutan Perempuan Pondok Bambu Jakarta Timur menjadi kamar mewah bak kamar hotel bintang lima. Dan bulan lalu kita dibuat terheran-heran dengan ulah si pembobol City bank, yakni Inong Melinda Dee yang berhasil menggangsir puluhan milyar rupiah dari para nasabah kakapnya.

Kasus – kasus tersebut di atas semestinya tidak perlu terjadi jika para perempuan Indonesia yang sejatinya menjadi pengemban perjuangan emansipasi yang digelorakan oleh Kartini bisa mengambil pelajaran berharga yang diperjuangkannya. Yakni mereka bisa merefleksikan perjuangan Kartini yakni emansipasi di bidang pendidikan menjadi perjuangan emansipasi di segala bidang.
Karena pada prinsipnya menurut Yesmil Anwar dari Universitas Padjajaran Bandung (2010) bahwa perjuangan Kartini yang terekam dalam buku Habis Gelap Terbitlah Terang yang berisikan kumpulan surat Kartini seorang putri Bupati Jepara kepada sahabat penanya yang warga negara Belanda, perempuan kulit putih, Nona Abendanon adalah berisi tentang perempuan Indonesia yang harus memiliki kebebasan (liberty), kesamaan (equality) dan persaudaraan (fraternity) di dalam kehidupannya.

Perjuangan Kartini akan pentingnya perempuan indonesia bisa mengeyam pendidikan setara dengan kaum pria tersebut, kiranya patut dikenang dan dijadikan motivator, inspirator dan pencambuk untuk terus memperjuangkan kesetaraan gender di semua bidang kehidupan. Tidak hanya dalam bidang pendidikan, namun juga bisa dalm bidang politik, sosial ekonomi, budaya, kesehatan, dan bahkan dalam bidang pemberantasan korupsi serta penegakan hukum.
Di bidang perjuangan anti korupsi, sejauh manakah peranan perempuan dalam kasus pemberantasan korupsi di Indonesia? Bisakah kaum perempuan menempatkan dirinya di lini terdepan dalam kampanye pemberantasan korupsi dan juga kampanye tentang pentingnya pendidikan anti korupsi?.

Karena pemberantasan korupsi di Indonesia selama ini dilakukan dan dipandang dari perspektif laki-laki saja. Dalam pemberantasan korupsi di masyarakat selama ini tidak terdapat klausul yang menyertakan perempuan sebagai bagian dari masyarakat yang mestinya juga punya peran yang sama atau bahkan lebih besar dengan kaum laki-laki dalam pemberantasan korupsi.

Mengangkat isu perempuan dalam pemberantasan korupsi patut untuk dicermati secara serius ketika melihat bahwa pemberantasan korupsi selama ini tak pernah terselesaikan secara mendasar. Korupsi di Indonesia sudah menjadi sebuah sistem budaya yang dianggap sah dan wajar-wajar saja, dan bahkan ada masyarakat yang mengapresiasi jika ada pejabat yang menjadi kaya mendadak walau hal itu didapat dari cara korupsi. Oleh karena itu penyelesaian secara mendasar atas korupsi mesti menyentuh sampai pada ranah budaya pula.

Pendekatan pemberantasan korupsi selama ini hanya mendapatkan kasus-kasus korupsi kecil dan itupun hanya mendapatkan koruptor untuk diadili dan diminta mengembalikan dana yang digangsirnya, belum sampai menjadikan paradigma antikorupsi sebagai budaya positif di masyarakat. Oleh karena itu sudah semestinya upaya pemberantasan korupsi secara preventif tak sekadar kampanye bagi-bagi buku panduan anti korupsi, stiker, pin, pamflet, dan sekian banyak seminar serta pelatihan antikorupsi, tetapi juga mengupayakan pembudayaan anti korupsi.

Untuk itu partisipasi aktif kaum Kartini dalam pemberantasan korupsi di negeri ini sangat sekali diperlukan, yakni pertama adalah peran kaum Kartini dalam pendidikan anti korupsi.

Proses pembudayaan anti korupsi yang paling ampuh adalah lewat pendidikan, utamanya pendidikan dalam keluarga. Lewat pendidikan dalam keluarga pada masa usia emas anak-anak sangat perlu diajarkan tentang pendidikan anti korupsi. Karena pada usia emas tersebut sangat tepat untuk membentuk karakter dan kepribadian seorang anak manusia. Di keluarga inilah kaum Kartini menempati posisi strategis sebagai guru yang sempurna.

Seorang yang sempurna karena tak sekadar memberikan pembelajaran hidup secara cuma-cuma nan ikhlas, tapi juga secara otomatis mempunyai ikatan emosional seorang Ibu pada anaknya, yang sudah pasti pendidikan yang diberikan dilandasi oleh rasa cinta nan tulus dan ihlas.

Posisi kaum Kartini inilah yang jarang disadari begitu strategis untuk menanamkan dan membudayakan antikorupsi sejak dini pada anak-anak mereka. Dengan menanamkan nilai-nilai antikorupsi sejak dini tersebut, pada hakikatnya merupakan upaya pemberantasan korupsi secara mendasar sampai pada upaya membangun modal budaya dan budaya baru yang antikorupsi.

Memang hal ini takkan dapat dirasakan sekarang, tapi efeknya adalah dalam jangka panjang ketika anak-anak tersebut sudah besar dan mengambil peran sosial serta berada pada institusi sosial tertentu untuk secara bersama meruntuhkan sistem budaya korup.

Peran kedua kaum Kartini dalam pemberantasan korupsi adalah menjadi motivator kepada para suami untuk tidak tergiur melakukan korupsi. Peran penting tersebut dalam upaya mencegah korupsi tak sekadar dalam urusan keuangan keluarga tapi juga dengan posisinya sebagai pendamping, motivator, dan orang yang paling berperan di balik “kesuksesan” suami.

Pameo bahwa di balik kesuksesan seorang laki-laki ada seorang perempuan banyak terbukti, karena riwayat sukses suami dalam pekerjaan kebanyakan karena ia tak terlalu terbebani memikirkan urusan domestik yang sudah dapat ditangani istrinya dengan baik. Sebaliknya (walaupun hal ini dalam perspektif gender) harus diakui bahwa pekerjaan suami juga dapat gagal bahkan tersandung korupsi karena istri gagal menangani urusan domestik rumahtangga.

Dengan konsep tersebut, maka perempuan dalam rumahtangga di Indonesia tak sekadar dapat berperan dalam menanamkan nilai-nilai antikorupsi pada anak-anaknya saja, lebih dari itu mereka dapat berperan mencegah suami berbuat korupsi dengan menunjukkan empati, kasih sayang, dan pengurusan rumahtangga secara bersama-sama dengan baik.

Pengikutsertaan perempuan dalam mengatasi korupsi ini memang lebih bersifat substansial karena posisi strategisnya yang jarang diakui dalam bingkai budaya patriarki, oleh karenanya konsep ini merupakan pendekatan kultural melalui institusi sosial terkecil dari masyarakat, yaitu keluarga berdasarkan pada hakikat pendidikan sebagai proses pembudayaan yang utama. Oleh karena itu, secara praksis diperlukan penjabaran prosedural untuk mengkampanyekan pendekatan ini.

Peran ketiga adalah membuat gerakan anti korupsi yang meliputi para kaum Kartini baik di parlemen, pemerintahan, perusahaan-perusahaan maupun di tengah-tengah masyarakat.

Agenda gerakan ini bisa digelorakan oleh para kaum Kartini yang menduduki posisi strategis di parlemen (DPR) ataupun di DPRD-DPRD, maupun yang menduduki jabatan strategis di jajaran eksekutif pemerintahan dan perusahaan-perusahaan. Dan bahkan para ibu rumahtanggapun bisa berperan serta untuk menggelorakannya, misalnya dalam forum – forum arisan, majlis ta’lim, PKK, dan lainnya sebagainya. Ini semua merupakan institusi sosial yang bagus untuk memulai pendekatan kultural berperspektif gender dalam pemberantasan korupsi ini.

Gerakan ini berisikan penyadaran tentang pentingnya penanaman pendidikan anti korupsi kepada anak-anak sejak usia dini oleh para orang tua. Juga berisi ajakan untuk tidak melakukan tindakan yang bersifat koruptif baik di instansi resmi maupun di rumah. Dan yang terpenting adalah mengisi dengan nilai-nilai ke-Kartini-an kepada setiap jabatan-jabatan publik yang diemban oleh para kaum Kartini. Sehingga dengan terjiwai oleh nilai Kartini diharapkan kaum perempuan yang menduduki jabatan-jabatan publik tersebut tidak akan terperosok kedalam tindakan korupsi.

Peran keempat adalah mendorong pemerintah untuk memasukkan pelajaran anti korupsi di dalam kurikulum pendidikan nasioanal. Dengan dimasukkanya dalam kurikulum pendidikan nasional, maka diharapkan dalam semua jenjang pendidikan dimulai dari usia emas di rumah sampai jenjang pendidikan formal tingkat sekolah lanjutan pendidikan anti korupsi selalu ditanamkan. Sehingga diharapkan nantinya budaya anti korupsi akan menjadi sistem budaya yang benar-benar meresap dan diaplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat.

saya yakin jika keempat peran yang dilakukan oleh para Kartini masa kini seperti yang dipaparkan diatas dilaksanakan dan mendapat dukungan penuh dari masyarakat, maka budaya korupsi di negeri tercinta ini perlahan tapi pasti akan sirna dan anti korupsi akan menjadi sistem budaya baru yang sangat seksi dan digemari oleh segenap lapisan masyarakat negeri ini. Untuk itu perjuangan anti korupsi yang dilakukan oleh kaum Kartini sangatlah perlu diinisiasi, dikampanyekan dan didukung.

Salam
Rudy Karetji

Kamis, 21 Juli 2011

KOMITE RAKYAT ANTI KORUPSI INDONESIA: KOMISI ANTI KORUPSI DI NEGERI SARAT KORUPSI DAN BI...

KOMITE RAKYAT ANTI KORUPSI INDONESIA: KOMISI ANTI KORUPSI DI NEGERI SARAT KORUPSI DAN BI...: "Kami Para Koruptor Indonesia Berbangsa Satu Bangsa yang Gandrung Korupsi Kami Para Koruptor Indonesia Berbahasa Satu Bahasa Kongkalikon..."

KOMISI ANTI KORUPSI DI NEGERI SARAT KORUPSI DAN BIROKRASI SERBA “KOMISI”

Kami Para Koruptor Indonesia
Berbangsa Satu
Bangsa yang Gandrung Korupsi
Kami Para Koruptor Indonesia
Berbahasa Satu
Bahasa Kongkalikong
Kami Para Koruptor Indonesia
Bertanah Air Satu
Tanah Air Korupsi Tanpa Henti

(bait diatas disajikan khusus oleh para koruptor Indonesia yang telah membai’at dirinya untuk tak henti menggerogoti perekonomian Negara hingga negeri ini bangkrut dan agar terus juara sebagai Negara paling korup di Dunia).

Membaca bait diatas seakan penggambaran bagaimana korupsi sudah tidak lagi dilakukan secara tersembunyi tapi sudah menjadi kultur birokrasi. Timbul pertanyaan dalam benak saya, apakah ya bahwa kultur birokrasi sudah sangat dekat dengan korupsi atau bahkan sudah mendarah daging. Paling tidak pertanyaan yang sama akan lahir dalam benak pembaca ketika indeks persepsi korupsi di umumkan, dimana Indonesia menduduki peringkat yang buruk dalam pengumuman tentang indeks persepsi korupsi di berbagai Negara oleh Transparency International. Dan berdasarkan penelitian Political and Economic Risk Consultancy (PERC) tahun 1997, Indonesia menempati posisi sebagai Negara terkorup di Asia. Namun pada tahun 2001, posisi Indonesia terkoreksi menjadi peringkat 2 sebagai Negara terkorup di Asia setelah Vietnam.
Dan menurit The World Justice Project, melansir peringkat supremasi hukum Indonesia di dunia tercatat dalam peringkat 47. Hal ini disebutkan dalam sebuah survei yang dilakukan oleh The World Justice Project.

Berbicara tentang korupsi seakan bicara tentang wabah penyakit masyarakat yang kian hari kian meluas cakupannya. Dalam hal ini korupsi tidak saja melingkupi pejabat public yang menyalahgunakan kekuasaannya, namun setiap orang yang menyalahgunakan kedudukan atau kemampuannya untuk memperoleh uang dengan cara yang tidak baik, ataupun bicara tentang setiap orang yang memiliki keterkaitan akan keberlangsungan proses perolehan uang dengan cara yang tidak halal dan baik. Betapa tidak bila semua orang bersikap tindak untuk proses yang cepat dalam jalur administrasi di birokrasi dengan berbagai cara, termasuk menyuap atau menggunakan alat bantu lain sebagai “komisi” atas jasa percepatan birokrasi yang dilakukan. Perilaku pemberian komisi dalam berbagai bentuk sudah dianggap sebagai bagian dari kultur birokrasi yang sarat akan jalur administratif berbelit.

Salam Benci Buat Para Koruptor dan penegak hukum yang mau di suap !!!!!

KRAK INDONESIA
RUDY KARETJI

KOMITE RAKYAT ANTI KORUPSI INDONESIA: 37 KASUS TERBENGKALAI DI ACEH

KOMITE RAKYAT ANTI KORUPSI INDONESIA: 37 KASUS TERBENGKALAI DI ACEH: "KRAK INDONESIA mencatat ada 37 kasus indikasi tindak pidana korupsi di Aceh belum ditangani penegak hukum. Mereka (Polisi dan Kejaksaan) seg..."

37 KASUS TERBENGKALAI DI ACEH

KRAK INDONESIA mencatat ada 37 kasus indikasi tindak pidana korupsi di Aceh belum ditangani penegak hukum. Mereka (Polisi dan Kejaksaan) segera menuntaskan kasus yang berpotensi merugikan negara hingga Rp 331 milyar.

Direktur eksekutif KRAK Indonesia Rudy Karetji mengatakan, kasus korupsi itu terjadi dalam kurun 2009 sampai 2010."Kami mendesak aparat hukum untuk menangani kasus-kasus yang masih terbengkalai ini,"

Kasus korupsi tersebut diantaranya kasus pada proyek Dana Alokasi Khusus (DAK) Dinas Pendidikan Bireun dengan sumber dana APBN 2010 dengan potensi kerugian negara Rp 19 milyar, kasus kas bon Bireun sumber dana APBK 2008 potensi kerugian negara Rp 26 milyar, dugaan penggelapan dana pemanfaatan dan bantuan sosial operasional desa siaga/pos kesehatan desa sumber dana DIPA 2009 potensi kerugian negara Rp 775 milyar.

Selanjutnya kasus indikasi korupsi pada pembangunan kebun sawit kopontren di Aceh Utara sumber dana APBK dan APBA 2009 berpotensi merugikan Negara Rp 2 milyar, dugaan penyaluran bantuan fiktif untuk Penguatan Ekonomi Rakyat (PER) di Aceh Utara melalui Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Sabe Meusampe yang merupakan bank milik Pemkab setempat dengan sumber dana dari APBK 2007 diperkirakan merugikan Negara Rp20 milyar.  

Deputi Eksekutif KRAK Indonesia Abdu RH Muhammad, S.Psi menjelaskan, Banda Aceh dan Lhokseumawe tercatat paling banyak melakukan pembiaran: masing-masing enam kasus. Disusul Aceh Utara empat kasus, Aceh Barat dan Bireun masing-masing tiga kasus. Aceh Tenggara, Nagan Raya dan Aceh Timur masing-masing dua kasus. Sedangkan Aceh Barat Daya, Aceh Besar, Aceh Singkil, Simeulu, Pidie Jaya, Aceh Tengah, Langsa, Bener Meriah dan Aceh Jaya masing-masing memiliki satu kasus korupsi yang masih mengambang, belum dituntaskan.

Sekretaris Eksekutif KRAK Indonesia, Aswin Suhendra, S.Hi mendesak penegak hukum untuk segera menuntaskan kasus korupsi yang masih mengambang itu. “Penegak hukum diminta jangan larut dalam eforia politik sehingga membuat penanganan kasus korupsi terkesampingkan"

Aswin Suhendra,S.Hi menilai selama ini penegak hukum belum sepenuhnya serius menuntaskan kasus-kasus korupsi, mengingat banyak kasus korupsi yang penyelesaiannya berlarut dan banyak juga terdakwa kasus korupsi divonis bebas.

KRAK Indonesia mencatat dalam kurun 2009 hingga 2010 sedikitnya 16 terdakwa korupsi divonis bebas oleh Pengadilan umum di Aceh. Padahal dari serangkaian kasus itu negara dirugikan hingga Rp 79,8 milyar.

Senin, 18 Juli 2011

KOMITE RAKYAT ANTI KORUPSI INDONESIA: BPK: Pemprov Papua Menyelewengkan Rp 4,2 Triliun

KOMITE RAKYAT ANTI KORUPSI INDONESIA: BPK: Pemprov Papua Menyelewengkan Rp 4,2 Triliun: "Jakarta: Badan Pemeriksa Keuangan menemukan penyelewengan dana Rp4,2 triliun di tubuh Pemerintah Provinsi Papua. Dana itu didepositokan dan..."

KOMITE RAKYAT ANTI KORUPSI INDONESIA: Daftar Temuan Penyimpangan Dana Otonomi Khusus Pap...

KOMITE RAKYAT ANTI KORUPSI INDONESIA: Daftar Temuan Penyimpangan Dana Otonomi Khusus Pap...: "Hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keungan (BPK) menemukan indikasi penyimpangan dana Otonomi Khusus Papua sejak tahun 2002 - 2020 yang telah..."

KOMITE RAKYAT ANTI KORUPSI INDONESIA: Polda Tangani 28 Perkara Korupsi di Papua Barat

KOMITE RAKYAT ANTI KORUPSI INDONESIA: Polda Tangani 28 Perkara Korupsi di Papua Barat: "MANOKWARI- Kepolsian Daerah (Polda) Papua, tengah menangani sedikitnya 28 kasus dugaan korupsi di lingkungan Pemprov Papua Barat. Kasus y..."

KOMITE RAKYAT ANTI KORUPSI INDONESIA: Kejati: Kejari Manokwari Berwenang Selidiki Korups...

KOMITE RAKYAT ANTI KORUPSI INDONESIA: Kejati: Kejari Manokwari Berwenang Selidiki Korups...: "MANOKWARI- Kepala Kejaksaan Tinggi (Kejati) Provinsi Papua dan Papua Barat, Leo Tolstoy R. T. Panjaitan, menegaskan, sesuai kebijakan dan a..."

KOMITE RAKYAT ANTI KORUPSI INDONESIA: Dana PNPM Mandiri-Respek ‘Disunat"

KOMITE RAKYAT ANTI KORUPSI INDONESIA: Dana PNPM Mandiri-Respek ‘Disunat": "MERAUKE -- Dana PNPM Mandiri-Respek untuk tahun anggaran (TA) 2009 lalu di Distrik Muting, Kabupaten Merauke, diduga ‘disunat’ oleh oleh okn..."

Dana PNPM Mandiri-Respek ‘Disunat"

MERAUKE -- Dana PNPM Mandiri-Respek untuk tahun anggaran (TA) 2009 lalu di Distrik Muting, Kabupaten Merauke, diduga ‘disunat’ oleh oleh oknum petugas T-PKK disana. Besarnya dana yang disalahgunakan mencapai kurang lebih Rp 20 juta untuk tahun 2009 lalu. Dana tersebut semestinya dimanfaatkan untuk pengadaan seng, namun tidak digunakan tepat sasaran.

Kepala Badan Pemberdayaan Kampung Kabupaten Merauke, Drs. Fredhy Talubun yang ditemui Papua Pos, kemarin, membenarkan adanya dugaan penyunatan dana dimaksud.Menurutnya, dengan mengacu kepada aturan yang berlaku, penyimpangan yang dilakukan oknum tersebut, harus diambil suatu tindakan tegas. Sekecil apapun uang yang disalahgunakan, bersangkutan harus ditindak tegas.

Perbuatan yang dilakukan, demikian Fredhy, sangat disayangkan. Karena sebelum kegiatan dijalankan dan atau dilaksanakan, telah berlangsung musyawarah distrik dan kampung. Semestinya penyimpangan tidak boleh terjadi seperti demikian. “Saya mengharapkan dukungan dan partisipasi dari aparat tingkat distrik maupun kampung untuk melakukan monitoring penggunaan dana PNPM Mandiri-Respek di kampung-kampung. Hal itu dilakukan untuk mengantisipasi jangan sampai adanya penyelewengan yang dilakukan oknum tak bertanggungjawab,” pintanya.
Dijelaskan, tujuan dari program PNPM Mandiri-Respek sangat baik untuk kepentingan banyak orang. Hanya saja, disalahgunakan oleh oknum tertentu dan secara tidak langsung telah merugikan masyarakat. Kedepan, katanya, akan dilakukan monitoring setiap dana PNPM Mandiri-Respek sehingga asas manfaat dapat dirasakan secara langsung oleh masyarakat. Selain itu juga, kualitas pekerjaan yang telah dibuat dan disepakati bersama, memberikan dampak positif bagi kelangsungan mereka di tingkat kampung.

Fredhy menambahkan, ada temuan dari Bank Dunia terhadap empat hal yakni menurunnya partisipasi masyarakat, semangat gotong royong, kualitas pekerjaan serta dana bergulir di setiap kampung bagi kaum perempuan yang diduga ada penyimpangan. Memang sampai sekarang belum diterima juga revisi DIPA tahun 2011. Meski begitu, berbagai kegiatan pendampingan baik di tingkat distrik maupun kampung-kampung tetap dijalankan. 

Kejati: Kejari Manokwari Berwenang Selidiki Korupsi di SKPD Provinsi

MANOKWARI- Kepala Kejaksaan Tinggi (Kejati) Provinsi Papua dan Papua Barat, Leo Tolstoy R. T. Panjaitan, menegaskan, sesuai kebijakan dan aturan baru, maka Kejaksaan Negeri Manokwari (Kajari) sudah bisa melakukan penyelidikan terkait kasus korupsi di Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Pemerintah Provinsi Papua Barat.

“Siapa bilang Kejaksaan Negeri tidak bisa melakukan penyelidikan korupsi di SKPD Provinsi, dulu memang iya. Tapi sekarang kebijakan itu sudah diganti,“ tegas Leo kepada wartawan saat kunker ke Manokwari pekan lalu.
Kata Leo, dalam penuntasan korupsi, kini tidak lagi menggunakan asas kesetaraan. Sebelumnya, memang dalam aturan diterangkan bahwa yang berwenang melakukan penyelidikan di SKPD tingkat provinsi adalah harus dari kejaksaan tinggi. Faktanya, tidak di semua Provinsi berdiri Kejaksaan Tinggi, sehingga kebijakan tersebut telah dirubah oleh Mahkamah Agung (MA).
“Ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan perubahan kebijakan Mahkamah Agung tersebut, pertama bahwa saat ini Provinsi Papua Barat belum ada kejaksaan tinggi, untuk itu atas kondisi tersebut kejaksaan negeri diberikan wewenang untuk melakukan penyelidikan,“ jelas Leo.
Sebab menurut Leo, jika Kejati harus turun ke Papua Barat, sudah barang tentu Mahkamah Agung harus menambahkan anggaran. Di sisi lain, faktor  waktu sangat menentukan dalam proses penyelidikan, karena sebuah proses penyelidikan akan banyak memakan waktu yang cukup lama, ditambah kondisi geografis Papua dan Papua Barat yang terlalu jauh.
Disinggung soal penanganan jumlah kasus yang harus diselesaikan dan menjadi target Kejati, Leo kembali menegaskan bahwa saat ini tidak lagi memberlakukan target yang harus diselesaikan, namun mulai saat ini mengedepankan optimalisasi penanganan kasus. “Semakin banyak kasus semakin baik,“ cetusnya.
Sementara itu, Kepala Kejaksaan Negeri Manokwari, Suparyono,SH yang dikonfirmasi belum lama ini membenarkan jika pihaknya telah siap melaksanakan kewenangan yang diberikan Kajati guna melakukan penyelidikan laporan indikasi penyalahgunaan anggaran di Pemprov Papua Barat. “Kami siap melaksanakan, dan kami akan segera melakukan investigasi terkait kemungkinan adanya indikasi korupsi di Pemprov Papua Barat,“ ungkapnya.

Polda Tangani 28 Perkara Korupsi di Papua Barat

MANOKWARI- Kepolsian Daerah (Polda) Papua, tengah menangani sedikitnya 28 kasus dugaan korupsi di lingkungan Pemprov Papua Barat. Kasus yang ditangani penyidik Polda Papua umumnya, LPJ anggaran tahun 2010 sampai awal 2011 berjalan.

Kapolda Papua Irjen Pol. Bekto Suprapto, menegaskan, penyidik Polda Papua sedang gencar melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi yang terjadi di Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), termasuk di Provinsi Papua Barat.
“Dari 28 perkara dugaan korupsi yang sedang ditangani, saat ini sebanyak 14 perkara sudah masuk dalam tahap penyidikan. Sementara 14 perkara dugaan penyimpangan keuangan negara yang terjadi di Papua Barat kini sedang dalam penyelidikan,” ungkap Bekto kepada sejumlah awak media, Rabu (16/3) di Hotel Mansinam Beach dan Resorth di Manokwari.
Sayangnya, Kapolda yang dikejar pertanyaan SKPD mana yang menjadi fokus penyelidikan penyidik Polda Papua enggan merinci secara jelas. Kapolda hanya berujar dirinya tidak mengingat secara pasti dugaan penyalahgunaan keuangan negara tersebut terjadi pada dinas-dinas apa saja.
“Mengenai dinas apa saja yang diperiksa saya lupa karena terlalu banyak, yang jelas untuk Papua Barat saja ada 28 perkara dugaan korupsi,” sebut Kapolda.
Meski tidak menyebut dinas apa dan pejabat siapa saja yang telah diperiksa di Polda Papua. Diakuinya, kini pihaknya telah memeriksa sejumlah pejabat-pejabat di lingkup Pemprov Papua Barat. Buktinya, ada sebanyak 14 perkara yang sudah masuk tahap penyidikan.
“Dari 14 kasus dugaan korupsi itu yang sudah masuk tahap penyidikan sudah kami kirim SPDP-nya (surat perintah dimulainya penyidikan) ke Kejaksaan Tinggi Papua,” ungkap Kapolda.
Ditambahkan, selain yang ditangani Polda Papua, kata perwira berpangkat dua bintang ini, pihaknya juga memerintahkan penyidik di tingkat Polres untuk menangani perkara-perkara korupsi. Bukan itu saja, bahkan, setiap Polres diberikan target minimal harus mengungkap 3 kasus setiap tahunnya. 

Kamis, 16 Juni 2011

Daftar Temuan Penyimpangan Dana Otonomi Khusus Papua Oleh BPK

Hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keungan (BPK) menemukan indikasi penyimpangan dana Otonomi Khusus Papua sejak tahun 2002 - 2020 yang telah dialokasikan oleh pemerintah pusat ke Prov Papua sebesar Rp 28 Trilyun.
Berikut temuan penyimpangan penggunaan dana Otsus Papua yang ditemukan BPK:
1. Rp 566 miliar pengeluaran dana Otsus tidak didukung bukti yang valid. Dalam pemeriksaan tahun 2010 dan 2011, ditemukan Rp 211 miliar tidak didukung bukti termasuk realisasi belanja untuk PT TV mandiri Papua dari tahun 2006-2009 sebesar Rp 54 miliar tidak sesuai ketentuan. Dan Rp 1,1 miliar pertanggunganjawaban perjalan dinas menggunakan tiket palsu. Serta temuan sebelumnya belum sepenuhnya ditindaklanjuti Rp 354 miliar.

2. Pengadaan barang dan jasa melalui dana Otsus senilai Rp 326 miliar tidak sesuai aturan. Antara lain: Pertama, Rp 5,3 miliar terjadi di Kota Jayapura tahun anggaran 2008 tidak melalui pelelangan umum. Kedua pengadaan dipecah Rp 1.077.476.613 terjadi di Kabupaten Merauke tahun 2007 dan 2008. Ketiga, pengadaan tanpa adanya kontrak Rp 10 miliar yang terjadi di Kabupaten Kaimana, Papua Barat, tahun anggaran 2009. Di samping itu terdapat temuan tahun 2002-2009 yang belum ditindaklanjuti Rp 309 miliar.

3. Rp 29 miliar dana Otsus fiktif. Dalam tahun anggaran 2010 terdapat Rp 22,8 miliar dana Otsus yang dicairkan tanpa ada kegiatan atau fiktif. Rincian kegiatan fiktif tersebut: detail engineering design PLTA Sungai Urumuka tahap tiga Rp 9,6 miliar pada Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Papua.
Kedua, detail engineering design PLTA Sungai Mambrano tahap dua Rp 8,7 miliar pada Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Papua. Ketiga, studi potensi energi terbarukan di 11 kabupaten Rp 3,1 miliar pada Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Papua. Keempat, fasilitas sosialisasi anggota MRP periode 2010-2015, Rp 827,7 miliar pada Badan Kesatuan Bangsa, Politik dan Perlindungan Masyarakat daerah tahun 2010. Sedangkan bagian tindak lanjut tahun sebelumnya Rp 6 miliar.

4. Rp 1,85 triliun dana Otsus periode 2008-2010, didepositokan. Dengan rincian Rp 1,25 triliun pada Bank Mandiri dengan nomor seri AA 379012 per 20 November 2008. Rp 250 miliar pada Bank Mandiri dengan nomor seri AA 379304 per 20 Mei 2009 dan Rp 350 miliar pada Bank Papua dengan no seri A09610 per 4 Januari 2010. Penempatan dana Otsus dalam bentuk deposito bertentangan dengan pasal 73 ayat 1 dan 2 Permendagri 13 th 2006.

Namun bantahan dikeluarkan oleh Kepala  Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Papua, Achmad Hatari dimana menyinggung soal sah tidaknya penunjukan Bank Mandiri sebagai pemegang kas, Hatari mengatakan UU juga memungkinkan hal itu. “Sebagaimana bunyi pasal 179 Permendagri 13 Tahun 2006. Pasal 1 berbunyi, bendahara umum daerah adalah saya sebagai Kepala BPKAD, menunjuk bank daerah yang sehat untuk mengelola penerimaan dan pengeluaran kas. Ayat 2, penunjukan itu harus dengan keputusan Kepala Daerah dan Ayat 3, harus beritahukan DPRP. Ketiga-tiganya kita penuhi,” .

Dengan demikian, ketiga pihak yang mengetahui dilakukan deposito dana Otsus harus di periksa dan memberikan klarifikasi kepada KPK. Bagaimana kebijakan yang diambil sehingga dana tersebut dikelola dan tindakan dengan melakukan deposito dana Otsus Papua, apakah untuk kepentingan yang berhubungan dengan masyarakat atau tidak. Dan penjelasan penafsiran dari pejabat Papua terhadap Permendagri Nomor 13 tahun 2006 dan Permendagri nomor 59 tahun 2007.

Kemudian temuan-temuan yang di dapatkan oleh BPK dimana ada penyimpangan penggunaan dana Otsus Papua. Apabila ditemukam indikasi terjadinya penyimpangan terhadap pengelolaann dana tersebut, KPK dapat masuk untuk melakukan tindak lanjut penyelesaian dari kasus-kasus yang terjadi di Papua tersebut.

BPK: Pemprov Papua Menyelewengkan Rp 4,2 Triliun

Jakarta: Badan Pemeriksa Keuangan menemukan penyelewengan dana Rp4,2 triliun di tubuh Pemerintah Provinsi Papua. Dana itu didepositokan dan dikeluarkan untuk proyek fiktif beberapa oknum pejabat dan pegawai Pemprov Papua sejak 2002 hingga 2010.

Penyelewengan dipaparkan anggota BPK, Rizal Jalil, di Gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (21/4). BPK mengadakan audit berdasarkan permintaan DPR usai pemerintah menggelontorkan dana otonomi khusus bagi Papua sebesar Rp28,8 triliun antara 2002 hingga 2010.

Ternyata, BPK menemukan penyelewengan dana tersebut. Beberapa oknum pejabat dan pegawai Pemprov Papua mendepositokan dana Rp4,2 triliun ke Bank Mandiri.

Padahal, menurut Undang-undang Otsus Tahun 2001, dana tersebut tidak boleh didepositokan. Sebab, dana itu bersifat urgent alias penting untuk membangun prasarana kesehatan dan pendidikan di Papua yang tertinggal jika dibanding daerah lainnya.
Selain itu, BPK juga menemukan beberapa proyek fiktif Pemprov Papua yang memakan dana sangat besar. Menurut Rizal, BPK telah menyerahkan sepenuhnya masalah ini ke Komisi Pemberantasan Korupsi dan kepolisian.(RAS)Jakarta: Badan Pemeriksa Keuangan menemukan penyelewengan dana Rp4,2 triliun di tubuh Pemerintah Provinsi Papua. Dana itu didepositokan dan dikeluarkan untuk proyek fiktif beberapa oknum pejabat dan pegawai Pemprov Papua sejak 2002 hingga 2010.

Penyelewengan dipaparkan anggota BPK, Rizal Jalil, di Gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (21/4). BPK mengadakan audit berdasarkan permintaan DPR usai pemerintah menggelontorkan dana otonomi khusus bagi Papua sebesar Rp28,8 triliun antara 2002 hingga 2010.

Ternyata, BPK menemukan penyelewengan dana tersebut. Beberapa oknum pejabat dan pegawai Pemprov Papua mendepositokan dana Rp4,2 triliun ke Bank Mandiri.

Padahal, menurut Undang-undang Otsus Tahun 2001, dana tersebut tidak boleh didepositokan. Sebab, dana itu bersifat urgent alias penting untuk membangun prasarana kesehatan dan pendidikan di Papua yang tertinggal jika dibanding daerah lainnya.

Selain itu, BPK juga menemukan beberapa proyek fiktif Pemprov Papua yang memakan dana sangat besar. Menurut Rizal, BPK telah menyerahkan sepenuhnya masalah ini ke Komisi Pemberantasan Korupsi dan kepolisian.(RAS)

Sabtu, 11 Juni 2011

DPRD KABUPATEN TELUK BINTUNI 2 (DUA) PANSUS

DPRD Teluk Bintuni membentuk 2 (dua) panitia khusus (Pansus) masing-masing untuk menyelidiki masalah pembangunan gedung kantor DPRD Teluk Bintuni dan permasalahan tenaga kerja dan pendapatan asli daerah (PAD) Teluk Bintuni terkait keberadaan BP-Tangguh yang beroperasi di wilayah Teluk Bintuni.
“Dari 20 (dua puluh) anggota dewan kami telah bentuk 2 (dua) Pansus masing-masing beranggotakan 10 (sepuluh) orang,” ungkap Wakil Ketua I DPRD Teluk Bintuni, Roberth Manibuy, SH kepada sejumlah wartawan media cetak dan elektronik di kantor dewan, Kamis (26/5) baru-baru ini.

Menurut Roberth sapaan akrab wakil ketua dewan itu, bahwa persoalan menyangkut gedung DPRD Teluk Bintuni dari beberapa tahun APBD yang telah dianggarkan namun wujud gedungnya di lapangan belum ada. “Sehingga kami memulai investigasi permasalahan di DPRD sendiri terlebih dahulu. Sebenarnya kalau dilihat masa kerja DPRD yang sudah masuk dalam periode yang kedua kita tidak lagi menggunakan gedung seperti sekarang. Tetapi seharusnya kita sudah mempunyai gedung yang semewah gedung kantor Bupati sekarang. Namun kenyataannya sampai saat ini DPRD belum memiliki gedung yang refresentatif. Dan kami tidak bisa memprediksi penyebabnya apa sehingga sangat perlu dibuat Pansus untuk menyelediki hal itu,” papar wakil ketua I itu. 

Sementara masalah BP-Tangguh kata Roberth, Pansus akan fokus menyelidiki permasalahan tenaga kerja dan masalah PAD yang selama ini masyarakat sudah tahu pendapatan BP-Tangguh sangat besar dari hasil gas yang diperolehnya yang ada di Teluk Bintuni. “Namun kenyataannya PAD kabupaten Teluk Bintuni sebagai daerah penghasil gas masih nol,” tuturnya.
Lebih jauh wakil ketua I itu mengatakan, pada tanggal 25 Mei lalu anggota DPRD telah bersepakat membentuk Pansus dalam suatu rapat pleno. “Dan sesuai SK-nya, Pansus itu akan mulai bekerja pada hari Senin (30/5) 2011. Tujuan dibentuknya Pansus untuk menyediki persoalan-persoalan yang terjadi. Selanjutnya akan dibawa ke rapat pleno untuk selanjutnya DPRD akan mengambil langkah-langkah untuk ditindaklanjuti. Pansus diharapkan bekerja secepatnya sebelum sidang APBD Perubahan,” tandasnya.
Roberth menambahkan, apabila dalam temuan Pansus pembangunan gedung kantor DPRD terdapat anggotanya yang terlibat yang menyebabkan sampai saat ini belum ada wujud dari gedung kantor itu maka akan ditelusuri dan tidak pandang buluh. “Bukan berarti dia anggota dewan lantas aman. Tetapi kalau ada indikasi terlibat harus siap berhadapan dengan proses hukum dan harus bisa berjiwa besar kalau kesalahan itu muncul dari DPRD sendiri harus siap ambil resiko,” tegasnya.

Wakil ketua I itu juga memaparkan, kalau dilihat dari proses pembangunan gedung DPRD kenyataannya dilapangan dari proses pembangunan gedung sudah pindah lokasi 2 (dua) kali yaitu dilokasi pertama pembangunannya gagal. “Dan sekarang di lokasi kedua ini juga pembangunannya selama 3 (tiga) tahun bila dilihat dari struktur tanah yang ada di sana apa mungkin gedung itu akan berdiri. Kami sudah berkoordinasi dengan Bupati, mana yang lebih efesien setelah dihitung-hitung apa lokasi yang sekarang ataukah lokasi itu dipindahkan ke lokasi baru. Apabila dilihat lokasi baru nantinya lebih efisien dari segi biaya apa tidak menyalahi aturan kalau dipindahkan. Hal inilah yang diselidiki Pansus DPRD,” urainya.
Tahun 2011, kata Roberth, DPRD telah menganggarkan dana sebesar 10 (sepuluh) milyar dalam APBD Teluk Bintuni untuk pembangunan gedung. “Namun pembangunan gedung itu belum dilaksanakan sebab masih menunggu hasil Pansus ini,” ungkapnya.

Sesuai informasi yang didaptkan media ini Pansus yang menangani gedung DPRD diketuai Romelus Tatuta. Sedangkan Pansus yang menyelidiki persoalan di BP-Tangguh diketuai Muaram Fiawe.(muris, penulis majalah warta teluk)

Kepada pembaca yang terhormat, Saran dan kritikan yang membangun sangat kami harapkan. Makasih

Dewan Kehormatan Demokrat Awasi Nazaruddin


MINGGU, 12 JUNI 2011 | 06:31 WIB

TEMPO InteraktifJakarta: Sekretaris Dewan Kehormatan Partai Demokrat Amir Syamsuddin menyatakan partainya serius memantau keseriusan Muhammad Nazaruddin dalam pemeriksaan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.

"Seperti yang dia (Nazaruddin) janjikan kepada Ketua Umum (Anas Urbaningrum) dan Ketua Dewan Pembina (Presiden Susilo Bambang Yudhoyono) bahwa dia menjamin akan patuh (terhadap panggilan KPK)," kata Amir kemarin. "Seharusnya Nazaruddin berusaha maksimal memenuhi panggilan KPK."

Pengacara senior ini menjelaskan, eskalasi pemberitaan yang tinggi mengenai kasus-kasus yang diduga melibatkan bekas Bendahara Umum Demokrat itu membuat Dewan Kehormatan serius memperhatikan sikap Nazaruddin. Dewan Kehormatan berisi Presiden Yudhoyono (ketua), Anas Urbaningrum (wakil ketua), Amir (sekretaris), serta E.E. Mangindaan dan Jero Wacik (anggota).

Nazaruddin dan istrinya, Neneng Sriwahyuni, terbang ke Singapura pada 23 Mei lalu, sehari sebelum Nazaruddin dilarang ke luar negeri selama setahun oleh Imigrasi. Adapun Neneng dicegah sejak 31 Mei lalu. Keduanya mangkir dari panggilan KPK pada Jumat lalu.

Nazaruddin mestinya dimintai keterangan dalam penyelidikan dugaan korupsi Rp 142 miliar di Kementerian Pendidikan Nasional pada 2007. Adapun Neneng adalah saksi kasus korupsi anggaran 2008 dalam proyek pengadaan pembangkit listrik tenaga surya dan supervisi pembangkit listrik di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

Penyidik KPK akan memeriksa Nazaruddin besok sebagai saksi dalam kasus suap Rp 3,2 miliar terkait dengan proyek wisma atlet SEA Games XXVI di Palembang, Sumatera Selatan. KPK telah menetapkan tiga tersangka, yakni Mindo Rosalina Manulang sebagai petinggi PT Anak Negeri; Wafid Muharam, Sekretaris Jenderal Kementerian Pemuda dan Olahraga; serta Muhammad El Idris, petinggi PT Duta Graha Indah. Rosalina pernah menyebutkan Nazaruddin memerintahkan mengatur success fee tender proyek. Tapi keterangan yang disampaikan kepada penyidik itu dicabut.

Juru bicara Presiden, Julian Aldrin Pasha, membantah kabar Presiden Yudhoyono marah karena Nazaruddin mangkir di KPK. Menurut dia, Presiden mempercayakan sepenuhnya kepada KPK.

Ketua Departemen Perencanaan Pembangunan Nasional Demokrat Kastorius Sinaga menyayangkan ketidakhadiran Nazaruddin. Menurut dia, anggota Komisi Energi DPR itu bisa dikenai sanksi oleh Dewan Kehormatan jika mangkir lagi. Pasal 7 Anggaran Dasar Demokrat menyebutkan Dewan Kehormatan berwenang memproses dan menjatuhkan sanksi, mulai peringatan hingga pemecatan sebagai anggota partai. Ketidakhadiran Nazaruddin di KPK dinilainya mencoreng citra partai.

Sebelumnya, Nazaruddin diberhentikan sementara dari jabatan bendahara umum karena melanggar etika akibat tersangkut sejumlah kasus.

Hendardi, Ketua Badan Pengurus Setara Institute, menilai Demokrat memproteksi Nazaruddin dengan mengizinkan Nazaruddin berobat ke Singapura. Ia pun menilai KPK lamban jika mengusut petinggi Demokrat.

KPK yakin Nazaruddin akan menghadiri pemeriksaan besok. "Sebagai anggota Dewan yang terhormat, beliau pasti akan kooperatif," ujar Wakil Ketua KPK Muhammad Jasin kemarin.