Jumat, 22 Juli 2011

HASRAT KORUPSI

SETIAP kita dianugerahi potensi menjadi baik atau buruk, dengan otoritas sepenuhnya pada diri kita sendiri hendak memanfaatkan yang mana; apakah cukup salah satu potensi saja atau malah kombinasi keduanya. Orang bisa tampak baik di hadapan orang lain meski sejatinya ia buruk sekali. Tampil manis di muka umum demi menutup wajah bopeng yang tersembunyi di balik topeng.
Sebab hidup adalah pilihan. Sepanjang pilihan itu diputuskan dalam kesadaran lahiriah sebagai makhluk berakal, maka manusia tak bisa mengelak dengan dalih, katakanlah, berlaku jahat di luar kesadaran. Atau, yang sering kita dengar, terpaksa melakukan kejahatan. Dipaksa oleh siapa? Bagaimana kalau yang memaksa adalah hasrat dalam diri? Bisakah tetap disebut sebagai terpaksa ?
Meski memiliki potensi kebaikan sekaligus keburukan, manusia tetap mendapat kuasa untuk menentukan hasrat mana yang harus dipenuhi. Para penganjur hidup lurus kerap menyebutnya sebagai pengendalian hawa nafsu. Semacam usaha mengatur keseimbangan antara kewajiban berbuat baik dan keharusan mengabaikan perbuatan buruk. Dan ini adalah pekerjaan sehari-hari, karena dalam hal apa pun hidup memang menghadapkan kita pada, selalu saja, pilihan-pilihan dengan implikasi yang bisa positif bisa pula negatif.
Jangankan urusan seserius surga-neraka, untuk pilihan apakah kita hendak selamat di akhirat kelak dan untuk itu harus banyak-banyak beramal saleh, atau cuek saja dengan nasib hari akhir sehingga menjalani hidup suka-suka, bahkan yang seolah sepele seperti sarapan pagi pun kita harus memutuskan sebuah pilihan. Memutuskan sarapan atau tidak sarapan sudah satu soal. Setelah itu, kita masih harus menentukan pilihan lain lagi; sarapan apa, di mana, dengan siapa, porsinya seberapa dan sebagainya, dan seterusnya.
Maka, memenuhi sebuah hasrat atau mengabaikannya adalah pilihan, dan kita dipercaya menjadi panglima atas diri kita sendiri; kita yang menentukan menjadi baik atau buruk hidup kita.
***
Saya termasuk percaya bahwa korupsi, entah sebagai budaya maupun penyakit, adalah buah dari manajemen hasrat yang salah pada sebagian kita. Betapa sang panglima tak sanggup menolak hasrat berbuat jahat, bahkan meskipun latar belakang agama dan pendidikan sudah begitu kuatnya. Mau bukti? Tengoklah nama-nama koruptor yang divonis bersalah belakangan ini. Mereka bukan saja tampil alim sehari-hari, tetapi juga bergelar doktor dan profesor.
Penghuni penjara bukan lagi melulu pelaku kriminal berwajah beringas dengan tubuh penuh tato, yang sepanjang hidupnya mungkin tak pernah mendengar ceramah agama dan mengenyam pendidikan, tetapi juga orang-orang terhormat yang selama ini diciumi tangan dan kakinya, dipuja-puja sebagai raja, dihormati karena cendikia, dielu-elukan seakan-akan begitu sempurna dan mulia. Yang menyedihkan, mereka bukan dipenjara karena harus membela kebenaran atau melawan kebatilan, seperti kisah-kisah heroik yang biasa kita dengar. Mereka dipenjara karena korupsi duit rakyat.
Dalam kasus pejabat-pejabat yang terlibat penilepan uang negara, hasrat untuk korupsi mungkin terlalu dominan sehingga bukan saja mengalahkan hasrat mengabdi dan berbuat baik bagi rakyat, tetapi juga menenggelamkan keinginan berlaku jujur. Hebatnya, selalu saja ada dalih untuk membenarkan setiap perbuatan, meskipun dalih itu harus dibuat-buat dan diliputi kebohongan. Dosanya pun menjadi ganda; sudah korupsi, berbohong pula.
Hukum di republik ini memang masih sangat toleran terhadap perbuatan korupsi. Selain vonis penjara bagi koruptor sering lebih ringan dibandingkan kejahatan jenis apapun, termasuk sekelas maling ayam, ukuran korup atau tidak korup pun sebenarnya hanya sebatas hukum administratif saja. Orang dituduh korupsi ketika secara administratif pertanggungjawaban uang yang dipakainya bermasalah. Kalau administrasi beres, ya no problem, meskipun sebenarnya korupsi juga.
Penanganan kasus-kasus korupsi selama ini belum menyentuh asas moralitas dan kepatutan, karena mengukurnya memang sulit. Artinya, para pejabat kita sebenarnya boleh memakan uang rakyat, sepanjang administrasinya lengkap dan tak kedapatan melanggar undang-undang. Siapapun dipersilakan korupsi selama uang yang dikorupsi itu mendapat legitimasi hukum, dan karena itu berstatus legal. Hahaha, korupsi yang legal, begitulah. Masalah patut dan tak patut biar jadi urusan dengan Tuhan.
Itu sebabnya kita hanya bisa geleng-geleng kepala menyaksikan betapa pejabat-pejabat publik kita kaya raya. Untuk ukuran camat dan kepala desa saja banyak yang tampak sangat berkecukupan, terutama bila pembandingnya adalah masyarakat kebanyakan yang konon mereka urusi dan ayomi.
Kepala-kepala dinas, kepala kantor, kepala badan, orang-orang berdasi di pemerintahan, sudah kaya-kaya. Jangan tanya sekelas bupati, karena ada bupati di Kaltim yang saking kayanya bisa menitip uang pengembalianRp 34 miliar lebih untuk pengganti uang yang dituduhkan telah dikorupsinya. Itu sebabnya, jangan kaget bila pejabat-pejabat yang divonis penjara karena korupsi, masih tetap kaya raya setelah bebas kelak, meskipun sebagian hartanya sudah dikuras untuk membayar ganti kerugian negara.
Fakta ini membuat banyak anak muda kita akhirnya tergiur juga jadi pegawai negeri, dengan harapan kelak kariernya bagus dan bisa naik kelas jadi pejabat. Atau melibatkan diri ke partai politik sambil menyusur jalan menuju jaminan hidup mapan di masa depan. Di jalur politik ini karier malah bisa melompat-lompat di luar dugaan. Misalnya, ada yang baru dua tahun jadi wakil rakyat, sudah mengoleksi beberapa mobil mewah dan rumah mentereng, padahal sebelum jadi anggota legislatif ke mana-mana pakai sepeda motor dan tinggal di rumah kontrakan. Bukan hendak tampil sederhana, tapi karena waktu itu memang masih tak punya apa-apa.
***
Mari kita bikin hitung-hitungan sederhana. Gaji tertinggi seorang bupati paling banter Rp 15 juta sebulan (sangat mungkin lebih kecil dari ini). Ditambah tunjangan ini-itu, ya kira-kira bisa menjadi Rp 50 juta sebulan. Ini sungguh pendapatan resmi. Kalau kita tambahkan pendapatan tidak resmi maksimal 10 kali lipatnya saja, ketemu angka Rp 500 juta sebulan. Wow, besar sekali? Nanti dulu. Mari kita tengok hitung-hitungan berikutnya.
Untuk jadi bupati dalam sebuah pemilihan langsung, sudah lazim istilah menyewa perahu agar diusung partai politik. Semacam mahar untuk sebuah lamaran. Tarifnya bervariasi. Tetapi dari cerita-cerita yang beredar selama ini, angkanya tak kurang dari Rp 5 miliar. Proses sosialisasi dan kampanye memakan biaya tak kalah gede. Bisa dua kali lipat harga sewa perahu, kira-kira Rp 10 miliar. Total, Rp 15 miliar. Itu modal minimum saja, karena pengakuan beberapa kepala daerah, mereka menghabiskan uang lebih dari itu.
Lha, kalau pendapatan sebagai bupati hanya Rp 500 juta sebulan, maka perlu waktu 30 bulan untuk balik modal. Lebih separo masa jabatan. Itu dengan catatan Rp 500 juta itu dipakai untukbalikin modal semuanya. Jadi, bahkan setelah ditambah pendapatan tak resmi pun, dalam logika apa saja, masih sulit mengembalikan Rp 15 miliar dalam waktu segera.
Nah, bayangkanlah kalau si bupati lurus-lurus saja, tanpa mencari pendapatan tak resmi. Dengan pendapatan maksimal Rp 50 juta sebulan, dia harus mengembalikan biaya Rp 15 miliar dalam waktu 5 tahun masa jabatan. Itu sama dengan Rp 3 miliar setiap tahun, atau Rp 250 juta setiap bulan. Hmm, katakanlah gaji resmi yang maksimal Rp 50 juta tadi semuanya dipakai untuk mencicil pengembalian modal, dari mana nombokin kekurangan Rp 200 juta per bulan? Apa iya ada yang masih mau jadi bupati kalau bakal nombok begini?
Hebatnya, entah cari modal dari mana, ada kepala daerah yang belum habis masa jabatan, malah sudah bersiap bertarung lagi dalam pilkada berikutnya, untuk jabatan yang lebih tinggi tentu saja. Kita lantas bertanya-tanya, apa modal untuk pilkada sebelumnya sudah kembali? Lalu ke mana cari modal baru untuk pilkada yang baru? Iya kalau modalnya Rp 15 miliar. Kalau lebih? Untuk informasi kita-kita aja nih, modal maju jadi gubernur konon tak kurang dari Rp 30 miliar!
***
Beda antara korupsi dan tidak korupsi menjadi setipis kulit bawang, ketika yang kita bicarakan adalah hukum administrasi dan legalitas penggunaan uang negara. Tetapi bila perbincangannya masuk pada ihwal etika, moral dan kepatutan, maka rasanya sulit menghindarkan kecurigaan kita bahwa pejabat publik yang kaya-kaya itu sebenarnya koruptor semua.
Mereka bukan pewaris harta dari moyang yang kaya, bukan pula penemu harta karun seperti kisah dalam dongeng-dongeng petualangan. Mereka juga tak dikenal sebagai pemilik perusahaan atau ahli niaga. Hidup mereka selama ini sangat bergantung pada pekerjaan sebagai abdi rakyat. Dari mana duit menumpuk kalau bukan karena keberadaan mereka di lembaga pemerintah? Apa iya bisa kaya tanpa korupsi?
Entahlah. Anggap saja ini pertanyaan ceroboh dari seorang rakyat yang mau tau urusan pejabat. Atau lazimnya kecemburuan orang miskin kepada orang kaya. Bahwa korupsi memang (masih dan terus) terjadi di mana-mana, dan republik ini tetap betah saja berada di urutan atas negara-negara terkorup di dunia, begitulah faktanya. Seorang kawan dengan enteng berujar kepada saya,… hasrat korupsi ada pada setiap kita. Kalau kamu jadi pejabat dan kesempatannya ada, kamu mungkin akan korupsi juga.
Hahaha, saya tertawa, kemudian berdoa: kalau begitu, Ya Allah, jangan pernah berikan kesempatan itu

salam
Rudy Karetji

KOMITE RAKYAT ANTI KORUPSI INDONESIA: Kartini dan Perjuangan Anti Korupsi

KOMITE RAKYAT ANTI KORUPSI INDONESIA: Kartini dan Perjuangan Anti Korupsi: "Kondisi kekinian Indonesia sungguh sangat menyedihkan, dimana kasus korupsi sudah mendarah daging bahkan sudah menjadi budaya dan telah mero..."

Kartini dan Perjuangan Anti Korupsi

Kondisi kekinian Indonesia sungguh sangat menyedihkan, dimana kasus korupsi sudah mendarah daging bahkan sudah menjadi budaya dan telah merongrong semua sendi kehidupan. Dan di tengah hiruk pikuk kasus-kasus korupsi yang menyengsarakan hampir semua lapisan masyarakat ini, sungguh ironis jika perempuan Indonesia yang notabene mengemban amanah perjuangan Kartini justru seakan menjadi bunga di tengah-tengahnya.

Tengoklah kaus Nunun Nurbaiti yang dituduh sebagai otak pemberi cek pelawat kepada sejumlah anggota DPR pada kasus Mirandagate, karena dia kabarnya sakit sehingga KPK tidak mampu mendatangkanya walau para penerima cek pelawatnya telah dan sedang diadili. Juga ulah Artalita Suryani alias Ayin, sang narapidana penyuap jaksa Urip Tri Gunawan yang menyulap kamar tahananya di Rutan Perempuan Pondok Bambu Jakarta Timur menjadi kamar mewah bak kamar hotel bintang lima. Dan bulan lalu kita dibuat terheran-heran dengan ulah si pembobol City bank, yakni Inong Melinda Dee yang berhasil menggangsir puluhan milyar rupiah dari para nasabah kakapnya.

Kasus – kasus tersebut di atas semestinya tidak perlu terjadi jika para perempuan Indonesia yang sejatinya menjadi pengemban perjuangan emansipasi yang digelorakan oleh Kartini bisa mengambil pelajaran berharga yang diperjuangkannya. Yakni mereka bisa merefleksikan perjuangan Kartini yakni emansipasi di bidang pendidikan menjadi perjuangan emansipasi di segala bidang.
Karena pada prinsipnya menurut Yesmil Anwar dari Universitas Padjajaran Bandung (2010) bahwa perjuangan Kartini yang terekam dalam buku Habis Gelap Terbitlah Terang yang berisikan kumpulan surat Kartini seorang putri Bupati Jepara kepada sahabat penanya yang warga negara Belanda, perempuan kulit putih, Nona Abendanon adalah berisi tentang perempuan Indonesia yang harus memiliki kebebasan (liberty), kesamaan (equality) dan persaudaraan (fraternity) di dalam kehidupannya.

Perjuangan Kartini akan pentingnya perempuan indonesia bisa mengeyam pendidikan setara dengan kaum pria tersebut, kiranya patut dikenang dan dijadikan motivator, inspirator dan pencambuk untuk terus memperjuangkan kesetaraan gender di semua bidang kehidupan. Tidak hanya dalam bidang pendidikan, namun juga bisa dalm bidang politik, sosial ekonomi, budaya, kesehatan, dan bahkan dalam bidang pemberantasan korupsi serta penegakan hukum.
Di bidang perjuangan anti korupsi, sejauh manakah peranan perempuan dalam kasus pemberantasan korupsi di Indonesia? Bisakah kaum perempuan menempatkan dirinya di lini terdepan dalam kampanye pemberantasan korupsi dan juga kampanye tentang pentingnya pendidikan anti korupsi?.

Karena pemberantasan korupsi di Indonesia selama ini dilakukan dan dipandang dari perspektif laki-laki saja. Dalam pemberantasan korupsi di masyarakat selama ini tidak terdapat klausul yang menyertakan perempuan sebagai bagian dari masyarakat yang mestinya juga punya peran yang sama atau bahkan lebih besar dengan kaum laki-laki dalam pemberantasan korupsi.

Mengangkat isu perempuan dalam pemberantasan korupsi patut untuk dicermati secara serius ketika melihat bahwa pemberantasan korupsi selama ini tak pernah terselesaikan secara mendasar. Korupsi di Indonesia sudah menjadi sebuah sistem budaya yang dianggap sah dan wajar-wajar saja, dan bahkan ada masyarakat yang mengapresiasi jika ada pejabat yang menjadi kaya mendadak walau hal itu didapat dari cara korupsi. Oleh karena itu penyelesaian secara mendasar atas korupsi mesti menyentuh sampai pada ranah budaya pula.

Pendekatan pemberantasan korupsi selama ini hanya mendapatkan kasus-kasus korupsi kecil dan itupun hanya mendapatkan koruptor untuk diadili dan diminta mengembalikan dana yang digangsirnya, belum sampai menjadikan paradigma antikorupsi sebagai budaya positif di masyarakat. Oleh karena itu sudah semestinya upaya pemberantasan korupsi secara preventif tak sekadar kampanye bagi-bagi buku panduan anti korupsi, stiker, pin, pamflet, dan sekian banyak seminar serta pelatihan antikorupsi, tetapi juga mengupayakan pembudayaan anti korupsi.

Untuk itu partisipasi aktif kaum Kartini dalam pemberantasan korupsi di negeri ini sangat sekali diperlukan, yakni pertama adalah peran kaum Kartini dalam pendidikan anti korupsi.

Proses pembudayaan anti korupsi yang paling ampuh adalah lewat pendidikan, utamanya pendidikan dalam keluarga. Lewat pendidikan dalam keluarga pada masa usia emas anak-anak sangat perlu diajarkan tentang pendidikan anti korupsi. Karena pada usia emas tersebut sangat tepat untuk membentuk karakter dan kepribadian seorang anak manusia. Di keluarga inilah kaum Kartini menempati posisi strategis sebagai guru yang sempurna.

Seorang yang sempurna karena tak sekadar memberikan pembelajaran hidup secara cuma-cuma nan ikhlas, tapi juga secara otomatis mempunyai ikatan emosional seorang Ibu pada anaknya, yang sudah pasti pendidikan yang diberikan dilandasi oleh rasa cinta nan tulus dan ihlas.

Posisi kaum Kartini inilah yang jarang disadari begitu strategis untuk menanamkan dan membudayakan antikorupsi sejak dini pada anak-anak mereka. Dengan menanamkan nilai-nilai antikorupsi sejak dini tersebut, pada hakikatnya merupakan upaya pemberantasan korupsi secara mendasar sampai pada upaya membangun modal budaya dan budaya baru yang antikorupsi.

Memang hal ini takkan dapat dirasakan sekarang, tapi efeknya adalah dalam jangka panjang ketika anak-anak tersebut sudah besar dan mengambil peran sosial serta berada pada institusi sosial tertentu untuk secara bersama meruntuhkan sistem budaya korup.

Peran kedua kaum Kartini dalam pemberantasan korupsi adalah menjadi motivator kepada para suami untuk tidak tergiur melakukan korupsi. Peran penting tersebut dalam upaya mencegah korupsi tak sekadar dalam urusan keuangan keluarga tapi juga dengan posisinya sebagai pendamping, motivator, dan orang yang paling berperan di balik “kesuksesan” suami.

Pameo bahwa di balik kesuksesan seorang laki-laki ada seorang perempuan banyak terbukti, karena riwayat sukses suami dalam pekerjaan kebanyakan karena ia tak terlalu terbebani memikirkan urusan domestik yang sudah dapat ditangani istrinya dengan baik. Sebaliknya (walaupun hal ini dalam perspektif gender) harus diakui bahwa pekerjaan suami juga dapat gagal bahkan tersandung korupsi karena istri gagal menangani urusan domestik rumahtangga.

Dengan konsep tersebut, maka perempuan dalam rumahtangga di Indonesia tak sekadar dapat berperan dalam menanamkan nilai-nilai antikorupsi pada anak-anaknya saja, lebih dari itu mereka dapat berperan mencegah suami berbuat korupsi dengan menunjukkan empati, kasih sayang, dan pengurusan rumahtangga secara bersama-sama dengan baik.

Pengikutsertaan perempuan dalam mengatasi korupsi ini memang lebih bersifat substansial karena posisi strategisnya yang jarang diakui dalam bingkai budaya patriarki, oleh karenanya konsep ini merupakan pendekatan kultural melalui institusi sosial terkecil dari masyarakat, yaitu keluarga berdasarkan pada hakikat pendidikan sebagai proses pembudayaan yang utama. Oleh karena itu, secara praksis diperlukan penjabaran prosedural untuk mengkampanyekan pendekatan ini.

Peran ketiga adalah membuat gerakan anti korupsi yang meliputi para kaum Kartini baik di parlemen, pemerintahan, perusahaan-perusahaan maupun di tengah-tengah masyarakat.

Agenda gerakan ini bisa digelorakan oleh para kaum Kartini yang menduduki posisi strategis di parlemen (DPR) ataupun di DPRD-DPRD, maupun yang menduduki jabatan strategis di jajaran eksekutif pemerintahan dan perusahaan-perusahaan. Dan bahkan para ibu rumahtanggapun bisa berperan serta untuk menggelorakannya, misalnya dalam forum – forum arisan, majlis ta’lim, PKK, dan lainnya sebagainya. Ini semua merupakan institusi sosial yang bagus untuk memulai pendekatan kultural berperspektif gender dalam pemberantasan korupsi ini.

Gerakan ini berisikan penyadaran tentang pentingnya penanaman pendidikan anti korupsi kepada anak-anak sejak usia dini oleh para orang tua. Juga berisi ajakan untuk tidak melakukan tindakan yang bersifat koruptif baik di instansi resmi maupun di rumah. Dan yang terpenting adalah mengisi dengan nilai-nilai ke-Kartini-an kepada setiap jabatan-jabatan publik yang diemban oleh para kaum Kartini. Sehingga dengan terjiwai oleh nilai Kartini diharapkan kaum perempuan yang menduduki jabatan-jabatan publik tersebut tidak akan terperosok kedalam tindakan korupsi.

Peran keempat adalah mendorong pemerintah untuk memasukkan pelajaran anti korupsi di dalam kurikulum pendidikan nasioanal. Dengan dimasukkanya dalam kurikulum pendidikan nasional, maka diharapkan dalam semua jenjang pendidikan dimulai dari usia emas di rumah sampai jenjang pendidikan formal tingkat sekolah lanjutan pendidikan anti korupsi selalu ditanamkan. Sehingga diharapkan nantinya budaya anti korupsi akan menjadi sistem budaya yang benar-benar meresap dan diaplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat.

saya yakin jika keempat peran yang dilakukan oleh para Kartini masa kini seperti yang dipaparkan diatas dilaksanakan dan mendapat dukungan penuh dari masyarakat, maka budaya korupsi di negeri tercinta ini perlahan tapi pasti akan sirna dan anti korupsi akan menjadi sistem budaya baru yang sangat seksi dan digemari oleh segenap lapisan masyarakat negeri ini. Untuk itu perjuangan anti korupsi yang dilakukan oleh kaum Kartini sangatlah perlu diinisiasi, dikampanyekan dan didukung.

Salam
Rudy Karetji

Kamis, 21 Juli 2011

KOMITE RAKYAT ANTI KORUPSI INDONESIA: KOMISI ANTI KORUPSI DI NEGERI SARAT KORUPSI DAN BI...

KOMITE RAKYAT ANTI KORUPSI INDONESIA: KOMISI ANTI KORUPSI DI NEGERI SARAT KORUPSI DAN BI...: "Kami Para Koruptor Indonesia Berbangsa Satu Bangsa yang Gandrung Korupsi Kami Para Koruptor Indonesia Berbahasa Satu Bahasa Kongkalikon..."

KOMISI ANTI KORUPSI DI NEGERI SARAT KORUPSI DAN BIROKRASI SERBA “KOMISI”

Kami Para Koruptor Indonesia
Berbangsa Satu
Bangsa yang Gandrung Korupsi
Kami Para Koruptor Indonesia
Berbahasa Satu
Bahasa Kongkalikong
Kami Para Koruptor Indonesia
Bertanah Air Satu
Tanah Air Korupsi Tanpa Henti

(bait diatas disajikan khusus oleh para koruptor Indonesia yang telah membai’at dirinya untuk tak henti menggerogoti perekonomian Negara hingga negeri ini bangkrut dan agar terus juara sebagai Negara paling korup di Dunia).

Membaca bait diatas seakan penggambaran bagaimana korupsi sudah tidak lagi dilakukan secara tersembunyi tapi sudah menjadi kultur birokrasi. Timbul pertanyaan dalam benak saya, apakah ya bahwa kultur birokrasi sudah sangat dekat dengan korupsi atau bahkan sudah mendarah daging. Paling tidak pertanyaan yang sama akan lahir dalam benak pembaca ketika indeks persepsi korupsi di umumkan, dimana Indonesia menduduki peringkat yang buruk dalam pengumuman tentang indeks persepsi korupsi di berbagai Negara oleh Transparency International. Dan berdasarkan penelitian Political and Economic Risk Consultancy (PERC) tahun 1997, Indonesia menempati posisi sebagai Negara terkorup di Asia. Namun pada tahun 2001, posisi Indonesia terkoreksi menjadi peringkat 2 sebagai Negara terkorup di Asia setelah Vietnam.
Dan menurit The World Justice Project, melansir peringkat supremasi hukum Indonesia di dunia tercatat dalam peringkat 47. Hal ini disebutkan dalam sebuah survei yang dilakukan oleh The World Justice Project.

Berbicara tentang korupsi seakan bicara tentang wabah penyakit masyarakat yang kian hari kian meluas cakupannya. Dalam hal ini korupsi tidak saja melingkupi pejabat public yang menyalahgunakan kekuasaannya, namun setiap orang yang menyalahgunakan kedudukan atau kemampuannya untuk memperoleh uang dengan cara yang tidak baik, ataupun bicara tentang setiap orang yang memiliki keterkaitan akan keberlangsungan proses perolehan uang dengan cara yang tidak halal dan baik. Betapa tidak bila semua orang bersikap tindak untuk proses yang cepat dalam jalur administrasi di birokrasi dengan berbagai cara, termasuk menyuap atau menggunakan alat bantu lain sebagai “komisi” atas jasa percepatan birokrasi yang dilakukan. Perilaku pemberian komisi dalam berbagai bentuk sudah dianggap sebagai bagian dari kultur birokrasi yang sarat akan jalur administratif berbelit.

Salam Benci Buat Para Koruptor dan penegak hukum yang mau di suap !!!!!

KRAK INDONESIA
RUDY KARETJI

KOMITE RAKYAT ANTI KORUPSI INDONESIA: 37 KASUS TERBENGKALAI DI ACEH

KOMITE RAKYAT ANTI KORUPSI INDONESIA: 37 KASUS TERBENGKALAI DI ACEH: "KRAK INDONESIA mencatat ada 37 kasus indikasi tindak pidana korupsi di Aceh belum ditangani penegak hukum. Mereka (Polisi dan Kejaksaan) seg..."

37 KASUS TERBENGKALAI DI ACEH

KRAK INDONESIA mencatat ada 37 kasus indikasi tindak pidana korupsi di Aceh belum ditangani penegak hukum. Mereka (Polisi dan Kejaksaan) segera menuntaskan kasus yang berpotensi merugikan negara hingga Rp 331 milyar.

Direktur eksekutif KRAK Indonesia Rudy Karetji mengatakan, kasus korupsi itu terjadi dalam kurun 2009 sampai 2010."Kami mendesak aparat hukum untuk menangani kasus-kasus yang masih terbengkalai ini,"

Kasus korupsi tersebut diantaranya kasus pada proyek Dana Alokasi Khusus (DAK) Dinas Pendidikan Bireun dengan sumber dana APBN 2010 dengan potensi kerugian negara Rp 19 milyar, kasus kas bon Bireun sumber dana APBK 2008 potensi kerugian negara Rp 26 milyar, dugaan penggelapan dana pemanfaatan dan bantuan sosial operasional desa siaga/pos kesehatan desa sumber dana DIPA 2009 potensi kerugian negara Rp 775 milyar.

Selanjutnya kasus indikasi korupsi pada pembangunan kebun sawit kopontren di Aceh Utara sumber dana APBK dan APBA 2009 berpotensi merugikan Negara Rp 2 milyar, dugaan penyaluran bantuan fiktif untuk Penguatan Ekonomi Rakyat (PER) di Aceh Utara melalui Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Sabe Meusampe yang merupakan bank milik Pemkab setempat dengan sumber dana dari APBK 2007 diperkirakan merugikan Negara Rp20 milyar.  

Deputi Eksekutif KRAK Indonesia Abdu RH Muhammad, S.Psi menjelaskan, Banda Aceh dan Lhokseumawe tercatat paling banyak melakukan pembiaran: masing-masing enam kasus. Disusul Aceh Utara empat kasus, Aceh Barat dan Bireun masing-masing tiga kasus. Aceh Tenggara, Nagan Raya dan Aceh Timur masing-masing dua kasus. Sedangkan Aceh Barat Daya, Aceh Besar, Aceh Singkil, Simeulu, Pidie Jaya, Aceh Tengah, Langsa, Bener Meriah dan Aceh Jaya masing-masing memiliki satu kasus korupsi yang masih mengambang, belum dituntaskan.

Sekretaris Eksekutif KRAK Indonesia, Aswin Suhendra, S.Hi mendesak penegak hukum untuk segera menuntaskan kasus korupsi yang masih mengambang itu. “Penegak hukum diminta jangan larut dalam eforia politik sehingga membuat penanganan kasus korupsi terkesampingkan"

Aswin Suhendra,S.Hi menilai selama ini penegak hukum belum sepenuhnya serius menuntaskan kasus-kasus korupsi, mengingat banyak kasus korupsi yang penyelesaiannya berlarut dan banyak juga terdakwa kasus korupsi divonis bebas.

KRAK Indonesia mencatat dalam kurun 2009 hingga 2010 sedikitnya 16 terdakwa korupsi divonis bebas oleh Pengadilan umum di Aceh. Padahal dari serangkaian kasus itu negara dirugikan hingga Rp 79,8 milyar.

Senin, 18 Juli 2011

KOMITE RAKYAT ANTI KORUPSI INDONESIA: BPK: Pemprov Papua Menyelewengkan Rp 4,2 Triliun

KOMITE RAKYAT ANTI KORUPSI INDONESIA: BPK: Pemprov Papua Menyelewengkan Rp 4,2 Triliun: "Jakarta: Badan Pemeriksa Keuangan menemukan penyelewengan dana Rp4,2 triliun di tubuh Pemerintah Provinsi Papua. Dana itu didepositokan dan..."

KOMITE RAKYAT ANTI KORUPSI INDONESIA: Daftar Temuan Penyimpangan Dana Otonomi Khusus Pap...

KOMITE RAKYAT ANTI KORUPSI INDONESIA: Daftar Temuan Penyimpangan Dana Otonomi Khusus Pap...: "Hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keungan (BPK) menemukan indikasi penyimpangan dana Otonomi Khusus Papua sejak tahun 2002 - 2020 yang telah..."

KOMITE RAKYAT ANTI KORUPSI INDONESIA: Polda Tangani 28 Perkara Korupsi di Papua Barat

KOMITE RAKYAT ANTI KORUPSI INDONESIA: Polda Tangani 28 Perkara Korupsi di Papua Barat: "MANOKWARI- Kepolsian Daerah (Polda) Papua, tengah menangani sedikitnya 28 kasus dugaan korupsi di lingkungan Pemprov Papua Barat. Kasus y..."

KOMITE RAKYAT ANTI KORUPSI INDONESIA: Kejati: Kejari Manokwari Berwenang Selidiki Korups...

KOMITE RAKYAT ANTI KORUPSI INDONESIA: Kejati: Kejari Manokwari Berwenang Selidiki Korups...: "MANOKWARI- Kepala Kejaksaan Tinggi (Kejati) Provinsi Papua dan Papua Barat, Leo Tolstoy R. T. Panjaitan, menegaskan, sesuai kebijakan dan a..."

KOMITE RAKYAT ANTI KORUPSI INDONESIA: Dana PNPM Mandiri-Respek ‘Disunat"

KOMITE RAKYAT ANTI KORUPSI INDONESIA: Dana PNPM Mandiri-Respek ‘Disunat": "MERAUKE -- Dana PNPM Mandiri-Respek untuk tahun anggaran (TA) 2009 lalu di Distrik Muting, Kabupaten Merauke, diduga ‘disunat’ oleh oleh okn..."

Dana PNPM Mandiri-Respek ‘Disunat"

MERAUKE -- Dana PNPM Mandiri-Respek untuk tahun anggaran (TA) 2009 lalu di Distrik Muting, Kabupaten Merauke, diduga ‘disunat’ oleh oleh oknum petugas T-PKK disana. Besarnya dana yang disalahgunakan mencapai kurang lebih Rp 20 juta untuk tahun 2009 lalu. Dana tersebut semestinya dimanfaatkan untuk pengadaan seng, namun tidak digunakan tepat sasaran.

Kepala Badan Pemberdayaan Kampung Kabupaten Merauke, Drs. Fredhy Talubun yang ditemui Papua Pos, kemarin, membenarkan adanya dugaan penyunatan dana dimaksud.Menurutnya, dengan mengacu kepada aturan yang berlaku, penyimpangan yang dilakukan oknum tersebut, harus diambil suatu tindakan tegas. Sekecil apapun uang yang disalahgunakan, bersangkutan harus ditindak tegas.

Perbuatan yang dilakukan, demikian Fredhy, sangat disayangkan. Karena sebelum kegiatan dijalankan dan atau dilaksanakan, telah berlangsung musyawarah distrik dan kampung. Semestinya penyimpangan tidak boleh terjadi seperti demikian. “Saya mengharapkan dukungan dan partisipasi dari aparat tingkat distrik maupun kampung untuk melakukan monitoring penggunaan dana PNPM Mandiri-Respek di kampung-kampung. Hal itu dilakukan untuk mengantisipasi jangan sampai adanya penyelewengan yang dilakukan oknum tak bertanggungjawab,” pintanya.
Dijelaskan, tujuan dari program PNPM Mandiri-Respek sangat baik untuk kepentingan banyak orang. Hanya saja, disalahgunakan oleh oknum tertentu dan secara tidak langsung telah merugikan masyarakat. Kedepan, katanya, akan dilakukan monitoring setiap dana PNPM Mandiri-Respek sehingga asas manfaat dapat dirasakan secara langsung oleh masyarakat. Selain itu juga, kualitas pekerjaan yang telah dibuat dan disepakati bersama, memberikan dampak positif bagi kelangsungan mereka di tingkat kampung.

Fredhy menambahkan, ada temuan dari Bank Dunia terhadap empat hal yakni menurunnya partisipasi masyarakat, semangat gotong royong, kualitas pekerjaan serta dana bergulir di setiap kampung bagi kaum perempuan yang diduga ada penyimpangan. Memang sampai sekarang belum diterima juga revisi DIPA tahun 2011. Meski begitu, berbagai kegiatan pendampingan baik di tingkat distrik maupun kampung-kampung tetap dijalankan. 

Kejati: Kejari Manokwari Berwenang Selidiki Korupsi di SKPD Provinsi

MANOKWARI- Kepala Kejaksaan Tinggi (Kejati) Provinsi Papua dan Papua Barat, Leo Tolstoy R. T. Panjaitan, menegaskan, sesuai kebijakan dan aturan baru, maka Kejaksaan Negeri Manokwari (Kajari) sudah bisa melakukan penyelidikan terkait kasus korupsi di Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Pemerintah Provinsi Papua Barat.

“Siapa bilang Kejaksaan Negeri tidak bisa melakukan penyelidikan korupsi di SKPD Provinsi, dulu memang iya. Tapi sekarang kebijakan itu sudah diganti,“ tegas Leo kepada wartawan saat kunker ke Manokwari pekan lalu.
Kata Leo, dalam penuntasan korupsi, kini tidak lagi menggunakan asas kesetaraan. Sebelumnya, memang dalam aturan diterangkan bahwa yang berwenang melakukan penyelidikan di SKPD tingkat provinsi adalah harus dari kejaksaan tinggi. Faktanya, tidak di semua Provinsi berdiri Kejaksaan Tinggi, sehingga kebijakan tersebut telah dirubah oleh Mahkamah Agung (MA).
“Ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan perubahan kebijakan Mahkamah Agung tersebut, pertama bahwa saat ini Provinsi Papua Barat belum ada kejaksaan tinggi, untuk itu atas kondisi tersebut kejaksaan negeri diberikan wewenang untuk melakukan penyelidikan,“ jelas Leo.
Sebab menurut Leo, jika Kejati harus turun ke Papua Barat, sudah barang tentu Mahkamah Agung harus menambahkan anggaran. Di sisi lain, faktor  waktu sangat menentukan dalam proses penyelidikan, karena sebuah proses penyelidikan akan banyak memakan waktu yang cukup lama, ditambah kondisi geografis Papua dan Papua Barat yang terlalu jauh.
Disinggung soal penanganan jumlah kasus yang harus diselesaikan dan menjadi target Kejati, Leo kembali menegaskan bahwa saat ini tidak lagi memberlakukan target yang harus diselesaikan, namun mulai saat ini mengedepankan optimalisasi penanganan kasus. “Semakin banyak kasus semakin baik,“ cetusnya.
Sementara itu, Kepala Kejaksaan Negeri Manokwari, Suparyono,SH yang dikonfirmasi belum lama ini membenarkan jika pihaknya telah siap melaksanakan kewenangan yang diberikan Kajati guna melakukan penyelidikan laporan indikasi penyalahgunaan anggaran di Pemprov Papua Barat. “Kami siap melaksanakan, dan kami akan segera melakukan investigasi terkait kemungkinan adanya indikasi korupsi di Pemprov Papua Barat,“ ungkapnya.

Polda Tangani 28 Perkara Korupsi di Papua Barat

MANOKWARI- Kepolsian Daerah (Polda) Papua, tengah menangani sedikitnya 28 kasus dugaan korupsi di lingkungan Pemprov Papua Barat. Kasus yang ditangani penyidik Polda Papua umumnya, LPJ anggaran tahun 2010 sampai awal 2011 berjalan.

Kapolda Papua Irjen Pol. Bekto Suprapto, menegaskan, penyidik Polda Papua sedang gencar melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi yang terjadi di Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), termasuk di Provinsi Papua Barat.
“Dari 28 perkara dugaan korupsi yang sedang ditangani, saat ini sebanyak 14 perkara sudah masuk dalam tahap penyidikan. Sementara 14 perkara dugaan penyimpangan keuangan negara yang terjadi di Papua Barat kini sedang dalam penyelidikan,” ungkap Bekto kepada sejumlah awak media, Rabu (16/3) di Hotel Mansinam Beach dan Resorth di Manokwari.
Sayangnya, Kapolda yang dikejar pertanyaan SKPD mana yang menjadi fokus penyelidikan penyidik Polda Papua enggan merinci secara jelas. Kapolda hanya berujar dirinya tidak mengingat secara pasti dugaan penyalahgunaan keuangan negara tersebut terjadi pada dinas-dinas apa saja.
“Mengenai dinas apa saja yang diperiksa saya lupa karena terlalu banyak, yang jelas untuk Papua Barat saja ada 28 perkara dugaan korupsi,” sebut Kapolda.
Meski tidak menyebut dinas apa dan pejabat siapa saja yang telah diperiksa di Polda Papua. Diakuinya, kini pihaknya telah memeriksa sejumlah pejabat-pejabat di lingkup Pemprov Papua Barat. Buktinya, ada sebanyak 14 perkara yang sudah masuk tahap penyidikan.
“Dari 14 kasus dugaan korupsi itu yang sudah masuk tahap penyidikan sudah kami kirim SPDP-nya (surat perintah dimulainya penyidikan) ke Kejaksaan Tinggi Papua,” ungkap Kapolda.
Ditambahkan, selain yang ditangani Polda Papua, kata perwira berpangkat dua bintang ini, pihaknya juga memerintahkan penyidik di tingkat Polres untuk menangani perkara-perkara korupsi. Bukan itu saja, bahkan, setiap Polres diberikan target minimal harus mengungkap 3 kasus setiap tahunnya.