Sabtu, 22 Desember 2012

OTONOMI DAERAH DAN KORUPSI

Lagi-lagi masyarakat disuguhi sebuah kenyataan yang membuat miris. Sebuah potret yang menunjukkan maraknya abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan) yang dilakukan para pejabat bermental korup. Itulah potret korupsi yang terus saja dipertontonkan secara telanjang dan kasat mata para pemegang kekuasaan.
Betapa tidak, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mencatat dari 524 kepala daerah (gubernur, bupati, dan wali kota), 173 di antaranya terlibat kasus korupsi pada 2004-2012. Dari jumlah tersebut, 70 persen telah diputus bersalah dan diberhentikan, sebuah jumlah yang sungguh mencengangkan.

Fenomena maraknya korupsi para kepala daerah di era otonomi ini seakan membenarkan tesis bahwa era reformasi korupsi di kalangan pemerintah sudah tumbuh ke atas dalam hierarki dan ke bawah menjalar ke daerah-daerah. Wabah korupsi benar-benar telah sistemis. Endemi korupsi telah begitu menggurita hingga ke generasi muda. Ini jelas tak bisa dianggap enteng.

Genderang perang terhadapnya tampaknya harus terus ditabuh. Penyakit kronis korupsi tidak hanya memiskinkan rakyat, tapi juga merupakan pembusukan peradaban. Apalagi modus operasinya yang selalu bergeser dari masa ke masa. Pada awal kemerdekaan, korupsi lebih banyak terjadi di level pemerintah pusat, kemudian pada masa Orde Baru disebabkan semangat kronisme disertai nepotisme yang begitu kuat.
Era reformasi saat ini aktor-aktor korupsi telah meluas ke level seantero wilayah Nusantara yang melibatkan pejabat daerah dengan demikian pesat. Perubahan institusional di era reformasi tampaknya memang berkontribusi pada pelebaran korupsi. Seperti dikatakan kalangan neoinstitusionalisme, sebuah perubahan struktur pemerintahan dan politik akan memengaruhi tingkah laku aktor politik dan mekanisme kebijakan beserta efek politik yang ditimbulkan.

Dalam konteks desentralisasi, otonomi daerah lebih banyak melahirkan korupsi daripada kemajuan kesejahteraan rakyat secara keseluruhan. Ada beberapa faktor yang menyebabkan korupsi era otonomi justru semakin menyebar dan meluas. Salah satunya karena aturan legal formal dan pelembagaan penegakan korupsi di daerah belum komprehensif. Selain itu, kelemahan civil society dan pada saat bersamaan budaya politik patronclient cukup kuat.

Oleh : Rudy Karetji
Direktur Eksekutif
KRAK Indonesia