Minggu, 30 Oktober 2011

KEGIATAN INDUSTRI SKALA INTERNASIONAL & NASIONAL SUDAH MENGKHIANATI ADAT DAN MASYARAKAT PRIBUMI PAPUA

Faktor penyebab situasi di Papua terus memanas sudah barang tentu sangat kompleks. Lebih dari sekadar konflik politik, berbagai bentuk kericuhan yang terus meletup di Papua sesungguhnya adalah imbas kekeliruan dalam memilih strategi pembangunan dan penerapan model pendekatan keamanan yang cenderung bersifat represif.

Terlepas dari siapa yang menjadi dalang dan patut dipersalahkan atas berbagai kericuhan di Papua, inti munculnya keresahan dan resistansi sosial di Papua adalah penolakan terhadap kebijakan pembangunan yang mengabaikan keberadaan masyarakat lokal. Pembangunan yang bersifat sentralistis dan dipaksakan dari atas tidak hanya melahirkan perubahan pada tradisi, tercabiknya nilai-nilai spiritual, perubahan pada pola mata pencaharian penduduk, tetapi juga mengakibatkan terjadinya kesenjangan sosial dan perampasan hak-hak adat masyarakat lokal.

Dalam rangka kembali menuntut hak-hak mereka itulah, akhirnya di kalangan masyarakat Papua tidak hanya terjadi protes sosial, tetapi juga lahir gerakan sosial yang berkepanjangan.
Sebagai sebuah daerah pedalaman yang resah karena dihela industrialisasi dan pembangunan yang lebih mementingkan produksi, salah satu konsekuensi yang tak terhindarkan untuk muncul di Papua adalah berbagai bentuk perlawanan, ancaman terhadap stabilitas, bahkan teror.

Di wilayah Papua, sudah menjadi keresahan umum masyarakat pedalaman, ketika industrialisasi mulai merambah ke sana, yang namanya tanah adat dan tanah milik penduduk lokal sering kemudian dikorbankan untuk kepentingan yang bersifat ekstraktif atau kepentingan orang-orang yang datang dari luar daerah.

Secara teoretis, proses industrialisasi yang merambah tanah adat serta kebijaksanaan pembangunan yang lahir dan serba dikendalikan oleh negara niscaya tidak cuma menelikung pranata-pranata komunitas masyarakat pedalaman, tetapi dalam banyak kasus juga makin menambah beban kemelaratan penduduk lokal yang marginal, bahkan mengakibatkan merebaknya polarisasi sosial di kalangan penduduk asli dan para pendatang.

Pendek kata, sepanjang kegiatan pembangunan dan industrialisasi yang berlangsung di Papua tidak berusaha mengembangkan mekanisme redistribusi aset atau pembagian kembali sebagian keuntungan untuk kepentingan pengembangan SDM penduduk setempat secara sungguh-sungguh, sepanjang itu pula akan senantiasa muncul resistansi dan kericuhan.

Selama ini, banyak bukti menunjukkan bahwa kegiatan industrialisasi yang semata-mata mementingkan kepentingan produksi dan tujuan komersial tidak saja mengakibatkan berkembangnya kecemburuan sosial masyarakat lokal, tetapi juga melahirkan tekanan-tekanan yang bersifat struktural. Bisa dibayangkan apa jadinya jika sebuah dunia usaha dibangun sedemikian gigantik, tetapi ternyata di sekitar mereka penduduk lokal masih hidup dengan cara mengais-ngais kemiskinan dan menjadi pesakitan di tanah kelahiran sendiri.

Di berbagai daerah di Papua, sudah sering terjadi kegiatan industrialisasi yang pongah justru melahirkan potensi pergesekan, bahkan konflik terbuka, antara penduduk setempat dan kekuatan komersial yang mengeksploitasi sumber daya alam setempat. Di kawasan Papua yang kaya akan sumber daya laut dan tambang, sering terjadi permasalahan yang dihadapi penduduk setempat adalah adanya intervensi berbagai perusahaan komersial yang sangat mengganggu keamanan sumber pangan penduduk lokal.

Pembangunan dan industrialisasi di Papua harus diakui telah melahirkan sejumlah dilema. Di satu sisi, industrialisasi diharapkan dapat menjadi jalan keluar serta pintu terobosan untuk mempercepat upaya penanggulangan kemiskinan dan keterbelakangan masyarakat Papua. Tetapi, di sisi lain, industrialisasi dan investasi berbagai kekuatan komersial, ternyata, sering malah melahirkan marginalisasi dan kerusakan ekologis serta tidak berkesesuaian dengan kebutuhan masyarakat lokal. Lantas, apa sebetulnya yang harus dikembangkan agar pembangunan di Papua tidak salah arah?

Pada era Orde Baru, ketika pemerintah mencanangkan program yang disebut ”kebijakan ke arah timur”, yang bertujuan mendorong investasi di wilayah Indonesia bagian timur, sejak itu pula arus investasi yang masuk ke wilayah Papua mulai meningkat pesat. Sejumlah perusahaan di bidang perkayuan, perikanan, pertanian, dan pertambangan mulai melirik Papua. Sebab, potensi sumber daya alam di kawasan itu memang menjanjikan.

Dari segi investasi untuk kepentingan negara, perubahan dan modernisasi yang merambah wilayah Papua, termasuk imbas berupa munculnya berbagai kericuhan dan resistansi penduduk lokal, barangkali dipahami sebagai konsekuensi yang tidak terhindarkan. Tetapi, untuk memastikan agar arah perubahan dan pembangunan yang berlangsung di Papua tidak terperosok menjadi kolonialisasi model baru yang merugikan kepentingan penduduk setempat, mau tidak mau harus dilakukan rekonstruksi paradigma pembangunan secara mendasar.

Membangun sebuah wilayah –dan bagaimana menghargai masyarakat lokal di Papua– tidaklah cukup hanya dilakukan dengan cara memberikan ganti rugi material semata secara karitatif melalui program CSR atau kompensasi politik dalam bentuk pemberian otonomi daerah. Bagaimanapun, menghargai dan menempatkan hak-hak masyarakat lokal secara proporsional dan adil serta menempatkan mereka sebagai tuan di tanah kelahiran sendiri adalah kunci untuk mempersiapkan masa depan Papua ke arah yang lebih bermartabat.

RUDY KARETJI
DIREKTUR EKSEKUTIF
KOMITE RAKYAT ANTI KORUPSI INDONESIA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar