Di Jepang, mereka melakukan “Hara Kiri” (bunuh diri khas
Jepang) atau segera mundur dari jabatan daripada harus menanggung MALU
karena telah dituduh melakukan KORUPSI, sementara di Indonesia,
KORUPTORSAURUS yang oleh penagadilan sudah divonis penjarapun masih
tersenyum riang dan melambaikan tangan kepada pers mungkin merasa menang
perkara karena hukuman yang diterima sangat ringan. Bahkan ada
tersangka KORUPTOR melakukan selamatan karena hasil sidang di pengadilan
para hakim memvonis dia bebas dari segala tuduhan.
RASA MALU pada hakekatnya tidak terlepas dari kriteria adat
istiadat, kebiasaan dan budi luhur yang dimiliki oleh bangsa berbudaya.
Sebagai bukti adalah adat kebiasaan orang Jepang yang lebih baik
melakukan “HARA-KIRI” (bunuh diri khas Jepang dengan merobek perut
menggunakan Samurai) atau mundur dari jabatannya dari pada harus
menanggung malu karena diduga melakukan KORUPSI.
Paruh kedua September 2008 menteri pertanian Jepang
mengundurkan diri akibat permasalahan beras yang tercemar pestisida dan
jamur. Selang beberapa hari kemudian menteri transportasi juga mundur
akibat serangkaian pernyataannya yang membuat gusar berbagai pihak.
Di negara lain yang dengan sistem demokrasi sudah mapan dan
moral yang tinggi seperti di Negara Negara maju, juga sering terjadi
kasus bunuh diri atau pengunduran diri seorang pejabat Negara karena
merasa malu diduga atau dituduh melakukan KORUPSI.
“Rasa Malu” para pejabat Indonesia yang korup sudah hilang?
Pada kenyataannya sekarang ini di Indonesia masih terdapat orang
orang termasuk pejabat negara dan pejabat partai politik yang melakukan
KORUPSI, melakukan pungutan liar, sengaja memalsukan data, melakukan
kebohongan publik dan banyak lagi tindakan yang kurang etis serta
perilaku menyimpang lainnya. Pelakunya juga bervariasi tanpa memandang
pangkat, jabatan, kedudukan, latar belakang pendidikan dan strata
sosial.
Kenapa disebut KORUPTORSAURUS? Karena nampaknya lebih cocok diberi
julukan itu. KORUPSI di Indonesia dilakukan bukan oleh orang orang yang
kalau tidak ikut KORUPSI bagaimana anak istri makan, tetapi dilakukan
oleh orang orang yang rumahnya rata rata bagaikan istana, dengan garasi
mobil mereka bagaikan “show room” mobil mewah, dengan kekayaan mereka
rata rata diatas 10 miliar rupiah. Coba bayangkan bagi seorang pejabat
Negara, berapa puluh tahun waktu yang diperlukan untuk menabung sampai
mempunyai kekayaan sebesar itu.
Secara kasat mata semua itu dilakukan oleh orang-orang yang cukup
terhormat namun ASOSIAL dan tidak punya RASA MALU. Golongan semacam ini
tanpa ragu berani melanggar hukum, adat kebiasaan dan tradisi. Berbagai
kasus membuktikan bahwa KORUPSI di Indonesia terjadi bukan karena alasan
kemiskinan si pelaku KORUPSI, akan tetapi karena yang bersangkutan
TIDAK TAHU MALU dan SERAKAH!
Para pejabat Negara baik dari Eksekutif, Yudikatif maupun Legislatif
yang diduga atau tersangka dengan bukti bukti yang sudah dibeberkan di
media masa bahwa mereka diduga melakukan KORUPSI atau MENERIMA SUAP,
ketika mereka ditangkap KPK atau Polisi, masih juga jengengesan tertawa
dan bahkan bersikeras membantah melakukan KORUPSI atau Menerima SUAP
dengan berbagai alasan bahwa uangnya yang berjumlah miliaran atau
mungkin triliunan di rekeningnya itu adalah hasil bisnislah atau
hibahlah dan sering juga pejabat yang tertuduh mengatakan bahwa tudihan
KORUPSI yang dialamatkan kepadanya itu hanya rekayasa politik untuk
merusak namanya !
Setelah
divonis dan dijatuhi penjara oleh Pengadilan karena terbukti bersalah
melakukan KORUSPI atau Terima SUAPpun, begitu keluar dari ruang sidang
pengadilan, mereka masih melambai-lambaikan tangan dan menebar senyum ke
hadapan pers dan kamera Televisi, mungkin mereka merasa menang perkara
karena hukuman yang mereka dapatkan ringan.
Sarang KORUPTORSAURUS
Dari laporan KPK tertulis data orang-orang yang terjerat kasus korupsi:
40 anggota DPR-RI, 8 Mantan Menteri, Mengusut Deputi
Gubernur BI dan 4 Deputi BI, 7 Gubernur, 6 Komisioner KPU, KY, dan KPPU,
3 Dubes, 2 konjen RI, 1 Mantan Kapolri, 4 Hakim Senior, 4 Jaksa
Penuntut Umum, 2 Advokat, 50 pejabat negara eselon I dan II, 26
Bupati/walikota, 30 anggota DPRD, 40 pengusaha BUMN dan BUMD, dan yang
lainnya… INI MERUPAKAN BUKTI NYATA NEGERI INI MENJADI SARANG KORUPTOR…
Resep Mujarab Untuk Berantas Tuntas KORUPSI dan Ciptakan Rasa Takut Bagi Calon KORUPTOR!!!:
KORUPTORSAURUS divonis HUKUMAN MATI atau PENJARA SEUMUR HIDUP
di penjara khusus yang dibangun di Monas untuk wilayah Jakarta dan di
alun alun kota masing masing untuk daerah di seluruh Indonesia
menggunakan bangunan dengan tembok transparan (kaca) supaya bisa dilihat
umum sebagai salah satu objek wisata bagi wisatawan domestik maupun
wisatawan manca negara!
Memang kemungkinan akan banyak yang berpendapat Hukuman Mati
terhadap KORUPTOR melanggar HAM. Yang jelas mungkin melanggar HAM para
KORUPTOR. Hukuman Mati yang dilaksanakan terhadap para teroris, tidak
menimbulkan pendapat bahwa hal itu melanggar HAM?
Maling ayam, jambret, pencopet digebuging sampai babak belur
sebelum divonis pengadilan, tidak ada keributan komentar masalah HAM
dan nampaknya juga sangat jarang pengacara yang berani membela mereka.
Keadaannya berbeda kalau yang dibela para KORUPTORSAURUS!
LAKSANAKAN SAJA APA YANG ANDA PIDATOKAN !!
Presiden SBY pernah menegaskan bahwa dia akan berada di
posisi paling depan memimpin seluruh jajaran penegak hukumnya bersama
seluruh komponen bangsa dalam berjihad memberantas KORUPSI. Tetapi
sampai saat ini seluruh rakyat masih sedang menunggu hasil dari
pelaksanaan penegasan Presiden dalam rangka memberantas wabah Budaya
KORUPSI yang melanda sebagian pejabat Negara baik yang duduk di
Eksekutif, Yudikatif maupun Legislatif tersebut.
Para tokoh Partai Demokrat mulai dari Ketua Dewan Pembina dan
pemimpin umum serta jajaran pimpinan PD lainnya meneriakkan slogan atau
berdakwah di TV: “Katakan TIDAK pada KORUPSI.” TIDAK, TIDAK, TIDAK!
Semuanya mengatakan TIDAK.
Propaganda tersebut diakhiri dengan pernyataan Presiden SBY: “Saya
(Presiden) bersama Partai Demokrat bertekad melawan KORUPSI tanpa
pandang bulu.”
Namun buktinya yang mana yah? Belum begitu tampak jelas secara terang benderang.
Sebuah pepatah Jerman mengatakan: “Taten statt Wörter! or Taten sagen mehr als Wörter. or Lass Wörtern Taten folgen! or Lass Taten sprechen!” – Artinya: “Tindakan bukannya kata kata.” (Terjemahan letterlijk: “Tindakan berbicara lebih banyak daripada kata kata”) atau “Biarkan kata kata menghasilkan tindakan” atau “Biarkan tindakan berbicara.” Ekuivalen dalam pribahasa Inggris: “Actions speak louder than words.” Arinya: “Tindakan berbicara lebih keras daripada kata kata.”
Maknanya: “Laksanakan apa yang anda pidatokan/ceramahkan !”
Pengacara senior Adnan Buyung Nasution beberapa kali mendesak
Pemerintah cq Presiden SBY dan seluruh jajaran penegak hukumnya agar
dalam upaya memberantas KORUPSI dan menegakkan hukum demi keadilan bagi
seluruh rakyat Indonesia, jangan pandang bulu, siapapun KORUPTOR itu
harus ditindak tegas !
Rudy Karetji
Direktur Eksekutif KRAK Indonesia.
Sabtu, 23 November 2013
Jumat, 22 November 2013
Pertimbangan Sosiologis Harus Ada Dalam Putusan Hakim
Menurut pasal 1
Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang kitab undang-undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP), Hakim adalah pejabat Peradilan Negara yang diberi wewenang oleh
undang-undang untuk mengadili. Kemudian kata “mengadili” sebagai rangakaian
tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara berdasarkan asas
bebas, jujur, dan tidak memihak dalam sidang suatu perkara dan menjunjung
tinggi 3 (tiga) asas peradilan yaitu sederhana, cepat dan biaya ringan.
Profesi Hakim adalah
profesi dengan pekerjaan kemanusiaan yang tidak boleh jatuh kedalam
dehumanizing yang bersifat logic mechanical hingga dapat terperosok pada jurang
alienasi hukum dari manusia dan kemanusiaan itu sendiri. Hakim bertanggung
jawab untuk mengembalikan hukum kepada pemilik hukum itu yaitu manusia. Hukum
untuk manusia sebagai alat untuk mewujudkan kesejahteraan manusia, bukan hukum
untuk hukum itu sendiri.
Hakim merupakan salah satu
obyek studi sosiologi hukum. Dimana masyarakat banyak yang mencibir sinis dan
pesimis namun ada juga yang menaruh harapan terhadap putusan hakim dalam suatu
perkara. Banyak masalah yang memicu kekecewaan masyarakat, salah satunya adalah
bagaimana hakim memutuskan perkara-perkara yang bisa mengundang pro dan kontra
dalam masyarakat luas. Jangan sampai putusan itu mematikan rasa keadilan
masyarakat.
Kerap sekali terjadi terutama terhadap perkara – perkara yang mendapat perhatian masyarakat luas. Bisa saja sebuah putusan dianggap tidak adil dan dianggap sarat dengan nuansa koruptif dan kolutif.
Kerap sekali terjadi terutama terhadap perkara – perkara yang mendapat perhatian masyarakat luas. Bisa saja sebuah putusan dianggap tidak adil dan dianggap sarat dengan nuansa koruptif dan kolutif.
Secara umum anggapan itu
adalah sah – sah saja, setidaknya ada alasan dari masyarakat yaitu telah hampir
hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan, disebabkan
terbongkarnya berbagai kasus penyuapan yang melibatkan aparat Pengadilan,
terutama hakim. Oleh karena itu seorang hakim dalam memutus suatu perkara harus
mempertimbangkan kebenaran yuridis (hukum) dengan kebenaran fisolofis
(keadilan). Seorang Hakim harus membuat keputusan – keputusan yang adil dan
bijaksana dengan mempeertimbangkan implikasi hukum dan dampaknya yang terjadi
dalam masyarakat.
Kepastian hukum menekankan
agar hukum atau peraturan ditegakan sebagaimana yang diinginkan oleh bunyi
hukum/peraturannya. Fiat Justitia et pereat mundus (meskipun dunia ini runtuh
hukum harus ditegakkan). Adapun nilai sosiologis menekankan kepada kemanfaatan
bagi masyarakat.
Didalam memutus sebuah
perkara dan mempertimbangkan layak tidaknya seseorang dijatuhi pidana seorang
hakim didasarkan oleh keyakinan hakim dan tidak hanya berdasarkan bukti – bukti
yang ada.
Secara normatif,
pengadilan adalah tempat untuk mendapatkan keadilan. Hal itu tersandang dari
namanya “pengadilan” dan dari irah-irah putusan Hakim yang menjadi gawangnya.
Menurut irah-irah itu, dalam menyelesaikan perkara Hakim tidak bekerja “demi
hukum” atau “demi undang-undang”, melainkan “Demi Keadilan Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Frase “Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa” menjadi simbol bahwa Hakim bekerja mewakili Tuhan Yang
Maha Esa. Frase itu juga menjadi jaminan bahwa Hakim dalam menyelesaikan
perkara akan bekerja secara jujur, bersih, dan adil karena ia mengatas namakan
Tuhan. Sebab jika tidak demikian, maka Hakim yang tidak berlaku jujur, bersih,
dan adil, kelak di “pengadilan terakhir” ia harus mempertanggungjawabkan
perbuatan dan perilakunya di hadapan Tuhan Yang Maha Adil.
Putusan pengadilan adalah
penyataan hakim yang diucapkan pada sidang pengadilan yang terbuka untuk umum
untuk menyelesaikan atau mengakhiri suatu perkara. Putusan dapat dijatuhkan
setelah pemeriksaan perkara selesai dan oleh pihak-pihak yang berperkara sudah
tidak ada lagi yang ingin dikemukakan. Putusan pengadilan merupakan suatu yang
sangat diharapkan oleh pihak-pihak yang berperkara, sebab dengan putusan
pengadilan tersebut pihak-pihak yang berperkara mengharapkan adanya kepastian
hukum dalam perkara yang mereka hadapi.
Untuk memberikan putusan
pengadilan yang benar-benar menciptakan kepastian hukum dan mencerminkan
keadilan, hakim yang melaksanakan peradilan harus benar-benar mengetahui duduk
perkara yang sebenarnya dan peraturan hukum yang mengaturnya untuk diterapkan,
baik peraturan hukum yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan maupun
hukum yang tidak tertulis dalam hukum adat. Namun kenyataannya tidak selalu
sejalan dengan gagasan normatifnya. Tidak selamanya Hakim memiliki kesadaran di
dalam hatinya bahwa kelak ia akan mempertanggungjawabkan hasil pekerjaannya di
hadapan Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karenanya tidak jarang terdapat putusan-putusan
Hakim yang tidak mencerminkan rasa keadilan.
Tidak semua Hakim memiliki
rasa takut bahwa kelak ia akan bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa
tentang apa yang telah diputuskannya. Memang sulit untuk mengukur secara
matematis, putusan Hakim yang bagaimana yang memenuhi rasa keadilan itu. Akan
tetapi tentu saja ada indikator yang dapat digunakan untuk melihat dan
merasakan bahwa suatu putusan telah memenuhi rasa keadilan atau tidak.
Indikator itu antara lain dapat ditemukan di dalam “pertimbangan hukum” yang
digunakan Hakim.
Pertimbangan hukum
merupakan dasar argumentasi Hakim dalam memutuskan suatu perkara. Jika argumen
hukum itu tidak benar dan tidak sepantasnya (proper), maka orang kemudian dapat
menilai bahwa putusan itu tidak benar dan tidak adil.
Pertimbangan hukum yang
tidak benar dapat terjadi karena berbagai kemungkinan:
1.
Hakim tidak mempunyai cukup pengetahuan hukum tentang
masalah yang sedang ditangani. Namun secara normatif seharusnya hal ini tidak
boleh terjadi, karena Hakim dapat memerintahkan setiap pihak untuk menyediakan
ahli yang akan memberikan keterangan dan menjelaskan pokok persoalannya di
dalam persidangan.
2.
Hakim sengaja menggunakan dalil hukum yang tidak benar
atau tidak semestinya karena adanya faktor lain seperti adanya tekanan
pihak-pihak tertentu, suap, dan faktor-faktor lain yang mempengaruhi independensi
Hakim yang bersangkutan.
3.
Hakim tidak memiliki cukup waktu untuk menuliskan semua
argumen hukum yang baik disebabkan karena terlalu banyaknya perkara yang harus
diselesaikan dalam kurun waktu yang relatif singkat.
4.
Hakim malas untuk meningkatkan pengetahuan dan
wawasannya, sehingga berpengaruh terhadap kualitas putusan yang dibuatnya.
Faktor ini merupakan faktor yang pengaruhnya tidak langsung, namun cukup
menentukan kualitas putusan.
Secara ideal, semua
kemungkinan yang disebutkan di atas tidak boleh terjadi dalam lembaga
peradilan. Jika hal itu terjadi, maka bukan tidak mungkin lembaga peradilan
yang seharusnya menjadi gerbang keadilan, justru menjadi tempat terjadinya
ketidakadilan. Tidak terkecuali Mahkamah Agung sebagai lembaga pengadilan
tertinggi di negeri ini. Hakim-hakim Agung yang seharusnya menjadi penjaga
gawang keadilan terakhir, boleh jadi justru menjadi pihak yang menciptakan
ketidakadilan.
Seharusnya fakta
persidangan merupakan dasar/bahan untuk menyusun pertimbangan majelis hakim
sebelum majelis hakim membuat analisa hukum yang kemudian digunakan oleh hakim
tersebut untuk menilai apakah terdakwa dapat dipersalahkan atas suatu peristiwa
yang terungkap di persidangan untuk memperoleh keyakinan apakah terdakwa patut
dipersalahkan, patut dihukum atas perbuatannya sebagaimana yang terungkap
dipersidangan.singkatnya, suatu putusan harus didasarkan pada fakta persidangan
dan dibarengi dengan putusan yang mencerminkan rasa keadilan.
Rudy Karetji
Selasa, 19 November 2013
Negara Tanpa Korupsi, Apakah Harapan atau Khayalan ??
Lama-lama mengamati Negara ini semakin membingungkan saja. Banyak hal yang bertentangan dengan hati nurani, undang-undang yang berlaku terus menerus terjadi. Kita ambil contoh masalah praktek-praktek korupsi. Pada sisi pemerintah selalu mengatakan korupsi harus dihapus habis di atas permukaan bumi Indonesia. Bahkan
kaiimat-kalimat yang ingin membabat habis korupsi menjadi tema para
pemimpin bangsa, baik presiden, gubernur, bupati atau mungkin lurah atau
kepala desa.
Pada tataran
pemerintah pusat, agar usaha-usaha pemberantasan korupsi dapat dinilai
bersungguh-sungguh kemudian dibentuklah berbagai perangkat Negara. Adanya
institusi kepolisian dan kejaksaan yang memang memiliki wewenang untuk
itu dianggap belum cukup. Kemudian dibentuklah suatu perangkat Negara
yang katanya superbody, memiliki independensi tinggi yaitu KPK. Namun
kemudian apa yang terjadi. Meskipun KPK sudah berjalan cukup lama, namun
masalah korupsi ini tidak ada tanda-tanda akan berakhir.
Melihat kenyataan yang ada selama ini, muncul pertanyaan: Mungkinkah Negara Tanpa korupsi?
Pasti cukup banyak
diantara kita merasa cukup pesimis dengan pertanyaan itu. Bahkan bagi
sebagian orang melihat itu adalah sesuatu hal mustahil terjadi. Seorang
teman secara bergurauan mengatakan: Indonesia akan bebas dari korupsi
bila kucing sudah tumbuh tanduknya.
Rasa pesimistis kita
memang cukup beralasan. Kita ambil contoh kasus yang baru-baru terjadi
berkaitan dengan kasus penyuapan pembangunan wisma atlet di Palembang.
Meskipun kasus ini masih dalam tingkatan praduga, namun
beberapa orang yang diduga terlibat adalah orang-orang yang notabenenya
adalah politisi partai yang berkuasa saat ini. Artinya bila itu terjadi dalam lingkaran kekuasaan bukan usaha-usaha untuk memberantas korupsi hanya pepesan kosong belaka?
Belum lagi yang belum
terungkap diberbagai lembaga pemerintahan baik di tingkat pusat sampai
ke tingkat daerah. Bukan rahasia lagi, tetapi sudah menjadi rahasia umum
bila praktek kong-kalikong yang termasuk dalam kategori korupsi terus
menerus terjadi.
Menurut saya praktek korupsi yang sangat merajalela di Negara ini sudah menjadi tren yang sangat sulit dihilangkan. Tren ini muncul disebabkan karena lembaga-lembaga terutama KPK belum mampu bekerja maksimal. Bahkan
kasus-kasus yang ditangani KPK sampai saat ini masih banyak yang belum
tuntas. Terkesan mereka hanya serius melakukan kasus-kasus yang memiliki
nilai berita yang tinggi sehingga pamor mereka semakin naik di mata
masyarakat. Sehingga kasus-kasus yang terbilang kecil terasa terabaikan begitu saja. Apalagi
kasus yang besar-besar itupun banyak yang tidak selesai dan tuntas
sampai saat ini. Contohnya adalah kasus century yang kelihatannya tidak
tahu kemana akan bermuara.
Karena itu, tidak
salah bila ada orang yang beranggapan bahwa Negara Tanpa Korupsi adalah
sebuah harapan yang apnormal dan mengada-ngada.
Meskipun demikian,
kita juga perlu optimis dengan itu. Tetapi memiliki sebuah syarat mutlak
yang harus dipraktekkan yaitu para penguasa harus benar-benar serius
bukan hanya berpikir dan berkata-kata saja. Tetapi serius serta
konsisten dalam bekerja dan bertindak. Hal ini baru dapat dilakukan bila
para penguasa tidak memikirkan kekuasaan semata tetapi bekerja memang
untuk kepentingan rakyat. Ketika mereka takut jatuh dari kekuasaannya maka harapan Negara tanpa korupsi hanya ada dalam mimpi-mimpi saja.
Memang banyak pejabat
pemerintahan ini yang mengaku bahwa mereka tidak mengambil uang Negara
sepeserpun untuk kepentingan pribadi. Meskipun itu ada
tetapi belum cukup. Sebab, mungkin bagi dirinya tidak melakukan korupsi
tetapi membiarkan atau tidak berani menindak bawahannya yang melakukan
korupsi yang kemudian terkadang terkesan melindungi. Bukan begitu yang
diharapkan. Tetapi bagaimana seluruh jajarannya sampai yang kecil-kecil
harus terbukti bersih dari segala tindakan korupsi itu. Bila para
pejabat pemerintah tidak peduli seperti itu (meskipun secara pribadi
tidak melakukannya) tidak akan hilang juga praktek-praktek korupsi.
Bahkan akan semakin merajalela.
Apapun ceritanya,
tindakan korupsi ini akan berkurang bila memang pejabat atau pemimpin
bangsa ini tegas. Tetapi, dari sejumlah tokoh yang ada saat ini, yang
sebagian dari mereka sudah dijagokan untuk memimpin bangsa ke depan,
apakah ada seperti yang kita harapkan?. Entah mengapa, secara pribadi
saya merasa mereka yang sering ditonjol-tonjolkan apalagi yang sudah pernah berkuasa, ada sedikit perasaan tidak yakin.
Saya tidak tahu apakah
ada calon-calon pemimpin yang memiliki integritas tinggi sehingga
memiliki cara untuk membangun Negara ini tanpa korupsi. Bila bicara
kemungkinan, bisa jadi ada bisa jadi tidak. Kalaupun ada, sosok yang
kita inginkan itu pasti titisan malaikat. Kalau tidak, tak akan terlihat
ada tanda-tanda bertepian.Rudy Karetji
Direktur Eksekutif Nasional
KRAK Indonesia
Langganan:
Postingan (Atom)