Lagi-lagi masyarakat disuguhi sebuah kenyataan yang membuat miris.
Sebuah potret yang menunjukkan maraknya abuse of power (penyalahgunaan
kekuasaan) yang dilakukan para pejabat bermental korup. Itulah potret
korupsi yang terus saja dipertontonkan secara telanjang dan kasat mata
para pemegang kekuasaan.
Betapa tidak, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mencatat dari 524
kepala daerah (gubernur, bupati, dan wali kota), 173 di antaranya
terlibat kasus korupsi pada 2004-2012. Dari jumlah tersebut, 70 persen
telah diputus bersalah dan diberhentikan, sebuah jumlah yang sungguh
mencengangkan.
Fenomena maraknya korupsi para kepala daerah di era otonomi ini
seakan membenarkan tesis bahwa era reformasi korupsi di kalangan
pemerintah sudah tumbuh ke atas dalam hierarki dan ke bawah menjalar ke
daerah-daerah. Wabah korupsi benar-benar telah sistemis. Endemi korupsi
telah begitu menggurita hingga ke generasi muda. Ini jelas tak bisa
dianggap enteng.
Genderang perang terhadapnya tampaknya harus terus ditabuh. Penyakit
kronis korupsi tidak hanya memiskinkan rakyat, tapi juga merupakan
pembusukan peradaban. Apalagi modus operasinya yang selalu bergeser dari
masa ke masa. Pada awal kemerdekaan, korupsi lebih banyak terjadi di
level pemerintah pusat, kemudian pada masa Orde Baru disebabkan semangat
kronisme disertai nepotisme yang begitu kuat.
Era reformasi saat ini aktor-aktor korupsi telah meluas ke level
seantero wilayah Nusantara yang melibatkan pejabat daerah dengan
demikian pesat. Perubahan institusional di era reformasi tampaknya
memang berkontribusi pada pelebaran korupsi. Seperti dikatakan kalangan
neoinstitusionalisme, sebuah perubahan struktur pemerintahan dan politik
akan memengaruhi tingkah laku aktor politik dan mekanisme kebijakan
beserta efek politik yang ditimbulkan.
Dalam konteks desentralisasi, otonomi daerah lebih banyak melahirkan
korupsi daripada kemajuan kesejahteraan rakyat secara keseluruhan. Ada
beberapa faktor yang menyebabkan korupsi era otonomi justru semakin
menyebar dan meluas. Salah satunya karena aturan legal formal dan
pelembagaan penegakan korupsi di daerah belum komprehensif. Selain itu,
kelemahan civil society dan pada saat bersamaan budaya politik
patronclient cukup kuat.
Oleh : Rudy Karetji
Direktur Eksekutif
KRAK Indonesia