Sabtu, 21 Desember 2013

Upaya Pencegahan Dini

Saat ini telah dikembangkan berbagai metode guna mencegah tindak korupsi. Metode ini juga dikembangkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan sebagai lembaga negara yang menjunjung tinggi independensi, integritas dan profesionalime. Upaya pencegahan yang umum dikenal dengan istilah Fraud Control System telah diinisiasi dan terus didorong oleh BPK.

Atas kewenangannya, BPK berhak mengakses informasi seluruh pengelola keuangan negara khususnya yang telah mengembangkan sistem informasi dengan dana APBN/APBD. Adanya data yang bersifat terpadu dan elektronik, diharapkan akan memudahkan audit yang disebut electronic audit. Hal ini mengefektifkan langkah penelusuran untuk mengetahui matching tidaknya data.

Pada lokus korupsi bermodus perjalanan dinas di birokrasi misalnya, dengan sistem informasi terpadu ini akan memudahkan telaah audit tanpa harus melakukan fieldwork audit. Selain mudah, hal ini memudahkan pengamatan dalam upaya pencegahan dini.  Praktek ini cukup maju akan tetapi belum menjawab persoalan seutuhnya.

Misi BPK untuk memberikan jaminan “Wajar Tanpa Pengecualian” pada pengelolaan keuangan negara melalui e-audit memang patut diapresiasi. Sebagai deteksi awal hal ini memang akan memudahkan telaah modus, lokus berikut aktornya. Selain efisien dan efektif, model pencegahan ini memberi meminimalisir konflik antara auditor dan auditee (orang atau lembaga yang diaudit).

Perlu dicatat bahwa modus kejahatan (termasuk korupsi) selalu selangkah lebih maju dibanding sistem pengawasan dan pencegahan itu sendiri. Sebagai contoh, korupsi bermodus perjalanan dinas. Sampai saat ini, birokrat yang menitip SPPD tanpa menjalani langsung, atau mengurangi volume kunjungan yang bersilisih dengan laporan masih terjadi.

Jika hanya mendasar pelaporan meski telah bersifat elektronik, ada kemungkinan sebagian pelaku juga akan terlatih mengakali laporan supaya “terkesan” akuntable. Pemenuhan beberapa item seperti yang dimintakan sistem elektronik tetap berkemungkinan direkayasa dengan berbagai kecanggihan modus baru.

Untuk itu yang lebih menarik untuk dikembangkan adalah pengawasan berbasis masyarakat. Untuk itulah dibutuhkan keterbukaan informasi yang simultan dan berketerusan dari pengelola keuangan negara. Lahirnya UU No.14 Tentang Keterbukaan Informasi Publik sangat mendukung terhadap tumbuhnya pengawasan masyarakat terhadap indikasi dan potensi korupsi khususnya di birokrasi.

BPK memang telah memiliki kontak pengaduan. Akan tetapi belum dikenal luas sehingga dari jumlah populasi maupun persebaran pengadunya belum optimal. Dibutuhkan, jejaring informasi antar masyarakat luas melalui kampanye yang berketerusan menyangkut metode masyarakat dalam mengenali dan melaporkan pengaduannya.

Rudy Karetji
Direktur Eksekutif KRAK INDONESIA 

Menumbuhkan Kejujuran


Publik mengapresiasi progresifitas KPK dalam penindakan kasus korupsi dengan operasi tangkap tangan. Begitu halnya dengan Kejaksanaan dan lembaga penegak hukum lain meski dinilai kalah dibanding KPK. Akan tetapi, faktanya kita sering dihadapkan pertanyaan awam bagaimanakah cara efektif memberantas korupsi.

Inilah hal menarik yang perlu dibahas oleh siapapun. Sebab, spirit pencegahan harus ditumbuhkan agar energi penegak hukum tidak tersedot habis untuk menangani. Dalam dunia kebencanaan, kita mengenal istilah mitigasi sebagai upaya preventif yang dilakukan secara simultan dan menyeluruh untuk menghindari dan meminimalisir terjadinya resiko.

Begitu halnya dalam pencegahan korupsi. Sesungguhnya sudah dikenal istilah fraud control system. Sebuah sistem yang dapat diartikan sebagai upaya sistematis guna menutup lubang-lubang adanya kesempatan KKN melalui monitoring yang kuat.

Dengan upaya penutupan kesempatan tersebut, persoalannya tinggal satu yaitu niat. Dimanapun tempatnya dan siapapun orangnya berpotensi punya niat korupsi. Utamanya yang memiliki akses kekuasaan baik dalam hal politik, ekonomi, agama atau aspek lainnya. Niat secara personal harus diantisipasi dengan penguatan pentingnya edukasi dan praktek kejujuran.

Salah satu praktek kejujuran yang efektif adalah di lembaga pendidikan mulai tingkat dasar, menengah hingga perguruan tinggi. Sudah seharusnya ada kurikulum tentang kejujuran yang menjadi pengamatan keseharian karakter anak didik maupun pendidik. Sekolah tak melulu mengajarkan kepandaian otak, tetapi juga bertumpu pada pengembangan karakter jujur.

Sangat perlu skor kejujuran anak didik maupun pendidik terpantau dalam instumen pengujian. Apakah melalui ujian tertulis seperti UN, atau pengamatan perilaku. Jika sejak usia dini telah dibangun moralitas jujur, dalam pikiran alam bawah sadar tentu akan segan melakukan tindak korupsi.

Kasus korupsi yang menimpa Rubi Rubiandini yang notabene Guru Besar Kampus Kenamaan dan pernah menyabet gelar teladan menjadi preseden buruk terhadap model pembelajaran di lembaga pendidikan. Kita tahu bahwa kejujuran belum dianggap sebagai sebuah pembelajaran khusus sehingga tidak menjadi mata pelajaran khusus.

Rudy Karetji
Direktur Eksekutif KRAK INDONESIA

Jumat, 20 Desember 2013

Telaah Budaya korupsi


Hubungan antara korupsi dengan budaya memang telah menjadir sorotan banyak ahli. Budaya balas budi ada;ah perilaku seseorang menunjukan balas budi pada orang yang telah memberi keberuntungan. Contohnya kepada raja, sesepuh yang dalam istilah modern bergeser seperti pemberi proyek, pemberi jabatan dan lain sebagainya.

Saat melakukan balas budi yang dibawa tentunya barang berharga yang diharapkan akan disukai. Disinilah muncul istilah “upeti” yaitu harta terpilih dan istimewa. Bentuknya bisa uang, atau emas, perak dan hewan peliharaan. Dalam khazanah modern benda tersebut berubah menjadi cek, emas, mobil mewah, wanita cantik dan lain sebagainya.

Sebagian orang menyebut korupsi adalah budaya. Sebab pada umumnya, rekanan saling bersepakat untuk menggelar pertemuan dalam rangka menghadap pejabat tersebut. Ini hukum tak tertulis yang kemudian menjadi pemicu dan pemacu adanya kolusi dan korupsi. Sebab, secara budaya setiap pejabat tender yang baru juga banyak yang tidak menolak ketika ditemui meski kedoknya basa-basi atau hanya sekedar perkenalan.

Komunikasi seperti itulah yang menyebabkan munculnya niat-niat yang tak seharusnya. Lord Acton menyebut bahwa “power tend to corrupt”. Pernyataan ini untuk menegaskan bahwa setiap orang yang berkuasa selalu berkecenderungan untuk korup. Salah satunya karena keterbukaan komunikasi yang menjadikan pemangku kepentingan dalam hubungan batin yang dekat pula.

Lima penyebab utama korupsi yaitu; rendahnya gaji, adanya kesempatan, hukuman yang rendah, faktor budaya dan rendahnya dukungan politik. Menurutnya, budaya yang permisivis akan menjadi batu penghambat pencegahan tindak korupsi. Sebab, di dalam pikiran bawah sadar juga tidak ada penentangan.

Hal ini sangat berbeda dengan tradisi atau budaya di negara lain. Ambil contoh di China atau Jepang. Akibat rasa malu karena dituduh terlibat tindak korupsi, tak sedikit pejabat mengundurkan diri atau bahkan bunuh diri. Korupsi tetap dianggap sebagai hal yang memilukan dan memalukan kehidupannya.

Rudy Karetji

Meluasnya Lokus Korupsi

Berbagai tindak korupsi yang tidak hanya merambah di dunia politik, ekonomi dan usaha, birokrasi, tetapi juga sudah merambah ke dunia peradilan seperti dalam kasus Akil Muhtar, eks Ketua Mahkamah Konstitusi, menandakan bahwa lokus korupsi semakin menggurita. Termasuk di lembaga kepolisian dalam kasus Irjen Djoko Susilo yang tersangkut kasus simulator SIM.
Tak cukup itu, bidang yang bersentuhan dengan agamapun telah tercemari dengan korupsi. Siapapun pasti miris dan mengelus dada dengan adanya kasus korupsi pengadaan Al Quran, korupsi biaya nikah di KUA. Tak beda halnya korupsi di dunia pendidikan yang akhir-akhir ini menjadi banyak sorotan karena melibatkan orang cerdik pandai, kaum intelektual dan orang berpendidikan lainya.

Lokus korupsi (tentunya juga kolusi dan nepotisme) telah meluas seiring dengan bertambahnya aktor di berbagai bidang. Hampir semua profesi di negeri ini terwakili oleh oknumnya. Tidak hanya pengusaha, politisi, olahragawan, ekonom, birokrat, penegak hukum, tetapi juga telah melibatkan agamawan agama, pendidik, dan lain sebagainya.

Modusnya pun semakin beragam. Bertemu di luar negeri, di hotel, menggunakan pesan BBM, ketemu darat dan lain sebagainya. Alasan yang digunakan pun beragam seperti untuk pemenangan partai, calon Pilkada, investasi hingga kesenangan semata. Tak aneh bila istilah juga semakin kreatif, seperti apel malang, apel washington, fustun, salam putih, arbain milliar cash, dan lain sebagainya.

Belajar dari ribuan kasus yang sudah terungkap dan terselesaikan, sudah saatnya dibuat telaah kritis menyangkut lokus terjadinya korupsi. Telaah tersebut akan memudahkan publik mengenali, mengantisipasi dan ikut menangani bila terjadi tindak korupsi. Publik perlu mengetahui titik kritis terjadinya korupsi dari akar sampai ujung berdasarkan praktek nyata yang terjadi.

Rudy Karetji
Direktur Eksekutif KRAK INDONESIA

Senin, 16 Desember 2013

“Korupsi Birokrasi dan Korupsi Politik di Indonesia Masih Tinggi”

Setiap tahun Transparency International (TI) meluncurkan Corruption Perception Index (CPI). Sejak diluncurkan pada tahun 1995, CPI digunakan oleh banyak negara sebagai referensi tentang situasi korupsi. CPI merupakan indeks gabungan yang mengukur persepsi korupsi secara global. Indeks gabungan ini berasal dari 13 (tiga belas) data korupsi yang dihasilkan oleh berbagai lembaga independen yang kredibel. CPI digunakan untuk membandingkan  kondisi korupsi di suatu negara terhadap negara lain. CPI mengukur tingkat persepsi korupsi di sektor publik, yaitu korupsi yang dilakukan oleh pejabat negara dan politisi.

CPI direpresentasikan dalam bentuk bobot skor/angka (score) dengan rentang 0-100. Skor 0 berarti negara dipersepsikan sangat korup, sementara skor 100 berarti dipersepsikan sangat bersih dari korupsi. Di tahun 2013, secara global terdapat enam (6) negara yang memiliki skor tertinggi. Negara-negara tersebut adalah Denmark (91), Finlandia (91), Selandia Baru (89), Swedia (89), Norwegia (86), dan Singapura (86). Negara dengan skor terendah terdapat 5 negara yaitu;  Sudan Selatan (14), Sudan (11), Afghanistan (8), Korea Utara (8) dan Somalia (8).

Tabel 1
Peringkat dan Skor Corruption Perception Index 2013
Peringkat Negara Skor
5 Singapura 86
15 Hong Kong 75
36 Taiwan 61
46 Korea Selatan 55
80 China 40
94 Filipina 36
114 Indonesia 32
116 Vietnam 31
119 Timor Leste 30
157 Myanmar 21
Sumber: Corruption Perception Index 2013

Pada tahun 2013 ini, skor CPI Indonesia sebesar 32. Indonesia menempati urutan 114 dari 177 negara yang diukur.

Negara lain yang memiliki skor sama dengan Indonesia adalah Mesir (32). Skor Indonesia sedikit lebih baik dari Albania (31), Nepal (31), Vietnam (31), dan sedikit lebih buruk dari Ethiopia (33), Kosovo (33), dan Tanzania (33). Sementara itu, di kawasan Asia Pasifik, Indonesia masih jauh berada di bawah Singapura (86), Hongkong (75), Taiwan (61), Korea Selatan (55), dan China (40). Di ASEAN, skor Indonesia jauh di bawah Brunei (60) dan Malaysia (50). Indonesia sedikit di bawah Filipina (36) dan Thailand (35). Namun skor Indonesia sedikit lebih baik dari Vietnam (31), Timor Leste (30), Laos (26) dan Myanmar (21).

Meskipun skor CPI 2013 Indonesia tidak beranjak dari skor tahun 2012 yaitu 32, namun Indonesia meningkat empat peringkat. Tahun 2012, Indonesia berada di peringkat 118 dari 176 negara dan di tahun 2013 peringkat Indonesia menjadi 114 dari 177 negara.

Skor CPI Indonesia selama dua tahun diukur dari efektifitas pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia. Di sisi lain optimisme publik dan keberhasilan KPK dalam upaya penegakan hukum memberikan warna lain. Upaya penegakan hukum di bidang korupsi politik dan korupsi di sektor strategis justru menguak tabir stagnasi tersebut.

Dalam satu tahun terakhir Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berhasil mengungkap kasus korupsi sektor hukum di Mahkamah Konstitusi (Akil Muchtar) dan Mahkamah Agung (Hakim Kartini dkk), Korupsi di Kepolisian (Djoko Susilo), Korupsi di Kejaksaan (Sistoyo); Korupsi di sektor politik (Nazaruddin, Waode Nurhayati, Zulkarnain Djabar, Angelina Sondakh, dan Andi Mallarangeng); dan Korupsi di sektor bisnis (Rudi Rubiandini, Ahmad Fatanah dan Hartati Murdaya).

Temuan Global Corruption Barometer 2013 (GCB 2013) menempatkan parlemen dan partai politik sebagai lembaga yang korup dalam persepsi dan pengalaman masyarakat. Parlemen menduduki peringkat kedua terkorup (setelah Kepolisian) dari 12 lembaga publik yang dinilai. Sementara partai politik berada pada peringkat ke-4 terkorup. Fakta dari CPI 2013 dan GCB 2013 menunjukkan bahwa pemerintahan SBY belum optimal dalam mendorong program Strategi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi (Stranas PPK). Stranas PPK belum menyentuh sektor politik dan sektor-sektor strategis lainnya seperti peradilan dan lembaga pelayanan publik.

Lemahnya koordinasi antar lembaga pemerintah mengakibatkan praktik korupsi dan suap masih tinggi di lembaga-lembaga publik. Di Indonesia, GCB 2013 menyebutkan 1 dari 3 orang yang berinteraksi dengan penyedia layanan publik di Indonesia masih melakukan praktek suap dengan berbagai alasan.

Maraknya praktik korupsi dan suap di lembaga publik secara tidak langsung mengancam Sistem Integritas Nasional (SIN). SIN tidak akan berjalan efektif saat upaya penegakan hukum dan pencegahan serta pemberantasan korupsi sering terganggu oleh problem politik. Pemerintah harus lebih keras lagi mendorong implementasi Stranas PPK sebagai bagian dari penerapan ratifikasi UNCAC. Pemerintahan SBY-Boediono harus dapat memastikan dampak program antikorupsi di penghujung kepemimpinannya juga keberlanjutan Stranas PPK 2012-2025 sebagai program jangka panjang.

Tahun 2013-2014 sebagai tahun politik dan transisi kekuasaan harus menjadi momentum pembenahan besar di ranah politik. Partai politik dan para kandidat calon anggota parlemen juga presiden/wakil presiden harus mengedepankan nilai integritas sebagai orientasi lembaga politik yang lebih bermartabat. Hal ini untuk menjawab harapan masyarakat yang tinggi terhadap integritas dan antikorupsi. Juga untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap lembaga politik yang kini terpuruk.

Untuk itu masyarakat harus bisa lebih kritis dalam mengawasi dan terlibat aktif dalam proses-proses politik menjelang Pemilu 2014 agar lebih transparan dan akuntabel.

Rudy Karetji

Minggu, 15 Desember 2013

KORUPSI DI PAPUA & PAPUA BARAT

Penanganan kasus korupsi di Tanah Papua sepatutnya dimulai dari pencegahan, sehingga semua pemimpin di Papua dan Papua Barat tidak diseret masuk ke dalam masalah kasus korupsi karena sudah diminimalisir terlebih dahulu.

"Kasus korupsi di Papua berbeda dengan di tempat lain," khusus untuk para pejabat yang tertangkap tangan melakukan korupsi, seharusnya Gubernur, Bupati atau Walikota bekerjasama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan Agung, Mabes Polri, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)) dan UKP4 (Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan). "Dan untuk itu seharusnya dimulai dari Kepala Daerah di Papua dan Papua Barat untuk menyurat secara resmi kepada pihak - pihak terkait agar pencegahan korupsi itu bisa berhasil"

Pihak Gubernur Papua dan Papua Barat juga harus bisa membentuk suatu wadah untuk pencegahan korupsi, dan wadah ini akan menyiapkan berbagai hal yang berkaitan dengan pencegahan korupsi. Orang-orang yang tergabung di dalam wadah ini, haruslah mereka yang mengetahui secara mendalam tentang hukum.

Jadi korupsi di Papua dan Papua Barat harus lebih pada pencegahan, jadi konsekuensi dari jabatan adalah hukum, sehingga jika sudah pegang jabatan harus hati-hati, Selain itu para kepala daerah di papua dan papua barat jangan hanya asal angkat pejabat, karena si A, B, C dan seterusnya adalah para pegawai negeri yang disaat pilkada menjadi team sukses atau memberikan proyek kepada orang yang telah berjasa dalam kemenangannya saat pilkada..

Sehingga pejabat nanti yang diangkat tidak menyusul para senior mereka yang sudah lebih dulu menginap di hotel prodeo, karena tersangkut kasus korupsi. Seperti mantan Bupati Merauke atas kasus souvenir kulit buaya hingga ke Bupati Raja Ampat, mantan Sekda Papua Barat, kadispenda Papua Barat dan masih banyak pejabat lainnya.
 
Rudy Karetji 
Direktur Eksekuitif Nasional
Komite Rakyat Anti Korupsi Indonesia

Kamis, 12 Desember 2013

SBY BERHASIL KEMBANGKAN KORUPSI DI NEGARA YANG BERAZASKAN PANCASILA.

Korupsi adalah aksi yang menyengsarakan rakyat. Terbukti bahwa dalam satu tahun saja nilai korupsi bisa mencapai antara Rp 60-75 triliun, hanya dari bidang pembangunan.

Fakta ini dibeberkan oleh ekonom senior, Rizal Ramli, dalam acara Pekan Politik Kebangsaan bertajuk "DPR Dambaan Rakyat" yang dilangsungkan hari Rabu, 11/12 di gedung ICIS, Jakarta Pusat.

"Korupsi itu ada tiga, "by needs "(karena butuh), "by greed" (karena memang rakus) dan "by design"yaitu korupsi paling berbahaya, korupsi berjamaah eksekutif dan legislatif," katanya menjelaskan.

Nah, di matanya, pemerintahan di bawah Susilo Bambang Yudhoyono yang sudah dua periode berjalan justru berhasil mengembangkan aksi korupsi yang paling berbahaya, yaitu korupsi "by design."

"Selamat, SBY sudah berhasil meningkatkan korupsi dengan modus ketiga ini. Ya, contohnya kasus Century itu "by design". Kebijakan yang dibuatnya jadinya criminal policy. Begitu pula kebijakan impor pangan yang sangat tidak adil, ini adalah criminal policy," terangnya.

Menurut Rizal, "kebijakan kriminal" pemerintah hanya menguntungkan segelintir pihak. Sebagai contoh, hanya ada tiga pengusaha yang menjadi importir kedelai ke Indonesia.

"Mereka menyogok pejabat. Aliran sungai sogokan ini panjangnya lebih panjang dari sungai Bengawan Solo berakhir di istana hitam," tandasnya.

Rudy Karetji
Direktur Eksekutif KRAK INDONESIA

Senin, 25 November 2013

APAKAH INDONESIA JADI NEGARA MAJU DAN RAKYATNYA SEJAHTERA BISA JADI KENYATAAN ?

Kapan Indonesia menjadi negara maju dan rakyatnya sejahtera? Pertanyaan ini selalu muncul di benak sebagian besar rakyat kecil setiap kali merayakan HUT Kemerdekaan RI. Mereka bingung dengan keadaan negeri ini yang sepengetahuan mereka masih miskin sehingga belum mampu mensejahterakan sebagian besar dari rakyatnya.

Tapi mereka juga semakin dibuat bingung karena melihat fakta-fakta seperti banyaknya mobil mewah yang berseliweran di jalanan dan di tempat parkir kantor-kantor pemerintahan dan Gedung DPR RI serta banyaknya rumah mewah di komplek-komplek perumahan elit dengan garasi masing-masing bagaikan “Show Room” mobil mewah.

Ataukah Indonesia ini dari dulu memang sudah makmur, tapi keadilan belum tercapai? Pertanyaan kedua ini muncul dibenak mereka karena melihat keadaan tersebut !

Mereka sendiri tinggal di rumah rumah kurang layak huni di perkampungan kumuh yang padat dan sering terkena gusuran, di gubuk-gubuk reyot di pinggir kali dan di pinggir rel kereta atau bahkan di kolong-kolong jembatan serta di gerobak dorong barang bekas.

Indonesia telah merdeka 68 tahun, sudah memilki enam presiden, sumber daya alam (SDA) di darat dan di laut kaya raya dan melimpah ruah, sumber daya manusia SDM pintar-pintar mulai dari sarjana lulusan Dalam Negeri sampai Luar Negeri yang bekerja di lembaga-lembaga penyelenggaraan Negara, tapi kenapa adil dan makmur sesuai Amanat UUD 45, belum juga tercapai.

Penyebabnya tiada lain adalah KORUPSI yang telah MEMBUDAYA merasuk kemana-mana. Kenapa KORUPSI sampai membudaya? Salah satu penyebabnya adalah banyak diantara pejabat Negara yang “CORRUPTIBLE” (berjiwa lemah dan mudah disuap) dan adanya KOLUSI antara para KONGLOMERAT atau pengusaha yang tidak bermoral dengan para pejabat Negara yang juga tidak bermoral, karena agama hanya merupakan catatan di KTP mereka saja !.

Salah satu masalah besar yang masih dihadapi Indonesia dalam berbangsa dan bernegara adalah memang KORUPSI yang telah membudaya di sebagian (mungkin sebagian besar) kalangan Pejabat Negara baik yang ada di Eksekutif (Pemerintah) dan Yudikatif (Instansi peradilan) maupun Legislatif (DPR) inilah.
Budaya KORUPSI Pejabat Negara RI ini bisa membuat Negeri yang subur makmur menjadi Negeri yang sangat MISKIN dan TERKEBELAKANG. Coba kita lihat Negara tetangga Singapura dan Malaysia sudah jauh meninggalkan Indonesia, menjadi Negara maju dan sejahtera. Vietnam yang masih baru bergabung dengan Perhimpunan Bangsa Asia Tengggara (ASEAN) nampaknya sebentar lagi juga akan meninggalkan Indonesia.

Penduduk RI yang diperkirakan sekitar 230 juta jiwa itu tidak bisa dijadikan alasan kesulitan bagi Indonesia untuk mencapai kesejahteraan. China dengan penduduknya yang diperkirakan mencapai lebih 1,5 miliar jiwa itu, negaranya jauh lebih maju dan rakyatnya lebih sejahtera dari Indonesia.

KORUPSI lebih buruk dari PROSTITUSI dan lebih berbahaya dari TERORISME.

KORUPSI lebih buruk daripada PROSTITUSI dilihat dari pengaruhnya dalam merusak moralitas bangsa. PROSTITUSI mungkin hanya merusak moral seseorang secara individual. Tetapi budaya KORUPSI bisa merusak moral banyak orang (para Pejabat Negara dan para pengusaha) dan seluruh negeri menanggung akibatnya.

KORUPSI juga lebih berbahaya dari TERORISME: Para TERORIS membahayakan jiwa manusia dan merusak bangunan sesaat mereka melakukan serangan bom pada sasaran tertentu., sedangkan para KORUPTOR selain merugikan keuangan Negara miliaran sampai triliunan rupiah juga menimbulkan kerugian yang multi dimensi yang meliputi korban jiwa manusia dan kerusakan lingkungan hidup.

Kegiatan para KORUPTOR mengakibatkan Pembangunan terhambat, Pengangguran bertambah dan Kemiskinan bertambah pula. Dana yang seharusnya bisa digunakan untuk mempercepat pembangunan kesejahteraan rakyat, banyak yang dirampok para KORUPTOR.

Ingat kasus KORUPSI Besar (penipuan besar-besaran oleh para banker maling) dana BLBI saja kerugian Negara diperkirakan mencapai sekitar Rp600 triliun, belum terhitung yang lainnya seperti uang pajak yang hilang akibat “Kerjasama Bisnis”antara para Markus Pajak dan para konglomerat atau pengusaha pengemplang pajak serta uang pajak yang sudah masuk yang ditilep para KORUPTOR.

Disamping itu Lingkungan hidup juga rusak karena banyak hutan yang gundul akibat ulah para KORUPTOR. Penggundulan hutan tropis di Indonesia oleh para KORUPTOR ini menimbulkan kerusakan alam multi dimensi juga antara lain banjir, longsor sampai pemanasan Global yang bisa menimbulkan korban jiwa manusia berkelanjutan sampai beberapa generasi kedepan.

PORNOGRAFI dan KORUPSI (Negara terkorup di Asia Pasifik).

Sementara negara negara tetangga yakni Malaysia dan Singapura sedang memasuki level negara maju dan sejahtera, Indonesia juga mencapai kemajuan yang sangat menonjol, tetapi di bidang-bidang yang negative yakni: PORNOGRAFI dan KORUPSI.

PORNOGRAFI: Associated Press (AP) menobatkan Indonesia sebagai Surganya Pornografi kedua di dunia setelah Rusia.

KORUPSI: Hasil survey PERC Hong Kong, menyatakan Indonesia merupakan negara TERKORUP di Kawasan Asia-Pasifik.PORNOGRAFI di Indonesia: Kita bisa dengan mudah menemukan VCD, majalah dan tabloid porno di tempat-tempat terbuka yang bisa diakses siapapun, termasuk anak-anak. Harganya relatif lebih murah dibanding media-media lain yang lebih sopan.

Maka wajarlah, Kantor berita Amerika,Associated Press (AP) menobatkan Indonesia sebagai SURGANYA PORNOGRAFI Kedua di dunia setelah Rusia. Hasil penelitian lembaga riset ekonomi di Hongkong baru baru ini menyebutkan Indonesia merupakan sebuah Negara terKORUP diantara 16 negara tujuan investasi di kawasan Asia Pasifik dan data terakhir menunjukkan dana Anggaran Pembangunan dan Belanja Negara (APBN) yang bocor setiap tahun mencapai sekitar Rp 70 triliun.

KORUPSI di Indonesia: Berdasarkan hasil survey Hong Kong-based Political & Economic Risk Consultancy Ltd (PERC), Indonesia merupakan negara TERKORUP di Kawasan Asia-Pasifik. Berikut ini adalah daftar 16 negara tujuan investasi di Asia Pasifik, mulai dari yang terKORUP (Indonesia) sampai dengan yang terbersih (Singapura) hasil survey PERC 2010:
1.Indonesia(terkorup)
2.Kamboja (korup)
3.Vietnam(korup)
4.Filipina (korup)
5.Thailand
6.India
7.China
8.Taiwan
9.Korea
10.Macau
11.Malaysia
12.Jepang
13.Amerika Serikat (bersih)
14.Hong Kong (bersih)
15.Australia(bersih)
16.Singapura (terbersih).

KORUPTOR aman dan nyaman.

Enak benar menjadi seorang KORUPTOR di Indonesia, sudah rampok uang Negara miliaran sampai triliunan Rupiah, kalau tertangkap hukumannya ringan dan sudah di penjara pun dapat menikmati sel mewah.Disamping itu, masih ada lagi bonus lainnya yang diberikan Pemerintah (Mahkamah Agung) terutama kepada para KORUPTOR yang punya fulus miliaran Rupiah, yakni potongan masa hukuman.

Para KORUPTOR Indonesia juga bisa bebas samasekali dari jeratan hukum dengan jalan melarikan diri ke Luar Negeri atau mendadak sakit seperti sakit perut mules-mulas sewaktu ditangkap, sakit jantung ringan sampai berat dan ada pula yang sakit hilang ingatan.

Para KORUPTOR atau Banker Maling dana BLBI.(sekitar 17 orang dengan kerugian Negara sekitar Rp 600 triliun) hidup dengan aman dan nyaman, dan bahkan sebagian dari mereka menjadi investor yang dihormati di tempat persembunyian mereka di luar negeri, sebagian besar di Singapura.

Dalam memberantas dua masalah besar yang membahayakan bangsa dan negara Indonesia ini yakni Gerakan TERORISME dan Budaya KORUPSI, Pemerintah (POLRI) nampaknya lebih serius dan berhasil dalam melakukan pemberantasan Gerakan Terorisme.

POLRI (Densus 88) telah mencatat keberhasilan demi keberhasilan dalam memburu para gembong TERORIS dari tempat persembunyian mereka dan membunuh sebagian dari mereka. Apakah mereka yang dibunuh itu benar-benar TERORIS atau bukan hanya POLRI yang tahu !

Sementara itu para gembong KORUPTOR besar yang lari ke luar negeri sampai saat ini tetap aman dan nyaman di tempat persembunyian mereka dan tidak tersentuh para pemburu. Apakah pada saat ini ada penegak hukum yang sedang memburu para Gembong KORUPTOR yang telah merugikan negara sampai ratusan triliun rupiah itu ? Tidak Jelas !

Kenapa POLRI lebih berhasil dalam memburu TERORIS? Jawaban secara kebijakan Pemerintah hanya Presiden SBY dan parapembantunya di jajaran penegak hukum yang tahu.

Tetapi jawaban menurut “common sense” (akal sehat) kita, mungkin para TERORIS tidak punya uang banyak dan pasti tidak memiliki teman di kalangan penyelenggara negara, karena baik dari kalangan Eksekutif, Yudikatif maupun Legislatif pasti akan sangat KETAKUTAN sekali berteman dengan mereka.
Sementara itu para KORUPTOR memiliki banyak uang dan teman. Kalau tidak punya temanpun dengan uang banyak bisa cepat membikin teman dan dengan uang banyak, pasti BANYAK YANG MAU menjadi teman, paling tidak pengacara yang professional dan bekend pun bisa dengan mudah didapat.

Para KORUPTOR juga lebih berbahaya daripada para TERERORIS, karena KORUPTOR bisa menciptakan TERORIS untuk kepentingan politik mereka, sedangkan TERORIS tidak bisa memproduksi KORUPTOR untuk kepentingan kegiatan mereka !

Rudy Karetji
Direktur Eksekutif KRAK Indonesia

Sabtu, 23 November 2013

Pejabat Korup di Indonesia Rakus dan Tidak Tahu Malu

Di Jepang, mereka melakukan “Hara Kiri” (bunuh diri khas Jepang) atau segera mundur dari jabatan daripada harus menanggung MALU karena telah dituduh melakukan KORUPSI, sementara di Indonesia, KORUPTORSAURUS yang oleh penagadilan sudah divonis penjarapun masih tersenyum riang dan melambaikan tangan kepada pers mungkin merasa menang perkara karena hukuman yang diterima sangat ringan. Bahkan ada tersangka KORUPTOR melakukan selamatan karena hasil sidang di pengadilan para hakim memvonis dia bebas dari segala tuduhan.

RASA MALU pada hakekatnya tidak terlepas dari kriteria adat istiadat, kebiasaan dan budi luhur yang dimiliki oleh bangsa berbudaya. Sebagai bukti adalah adat kebiasaan orang Jepang yang lebih baik melakukan “HARA-KIRI” (bunuh diri khas Jepang dengan merobek perut menggunakan Samurai) atau mundur dari jabatannya dari pada harus menanggung malu karena diduga melakukan KORUPSI.

Paruh kedua September 2008 menteri pertanian Jepang mengundurkan diri akibat permasalahan beras yang tercemar pestisida dan jamur. Selang beberapa hari kemudian menteri transportasi juga mundur akibat serangkaian pernyataannya yang membuat gusar berbagai pihak.
Di negara lain yang dengan sistem demokrasi sudah mapan dan moral yang tinggi seperti di Negara Negara maju, juga sering terjadi kasus bunuh diri atau pengunduran diri seorang pejabat Negara karena merasa malu diduga atau dituduh melakukan KORUPSI.

“Rasa Malu” para pejabat Indonesia yang korup sudah hilang?
Pada kenyataannya sekarang ini di Indonesia masih terdapat orang orang termasuk pejabat negara dan pejabat partai politik yang melakukan KORUPSI, melakukan pungutan liar, sengaja memalsukan data, melakukan kebohongan publik dan banyak lagi tindakan yang kurang etis serta perilaku menyimpang lainnya. Pelakunya juga bervariasi tanpa memandang pangkat, jabatan, kedudukan, latar belakang pendidikan dan strata sosial.

Kenapa disebut KORUPTORSAURUS? Karena nampaknya lebih cocok diberi julukan itu. KORUPSI di Indonesia dilakukan bukan oleh orang orang yang kalau tidak ikut KORUPSI bagaimana anak istri makan, tetapi dilakukan oleh orang orang yang rumahnya rata rata bagaikan istana, dengan garasi mobil mereka bagaikan “show room” mobil mewah, dengan kekayaan mereka rata rata diatas 10 miliar rupiah. Coba bayangkan bagi seorang pejabat Negara, berapa puluh tahun waktu yang diperlukan untuk menabung sampai mempunyai kekayaan sebesar itu.
Secara kasat mata semua itu dilakukan oleh orang-orang yang cukup terhormat namun ASOSIAL dan tidak punya RASA MALU. Golongan semacam ini tanpa ragu berani melanggar hukum, adat kebiasaan dan tradisi. Berbagai kasus membuktikan bahwa KORUPSI di Indonesia terjadi bukan karena alasan kemiskinan si pelaku KORUPSI, akan tetapi karena yang bersangkutan TIDAK TAHU MALU dan SERAKAH!

Para pejabat Negara baik dari Eksekutif, Yudikatif maupun Legislatif yang diduga atau tersangka dengan bukti bukti yang sudah dibeberkan di media masa bahwa mereka diduga melakukan KORUPSI atau MENERIMA SUAP, ketika mereka ditangkap KPK atau Polisi, masih juga jengengesan tertawa dan bahkan bersikeras membantah melakukan KORUPSI atau Menerima SUAP dengan berbagai alasan bahwa uangnya yang berjumlah miliaran atau mungkin triliunan di rekeningnya itu adalah hasil bisnislah atau hibahlah dan sering juga pejabat yang tertuduh mengatakan bahwa tudihan KORUPSI yang dialamatkan kepadanya itu hanya rekayasa politik untuk merusak namanya !

Setelah divonis dan dijatuhi penjara oleh Pengadilan karena terbukti bersalah melakukan KORUSPI atau Terima SUAPpun, begitu keluar dari ruang sidang pengadilan, mereka masih melambai-lambaikan tangan dan menebar senyum ke hadapan pers dan kamera Televisi, mungkin mereka merasa menang perkara karena hukuman yang mereka dapatkan ringan.
Sarang KORUPTORSAURUS

Dari laporan KPK tertulis data orang-orang yang terjerat kasus korupsi:
40 anggota DPR-RI, 8 Mantan Menteri, Mengusut Deputi Gubernur BI dan 4 Deputi BI, 7 Gubernur, 6 Komisioner KPU, KY, dan KPPU, 3 Dubes, 2 konjen RI, 1 Mantan Kapolri, 4 Hakim Senior, 4 Jaksa Penuntut Umum, 2 Advokat, 50 pejabat negara eselon I dan II, 26 Bupati/walikota, 30 anggota DPRD, 40 pengusaha BUMN dan BUMD, dan yang lainnya… INI  MERUPAKAN BUKTI NYATA NEGERI INI MENJADI SARANG KORUPTOR…

Resep Mujarab Untuk Berantas Tuntas KORUPSI dan Ciptakan Rasa Takut Bagi Calon KORUPTOR!!!:
KORUPTORSAURUS divonis HUKUMAN MATI atau PENJARA SEUMUR HIDUP di penjara khusus yang dibangun di Monas untuk wilayah Jakarta dan di alun alun kota masing masing untuk daerah di seluruh Indonesia menggunakan bangunan dengan tembok transparan (kaca) supaya bisa dilihat umum sebagai salah satu objek wisata bagi wisatawan domestik maupun wisatawan manca negara!

Memang kemungkinan akan banyak yang berpendapat Hukuman Mati terhadap KORUPTOR melanggar HAM. Yang jelas mungkin melanggar HAM para KORUPTOR. Hukuman Mati yang dilaksanakan terhadap para teroris, tidak menimbulkan pendapat bahwa hal itu melanggar HAM?

Maling ayam, jambret, pencopet digebuging sampai babak belur sebelum divonis pengadilan, tidak ada keributan komentar masalah HAM dan nampaknya juga sangat jarang pengacara yang berani membela mereka. Keadaannya berbeda kalau yang dibela para KORUPTORSAURUS!
LAKSANAKAN SAJA APA YANG ANDA PIDATOKAN !!

Presiden SBY pernah menegaskan bahwa dia akan berada di posisi paling depan memimpin seluruh jajaran penegak hukumnya bersama seluruh komponen bangsa dalam berjihad memberantas KORUPSI. Tetapi sampai saat ini seluruh rakyat masih sedang menunggu hasil dari pelaksanaan penegasan Presiden dalam rangka memberantas wabah Budaya KORUPSI yang melanda sebagian pejabat Negara baik yang duduk di Eksekutif, Yudikatif maupun Legislatif tersebut.

Para tokoh Partai Demokrat mulai dari Ketua Dewan Pembina dan pemimpin umum serta jajaran pimpinan PD lainnya meneriakkan slogan atau berdakwah di TV: “Katakan TIDAK pada KORUPSI.” TIDAK, TIDAK, TIDAK! Semuanya mengatakan TIDAK.

Propaganda tersebut diakhiri dengan pernyataan Presiden SBY: “Saya (Presiden) bersama Partai Demokrat bertekad melawan KORUPSI tanpa pandang bulu.”
Namun buktinya yang mana yah? Belum begitu tampak jelas secara terang benderang.
Sebuah pepatah Jerman mengatakan: Taten statt Wörter! or Taten sagen mehr als Wörter. or Lass Wörtern Taten folgen! or Lass Taten sprechen!” – Artinya: “Tindakan bukannya kata kata.” (Terjemahan letterlijk: “Tindakan berbicara lebih banyak daripada kata kata”) atau “Biarkan kata kata menghasilkan tindakan” atau “Biarkan tindakan berbicara.” Ekuivalen dalam pribahasa Inggris: “Actions speak louder than words.” Arinya: “Tindakan berbicara lebih keras daripada kata kata.”

Maknanya: “Laksanakan apa yang anda pidatokan/ceramahkan !”

Pengacara senior Adnan Buyung Nasution beberapa kali mendesak Pemerintah cq Presiden SBY dan seluruh jajaran penegak hukumnya agar dalam upaya memberantas KORUPSI dan menegakkan hukum demi keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, jangan pandang bulu, siapapun KORUPTOR itu harus ditindak tegas !

Rudy Karetji
Direktur Eksekutif KRAK Indonesia.

Jumat, 22 November 2013

Pertimbangan Sosiologis Harus Ada Dalam Putusan Hakim

Menurut pasal 1 Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang kitab undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Hakim adalah pejabat Peradilan Negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili. Kemudian kata “mengadili” sebagai rangakaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak dalam sidang suatu perkara dan menjunjung tinggi 3 (tiga) asas peradilan yaitu sederhana, cepat dan biaya ringan.
Profesi Hakim adalah profesi dengan pekerjaan kemanusiaan yang tidak boleh jatuh kedalam dehumanizing yang bersifat logic mechanical hingga dapat terperosok pada jurang alienasi hukum dari manusia dan kemanusiaan itu sendiri. Hakim bertanggung jawab untuk mengembalikan hukum kepada pemilik hukum itu yaitu manusia. Hukum untuk manusia sebagai alat untuk mewujudkan kesejahteraan manusia, bukan hukum untuk hukum itu sendiri.
Hakim merupakan salah satu obyek studi sosiologi hukum. Dimana masyarakat banyak yang mencibir sinis dan pesimis namun ada juga yang menaruh harapan terhadap putusan hakim dalam suatu perkara. Banyak masalah yang memicu kekecewaan masyarakat, salah satunya adalah bagaimana hakim memutuskan perkara-perkara yang bisa mengundang pro dan kontra dalam masyarakat luas. Jangan sampai putusan itu mematikan rasa keadilan masyarakat.
Kerap sekali terjadi terutama terhadap perkara – perkara yang mendapat perhatian masyarakat luas. Bisa saja sebuah putusan dianggap tidak adil dan dianggap sarat dengan nuansa koruptif dan kolutif.
Secara umum anggapan itu adalah sah – sah saja, setidaknya ada alasan dari masyarakat yaitu telah hampir hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan, disebabkan terbongkarnya berbagai kasus penyuapan yang melibatkan aparat Pengadilan, terutama hakim. Oleh karena itu seorang hakim dalam memutus suatu perkara harus mempertimbangkan kebenaran yuridis (hukum) dengan kebenaran fisolofis (keadilan). Seorang Hakim harus membuat keputusan – keputusan yang adil dan bijaksana dengan mempeertimbangkan implikasi hukum dan dampaknya yang terjadi dalam masyarakat.
Kepastian hukum menekankan agar hukum atau peraturan ditegakan sebagaimana yang diinginkan oleh bunyi hukum/peraturannya. Fiat Justitia et pereat mundus (meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan). Adapun nilai sosiologis menekankan kepada kemanfaatan bagi masyarakat.
Didalam memutus sebuah perkara dan mempertimbangkan layak tidaknya seseorang dijatuhi pidana seorang hakim didasarkan oleh keyakinan hakim dan tidak hanya berdasarkan bukti – bukti yang ada.
Secara normatif, pengadilan adalah tempat untuk mendapatkan keadilan. Hal itu tersandang dari namanya “pengadilan” dan dari irah-irah putusan Hakim yang menjadi gawangnya. Menurut irah-irah itu, dalam menyelesaikan perkara Hakim tidak bekerja “demi hukum” atau “demi undang-undang”, melainkan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Frase “Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” menjadi simbol bahwa Hakim bekerja mewakili Tuhan Yang Maha Esa. Frase itu juga menjadi jaminan bahwa Hakim dalam menyelesaikan perkara akan bekerja secara jujur, bersih, dan adil karena ia mengatas namakan Tuhan. Sebab jika tidak demikian, maka Hakim yang tidak berlaku jujur, bersih, dan adil, kelak di “pengadilan terakhir” ia harus mempertanggungjawabkan perbuatan dan perilakunya di hadapan Tuhan Yang Maha Adil.
Putusan pengadilan adalah penyataan hakim yang diucapkan pada sidang pengadilan yang terbuka untuk umum untuk menyelesaikan atau mengakhiri suatu perkara. Putusan dapat dijatuhkan setelah pemeriksaan perkara selesai dan oleh pihak-pihak yang berperkara sudah tidak ada lagi yang ingin dikemukakan. Putusan pengadilan merupakan suatu yang sangat diharapkan oleh pihak-pihak yang berperkara, sebab dengan putusan pengadilan tersebut pihak-pihak yang berperkara mengharapkan adanya kepastian hukum dalam perkara yang mereka hadapi.
Untuk memberikan putusan pengadilan yang benar-benar menciptakan kepastian hukum dan mencerminkan keadilan, hakim yang melaksanakan peradilan harus benar-benar mengetahui duduk perkara yang sebenarnya dan peraturan hukum yang mengaturnya untuk diterapkan, baik peraturan hukum yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan maupun hukum yang tidak tertulis dalam hukum adat. Namun kenyataannya tidak selalu sejalan dengan gagasan normatifnya. Tidak selamanya Hakim memiliki kesadaran di dalam hatinya bahwa kelak ia akan mempertanggungjawabkan hasil pekerjaannya di hadapan Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karenanya tidak jarang terdapat putusan-putusan Hakim yang tidak mencerminkan rasa keadilan.
Tidak semua Hakim memiliki rasa takut bahwa kelak ia akan bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa tentang apa yang telah diputuskannya. Memang sulit untuk mengukur secara matematis, putusan Hakim yang bagaimana yang memenuhi rasa keadilan itu. Akan tetapi tentu saja ada indikator yang dapat digunakan untuk melihat dan merasakan bahwa suatu putusan telah memenuhi rasa keadilan atau tidak. Indikator itu antara lain dapat ditemukan di dalam “pertimbangan hukum” yang digunakan Hakim.
Pertimbangan hukum merupakan dasar argumentasi Hakim dalam memutuskan suatu perkara. Jika argumen hukum itu tidak benar dan tidak sepantasnya (proper), maka orang kemudian dapat menilai bahwa putusan itu tidak benar dan tidak adil.
Pertimbangan hukum yang tidak benar dapat terjadi karena berbagai kemungkinan:
1.      Hakim tidak mempunyai cukup pengetahuan hukum tentang masalah yang sedang ditangani. Namun secara normatif seharusnya hal ini tidak boleh terjadi, karena Hakim dapat memerintahkan setiap pihak untuk menyediakan ahli yang akan memberikan keterangan dan menjelaskan pokok persoalannya di dalam persidangan.
2.      Hakim sengaja menggunakan dalil hukum yang tidak benar atau tidak semestinya karena adanya faktor lain seperti adanya tekanan pihak-pihak tertentu, suap, dan faktor-faktor lain yang mempengaruhi independensi Hakim yang bersangkutan.
3.      Hakim tidak memiliki cukup waktu untuk menuliskan semua argumen hukum yang baik disebabkan karena terlalu banyaknya perkara yang harus diselesaikan dalam kurun waktu yang relatif singkat.
4.      Hakim malas untuk meningkatkan pengetahuan dan wawasannya, sehingga berpengaruh terhadap kualitas putusan yang dibuatnya. Faktor ini merupakan faktor yang pengaruhnya tidak langsung, namun cukup menentukan kualitas putusan.
Secara ideal, semua kemungkinan yang disebutkan di atas tidak boleh terjadi dalam lembaga peradilan. Jika hal itu terjadi, maka bukan tidak mungkin lembaga peradilan yang seharusnya menjadi gerbang keadilan, justru menjadi tempat terjadinya ketidakadilan. Tidak terkecuali Mahkamah Agung sebagai lembaga pengadilan tertinggi di negeri ini. Hakim-hakim Agung yang seharusnya menjadi penjaga gawang keadilan terakhir, boleh jadi justru menjadi pihak yang menciptakan ketidakadilan.
Seharusnya fakta persidangan merupakan dasar/bahan untuk menyusun pertimbangan majelis hakim sebelum majelis hakim membuat analisa hukum yang kemudian digunakan oleh hakim tersebut untuk menilai apakah terdakwa dapat dipersalahkan atas suatu peristiwa yang terungkap di persidangan untuk memperoleh keyakinan apakah terdakwa patut dipersalahkan, patut dihukum atas perbuatannya sebagaimana yang terungkap dipersidangan.singkatnya, suatu putusan harus didasarkan pada fakta persidangan dan dibarengi dengan putusan yang mencerminkan rasa keadilan.
 
Rudy Karetji

Selasa, 19 November 2013

Negara Tanpa Korupsi, Apakah Harapan atau Khayalan ??

Lama-lama mengamati Negara ini semakin membingungkan saja. Banyak hal yang bertentangan dengan hati nurani, undang-undang yang berlaku terus menerus terjadi. Kita ambil contoh masalah praktek-praktek korupsi. Pada sisi pemerintah selalu mengatakan korupsi harus dihapus habis di atas permukaan bumi Indonesia. Bahkan kaiimat-kalimat yang ingin membabat habis korupsi menjadi tema para pemimpin bangsa, baik presiden, gubernur, bupati atau mungkin lurah atau kepala desa.

Pada tataran pemerintah pusat, agar usaha-usaha pemberantasan korupsi dapat dinilai bersungguh-sungguh kemudian dibentuklah berbagai perangkat Negara. Adanya institusi kepolisian dan kejaksaan yang memang memiliki wewenang untuk itu dianggap belum cukup. Kemudian dibentuklah suatu perangkat Negara yang katanya superbody, memiliki independensi tinggi yaitu KPK. Namun kemudian apa yang terjadi. Meskipun KPK sudah berjalan cukup lama, namun masalah korupsi ini tidak ada tanda-tanda akan berakhir.

Melihat kenyataan yang ada selama ini, muncul pertanyaan: Mungkinkah Negara Tanpa korupsi?
Pasti cukup banyak diantara kita merasa cukup pesimis dengan pertanyaan itu. Bahkan bagi sebagian orang melihat itu adalah sesuatu hal mustahil terjadi. Seorang teman secara bergurauan mengatakan: Indonesia akan bebas dari korupsi bila kucing sudah tumbuh tanduknya.

Rasa pesimistis kita memang cukup beralasan. Kita ambil contoh kasus yang baru-baru terjadi berkaitan dengan kasus penyuapan pembangunan wisma atlet di Palembang. Meskipun kasus ini masih dalam tingkatan praduga, namun beberapa orang yang diduga terlibat adalah orang-orang yang notabenenya adalah politisi partai yang berkuasa saat ini. Artinya bila itu terjadi dalam lingkaran kekuasaan bukan usaha-usaha untuk memberantas korupsi hanya pepesan kosong belaka?

Belum lagi yang belum terungkap diberbagai lembaga pemerintahan baik di tingkat pusat sampai ke tingkat daerah. Bukan rahasia lagi, tetapi sudah menjadi rahasia umum bila praktek kong-kalikong yang termasuk dalam kategori korupsi terus menerus terjadi.

Menurut saya praktek korupsi yang sangat merajalela di Negara ini sudah menjadi tren yang sangat sulit dihilangkan. Tren ini muncul disebabkan karena lembaga-lembaga terutama KPK belum mampu bekerja maksimal. Bahkan kasus-kasus yang ditangani KPK sampai saat ini masih banyak yang belum tuntas. Terkesan mereka hanya serius melakukan kasus-kasus yang memiliki nilai berita yang tinggi sehingga pamor mereka semakin naik di mata masyarakat. Sehingga kasus-kasus yang terbilang kecil terasa terabaikan begitu saja. Apalagi kasus yang besar-besar itupun banyak yang tidak selesai dan tuntas sampai saat ini. Contohnya adalah kasus century yang kelihatannya tidak tahu kemana akan bermuara.

Karena itu, tidak salah bila ada orang yang beranggapan bahwa Negara Tanpa Korupsi adalah sebuah harapan yang apnormal dan mengada-ngada.

Meskipun demikian, kita juga perlu optimis dengan itu. Tetapi memiliki sebuah syarat mutlak yang harus dipraktekkan yaitu para penguasa harus benar-benar serius bukan hanya berpikir dan berkata-kata saja. Tetapi serius serta konsisten dalam bekerja dan bertindak. Hal ini baru dapat dilakukan bila para penguasa tidak memikirkan kekuasaan semata tetapi bekerja memang untuk kepentingan rakyat. Ketika mereka takut jatuh dari kekuasaannya maka harapan Negara tanpa korupsi hanya ada dalam mimpi-mimpi saja.

Memang banyak pejabat pemerintahan ini yang mengaku bahwa mereka tidak mengambil uang Negara sepeserpun untuk kepentingan pribadi. Meskipun itu ada tetapi belum cukup. Sebab, mungkin bagi dirinya tidak melakukan korupsi tetapi membiarkan atau tidak berani menindak bawahannya yang melakukan korupsi yang kemudian terkadang terkesan melindungi. Bukan begitu yang diharapkan. Tetapi bagaimana seluruh jajarannya sampai yang kecil-kecil harus terbukti bersih dari segala tindakan korupsi itu. Bila para pejabat pemerintah tidak peduli seperti itu (meskipun secara pribadi tidak melakukannya) tidak akan hilang juga praktek-praktek korupsi. Bahkan akan semakin merajalela.

Apapun ceritanya, tindakan korupsi ini akan berkurang bila memang pejabat atau pemimpin bangsa ini tegas. Tetapi, dari sejumlah tokoh yang ada saat ini, yang sebagian dari mereka sudah dijagokan untuk memimpin bangsa ke depan, apakah ada seperti yang kita harapkan?. Entah mengapa, secara pribadi saya merasa mereka yang sering ditonjol-tonjolkan apalagi yang sudah pernah berkuasa, ada sedikit perasaan tidak yakin.
Saya tidak tahu apakah ada calon-calon pemimpin yang memiliki integritas tinggi sehingga memiliki cara untuk membangun Negara ini tanpa korupsi. Bila bicara kemungkinan, bisa jadi ada bisa jadi tidak. Kalaupun ada, sosok yang kita inginkan itu pasti titisan malaikat. Kalau tidak, tak akan terlihat ada tanda-tanda bertepian.

Rudy Karetji
Direktur Eksekutif Nasional
KRAK Indonesia

Jumat, 12 Juli 2013

Hukum Sosiologis Dan Hukum Positif Indonesia Sangat Payah

Ketika seorang pejabat divonis bebas di pengadilan tindak pidana korupsi dan dalam waktu yang lain ada seorang rakyat yang divonis tiga bulan karena mencuri buah kakao, maka masyarakat menyimpulkan dengan mudah bahwa hukum tidak adil.

Ya, hukum dan keadilan adalah dua sisi yang seharusnya berjalan beriringan. Namun, pandangan hukum ternyata tidak seperti itu. Bahkan para ahli hukum melihat keadilan sebagai penglihatan sosiologis (pandangan dari luar/eksternal) yang cenderung menggandengkan hukum dengan keadilan.

Padahal, keadilan dalam hukum bukan sekadar memandang keadilan dari luar (sosiologis), melainkan keadilan juga harus bersifat keadilan yuridis atau keadilan yang dipandang dari dalam/internal. Artinya, keadilan tidak boleh dilihat secara sosiologis semata, tapi keadilan harus dipandang dari ketentuan hukum yang mengaturnya.

Secara yuridis, hukum juga bisa memiliki dualisme, karena ada aturan hukum yang bertentangan dengan aturan hukum yang lain (conflict of norm), sehingga bila orang menggunakan salah satu dasar hukum, maka dia bias dianggap bersalah menurut hukum itu, tapi sesungguhnya dia tidak bersalah dari sudut aturan hukum yang lain.

Oleh karena itu, ia menilai 40 persen kasus korupsi itu sesungguhnya bukanlah kasus pidana (korupsi), melainkan kasus dalam ranah hukum administrasi. Jadi, kasus korupsi jangan selalu dibawa ke ranah hukum pidana (Foult de Personele), tapi bisa merupakan kesalahan administrasi (Foult de Service), karena 40 persen disebabkan perbedaan persepsi terhadap ketentuan dalam UU, PP, dan peraturan perundang-undangan lainnya, bukan mencuri atau menikmati uang Negara melainkan hanya kesalahan prosedur.

Dalam konteks itulah, lolosnya sejumlah tersangka korupsi dan sulitnya rakyat kecil lolos dari jerat hukum itu, bukanlah hal yang mengesankan aparat penegak hukum mementingkan aspek yuridis, bukan aspek keadilan.

Bisa jadi, pejabat dinas pendidikan di sebuah kota yang melakukan pengadaan buku secara langsung itu merujuk pasal X Permendiknas, tapi aparat pengawas menyalahkan dengan merujuk pasal Z Permendiknas, sehingga menuduh pejabat itu melakukan korupsi karena melanggar pasal Z.

Padahal, dia tidak mencuri atau "makan" uang negara sama sekali, karena dia menggunakan uang sesuai dengan pasal X yang juga diatur dalam Permendiknas atau pejabat berwenang yang lain dan buku yang dibeli memang ada serta dapat dijadikan barang bukti.

Artinya, pejabat itu dijerat kasus korupsi bukan karena kesalahan dia, tapi kesalahan yang ada pada pasal yang berbeda, sehingga persoalan sebenarnya bukan pada pejabat, tapi persoalan ada pada peraturan yang bertentangan. Jadi, hukum secara yuridis (positivisme hukum) bisa berbeda dengan hukum sosiologis.

Secara sosiologis, masyarakat sangat mungkin menganggap hukum itu tidak adil, karena dia melihat hukum dari luar, sedangkan penegak hukum melihat hukum dari dalam (internal) terkait konstruksi hukum itu sendiri.

Bahkan, kasus Century yang bila dilihat dari luar itu kasus korupsi yang besar itu bila dilihat dari dalam sangat mungkin merupakan perbedaan persepsi terhadap UU Perbankan terkait penyertaan modal negara pada bank swasta.

Contoh serupa adalah korupsi terkait dana dari hasil pendaftaran mahasiswa dalam ujian masuk PTN yang dikelola panitia dari kalangan petinggi PTN se-Indonesia (SPMB), atau kasus dana abadi umat yang dikelola pejabat Kementerian Agama (DAU).

Kalangan petinggi PTN sangat mungkin memandang uang pendaftaran atau ujian masuk PTN itu bukan uang negara, namun pejabat keuangan bisa melihatnya sebagai uang yang harus disetor ke kas negara terlebih dulu dan bila dibutuhkan dapat diminta langsung kepada pejabat kas negara. Hal yang sama juga dialami pengelola dana abadi umat di Kemenag.

Judicial Review Hakim
Solusinya, majelis hakim hendaknya memiliki kewenangan untuk mengajukan semacam "judicial review" (JR) kepada Mahkamah Konstitusi (MK) bila menemukan perbedaan tafsir dalam perkara hukum yang sedang ditangani di pengadilan. Hal seperti ini sudah berlaku di kalangan penegak hukum di Eropa.

Bila ada "Judicial Review" dari hakim ke MK, maka akan membuka mata masyarakat bahwa ada permasalahan dalam peraturan dan majelis hakim juga tidak memutuskan kasus dengan penafsiran pribadi, sehingga masyarakat menyikapi sebagai ketidakadilan.

Namun, efektifitas hukum itu sesungguhnya sangat ditentukan tiga hal yakni :
(1) Aturan yang tidak menimbulkan perbedaan persepsi
(2) Kultur hukum
(3) Sarana penegakan hukum

Masalahnya, bukan hanya UU yang belum sempurna, tapi kultur hukum dan sarana penegakan hukum di Indonesia juga masih payah, karena kultur masyarakat masih suka jalan pintas bila berhadapan dengan hukum, sehingga korupsi pun tumbuh secara kultur mulai dari bawah hingga ke meja pengadilan tanpa kita sadari.

 Siapa yang harus disalahkan, agar hukum di negara kita ini bisa bersifat adil dimata masyarakat dan ALLAH ??? Pekerjaan Rumah (PR) buat kita semua sebagai anak-anak bangsa yang cinta dan ingin keadilan itu ada dinegeri ini !!!!

(Rudy Karetji, Direktur Eksekutif Nasional KRAK Indonesia)

Rabu, 05 Juni 2013

KORUPTOR ITU PENGKHIANAT BANGSA DAN NEGARA

Tahun 1945 merupakan tahun  penting dalam sejarah nasional Indonesia. Pada tahun itu, tepatnya tanggal 17 bulan agustus, Soekarno membacakan pemberitahuan resmi (proklamasi) kemerdekaan Indonesia. Pemberitahuan itu merupakan bentuk pemersatuan bangsa Indonesia—secara politik— sebagai Negara seutuhnya yang merdeka dari belenggu penjajah selama lebih dari 3,5 abad lamanya.

Tahun demi tahun Indonesia membangun. Segala aspek kehidupan terus dibenahi, dari aspek sosial, ekonomi, pemerintahan, budaya dan hukum. Tentunya pelaksanaan pembangunan itu berdasarkan sebuah  hukum yang dalam hierarki peraturan perundangan-undangan menempati posisi tertinggi—yaitu Undang-Undang Dasar Negara Repubik Indoesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945)—sebuah hukum yang sangat idealis, sebuah arahan bagaimana Indonesia bergerak untuk mewujudkan masyarakat yang adil, makmur dan sentosa.

Sepertinya idealisme yang ada dalam konstitusi tidak dilaksanakan, hanya menjadi pajangan, hanya menjadi simbol supaya disebut Negara hukum. Karena pengkhianat lah semua jadi macet. Layaknya sebuah tanaman yang akan tumbuh, namun terus di “diganggu” oleh anak si penanam sendiri. Founding Fathers adalah orang tua kita, leluhur kita,  orang-orang yang berjasa pada Negara, yang juga menjadi contoh bagaimana seharusnya menjaga bangsa ini. Namun, malah “anak-anaknya” sendiri yang merusaknya, merusak cita-cita bangsa. “Menyedot” semua yang ada untuk dirinya sendiri dan kroni-kroninya.

Instrumen hukum yang digunakan sebagai payung pemberantasn Tindak Pidana Korupsi sudah mengalami perubahan seiring makin berkembang pula modus pelaksanaan Tindak Pidana Korupsi. Korupsi kini tidak saja dilakukan secara individu, namun juga sudah dilakukan secara berjamaah. Kita harus skeptis apabila hanya ada bawahan dalam sebuah lembaga tersandung masalah korupsi, pasalnya tidak  mungkin dia bekerja sendiri tanpa sepengetahuan pimpinannya.

Dampak yang dilakukan si Pengkhianat itu sangat besar, setiap sektor kehidupan terkena imbasnya. Karena banyaknya uang Negara yang “dimakan”, hak-hak dasar warga Negara terenggut : hak untuk hidup layak, hak untuk mengakses sumbet daya, dan hak-hak dasar lainnya tidak dapat dipenuhi oleh Negara.  Kesenjangan sosial juga meningkat, rakyat kelompok miskin dan marjinal tidak pernah mendapat akses anggaran yang seharusnya diberikan oleh Negara.

Akhir-akhir ini sering dijumpai bahwa pelaku Tindak Pidana Korupsi adalah para pejabat pemerintah yang melakukan penyelewengan keuangan Negara. Akibatnya, masyarakat pesimis dengan pemerintah, mosi tidak percaya terhadap pemerintahan Negara ini  kerap mewarnai berbagai  diskusi. Pemerintahan yang tidak berwibawa pun timbul karena masyarakat bersikap apatis. Perlu menjadi perhatian, sifat apatis ini akan mengakibatkan rapuhnya ketahanan nasional, stabilitas keamanan Negara juga terpengaruh. Pada tahun 1998, masyarakat sudah tidak mempercayai pemerintah, akibatnya muncul demonstrasi besar-besaran hingga berhasil menumbangkan rezim orde baru. Korupsi adalah salah satu penyebab terjadinya hal tersebut.

Mungkin benar apa yang dikatakan Dalang Ki Enthus Susmono, dalam sebuah pentas, beliau mengatakan sudah semakin banyak monyet yang memakai topeng manusia.

Oleh : Rudy Karetji
Direktur Eksekutif Nasional
Komite Rakyat Anti Korupsi Indonesia

Selasa, 14 Mei 2013

Korupsi Sangat Sulit Diberantas

Korupsi dalam sejarah manusia bukanlah hal baru. Ia lahir berbarengan dengan umur manusia itu sendiri. Ketika manusia mulai hidup bermasyarakat, di sanalah awal mula terjadinya korupsi. Penguasaan atas suatu wilayah dan sumber daya alam oleh segelintir kalangan mendorong manusia untuk saling berebut dan menguasai. Berbagai taktik dan strategi pun dilaksanakan. Perebutan manusia atas sumber daya alam dan politik inilah awal mula terjadinya ketidakadilan. Padahal kebutuhan untuk bertahan hidup kian menanjak, tapi kesempatan untuk memenuhinya semakin terbatas. Sejak saat itu moralitas dikesampingkan. Orientasi hidup yang mengarah pada keadilan berubah menjadi kehidupan saling menguasai dan mengekploitasi. Di dalam sejarah, kita dapat menemukan banyak catatan yang terkait dengan kondisi tersebut.

Di Indonesia, korupsi mulai terjadi sejak jaman kerajaan. Bahkan VOC bangkrut pada awal abad 20 akibat korupsi yang merajalela di tubuhnya. Setelah proklamasi kemerdekaan, banyak petinggi  Belanda yang kembali ke tanah airnya, posisi kosong mereka kemudian  diisi oleh kaum pribumi pegawai pemerintah Hindia Belanda (ambtenaar) yang tumbuh dan berkembang di lingkungan  korup. Kultur korupsi tersebut berlanjut hingga  masa pemerintah Orde Lama. Di awal pemerintahan Orde Baru, Presiden Soeharto melakukan berbagai upaya untuk memberantas korupsi. Terlepas dari upaya tersebut, Presiden Soeharto tumbang karena isu korupsi. Perjalanan panjang korupsi telah membuat berbagai kalangan pesimis akan prospek pemberantasan korupsi, baik di Indonesia maupun  di berbagai belahan dunia.

Dalam dua dekade terakhir, dunia mulai memandang korupsi sebagai isu penting.  Berbagai inisiatif untuk memerangi korupsi dilakukan mulai dari  tingkat nasional, regional hingga level internasional. Pandangan bahwa korupsi mendorong pertumbuhan ekonomi mulai ditinggalkan banyak kalangan. Korupsi dipandang bukan hanya sebagai permasalahan moral semata, tetapi sebagai permasalahan multidimensional (politik, ekonomi, social dan budaya).Perubahan cara pandang dan pendekatan terhadap korupsi, yang diikuti dengan menjamurnya kerjasama antar bangsa dalam isu ini menyemai optimisme bahwa perang melawan korupsi adalah perang yang bisa kita menangkan.

Tulisan ini disusun untuk menyamakan sekaligus mempertajam kerangka berpikir guna membantu para pembaca dalam menyelami bab-bab selanjutnya. Tulisan ini terdiri dari beberapa bagian dan mengupas berbagai isu korupsi mulai dari pengertian korupsi, pergeseran cara pandang dunia terhadap korupsi, tipologi korupsi dan model-model analisa tentang korupsi.  Selain itu, akan didiskusikan juga alternatif pendekatan untuk menekan tingkat korupsi. Diakhir akan diulas perlunya membangun integritas di berbagai aspek kehidupan bangsa (integritas nasional) sebagai langkah untuk memberantas korupsi.

APA ITU KORUPSI ?

Apabila kita mengunjungi website Webster Dictionary dan meng-klik kata corruption, definisi yang muncul adalah “immoral conduct or practices harmful or offensive to society atau a sinking to a state of low moral standards and behavior (the corruption of the upper classes eventually led to the fall of the Roman Empire).

Definisi tersebut terlalu luas dan kurang bermanfaat untuk dijadikan pijakan dalam membahas korupsi sebagai permasalahan multidimensi (politik, ekonomi dan sosial-budaya).

Definisi lain dari korupsi yang paling banyak diacu, termasuk oleh World Bank dan UNDP, adalah “the abuse of public office for private gain”. Dalam arti yang lebih luas, definisi korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan publik untuk kepentingan pribadi atau privat yang merugikan publik dengan cara-cara bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku.

Definisi ini merupakan konsensus yang banyak diacu para pakar di bidang anti-korupsi. Walau demikian, definisi ini  belum sempurna meski cukup membantu dalam membatasi  pembicaraan tentang korupsi. Beberapa kelemahan definisi tersebut di antaranya bias yang cenderung memojokkan sektor publik, serta definisi yang tidak mencakup tindakan korupsi oleh privat walaupun sama-sama merugikan publik.

Korupsi terjadi jika tiga hal terpenuhi, yaitu:
(1) Seseorang memiliki kekuasaan termasuk untuk menentukan kebijakan  
     publik dan melakukan administrasi kebijakan tersebut,
(2) Adanya economic rents, yaitu manfaat ekonomi yang ada sebagai akibat
     kebijakan publik tersebut, dan
(3) Sistem yang ada membuka peluang terjadinya pelanggaran oleh pejabat
     publik yang bersangkutan. Apabila  satu dari ketiga parameter ini  tidak
     terpenuhi, maka tindakan yang terjadi tidak bisa dikategorikan sebagai
     tindakan korupsi.

Secara umum, tindakan illegal seperti penggelapan pajak dan penyelundupan  selama tidak melibatkan pejabat publik tidak dapat dikategorikan sebagai tindakan korupsi, padahal secara tidak langsung tindakan ini merugikan publik karena mengurangi pendapatan negara dari sektor pajak. Dalam studi Lambsdorff disebutkan bahwa besarnya proporsi budget pemerintah terhadap GDP suatu negara berkorelasi positif terhadap tingkat korupsi, barangkali definisi korupsi yang bias pada sektor publik merupakan salah satu jawabannya.

Definisi tersebut juga menyamaratakan korupsi di negara yang menganut sistem kerajaan dan demokrasi. Dalam negara kerajaan, raja mempunyai wewenang untuk mengatur distribusi kekayaan negara bagi rakyat, karena pada prinsipnya tidak ada pemisahan antara kekayaan negara dan kekayaan pribadi raja. Sebagai contoh, seorang raja  bisa saja menggunakan uang kerajaan untuk urusan pribadi dan ini tidak diangap sebagai tindakan korupsi. Tindakan yang sama akan menjadi kasus korupsi besar apabila terjadi di negara demokrasi.

Pertanyaannya, apabila sebuah negara demokrasi dengan tingkat korupsi tinggi mentransform diri menjadi negara kerajaan, apakah berbagai kasus korupsi akan terselesaikan atau dianggap selesai? Menggunakan definisi korupsi yang ada dan alat ukur yang kita miliki saat ini, bisa jadi jawaban dari pertanyaan tersebut adalah ya.

Transparansi Internasional mempunyai definisi yang lebih fleksibel tentang korupsi, yaitu “penyalahgunaan kepercayaan yang diberikan orang lain, untuk kepentingan pribadi”. Di sisi lain, Indonesia juga telah mengambil langkah maju dalam mendefiniskan tindak korupsi, dimana jenis tindakan yang termasuk dalam kategori korupsi diperluas, bahkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mencantumkan daftar 29 perbuatan yang bisa dikategorikan sebagai korupsi, baik melibatkan maupun tidak melibatkan pejabat publik. Informasi tentang ke-29 perbuatan tersebut, tercantum dalam tulisan Saldi Isra dan Eddy OS. Hiariej dalam bagian lain dari buku ini.

Pergeseran Pandangan Tentang Korupsi

Pandangan tentang korupsi mengalami pergeseran dari waktu ke waktu. Debat tentang apakah korupsi mampu meningkatkan efisiensi ekonomi cukup mendominasi diskursus tentang korupsi pada periode 1970-an dan awal 1980-an. Salah satu prinsip yang dianut oleh sebagian kalangan saat itu adalah “grease –the –wheel”. Korupsi dipandang oleh para “corruption apologist” sebagai minyak pelumas sistem ekonomi yang tidak berjalan secara efisien akibat tidak berfungsinya birokrasi dikombinasikan dengan peraturan pemerintah yang tumpang tindih.

Dalam kondisi ini, suap dipandang sebagai insentif bagi pegawai publik untuk melayani klien dengan sebaik-baiknya. Ari Perdana, pada bagian lain dari buku ini mengulas bahwa korupsi baru bermanfaat ketika birokrasi benar-benar tidak berfungsi sehingga perlu pelumas. Hal ini bukanlah kondisi ideal bagi mesin ekonomi untuk bekerja, tetapi merupakan second best saja. Dalam kata lain, kondisi ini lebih baik daripada mesin ekonomi tidak berjalan sama sekali. Grease perlu diberikan supaya “roda” (baca: mesin ekonomi) yang macet karena “karatan” bisa berputar. Idealnya, kita menjaga agar “roda” tersebut tidak “karatan”, sehingga tanpa minyak pun bisa berputar tanpa hambatan.

Dalam dua puluh tahun terakhir, cara pandang dunia terhadap masalah korupsi mengalami perubahan drastis. Korupsi dipandang sebagai masalah, dan penanganan korupsi mulai menjadi perhatian dunia. Berbagai faktor yang mendorong perubahan paradigma tersebut adalah:

Pertama, berakhirnya perang dingin. Pada masa perang dingin, bantuan luar negeri lebih bersifat ideologis daripada ekonomis dan ditujukan untuk mengikat negara berkembang supaya tidak beralih kepada blok lawan. Dalam kata lain, donor asing cenderung tidak menempatkan kualitas program, alokasi dana dan tata kelola yang baik pada saat implementasi sebagai faktor pertimbangan utama diberikannya dana, sehingga kebocoran merupakan efek yang tidak bisa dihindari. Keruntuhan Uni Soviet yang mengakhiri perang dingin  merubah praktek tersebut. Donor asing lebih pragmatis dan menuntut agar dana dipergunakan secara efisien dan akuntable. Isu pemberantasan korupsi mulai mengemuka di kalangan donor asing.

Kedua , kejatuhan presiden Filipina, Ferdinand Marcos, oleh people power pada tahun-tahun terakhir kekuasaannya, 1986. Dunia tidak pernah menduga bahwa kejatuhan Marcos akan terjadi demikian cepat. Korupsi yang sangat kronis membuat rakyat Filipina mulai gerah hingga mendorong  munculnya berbagai protes. Awalnya protes kecil, tetapi menjadi  masal berkat peran gereja-gereja sebagai simpul mobilisasi masa (saat itu SMS, e-mail dan Facebook belum populer). Ketika kardinal Sin merestui demo tersebut, protes menjadi semakin masif dan berskala nasional. Pemberitaan oleh berbagai media, seperti BBC dan CNN, membuat dunia turut memberikan tekanan kepada Marcos untuk mundur. Kejadian ini merupakan momentum penting bagi upaya pemberantasan korupsi di dunia karena dianggap sebagai gerakan  murni yang berasal dari, dilakukan oleh dan untuk rakyat – dalam banyak kasus rakyat sering dijadikan sebagai “kendaraan”  aktor politik tertentu.

Kejadian ini juga mengirimkan pesan yang kuat bagi para penguasa korup di seluruh dunia tentang resiko atas tindakan mereka. Secara tidak langsung, peristiwa tersebut juga menginspirasi masyrakat dunia agar lebih berani bertindak. Kejadian di Filipina, secara tidak disadari, diikuti oleh upaya pemberantasan korupsi di berbagai belahan dunia, termasuk Spanyol, Itali, Perancis, Jepang, Meksiko dan beberapa negara Amerika Latin lainnya.
Ketiga, kegagalan konsep pembangunan di banyak negara berkembang, terutama di Afrika. Terlepas dari konsep pembangunan yang disusun secara komprehensif dengan nilai program miliaran dollar, hasil pembangunan ternyata jauh dari harapan.

Bahkan, indikator makroekonomi, dan kualitas hidup penduduk Afrika justru semakin terpuruk dari waktu ke waktu. Paul Collier dalam  “The Bottom One Billion” menyebutkan bahwa 80 persen dari satu miliar penduduk termiskin dunia berada di 50 failing states yang kebanyakan berada di Afrika. Masih menurut Collier, kemiskinan tersebut disebabkan oleh empat jebakan yang bersifat fundamental, yaitu:
(1) konflik horizontal,
(2) land-lock countries dengan tetangga yang kurang kondusif – negara-
     negara korup dan penuh konflik,
(3) kekayaan alam berlimpah – yang dikelola secara korup dan tidak untuk
     kepentingan rakyat, dan
(4) pemerintahan yang tidak menerapkan good governance. Korupsi sangat
     erat terkait dengan dua faktor penyebab kemiskinan yang disebutkan
     terakhir, dan kesimpulan ini sejalan dengan berbagai riset yang
     menyatakan bahwa korupsi menyebabkan kemiskinan dan ketimpangan
     sosial.

Ketiga, munculnya berbagai NGO anti-korupsi di dunia, terutama pada periode 1990-an. Institusi seperti, Transparency International dan lain-lain mengeluarkan berbagai peringkat dan skor persepsi korupsi serta integrity index di berbagai negara di seluruh dunia.

Hal ini memungkinkan kita untuk membandingkan secara apple to apple tingkat korupsi di berbagai negara. Terlepas dari berbagai kelemahan sistem pengukuran yang ada, ranking dan skor yang dipublikasikan telah berhasil menggugah berbagai negara untuk meningkatkan upaya pencegahan dan perang melawan korupsi. Mereka ingin “naik kasta” menjadi negara bersih.

Hal ini ditujukan untuk menarik investor asing dan untuk menaikkan gengsi pemerintah. Mengingat mayoritas ranking dan skor tersebut merupakan index persepsi, beberapa negara lebih fokus pada kegiatan pembangunan —citra dari pada pemberantasan korupsi yang sesungguhnya karena  dinilai lebih efektif dalam memperbaiki skor mereka.

Keempat, runtuhnya ekonomi negara-negara Asia pada ekonomi krisis 1997. Para corruption apologist sering menggunakan solidnya kinerja ekonomi “Macan Asia” (Korea Selatan, Taiwan, Hong Kong dan Singapura), Indonesia, Malaysia, Thailand dan Filipina – negara dengan tingkat korupsi yang tinggi tetapi mempunyai kinerja ekonomi yang menakjubkan – sebagai justifikasi pandangan mereka. Krisis ekonomi tahun 1997  telah meruntuhkan perekonomian negara-negara tersebut, korupsi yang akut makin memperparah keadaan serta mempersulit proses kebangkitan mereka.

 Hal ini memutar balikkan pandangan para corruption apologist. Korupsi bukanlah pelumas bagi mesin ekonomi, tetapi sebaliknya merupakan pasir (sand in the economic engine) yang menghambat mesin ekonomi bekerja dengan baik, akibat inefisiensi serta kesalahan alokasi sumberdaya yang ditimbulkannya. Kalaupun  tumbuh, pertumbuhan tersebut tidaklah berkelanjutan.

Saat ini, hampir seluruh kalangan bersepakat tentang apa itu korupsi dan dampak korupsi bagi perekonomian negara. Diskursus tentang korupsi lebih banyak diorientasikan untuk membahas cara-cara penanggulangan korupsi serta upaya mempererat kerjasama internasional karena dalam era modern ini, korupsi sering merupakan aktivitas lintas negara dan benua.

Tipologi Korupsi

Arvind Jain dalam paper berjudul “Corruption: a Review” secara menarik menggambarkan area dimana korupsi sering terjadi di negara demokrasi. Pemetaan interaksi antar aktor politik dan ekonomi membantu memberikan gambaran tentang potensi korupsi.

Interaksi 1
Interaksi 1 melibatkan rakyat dan pemimpin negara yang dipilih melalui proses demokrasi. Dalam interaksi tersebut, terutama di negara demokrasi yang belum mengalami konsolidasi, peluang korupsi politik dalam berbagai bentuk, termasuk politik uang untuk memenangkan pemilu sangat mungkin terjadi.

Umumnya, pemimpin terpilih mempunyai diskresi yang luas dalam menentukan kebijakan pemerintah. Diskresi ini membuka kesempatan bagi para pemimpin untuk mengambil kebijakan yang tidak menomorsatukan kepentingan rakyat, dari mana kekuasaan mereka sesungguhnya berasal.

Dalam banyak kasus, para elit politik mengeluarkan kebijakan, termasuk kebijakan ekonomi, yang menguntungkan kelompok tertentu. Dalam kebijakan alokasi anggaran misalnya, elit politik bisa saja mengarahkan penggunaan anggaran pemerintah untuk sektor yang sebenarnya kurang bermanfaat bagi rakyat, tetapi dapat membesarkan bisnis para “investor politik” mereka.

Privatisasi adalah contoh klasik dalam kasus ini, dimana kebijakan publik diarahkan untuk  mentransfer kepemilikan asset berharga milik publik kepada privat. Walaupun privatisasi berpotensi untuk menciptakan lingkungan bisnis yang relatif bersih dan kompetitif, tetapi proses privatisasi itu sendiri sangat rawan korupsi.

Interaksi 2
Interaksi 2 terdiri dari tiga bagian, yaitu:
(1) Interaksi antara para birokrat dengan pemimpin pilihan rakyat,
(2) Interaksi antara birokrat dengan anggota legislatif dan
(3) Interaksi antara birokrat dengan rakyat. Interaksi ini membuka peluang
     terjadinya bureaucratic corruption atau korupsi birokrat.

Dalam berbagai kasus, birokrat atau pejabat publik yang dipilih oleh para pimpinan negara sering diposisikan sebagai kepanjangan tangan mereka untuk “memeras” kekayaan negara melalui berbagai institusi pemerintahan maupun perusahaan milik negara (BUMN). Birokrat terpilih diharuskan menyerahkan setoran rutin kepada para elit politik untuk melanggengkan posisi politik mereka melalui proses demokrasi yang koruptif. Dalam kondisi ini, sangat mungkin korupsi terjadi secara berulang.

Interaksi antara pejabat publik dengan anggota legislatif juga membuka peluang terjadinya korupsi. Di Indonesia, seleksi pejabat tingkat tertentu (misalnya Gubernur BI, Direksi BUMN, Ketua MA, Ketua KPK, Ketua BPK dan lain-lain) harus melalui proses fit and proper test di legislatif. Proses ini memunculkan peluang “jual beli” jabatan yang melibatkan kandidat pejabat publik dan anggota legislatif. Setelah terpilih, legislatif berhak untuk mengadakan dengar pendapat dengan para birokrat terpilih, interaksi ini juga membuka peluang terjadinya korupsi.

Pada dataran yang lain, interaksi antara pejabat publik dengan rakyat merupakan pintu terjadinya korupsi kecil, pejabat publik korup dari berbagai level mengutip uang dari rakyat. Proses ini sangat mungkin terjadi, mengingat kantor pelayanan publik (Kantor pelayanan KTP, IMB, SIM, ijin usaha, dll) umumnya memonopoli pelayanan publik, padahal monopoli merupakan pintu utama terjadinya korupsi.

Dalam banyak kasus, korupsi kecil terjadi secara integratif, melibatkan karyawan level bawah hingga level atas. Karyawan level bawah diharuskan menyetorkan pendapatannya kepada atasan, sebaliknya atasan memberikan perlindungan kepada bawahan.

Interaksi 3
Interaksi 3 melibatkan pemimpin terpilih dan anggota legislatif. Berbagai kebijakan publik memerlukan persetujuan dari legislatif, interaksi ini membuka peluang terjadinya korupsi legislatif (legislative corruption) baik berupa suap kepada atau pemerasan oleh anggota legislatif.

Korupsi legislatif relatif mudah terjadi pada negara dengan sistem demokrasi yang belum terkonsolidasi, dimana pembiayaan kampanye politik belum diatur dan diawasi dengan baik. Sistem voting tertutup di lembaga legislatif, seperti yang terjadi di Indonesia, turut memperparah kondisi karena konstituen tidak bisa mengawasi apakah para wakil yang mereka pilih benar-benar mewakili kepentingan mereka. Hal ini merupakan awal munculnya problem akuntabilitas yang akut.

Faktor lain yang berkontribusi terhadap fenomena korupsi legislatif adalah tidak adanya kelompok oposisi yang kuat. Kelompok kepentingan tertentu (interest group) mempunyai peluang  besar untuk dapat memuluskan ide mereka melalui lobi dengan biaya yang jauh lebih rendah, karena mereka cukup menyogok satu kelompok saja.

Di lain pihak, ketiadaan oposisi yang kuat juga menurunkan resiko atas tindakan korupsi para anggota legislatif dan kelompok kepentingan tertentu, akibat tidak adanya pihak oposisi yang berpotensi membongkar penyimpangan yang terjadi.

Interaksi 4
Interaksi 4 melibatkan rakyat dan anggota legislatif yang dipilih melalui pemilihan umum. Demokrasi prosedural relatif lebih mudah diwujudkan, tetapi mewujudkan demokrasi substansial bukanlah perkara mudah. Sebagai contoh, India telah memiliki demokrasi tanpa henti sejak tahun 1950 (tiga tahun setelah merdeka dari Inggris pada tahun 1947), tetapi hingga saat ini demokrasi masih belum merealisasikan janjinya yaitu kemakmuran yang adil bagi seluruh rakyat. Salah satu prakondisi bagi terwujudnya demokrasi substantif adalah pengaturan politik uang dan pendanaan kampanye yang baik.

Di negara dimana politik uang merupakan fenomena biasa, seringkali politisi menyuap rakyat agar mereka terpilih dalam pemilu, sehingga keterpilihan mereka tidak ditentukan oleh kinerja tetapi oleh kemampuan finansial mereka. Tentu saja dari para “investor politik”, dari mana uang tersebut bersumber, mengharapkan “pengembalian investasi” berupa kebijakan yang menguntungkan mereka.

Grand Corruption & Petty Corruption

Terdapat ratusan, bahkan ribuan jenis tindakan yang bisa kita kategorikan sebagai korupsi. Tindakan-tindakan tersebut dapat kita kelompokan dalam dua kategori besar yaitu grand corruption atau korupsi besar dan petty corruption atau korupsi kecil. Tidak ada landasan teori yang pasti sebagai dasar penggolongan tersebut, tetapi prinsip yang dapat dijadikan acuan adalah besaran dana, modus operandi serta level pejabat publik yang terlibat di dalamnya.

a.      Grand Corruption
Grand corruption atau korupsi besar adalah korupsi yang dilakukan oleh pejabat publik tingkat tinggi menyangkut kebijakan publik dan keputusan besar di berbagai bidang, termasuk bidang ekonomi. Korupsi disebut juga corruption by greed atau korupsi akibat keserakahan, karena para pelaku umumnya sudah berkecukupan secara materiil.

Korupsi besar menyebabkan kerugian negara yang sangat besar  secara finansial maupun  non-finansial. Modus operandi yang umum terjadi adalah kolusi antara kekuatan ekonomi, kekuatan politik dan para pengambil kebijakan publik. Melalui pengaruh yang dimiliki, kelompok kepentingan tertentu mempengaruhi pengambil kebijakan guna mengeluarkan kebijakan yang menguntungkan kelompoknya.

Apabila pengaruh kelompok tersebut begitu besar dan seolah dapat mengontrol proses perumusan kebijakan publik, fenomena ini sering disebut dengan state capture atau elit capture.

State caputer dapat terjadi dalam berbagai bentuk, World Bank – dalam bukunya Anti-Corruption in Transition 2, menjabarkan beberapa bentuk state capture yaitu:
(1) Suap kepada anggota DPR untuk mempengaruhi perundangan,
(2) Suap kepada pejabat negara untuk mempengaruhi kebijakan publik,
(3) Suap kepada lembaga peradilan untuk mempengaruhi keputusan terkait
     dengan kasus-kasus besar,
(4) Suap kepada pejabat bank sentral untuk mempengaruhi kebijakan
     moneter, dan
(5) sumbangan kampanye ilegal untuk partai politik.

Kerugian terbesar bagi negara dan rakyat tidak saja diakibatkan oleh besarnya nilai uang yang hilang, tetapi juga bergesernya orientasi kebijakan publik dari untuk kepentingan rakyat menjadi  untuk kepentingan segelintir individu.

Dalam jangka menengah dan panjang, grand corruption akan melahirkan problem struktural yang sulit untuk ditata ulang, seperti struktur ekonomi yang tidak efisien serta struktur politik yang koruptif. State capture akan menjadikan demokrasi sebagai quasai sistem kerajaan, dimana tidak ada pembedaan yang jelas antara kekayaan/kepentingan para elit politik dan kekayaan/kepentingan negara.

Ketika ini terjadi, sangat kecil peluang bagi suatu bangsa untuk meluruskannya. Sebagai contoh, Indonesia memerlukan krisis ekonomi dan guncangan sosial politik yang dahsyat pada tahun 1998, untuk bisa menggeser struktur ekonomi dan politik ke arah yang benar.

Contoh klasik korupsi besar adalah privatisasi asset negara secara tidak transparan dan fair, pemberian konsesi eksploitasi tambang dan kekayaan alam lainnya kepada kelompok tertentu, proses tender proyek skala besar yang tidak transparan, keringanan pajak dan biaya masuk untuk sector dan kelompok tertentu, dan bailout secara pilih kasih kepada perusahaan tertentu agar lolos dari jebakan krisis ekonomi.

Petty corruption
Petty corruption atau korupsi kecil, sering disebut survival corruption atau corruption by need, adalah korupsi yang dilakukan oleh pegawai pemerintah guna mendukung kebutuhan hidup sehari-hari, akibat pendapatan yang tidak memadai.

Korupsi kecil merupakan fenomena yang terjadi di banyak negara yang gagal menyusun dan mengimplementasikan kebijakan publik yang menyejahterakan rakyat. Tentunya, kita sepakat bahwa korupsi dengan alasan apapun merupakan tindakan yang tidak bisa dibenarkan, tetapi penulis memandang kesalahan mendasar penyebab maraknya korupsi kecil di dalam birokrasi adalah belum dilaksanakannya reformasi birokrasi yang mampu menerapkan merit system yang menyejahterakan para pegawai pemerintah.

Pemberantasan korupsi kecil sama strategisnya dengan pemberantasan grand corruption mengingat:

Pertama, kendati nilai kerugian per-kejadian relatif kecil, tetapi dikarenakan jumlah kejadian yang masif, total kerugian yang diderita oleh negara dan masyarakat akibat korupsi ini sangat besar.

Kedua, korupsi kecil menyangkut sisi kehidupan sehari-hari masyarakat. Apabila tidak segera ditanggulangi, masyarakat akan menganggap korupsi sebagai bagian dari keseharian mereka yang akan menciptakan masyarakat yang permisif dan toleran terhadap korupsi. Apabila ini terjadi, upaya untuk melibatkan masyarakat secara aktif dalam memberantas korupsi akan semakin sulit dilaksanakan.

Ketiga, korupsi kecil menyemai korupsi besar. Pejabat tingkat bawah, yang terlibat korupsi kecil, dengan berjalannya waktu akan menjadi pejabat tinggi dengan diskresi kekuasan yang besar. Ada kecenderungan seseorang untuk mengulangi kejahatan yang pernah dilakukannya sepanjang ada kesempatan, sehingga meningkatkan potensi terjadinya korupsi besar; Hal ini relevan dengan tulisan Rimawan Pradiptyo di bagian lain dari buku ini yang menjabarkan kecenderungan seorang pelaku kejahatan untuk mengulang bahkan melipatkan ukuran kejahatan di masa mendatang.

Salah satu pertanyaan pertanyaan penting di sini adalah apakah benar menaikan gaji pegawai bisa menekan tingkat korupsi dan apakah gaji pegawai negeri saat ini terlalu rendah. Dalam penelitian Treisman dan Evans ditunjukkan bahwa tidak ada indikasi  kuat bahwa gaji yang lebih tinggi akan menurunkan tingkat korupsi.

Beberapa survei termasuk yang dilakukan oleh Sakernas membuktikan bahwa sebenarnya pegawai negeri menerima pendapatan relatif lebih tinggi dari pegawai swasta, apabila memasukan komponen tunjangan di luar gaji pokok. Dalam kata lain, gaji pegawai negeri per-unit kontribusi yang mereka lakukan sebenarnya sudah relatif kompetitif.

Pada abad ke-18, Swedia, salah satu negara dengan tingkat korupsi paling rendah di dunia saat ini, merupakan negara yang paling korup di Eropa, upaya menaikan gaji pegawai pemerintah dikombinasikan dengan deregulasi di sektor kepegawaian telah melahirkan pegawai-pegawai pemerintah yang jujur dan kompeten.

Pengalaman Swedia menunjukkan bahwa bahwa kenaikan gaji saja tidaklah cukup, upaya menekan korupsi kecil hendaknya dilakukan melalui reformasi birokrasi yang menyeluruh. Pada bagian lain dari buku ini, Vishnu Juwono mengupas secara komprehensif dan sistematis isu reformasi birokrasi ini.

Mengapa Korupsi Sulit Diberantas?

Meski upaya pemberantasan korupsi  gencar dilaksanakan, tetapi kondisi tidak kunjung membaik. Korupsi merupakan isu multidimensional yang mempunyai komponen politik, ekonomi, sosial dan budaya, yang sering melibatkan para pemegang kekuasaan, sehingga memberantas korupsi bukanlah perkara mudah.

Sejarah mencatat begitu banyak pemimpin yang dipilih oleh rakyat karena mengangkat isu pemberantasan korupsi sebagai tema sentral kampanye mereka. Tetapi paradoks terjadi, terlepas apakah mereka benar-benar anti-korupsi dan pada awalnya berupaya keras untuk memberantas korupsi, ataukah mereka sekedar menggunakan isu korupsi untuk meraih simpati masa saja, banyak di antara mereka yang jatuh akibat kasus korupsi.

Di Indonesia misalnya, pada awal kepemimpinan Presiden Soeharto berupaya secara serius memberantas korupsi melalui pembentukan berbagai lembaga, tetapi upaya yang bersifat formalistis tersebut gagal dan bahkan isu korupsi ikut menjatuhkannya pada tahun 1998.

Di Filipina, Presiden Estrada terpilih melalui pemilu yang bebas dan terbuka pada tahun 1998 dengan mengusung isu pemberantasan korupsi. Pada tahun 2001, Estrada kehilangan kekuasaan dan bahkan dihukum karena keterlibatannya dalam berbagai kasus korupsi. PM Benazir Bhuto dari Pakistan, Presiden Olusegun Obasanjo dari Nigeria, adalah sebagian kecil dari deretan panjang pemimpin dunia yang bernasib sama.

Michael Natch menyebutkan bahwa tingginya korupsi merupakan sebuah parameter yang valid untuk memprediksi tumbangnya suatu pemerintahan.

Korupsi merupakan kejahatan yang sulit diungkap, karena korupsi melibatkan dua pihak yaitu koruptor dan klien yang sering keduanya berupaya untuk menyembunyikan kejadian tersebut, mengingat manfaat besar korupsi bagi mereka dan/atau risiko hukum atau sosial apabila tindakan mereka terungkap.

Dalam kasus korupsi dimana klien dan pejabat korup yang sama-sama menikmati manfaat, mereka akan menutupi asi mereka agar kepentingan mereka tetap terlindungi. Sementara dalam kasus korupsi dimana salah satu pihak merupakan korban, si korban cenderung tidak melaporkan kejadian mengingat, dalam banyak kasus, korban dapat dipersalahkan ketika membongkar kasus korupsi dengan berbagai alasan termasuk alasan pencemaran nama baik. Busyro Muqoddas di bagian lain dari buku ini mengungkapkan contoh kasus yang tepat untuk menjelaskan fenomena ini.

Sama halnya dengan kasus penggunaan obat terlarang ataupun perkosaan, kasus korupsi ditutupi oleh pihak yang terlibat, termasuk oleh korban, sehingga data yang terekspose kemungkinan hanya merupakan sebagian kecil dari jumlah kasus yang sesungguhnya terjadi. Dengan kata lain, kasus korupsi seperti gunung es dimana sebagian besar kejadian tidak muncul di permukaan.

Pelaporan oleh pihak yang dirugikan oleh kasus korupsi merupakan ujung dari mata rantai pemberantasan korupsi. Sayangnya, para pelapor yang biasa disebut dengan wistleblower  merupakan makluk langka yang jarang ditemui. Satu faktor di antaranya adalah kurang memadainya perlindungan terhadap pelapor. Walaupun Indonesia sudah memiliki wistleblower rule, tetapi dalam taraf implemetasi, kebijakan tersebut masih mengandung banyak kelemahan. Mas Ahmad Daniri mengulas secara lebih detail permasalahan Whitleblower dalam bagian lain dari buku ini.

Korupsi terjadi apabila tiga hal terpenuhi yaitu:
(1) Adanya benefit atau rent yang bisa dibagikan,
(2) Adanya pejabat publik yang  memiliki kekuasaan, yang mau
     memfasilitasi proses korupsi – dalam hal ini memberikan akses kepada
     pihak tertentu terhadap benefit tersebut, dan
(3) adanya pihak tertentu yang mau melakukan upaya penyogokan.

Poin kedua di atas, menggambarkan bahwa kasus korupsi sering melibatkan pejabat publik atau elit politik yang mempunyai kekuasaan. Mereka tentunya tidak akan tinggal diam dan berupaya mempengaruhi proses penyelidikan dan penyidikan kasus korupsi.

Kemungkinan yang sering terjadi adalah para koruptor, secara terorganisasi maupun tidak, bekerjasama melawan upaya pemberantasan korupsi; atau sering disebut dengan “corruption fight back” atau serangan balik korupsi. Serangan ini sering mengakibatkan jatuhnya tokoh sentral dibelakang pemberantasan korupsi.

Nuhu Ribadu adalah salah satu contoh. Pejuang anti-korupsi dan mantan ketua the Economic and Financial Crimes Commission of Nigeria (KPK-nya Nigeria), merupakan satu diantaranya “korban” corruption fight back.[9] Nuhu mengungkapkan kepada penulis bahwa pada tahun 2007 jabatannya dicabut akibat dirinya membongkar kasus korupsi salah seorang gubernur di Nigeria dan dirinya juga secara serius mulai mengungkap kasus korupsi yang melibatkan tokoh-tokoh di sekitar presiden Nigeria.

Hingga saat ini Nuhu tinggal di pengasingan, di luar negeri. Kejadian ini sebenarnya menunjukkan bahwa Indonesia jauh lebih maju dalam pemberantasan korupsi dibandingkan dengan Nigeria dan banyak negara lain. Di Indonesia, beberapa gubernur, gubernur bank sentral, anggota legislatif pusat/daerah, menteri dan bahkan besan presiden yang sedang berkuasapun dijatuhi hukuman akibat kasus korupsi.

Negara Bebas Korupsi Sebuah Utopia?

Mewujudkan negara bebas korupsi merupakan slogan yang sering diusung oleh berbagai lembaga anti-korupsi. Bahkan kebanyakan institusi tersebut mencantumkan “Negara bebas korupsi” atau kalimat sejenis sebagai bagian dari visi, misi atau tujuan organisasi mereka. Apakah mungkin kita mewujudkan suatu negara bebas korupsi? Di Denmark dan Finlandia, negara yang pernah mendapatkan skor sempurna atau 10 pada Corruption Perception Index (CPI) tahun 1998, 1999 dan 2000, pun korupsi masih saja terjadi walaupun tidak kasat mata. Fakta tersebut menunjukkan bahwa korupsi bisa ditekan, tetapi tidak bisa diberantas habis.

Sama dengan virus influenza yang mempunyai puluhan ribu strain/jenis yang terus berkembang dalam hal jumlah, korupsi juga memiliki ribuan modus yang terus bertambah seiring dengan perkembangan jaman. Walaupun virus influenza sebenarnya relatif mudah untuk dicegah, tetapi jumlah strain yang begitu banyak membuat upaya pemberantasan menjadi mahal dan tidak praktis.

Sebagai gambaran, satu vaksin umumnya hanya bisa menahan satu atau beberapa strain virus saja, sehingga untuk bisa benar-benar kebal terhadap influenza, seseorang harus menerima ribuan injeksi vaksin; selain mahal, injeksi ribuan vaksin tersebut dapat membahayakan jiwa si pasien.
Korupsi tidak berbeda dengan virus influenza. Korupsi mempunyai berbagai modus dan jenis dengan modus operandi yang berkembang seiring dengan kemajuan jaman.

Menekan korupsi hingga tingkat nol jelas tidak mungkin, mengingat biaya yang sangat mahal, baik biaya finansial maupun non-finansial. Untuk mencapai tingkat korupsi nol, barangkali setiap ruang harus dilengkapi dengan kamera, setiap pembicaraan lewat telepon dan internet harus disadap, dan setiap rumah harus diawasi oleh agen rahasia. Hal ini, selain mahal juga dapat menghilangkan kebebasan individu, sesuatu yang tidak ternilai harganya.

Korupsi tidak bisa ditekan ke level nol, tetapi dapat digiring menuju ke level optimal. Secara teori upaya pemberantasan korupsi akan terus dilakukan hingga kerugian yang ditanggung masyarakat akibat per-unit korupsi sama dengan biaya memberantas per-unit korupsi.

Ketika titik keseimbangan tersebut terjadi, pemberantasan korupsi umumnya dihentikan, meninggalkan jumlah korupsi pada level optimum tertentu. Jumlah titik optimal antar negara bervareasi. Hal ini dapat kita analogikan dengan seorang pengusaha akan memproduksi barang terus menerus hingga marginal cost sama dengan marginal benefit. Secara lebih detail, konsep ini diulas dengan pendekatan ekonomi yang lugas oleh Ari Perdana, pada bagian lain buku ini.

Bagaimana operasionalisasi dari konsep di atas? Strategi pemberantasan korupsi dalam prakteknya dimulai dari korupsi-korupsi yang kasat mata dan mudah diberantas. Dalam kata lain, pemberantasan difokuskan pada low hanging fruit dengan biaya murah, relatif mudah dan kerugian akibat korupsi relatif tinggi.

Sejalan dengan keberhasilan upaya pemberantasan korupsi, low hanging fruit akan semakin sulit didapatkan sehingga yang tertinggal adalah high hanging fruit, yang relatif sulit untuk diberantas atau dalam terminologi ekonomi disebut mempunyai marginal cost yang tinggi. Sebagian kalangan mengacaukan fenomena low hanging fruit ini dengan fenomena tebang pilih dalam pemberantasan korupsi.

Dalam kata lain, memberantas korupsi di tahap awal akan relatif mudah dengan hasil yang lebih terlihat, searah dengan keberhasilan upaya pemberantasan korupsi, kita akan dihadapkan pada korupsi dengan tingkat kesulitan pemberantasan yang lebih tinggi dan dengan biaya yang besar. Hal ini merupakan alasan mengapa di negara “bersih” seperti negara-negara di Skandinavia, korupsi tetap saja terjadi.

Masyarakat tidak terlalu mempedulikan upaya pemberantasan korupsi saat jumlah korupsi optimal tercapai, mengingat kerugian yang ditanggung lebih rendah dari biaya yang harus dikeluarkan untuk memberantasnya.

Model Analisa Korupsi

Semenjak korupsi bergeser dari isu pinggiran menjadi isu sentral dalam banyak diskurusu, berbagai konsep pemodelan korupsi bermunculan. Pemodelan yang tepat akan membantu kita, tidak hanya dalam memahami proses terjadinya korupsi, juga membantu dalam upaya menekan tingkat korupsi.

Secara prinsip menekan tingkat korupsi dapat dilakukan dengan menurunkan (menaikkan) faktor-faktor yang mendorong (menghambat) terjadinya korupsi. Model merupakan simplifikasi dari fenomena yang sesungguhnya. Kasus korupsi riil pastilah jauh lebih kompleks, sehingga diperlukan proses adaptasi sebelum model diterapkan dalam dunia nyata. Hal lain, model bersifat unik sehingga belum tentu model yang tepat untuk suatu kasus korupsi dapat diimplementasikan dalam kasus yang sama dilingkungan yang berbeda.

a.      Willingness and opportunity (keinginan dan kesempatan)
Korupsi hanya akan terjadi jika dua hal terjadi secara bersamaan, yaitu adanya keinginan untuk korup (willingness to corrupt) faktor yang sifatnya internal tetapi bisa dipengaruhi oleh hal-hal eksternal dan kesempatan untuk korupsi (opportunity to corrupt) faktor yang sifatnya eksternal.

Manusia adalah makhluk ekonomi yang selalu berupaya memaksimalkan manfaat atas setiap aktivitas dengan biaya seminimal mungkin. Ekonom menyebut fenomena ini sebagai utility maximization, dalam banyak kasus prinsip ini sulit dibedakan dengan fenomena selfish atau mengutamakan diri-sendiri. Selfish merupakan awal munculnya sifat greed atau serakah, akar dari mentalitas korup.

Dalam kata lain, dalam diri manusia sesungguhnya sudah ada benih atau kecenderungan untuk melakukan tindakan korup. Dalam bagian lain dari buku ini, Aan Rukmana dan M. Subhi Ibrahim mengupas aspek moral dan religious terkait dengan korupsi.

Keinginan untuk korup merupakan refleksi dari kualitas moral masing-masing individu. Manusia bukanlah malaikat yang mempunyai moralitas tinggi yang stabil. Manusia jujur pun bisa saja berbuat tidak jujur karena keterpaksaan. Dari sisi reliabilitas, upaya pemberantasan korupsi yang menitikberatkan pada pembangunan moral saja tidaklah reliable.

Selain berfluktuasi, kualitas moral seseorang dapat berubah secara drastis seiring dengan berjalannya waktu. Banyak koruptor yang ketika masih muda atau pada periode awal kepemimpinannya adalah individu yang mempunyai integritas tinggi. Seperti diulas di awal tulisan ini, banyak pemimpin yang dipilih oleh rakyat secara demokratis karena mengangkat isu pemberantasan korupsi, tetapi jatuh akibat kasus korupsi.

Opportunity merupakan faktor kedua yang memungkinkan korupsi terjadi. Upaya menekan kesempatan terjadinya korupsi bisa dilakukan dengan memperbaiki sistem, misalnya dengan menerapkan sistem yang lebih akuntable. Proses tender terbuka terkait dengan pemesanan barang atau penentuan kontraktor merupakan contoh klasik upaya tersebut. Contoh lain adalah menerapkan sistem pemungutan suara terbuka di legislatif sehingga konstituen dapat melakukan pengawasan terhadap para wakilnya dengan lebih baik.

Walaupun sistem memegang peran penting terutama karena sifatnya yang lebih reliable, akan tetapi tanpa dukungan individu yang bermoral tentunya hal ini akan sia-sia. Sebagus apapun sistem yang dibangun, pihak-pihak yang bermoral korup selalu saja dapat berkolusi untuk mengakali sistem yang sudah dibangun. The man behind the gun memegang peran kunci. Di tangan polisi pistol bisa menekan tingkat kejahatan, tetapi di tangan penjahat pistol akan menimbulkan petaka.

b.      Model CDMA/V
Model untuk menganalisa korupsi yang dianggap paling klasik dan populer adalah model CDMA, yang sering dibahas oleh para pakar anti-korupsi, salah satunya Robert E. Klitgard. Menurut model ini, korupsi (C) merupakan fenomena yang dipengaruhi oleh tingkat diskresi (D), monopoli (M) dan akuntabilitas (A).

Karena korupsi mempunyai makna yang beragam di berbagai kebudayaan, faktor etika memegang peranan penting. Berbagai riset terkait dengan Corruption Perception Index (CPI) menunjukkan bahwa nilai-nilai budaya menjelaskan 75 persen dari variasi yang ada dalam CPI tersebut.
Corruption = f {(Discretionary + Monopoly – Accountability)/Values}

b.1. Discretionary (diskresi)
Discretionary (diskresi) merupakan keluasan kewenangan yang dimiliki oleh seorang pemimpin untuk mengambil keputusan. Semakin tinggi posisi seorang pemimpin semakin tinggi pula diskresi yang dimilikinya, dalam pengertian semakin banyak keputusan yang harus dia ambil yang didasarkan pada kreativitas, justifikasi, dan pemahaman si pimpinan; semakin besar diskresi semakin tinggi potensi terjadinya korupsi.

Kepemimpinan otoriter merupakan contoh kasus diskresi mutlak, di mana semua perundangan dan birokrasi tunduk kepada keinginan pemimpin, akibatnya korupsi merupakan fenomena yang hampir pasti kita temui. Hal ini diakibatkan oleh kaburnya batas antara kepentingan individu pemimpin dan kepentingan negara, yang pada gilirannya akan mengaburkan batas antara kekayaan individu pemimpin dengan kekayaan negara.

Upaya mengurangi dikresi dapat dilaksanakan dengan mengeluarkan job description yang jelas kepada pejabat publik atau staf lainnya, diikuti dengan proses approval yang sitematis sebelum keputusan diambil serta diakhiri dengan proses monitoring dan evaluasi.

b.2. Monopoly (monopoli)
Monopoli atas produk atau jasa akan meningkatkan posisi tawar pemegang monopoli di hadapan para klien atau konsumen. Dalam bidang ekonomi, pemegang monopoli (produsen) dapat memanfaatkan posisi tawar tersebut untuk memaksimalkan keuntungan, misalnya dengan menaikkan harga guna jual produk. Dalam pasar yang monopolistis konsumen tidak mempunyai pilihan lain, sehingga kenaikan harga tersebut tidak terlalu berkorelasi dengan volume penjualan barang dan jasa.

Menggunakan logika berpikir yang sama, dalam pelayanan publik seperti pengurusan KTP, SIM, IMB, dan ijin usaha, di mana institusi pemerintah memegang monopoli, pegawai pemerintah dapat dengan mudah menyalahgunakan wewenang yang mereka miliki. Penyalahgunaan yang mereka lakukan dapat berupa mengurangi jumlah, mengurangi kualitas atau bahkan tidak memberikan layanan saya sekali. Singkatnya, pelayanan hanya akan diberikan bagi mereka yang memberikan uang pelicin, atau kualitas dan kecepatan layanan dipengaruhi oleh nilai suap yang diterima; hal ini merupakan tindakan korup.

Salah satu upaya untuk menekan korupsi adalah dengan mentransformasi monopoli menjadi kompetisi. Dalam kasus kantor pelayanan publik misalnya, solusi yang mungkin adalah dengan menyediakan beberapa kantor pelayanan publik, sehingga publik mempunyai pilihan. Pada gilirannya, hal ini akan menurunkan posisi tawar pegawai pemerintah dimata publik yang akan menurunkan tingkat korupsi.

b.3. Accountability (akuntabilitas)
Makna akuntabilitas umumnya terkait dengan pemberian hadiah. Boven memaknai akuntabilitas sebagai kewajiban untuk menjelaskan dan menjustifikasi suatu perbuatan atau keputusan yang diakibatkan oleh diskresi yang dimiliki oleh seorang individu.

Akuntabilitas adalah fungsi diskresi, artinya birokrat harus diberikan diskresi terlebih dahulu baru kemudian dituntut untuk akuntabel terhadap bagaimana mereka menggunakan diskresi yang dimilikinya.

Masih menurut Boven, pejabat harus akuntabel dihadapan publik. Untuk meningkatkan akuntabilitas tersebut, paling tidak tiga hal berikut terkait dengan interaksi antara pejabat dengan publik harus terpenuhi: Pertama, pejabat berkewajiban untuk melaporkan berbagai aktivitasnya kepada publik; kedua, publik (melalui perwakilannya) mempunyai hak untuk menanyakan lebih lanjut apabila terdapat data atau informasi yang belum cukup; ketiga, publik – melalui wakilnya, mempunyai kekuasaan untuk menilai laporan tersebut, meliputi menerima atau menolak laporan, mengkritisi kebijakan, dan secara terbuka mengkritisi pejabat bersangkutan.

Variabel yang mempengaruhi sukses tidaknya penerapan akuntabilitas di antaranya:
(1) Transparansi, yaitu keterbukaan bagi publik untuk menyelidiki,
     mengkritisi dan menganalisis kebijakan publik;
(2) Akses, yaitu adanya akses bagi publik terhadap informasi yang relevan,
     kapanpun, di manapun oleh siapapun dengan biaya yang sangat rendah;
Untuk  menggambarkan kondisi di Indonesia, pandangan tersebut penulis sesuaikan menjadi diagram sebagai berikut:
(3) Responsiveness, yaitu kecepatan dalam melakukan follow up atas kritik,
     masukan dan pendapat dari publik;
(4) kontrol, yaitu berfungsinya kontrol yang ada dalam masyarakat – media,
     NGO, dll – terhadap pelaksanaan prinsip-prinsip akuntabilitas oleh
     pejabat publik;
(5) tanggungjawab, yaitu tanggungjawab pegawai dan pejabat publik untuk bekerja secara professional sesuai dengan standar dan kode etik yang berlaku.

Secara sederhana, formula untuk membangun akuntabilitas adalah:
Akuntabilitas = f{transparansi, akses informasi, responsiveness, kontrol, tanggungjawab}

b.4. Values (nilai-nilai)
Values atau nilai-nilai masyarakat, seperti materialism dan familism, mempengaruhi bagaimana seseorang dalam menyusun prioritas hidupnya, temasuk dalam memandang korupsi. Di Sisilia, Italia Selatan, masyarakat memandang loyalitas terhadap keluarga sebagai sesuatu yang sangat penting. Pandangan ini menyebabkan masyarakat Sisilia akrab dengan favoritism, yaitu mementingkan kelompok tertentu terutama keluarga, yang ini merupakan akar munculnya korupsi.

Selanjutnya, Lipset dan Lenz menambahkan bahwa dalam masyarakat yang terlalu mengagungkan kesuksesan materi, tetapi tidak memberikan kesempatan yang sama kepada seluruh anggota masyarakat terhadap sumberdaya ekonomi, cenderung memiliki tingkat korupsi yang tinggi.

Selain itu, nilai-nilai masyarakat yang mendorong self expression cenderung mendorong terciptanya integritas di kalangan para birokrat, dalam kaitan dengan korupsi, integritas pemerintah merupakan faktor kunci dalam menekan tingkat korupsi. Standholz dan Tageepera melakukan survei terhadap tingkat korupsi di negara-negara komunis dan non-komunis, dan menyimpulkan bahwa komunisme mengakibatkan rendahnya self expression di kalangan masyarakat, sehingga tingkat korupsi cenderung tinggi.

Pendapat-pendapat tersebut menunjukan bahwa nilai-nilai yang dipercaya oleh masyarakat memegang peran penting terhadap bagaimana masyarakat memandang korupsi, serta bagaimana mereka memprioritaskan sukses secara materi dengan keterlibatan dalam upaya memberantas korupsi. Hal ini merupakan justifikasi untuk memasukkan faktor nilai-nilai dalam formula CDMA/V.

c.       Cost and Benefit Analysis (analisa biaya dan manfaat)
Manusia adalah makluk rasional yang selalu mengambil tindakan berdasarkan insentif yang diterimanya. Korupsi merupakan keputusan rasional dan kalkulatif para pelaku. Koruptor memutuskan untuk melakukan korupsi jika insentif untuk korup lebih besar daripada insentif untuk jujur, atau dalam kata lain biaya yang ditanggung atas perbuatan korup lebih rendah dari pada manfaat yang diperoleh atas korupsi yang dilakukan.

Sebaliknya, apabila biaya lebih besar daripada manfaat yang diperoleh, koruptor tidak akan melakukan tindakan korupsi. Rimawan Pradiptyo mengulas secara lebih matematis permasalahan ini pada bagian lain dari buku ini.

Singkatnya: Korupsi dilakukan jika net benefit of corruption > 0; korupsi tidak dilakukan jika net benefit of corruption < 0; Net benefit of corruption (nilai manfaat bersih korupsi) yang merupakan selisih antara manfaat dan biaya korupsi dapat diukur dengan rumus pendekatan sebagai berikut:
Net benefit of corruption = f {Manfaat financial, manfaat non financial, hukuman, biaya sosial, kehilangan pekerjaan, kehilangan karir, perasaan tidak tenang atau dosa, penurunan semangat kerja}

Upaya pemberantasan korupsi akan efektif apabila berbagai mekanime anti korupsi mampu menekan manfaat korupsi dan pada saat yang bersamaan meningkatkan biaya bagi pelaku.