Akar dari korupsi ada bermacam-macam. Wacana tentang korupsi pun
bertebaran di berbagai bidang keilmuan, mulai dari filsafat, teologi,
hukum, sampai dengan ekonomi.
Pada ranah moral korupsi dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang
merusak moral, atau yang mencerminkan kerusakan moral. Tindakan korup
adalah tindakan yang menjauh dari yang baik, dari yang ideal. Di dalam
wacana ekonomi dan hukum, korupsi adalah pembayaran atau pengeluaran
yang mengangkangi aturan hukum yang berlaku. Ada beragam sebutan untuk
tindakan ini, mulai dari menyuap, main belakang, sampai sebutan unik di
daerah Timur Tengah, yakni bakseesh. Secara etimologis kata korupsi berasal dari kata Latin, yakni corruptus.
Artinya adalah tindakan yang merusak, atau menghancurkan. Ketika
digunakan sebagai kata benda, korupsi berarti sesuatu yang sudah hancur,
sudah patah.
Bentuk korupsi pertama adalah korupsi politik. Artinya adalah
penyalahgunaan kekuasaan publik (politik) untuk memperoleh keuntungan
pribadi. Misalnya anda dipercaya mengelola anggaran DPR, namun anda
menggunakan sebagian anggaran itu untuk memperkaya diri anda sendiri,
atau untuk kepentingan pribadi lainnya. Penggunaan kekuasaan sebagai
pejabat negara yang tidak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku juga
dapat disebut sebagai korupsi. Pada level yang paling parah, korupsi
sudah menjadi penyakit sistemik, sehingga sudah dianggap biasa, dan
orang sudah tak lagi punya harapan untuk memberantasnya. Biasanya
korupsi amat luas tersebar dan tertanam amat dalam di sistem politik dan
ekonomi negara-negara berkembang. Ini terjadi karena sistem pembagian
kekuasaan antara eksekutif (pelaksana kebijakan), legislatif (pembuat
kebijakan), dan yudikatif (pemantau kebijakan) tidak berjalan dengan
lancar. Akhirnya sistem hukum tak memiliki kekuatan dan kemandirian yang
cukup untuk menjamin bersihnya pemerintahan dari korupsi.
Di dalam filsafat klasik, korupsi dianggap sebagai segala hal yang
bertentangan dengan kemurnian. Dalam arti ini jiwa adalah sesuatu yang
murni, sementara tubuh, dan semua materi fisik, adalah hal-hal yang
korup. Yang diperlukan untuk mencapai kebijaksanaan dan pencerahan
adalah menyangkal fisik dan materi, serta mencari kebenaran di dalam
jiwa. Di sisi lain, sebagaimana dinyatakan oleh Aristoteles, korupsi
juga bisa identik dengan dua hal, yakni kematian dan dekadensi moral
yang disamakan olehnya dengan hedonisme, yakni hidup yang tujuan
utamanya adalah mencari nikmat badaniah semata. Pada level politik yang
cukup terlihat adalah karena kesenjangan ekonomi yang terlalu tinggi,
dan rusaknya kepercayaan yang mengikat antar anggota masyarakat. Ini
bergerak seperti lingkaran setan. Penyebab korupsi dalam konteks ini
adalah krisis kepercayaan. Namun karena korupsi krisis kepercayaan pun
meningkat, kesenjangan ekonomi semakin besar, dan akhirnya merusak
berbagai dimensi kehidupan bersama. Inilah yang menurut Uslaner menjadi
penyebab, mengapa korupsi mampu bertahan lama, dan sulit sekali untuk
dibasmi.
Korupsi adalah penyakit universal negara yang bisa ditemukan dimanapun.
Penyebabnya amat mendalam sehingga upaya untuk mengganti sistem
pemerintahan, misalnya dari totaliter ke demokrasi, seperti di
Indonesia, tidak akan cukup untuk menaklukan korupsi sampai ke akarnya.
Justru sebaliknya negara-negara yang notabene berhasil melenyapkan
korupsi, seperti Singapura dan Hongkong (Cina), bukanlah negara
demokratis.
Di sisi lain masalah utama menyebarnya korupsi adalah karena orang
tidak tahu persis apa arti kata korupsi. Pada dasarnya korupsi adalah
suatu konsep yang amat sulit untuk dijelaskan, apalagi dipahami. Setiap
definisi menurut Uslaner selalu bermasalah, dalam arti tidak cukup
mewakili kerumitan arti kata tersebut. Secara umum dapat dikatakan,
bahwa korupsi adalah penggunaan kekuasaan publik untuk kepentingan
pribadi. Kekuasaan publik adalah kekuasaan yang diberikan oleh publik,
dan publik bisa berarti masyarakat, ataupun organisasi-organisasi yang
ada di dalamnya.
Pada level ini banyak orang sepakat dengan definisi tersebut. Namun
pada level yang lebih kecil, masalahnya menjadi semakin rumit. Misalnya
apakah pemberian hadiah pada seseorang (karena jabatannya) adalah suap
yang berarti adalah korupsi? Bagaimana dengan hadiah Lebaran atau hadiah
Natal, apakah tidak boleh juga?
Inilah masalah utamanya. Korupsi seringkali didefinisikan dengan
mengacu pada standar nilai masyarakat tertentu yang tidak selalu bisa
diterima oleh masyarakat lainnya. Artinya apa yang bagiku merupakan
korupsi, bagi orang lain merupakan silaturahmi, atau tindakan wajar.
Bahkan sebagaimana diamati oleh Uslaner, ada beberapa masyarakat yang
mengangap tindak korupsi adalah suatu keharusan, karena merupakan bagian
dari kultur masyarakat tersebut.
Pada hemat saya pola berpikir semacam ini amatlah sesat, karena
mengabaikan begitu saja akibat-akibat yang merusak dari praktek korupsi
dengan menggunakan alasan-alasan kultural yang seolah luhur, namun
sebenarnya busuk. Sumber daya yang seharusnya digunakan untuk kebaikan
bersama dihisap oleh orang-orang yang duduk di kursi kekuasaan untuk
mempergendut rekening pribadinya. Akibatnya orang-orang yang seharusnya
mendapat pertolongan justru semakin terpuruk di dalam sulitnya
kehidupan.
Kultur korupsi di masyarakat bisa tercipta, karena adanya lingkaran
setan kesenjangan ekonomi, tidak adanya kepercayaan, adanya korupsi yang
berkelanjutan, dan mulai lagi menciptakan kesenjangan ekonomi yang
lebih besar, begitu seterusnya. Di dalam kultur semacam ini, perbuatan
korup, seperti menyuap dan mencuri, adalah sesuatu yang biasa, bagian
dari rutinitas. Dengan kata lain orang harus korupsi, kalau mau selamat.
Orang-orang yang tidak korup justru menjadi korban, dan dikucilkan.
Korupsi menjadi sebentuk hegemoni, yakni kekuasaan yang menindas, namun
dilihat sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja, justru malah wajar dan
bernilai baik. Orang menyuap karena tidak ada jalan lain untuk melakukan
pekerjaan, selain menyuap. Orang mencuri karena tidak ada jalan lain
untuk hidup, selain mencuri. Sementara tindak menyuap dan mencuri justru
malah mengembangkan kultur korupsi yang telah ada sebelumnya. Inilah
lingkaran setan korupsi.
Yang juga perlu ditegaskan adalah, bahwa korupsi bukan hanya soal
hukum, tetapi lebih dalam dari itu, yakni soal kultur. Jika urusan
korupsi hanya diserahkan pada para penegak hukum, maka di negara-negara
yang memiliki kultur korupsi kuat, orang-orang yang kaya dan berkuasa
tidak akan pernah dituntut secara hukum, apalagi dihukum. Juga jika
korupsi hanya dilihat sebagai soal hukum, maka pasal-pasal yang
multitafsir dapat digunakan oleh para koruptor untuk melakukan korupsi.
Dan di Indonesia pasal-pasal yang multitafsir dan saling bertentangan
satu sama lain amatlah banyak. Dua hal ini akan membuat pemberantasan
korupsi menjadi semakin sulit, dan kultur korupsi akan semakin kuat.
Maka kita boleh secara sempit melihat korupsi semata sebagai masalah
hukum saja.
Fenomena korupsi dari
kaca mata filsafat. Dalam arti ini korupsi adalah ekspresi dari situasi
manusiawi kita sebagai manusia, yakni karena kita memiliki hasrat
berkuasa, gemar berburu kenikmatan, memiliki sisi-sisi hewani yang
brutal, sehingga korupsi seolah menjadi tindakan wajar yang tak lagi
dilihat sebagai kejahatan. Saya akan jelaskan ini lebih jauh nanti.
Namun sebelumnya kita sudah melihat, bagaimana korupsi amat terkait
dengan kesenjangan ekonomi dan rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat.
Pertanyaan besarnya tetap bagaimana cara kita membasmi korupsi? Secara
empiris yang pertama-tama kita butuhkan adalah basis data yang kokoh dan
akurat. Sebagaimana dikutip oleh Uslaner, sampai saat ini hanya ada 18
negara yang memiliki data lengkap terkait dengan korupsi.
Dengan kata lain hanya ada 18 negara di dunia ini yang sungguh peduli
pada pemberantasan korupsi. Mereka adalah Argentina, Australia, Belgia,
Kanada, Denmark, Finlandia, Hungaria, Irlandia, Italia, Jepang, Meksiko,
Belanda, Korea Selatan, Spanyol, Swedia, Inggris, Amerika Serikat, dan
Jerman. Sementara yang lainnya entah berjalan setengah hati, sehingga
data tak lengkap, yang berarti pola pemberantasan korupsi juga tak
berjalan mulus, atau tak peduli sama sekali.
Uslaner juga menegaskan bahwa kunci untuk memberantas korupsi adalah
dengan membuat masyarakat tidak lagi tergantung pada cara-cara korup
untuk mencapai sukses, atau sekedar menjalani hidup.
Artinya orang berdagang tidak harus menyuap. Orang mendirikan
perusahaan tidak harus menyogok. Orang mengejar tender tidak harus
menjilat sang pembuat tender. Orang masuk sekolah elit tidak perlu harus
menyogok si kepala sekolah. Orang bisa menjadi pemimpin negara, tanpa
harus menjilat pengusaha rakus, atau menipu rakyat dengan slogan-slogan
penuh kebohongan. Tindak menyuap polisi untuk meloloskan diri dari surat
tilang memang terlihat sebagai tindakan kecil. Namun itu tetaplah
tindakan korupsi. Dan seperti sudah disinggung sebelumnya, korupsi kecil
itu berpartisipasi di dalam memperbesar kultur korupsi, yang nantinya
bisa merusak seluruh sistem masyarakat, dan menghancurkan masyarakat
tersebut. Di dalam seluruh proses ini tetap dibutuhkan sosok pemimpin
negara yang tegas dan berani mengambil keputusan untuk memberantas
korupsi, dan menghukum para koruptor.
Supaya masyarakat tak perlu lagi bergantung pada cara-cara korup
untuk hidup, maka perlu ada sistem jaminan sosial yang bermutu, yang
mampu menopang hidup mereka sebagai manusia yang memiliki martabat.
Dalam konteks ini menurut Uslaner, yang terpenting adalah adanya sistem
pendidikan yang mampu menjangkau semua warga masyarakat, tanpa kecuali.
Artinya pendidikan gratis untuk rakyat, mulai dari taman kanak-kanak,
sampai dengan universitas. Tidak mungkin? Swedia, Denmark, Botswana,
Singapura, Hongkong, dan Korea Selatan sudah menjalankan proses ini,
walaupun memang masih ada cacat di dalamnya. Dengan adanya pendidikan
yang bermutu pada semua orang, maka mereka bisa lebih kritis di dalam
memahami praktek-praktek apa yang bisa diterima secara moral, dan mana
yang tidak. Adanya kesadaran kritis tersebut membuat perilaku korup
menjadi problem yang dipertanyakan dan dipikirkan. Perilaku korup
menjadi masalah, dan bukan lagi sesuatu yang wajar. Ini adalah langkah
awal untuk memberantas korupsi. Dan yang kedua dengan menyimak
pengalaman-pengalaman Singapura, Hongkong, dan Korea Selatan, pendidikan
gratis untuk semua orang bisa mendorong pertumbuhan ekonomi yang
tinggi.
Tantangannya juga cukup besar. Di negara-negara yang “sehat”, orang
membayar pajak dengan gembira, karena mereka tahu, bahwa uang itu akan
digunakan untuk membiayai program-program pemerintah yang menjamin
terciptanya masyarakat yang adil dan makmur untuk semua. Salah satu
program itu adalah pendidikan gratis untuk semua, tanpa kecuali. Namun
di negara-negara yang korup, orang akan enggan untuk membayar pajak,
karena mereka tahu, uang pajak akan lari ke kantong-kantong penguasa dan
orang-orang dekatnya untuk mempertahankan dan bahkan memperbesar
kekuasaannya, sementara kesejahteraan rakyat, terutama mereka yang
miskin, akan terbengkalai. Tidak hanya itu mereka juga tahu, jika sakit,
rumah sakit akan meminta bayaran tinggi. Jika masuk sekolah mereka akan
diminta membayar mahal. Di dalam rutinitasnya mereka juga berpikir,
bahwa mencuri hal-hal yang berada di bawah otoritas mereka adalah hal
wajar. Jika sudah seperti itu, kultur korupsi akan semakin besar, dan
akan semakin sulit untuk dilenyapkan. Semakin besar kultur korupsi, maka
semakin besar pula kemungkinan suatu negara untuk hancur, atau jatuh
dalam perang saudara yang menelan banyak korban, baik korban jiwa,
maupun korban harta benda.
Namun bukankah pendidikan bagi semua warga tanpa kecuali itu
membutuhkan biaya besar? Mampukah kita? Kekhawatiran yang ada biasanya
berpijak pada argumen berikut, bahwa uang yang digunakan untuk
pendidikan bisa digunakan untuk keperluan mendesak jangka pendek, yakni
peningkatan ekonomi dalam bentuk pembukaan lapangan kerja. Bukankah
kerja (jangka pendek) lebih penting dari pada pendidikan (jangka
panjang)? Ahli manajemen ternama asal Harvard University, AS, Michael
Porter, berpendapat, bahwa strategi perusahaan harus selalu
mempertimbangkan aspek jangka pendek dan jangka panjang pada saat
bersamaan. Pendapat ini diungkapkannya ketika dimintai pendapat soal
strategi bisnis di tengah resesi ekonomi yang melanda AS pada 2008 lalu.
Saya sepakat dengan Porter. Ada beberapa data yang mendukung
argumennya.
Pada pertengahan abad 19, Swedia membuat kebijakan pendidikan
universal, yakni pendidikan untuk semua warga, tanpa kecuali. Sampai
sekarang para pengambil kebijakan di Swedia amat yakin, bahwa itu adalah
langkah terbaik untuk melenyapkan korupsi dan menjamin pertumbuhan
ekonomi yang mantap dalam jangka panjang sampai sekarang ini.
Belajar dari pengalaman Swedia, pada hemat saya, untuk bisa memberantas
korupsi sampai ke akarnya, serta menjamin pertumbuhan ekonomi yang
mantap mulai dari sekarang sampai masa datang, sistem jaminan sosial,
dalam bentuk pendidikan bermutu serta pelayanan kesehatan yang memadai
untuk semua rakyat, harus dimulai. Dana untuk itu memang besar, tetapi
bisa diperoleh dengan pembuatan pajak progresif (semakin besar harta
seseorang, maka semakin besar pajaknya), dan membentuk sistem hukum yang
kokoh, yang menjamin tata laksana sistem tersebut berjalan sebersih
mungkin.
Seperti sudah disinggung sebelumnya, korupsi selalu melibatkan
pengkhianatan atas kepercayaan yang diberikan publik, baik publik rakyat
ataupun publik organisasi. Secara positif korupsi juga dapat dilihat
sebagai penyalahgunaan kekuasaan publik yang diarahkan untuk memenuhi
kepentingan-kepentingan privat.
Misalnya mobil dinas kementrian (kepercayaan publik) yang digunakan
untuk berlibur ke luar kota (kepentingan privat-keluarga). Sebagian
korupsi dilakukan untuk memperoleh uang untuk kepentingan pribadi dari
sumber-sumber yang seharusnya untuk kepentingan publik. Di balik konsep
ini tertanam pengandaian dasar, bahwa ada perbedaan yang cukup mendasar
antara barang publik dan barang privat di dalam masyarakat. Korupsi
mengaburkan pembedaan ini, dan memperlakukan barang publik sebagai
barang privat. Pengaburan ini tidak selalu haru identik dengan kehendak
jahat ataupun kerakusan manusia, tetapi juga oleh ideologi yang sedang
kuat berpengaruh di dalam masyarakat.
Di dalam gejala liberalisasi ekonomi, di mana semua unsur bisnis dan
ekonomi masyarakat dijadikan milik swasta, orang menjadi amat sulit
membedakan antara milik publik dan milik privat. Inilah yang saya
maksud, ketika menyatakan, bahwa ideologi bisa amat mempengaruhi
kemampuan orang untuk sungguh membedakan barang privat dan barang
publik. Johnston juga mencatat, bahwa perubahan kebijakan pemerintah
juga membuat orang sulit membedakan barang privat dan barang publik.
Kesulitan yang bermuara pada kebingungan ini merupakan peluang
terjadinya korupsi yang tak disadari. Pada level yang paling parah,
menurut Johnston, perilaku korup tidak lagi dilihat sebagai korupsi,
melainkan sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja, yakni bagian dari
rutinitas. Korupsi menjadi udara yang kita hirup sehari-hari, sehingga
kita tidak lagi menyadari keberadaannya.
Berbicara tentang korupsi kita selalu berbicara tentang dua hal,
yakni pengkhianatan dan penyalahgunaan. Pertanyaan yang lebih kritis
adalah, bagaimana kita mengartikan “penyalahgunaan” secara tepat, secara
persis? Seperti dicatat oleh Johnston, biasanya orang mengartikan
“penyalahgunaan” sebagai hal-hal yang secara langsung bertentangan
dengan hukum formal yang berlaku. Hal ini dianggap menguntungkan, karena
hukum formal dianggap cukup stabil, dan mengikat.
Namun ada kelemahan yang cukup mendasar dari argumen ini. Jika sang
penguasa itu korup, maka ia pasti akan membuat hukum-hukum yang juga
korup, yang membenarkan kekuasaannya. Inilah lingkaran setan korupsi
yang akan muncul, jika kita menyandarkan definisi hukum semata-mata
secara legal formal. Lalu apa pilihan yang kita punya?
Altenatif lain sebagaimana dicatat oleh Johnston adalah ukuran
kultural sebagai ukuran korupsi. Artinya korup atau tidaknya suatu
tindakan diukur dari sistem nilai budaya yang berlaku di tempat
tersebut. Argumen ini juga amat lemah, karena sistem nilai budaya suatu
masyarakat seringkali amat kabur, dan mengundang beragam tafsiran yang
berbeda, sehingga menciptakan kebingungan. Juga muncul bahaya
relativisme, di mana satu orang mengira satu tindakan sebagai korupsi,
sementara orang yang berasal dari budaya lain melihat itu sebagai
tindakan yang wajar, bahkan baik. Pada hemat saya ketika mencoba
mendefinisikan korupsi, kita perlu selalu berpijak pada beberapa nilai
dasar, yakni nilai keadilan, perdamaian, dan akuntabilitas, atau
pertanggungjawaban. Jadi apapun tolok ukur normatifnya, entah itu hukum
formal ataupun sistem nilai budaya, prinsip keadilan, perdamaian, dan
akuntabilitas tetap harus terkandung di dalamnya.
Seperti sudah disinggung sebelumnya, pada hemat saya, korupsi adalah
suatu tindak penyalahgunaan kekuasaan publik untuk kepentingan pribadi.
Beberapa konsep yang perlu ditekankan, sebagaimana dicatat oleh
Johnston, adalah konsep “penyalahgunaan”, “publik”, “privat”, dan bahkan
“keuntungan”. Banyak orang memiliki pemahaman yang berbeda tentang
konsep-konsep tersebut. Masyarakat yang satu memiliki pemahaman yang
amat bertentangan dengan masyarakat lainnya tentang konsep-konsep itu.
Saya rasa di titik inilah kita memiliki kesulitan besar untuk memahami
arti tindakan korupsi, dan bagaimana cara mencegah, ataupun
menghancurkannya. Di masyarakat Indonesia, pembedaan antara ruang publik
maupun ruang privat pun masih tidak jelas. Misalnya ketika saya parkir
di pinggir jalan untuk membeli buah, apakah itu melanggar kepentingan
publik, atau tidak? Biasanya orang akan menjawab iya, walaupun
tindakannya tetap melanggar apa yang ia katakan. Intinya ia tetap
melanggar kepentingan publik.
Di Indonesia sebagaimana saya amati, korupsi tidak lagi dijalankan
secara perorangan, tetapi sudah membentuk sistem persekongkolan
orang-orang korup. Akibatnya sistem persekongkolan yang korup tersebut
menghambat kemajuan mentalitas maupun institusi-institusi yang menopang
masyarakat, dan menghambat gairah partisipasi rakyat untuk terlibat
dalam proses pembangunan. Dan juga sudah kita lihat sebelumnya,
bagaimana suatu tindakan yang mengikuti aturan dan hukum yang ada pun
juga bisa merugikan masyarakat, yakni menghambat perkembangan institusi
dan partisipasi rakyat. Hal ini bisa terjadi, ketika pemerintah yang
ada, terutama lembaga legislatif, membuat peraturan undang-undang yang
korup, yakni undang-undang yang memungkinkan terjadinya perilaku korup.
Inilah yang menurut Johnston terjadi di negara-negara maju sekarang ini.
Parlemen menghasilkan undang-undang yang tidak adil, sehingga memicu
terciptanya kebijakan-kebijakan pemerintah yang korup dan merugikan
rakyat.
Menurut saya salah satu solusi yang bisa diambil untuk menanggapi
masalah ini adalah dengan membuat pembedaan yang tegas antara
kepentingan publik dan kepentingan privat. Pembedaan ini kemudian
disosialisasikan secara masif dan intensif kepada seluruh rakyat melalui
pendidikan, maupun media-media lainnya. Memang harus diakui pembedaan
itu tidaklah mutlak, dan bisa berubah sesuai dengan situasi. Segala
urusan publik harus diputuskan dengan menggunakan mekanisme publik pula
yang mengikutsertakan, sedapat mungkin, semua pihak terkait. Jangan
sampai keputusan-keputusan publik dibuat dengan mekanisme-mekanisme
kepentingan privat yang seringkali bertentangan dengan kepentingan
bersama. Inilah yang sekarang ini terjadi. Keputusan-keputusan yang
terkait dengan kepentingan bersama dibuat melalui mekanisme-mekanisme
yang hanya melibatkan sekelompok orang dengan kepentingan pribadinya
masing-masing.
Akibatnya tidak ada pertanggungjawaban yang bersifat publik.
Ketidakadilan pun tercipta. Pada hemat saya ini juga bisa digolongkan
sebagai korupsi, karena terjadi percampuran yang ganjil antara
kepentingan publik dan kepentingan privat.
Maka keputusan yang bersifat publik harus dilempar ke publik, dan
tidak pernah boleh dibuat di dalam ruang-ruang rahasia yang bersifat
privat. Di dalam proses ini, peran pemerintah amatlah besar, terutama
dalam dua hal, yakni sungguh menerapkan proses-proses publik di dalam
setiap pembuatan kebijakan, serta memberikan hukuman yang proporsional
pada setiap percampuran ganjil antara ruang publik dan ruan privat.
Kegagalan untuk menjalan dua peran itu bisa melahirkan sistem korupsi
yang luas dan dalam, sehingga amat sulit untuk dibongkar. Lalu bagaimana
dengan sektor privat, seperti bisnis dan beragam jenis perusahaan
lainnya yang dimiliki perorangan? Bagaimana proses akuntabilitas di
dalam organisasi-organisasi yang memang bukan milik publik? Sebenarnya
sejauh saya paham, proses-proses hukum semacam itu memang sudah ada.
Hukum sudah mengenali beragam bentuk penipuan di lingkungan perusahaan
bisnis, mulai dari pemalsuan, penipuan, dan monopoli pasar yang juga
bisa dikategorikan sebagai korupsi, sehingga bisa dijerat dengan
pasal-pasal hukum yang ada. Walaupun begitu tetaplah harus dipahami,
bahwa korupsi-korupsi yang terjadi di Indonesia, baik di sektor privat
maupun sektor publik, sudah bersifat sistemik dan kultural.
Maka
analisis dan intervensi yang dilakukan tetap harus menggunakan
pendekatan yang juga bersifat sistemik dan kultural. Inilah yang akan
coba saya lakukan di dalam buku ini.
Selepas perang ideologi yang ditandai dengan runtuhnya rezim
totaliter di Uni Soviet pada awal dekade 1990-an lalu, masyarakat dunia
berharap, bahwa proses-proses pasar bebas dan demokrasi politis akan
mengantarkan pada terciptanya masyarakat yang adil dan makmur. Komunisme
dan sosialisme, yang dianggap sebagai satu-satunya penghalang untuk
mencapai kesejahteraan dan keadilan, kini sudah tidak lagi laku sebagai
ideologi tata kelola politik dan ekonomi masyarakat. Namun harapan
memang tak selalu sejalan dengan kenyataan. Ideologi pasar bebas yang
mengedepankan kompetisi, dicabutnya berbagai aturan yang mengekang gerak
modal, dan dicabutnya berbagai subsidi untuk rakyat justru malah
mengancam proses-proses demokrasi itu sendiri. Bisa dibilang kini
demokrasi sudah berubah menjadi aristokrasi, yakni pemerintahan yang
dipegang oleh sekelompok elit. Dalam konteks ini elit bisnislah yang
memegang kekuasaan sesungguhnya. Dengan kata lain ideologi pasar bebas
justru malah mengangkangi demokrasi, dan menjauhkan rakyat dari keadilan
yang diimpikan bersama.
Ideologi pasar bebas juga telah mengubah pandangan dunia
manusia-manusia abad 21. Singkat kata solidaritas sosial komunitas
digantikan oleh kompetisi ekonomi, nilai-nilai ideal hidup digantikan
semata menjadi kekayaan ekonomi, dan partisipasi politik digantikan
semata-mata menjadi membayar pajak, tak lebih dan tak kurang. Dengan
kata lain menurut saya kini terjadi privatisasi kehidupan publik, yang
berdampak pada rusaknya tata komunitas yang telah ada sebelumnya, dan
menjadi sumber identitas sosial masyarakat tersebut. Di era pasar bebas
ini, bagi banyak orang, kata demokrasi dan ekonomi membawa nada negatif,
yakni semakin lebarnya jurang antara yang kaya dan yang miskin, serta
semakin besarnya kecemasan orang akan kehilangan pekerjaan yang telah
menopang dia dan keluarganya selama ini. Pada sisi politik gerak pasar
bebas telah menghisap idealisme kepemimpinan yang telah membawa
Indonesia pada kemerdekaan lebih dari 60 tahun yang lalu. Kepemimpinan
politis sekarang ini pun tak luput dari nilai-nilai kompetisi ekonomi
yang jauh dari cita-cita solidaritas maupun keadilan sosial.
Akibatnya terjadi berbagai anomali politik di berbagai negara di
dunia. Banyak lahir negara-negara yang maju secara ekonomi, namun
terbelakang secara demokrasi, seperti Cina, Singapura, dan Kuwait. Di
sisi lain negara-negara yang mencoba untuk meningkatkan kualitas
demokrasinya justru terjebak dalam hutang luar negeri yang begitu besar,
dan mengalami krisis di berbagai bidang, seperti AS, Eropa, dan
Indonesia. Pada hemat saya putusnya hubungan harmonis antara pasar bebas
dan demokrasi bisa terjadi, karena tingkat korupsi yang begitu dalam,
yang terjadi di negara-negara demokratis. Korupsi terjadi di sektor
publik, maupun di sektor privat dalam bentuk monopoli pasar, praktek
suap, dan manipulasi harga produk yang juga berari penipuan masyarakat
luas demi meraup keuntungan finansial. Maka pembongkaran dan pemusnahan
korupsi menjadi tugas kita bersama, karena korupsi menjadi satu-satunya
penghalang kita untuk sampai pada keadilan sosial dan kebaikan bersama
untuk semua.
Sekarang ini banyak orang hanya melihat korupsi semata sebagai
persoalan ekonomi dan politik. Padahal akar dari korupsi adalah situasi
manusia itu sendiri, dan mengakar amat dalam di dalam kultur masyarakat
terkait. Diperlukan kehendak politik yang amat besar dari seluruh
masyarakat, terutama pimpinannya, untuk menciptakan tata kelola
demokratis yang bebas dari korupsi, serta menciptakan aturan-aturan yang
menata ekonomi, supaya bisa memastikan sumber daya yang ada bisa
tersebar secara merata, dan keadilan sosial bisa tercipta. Buku ini
ingin membantu terjadinya proses-proses tersebut dari sudut pandang
filsafat. Buku ini hendak melihat korupsi sebagai fenomena manusiawi,
kultural, dan sistemik, serta menjauhi kebiasaan masyarakat untuk
melihat korupsi semata sebagai persoalan politik maupun ekonomi belaka.
Harapannya jelas supaya kita semua bisa memahami akar dari korupsi yang
tertanam di dalam diri kita masing-masing, dan belajar untuk
menjinakkannya.