Sabtu, 23 November 2013

Pejabat Korup di Indonesia Rakus dan Tidak Tahu Malu

Di Jepang, mereka melakukan “Hara Kiri” (bunuh diri khas Jepang) atau segera mundur dari jabatan daripada harus menanggung MALU karena telah dituduh melakukan KORUPSI, sementara di Indonesia, KORUPTORSAURUS yang oleh penagadilan sudah divonis penjarapun masih tersenyum riang dan melambaikan tangan kepada pers mungkin merasa menang perkara karena hukuman yang diterima sangat ringan. Bahkan ada tersangka KORUPTOR melakukan selamatan karena hasil sidang di pengadilan para hakim memvonis dia bebas dari segala tuduhan.

RASA MALU pada hakekatnya tidak terlepas dari kriteria adat istiadat, kebiasaan dan budi luhur yang dimiliki oleh bangsa berbudaya. Sebagai bukti adalah adat kebiasaan orang Jepang yang lebih baik melakukan “HARA-KIRI” (bunuh diri khas Jepang dengan merobek perut menggunakan Samurai) atau mundur dari jabatannya dari pada harus menanggung malu karena diduga melakukan KORUPSI.

Paruh kedua September 2008 menteri pertanian Jepang mengundurkan diri akibat permasalahan beras yang tercemar pestisida dan jamur. Selang beberapa hari kemudian menteri transportasi juga mundur akibat serangkaian pernyataannya yang membuat gusar berbagai pihak.
Di negara lain yang dengan sistem demokrasi sudah mapan dan moral yang tinggi seperti di Negara Negara maju, juga sering terjadi kasus bunuh diri atau pengunduran diri seorang pejabat Negara karena merasa malu diduga atau dituduh melakukan KORUPSI.

“Rasa Malu” para pejabat Indonesia yang korup sudah hilang?
Pada kenyataannya sekarang ini di Indonesia masih terdapat orang orang termasuk pejabat negara dan pejabat partai politik yang melakukan KORUPSI, melakukan pungutan liar, sengaja memalsukan data, melakukan kebohongan publik dan banyak lagi tindakan yang kurang etis serta perilaku menyimpang lainnya. Pelakunya juga bervariasi tanpa memandang pangkat, jabatan, kedudukan, latar belakang pendidikan dan strata sosial.

Kenapa disebut KORUPTORSAURUS? Karena nampaknya lebih cocok diberi julukan itu. KORUPSI di Indonesia dilakukan bukan oleh orang orang yang kalau tidak ikut KORUPSI bagaimana anak istri makan, tetapi dilakukan oleh orang orang yang rumahnya rata rata bagaikan istana, dengan garasi mobil mereka bagaikan “show room” mobil mewah, dengan kekayaan mereka rata rata diatas 10 miliar rupiah. Coba bayangkan bagi seorang pejabat Negara, berapa puluh tahun waktu yang diperlukan untuk menabung sampai mempunyai kekayaan sebesar itu.
Secara kasat mata semua itu dilakukan oleh orang-orang yang cukup terhormat namun ASOSIAL dan tidak punya RASA MALU. Golongan semacam ini tanpa ragu berani melanggar hukum, adat kebiasaan dan tradisi. Berbagai kasus membuktikan bahwa KORUPSI di Indonesia terjadi bukan karena alasan kemiskinan si pelaku KORUPSI, akan tetapi karena yang bersangkutan TIDAK TAHU MALU dan SERAKAH!

Para pejabat Negara baik dari Eksekutif, Yudikatif maupun Legislatif yang diduga atau tersangka dengan bukti bukti yang sudah dibeberkan di media masa bahwa mereka diduga melakukan KORUPSI atau MENERIMA SUAP, ketika mereka ditangkap KPK atau Polisi, masih juga jengengesan tertawa dan bahkan bersikeras membantah melakukan KORUPSI atau Menerima SUAP dengan berbagai alasan bahwa uangnya yang berjumlah miliaran atau mungkin triliunan di rekeningnya itu adalah hasil bisnislah atau hibahlah dan sering juga pejabat yang tertuduh mengatakan bahwa tudihan KORUPSI yang dialamatkan kepadanya itu hanya rekayasa politik untuk merusak namanya !

Setelah divonis dan dijatuhi penjara oleh Pengadilan karena terbukti bersalah melakukan KORUSPI atau Terima SUAPpun, begitu keluar dari ruang sidang pengadilan, mereka masih melambai-lambaikan tangan dan menebar senyum ke hadapan pers dan kamera Televisi, mungkin mereka merasa menang perkara karena hukuman yang mereka dapatkan ringan.
Sarang KORUPTORSAURUS

Dari laporan KPK tertulis data orang-orang yang terjerat kasus korupsi:
40 anggota DPR-RI, 8 Mantan Menteri, Mengusut Deputi Gubernur BI dan 4 Deputi BI, 7 Gubernur, 6 Komisioner KPU, KY, dan KPPU, 3 Dubes, 2 konjen RI, 1 Mantan Kapolri, 4 Hakim Senior, 4 Jaksa Penuntut Umum, 2 Advokat, 50 pejabat negara eselon I dan II, 26 Bupati/walikota, 30 anggota DPRD, 40 pengusaha BUMN dan BUMD, dan yang lainnya… INI  MERUPAKAN BUKTI NYATA NEGERI INI MENJADI SARANG KORUPTOR…

Resep Mujarab Untuk Berantas Tuntas KORUPSI dan Ciptakan Rasa Takut Bagi Calon KORUPTOR!!!:
KORUPTORSAURUS divonis HUKUMAN MATI atau PENJARA SEUMUR HIDUP di penjara khusus yang dibangun di Monas untuk wilayah Jakarta dan di alun alun kota masing masing untuk daerah di seluruh Indonesia menggunakan bangunan dengan tembok transparan (kaca) supaya bisa dilihat umum sebagai salah satu objek wisata bagi wisatawan domestik maupun wisatawan manca negara!

Memang kemungkinan akan banyak yang berpendapat Hukuman Mati terhadap KORUPTOR melanggar HAM. Yang jelas mungkin melanggar HAM para KORUPTOR. Hukuman Mati yang dilaksanakan terhadap para teroris, tidak menimbulkan pendapat bahwa hal itu melanggar HAM?

Maling ayam, jambret, pencopet digebuging sampai babak belur sebelum divonis pengadilan, tidak ada keributan komentar masalah HAM dan nampaknya juga sangat jarang pengacara yang berani membela mereka. Keadaannya berbeda kalau yang dibela para KORUPTORSAURUS!
LAKSANAKAN SAJA APA YANG ANDA PIDATOKAN !!

Presiden SBY pernah menegaskan bahwa dia akan berada di posisi paling depan memimpin seluruh jajaran penegak hukumnya bersama seluruh komponen bangsa dalam berjihad memberantas KORUPSI. Tetapi sampai saat ini seluruh rakyat masih sedang menunggu hasil dari pelaksanaan penegasan Presiden dalam rangka memberantas wabah Budaya KORUPSI yang melanda sebagian pejabat Negara baik yang duduk di Eksekutif, Yudikatif maupun Legislatif tersebut.

Para tokoh Partai Demokrat mulai dari Ketua Dewan Pembina dan pemimpin umum serta jajaran pimpinan PD lainnya meneriakkan slogan atau berdakwah di TV: “Katakan TIDAK pada KORUPSI.” TIDAK, TIDAK, TIDAK! Semuanya mengatakan TIDAK.

Propaganda tersebut diakhiri dengan pernyataan Presiden SBY: “Saya (Presiden) bersama Partai Demokrat bertekad melawan KORUPSI tanpa pandang bulu.”
Namun buktinya yang mana yah? Belum begitu tampak jelas secara terang benderang.
Sebuah pepatah Jerman mengatakan: Taten statt Wörter! or Taten sagen mehr als Wörter. or Lass Wörtern Taten folgen! or Lass Taten sprechen!” – Artinya: “Tindakan bukannya kata kata.” (Terjemahan letterlijk: “Tindakan berbicara lebih banyak daripada kata kata”) atau “Biarkan kata kata menghasilkan tindakan” atau “Biarkan tindakan berbicara.” Ekuivalen dalam pribahasa Inggris: “Actions speak louder than words.” Arinya: “Tindakan berbicara lebih keras daripada kata kata.”

Maknanya: “Laksanakan apa yang anda pidatokan/ceramahkan !”

Pengacara senior Adnan Buyung Nasution beberapa kali mendesak Pemerintah cq Presiden SBY dan seluruh jajaran penegak hukumnya agar dalam upaya memberantas KORUPSI dan menegakkan hukum demi keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, jangan pandang bulu, siapapun KORUPTOR itu harus ditindak tegas !

Rudy Karetji
Direktur Eksekutif KRAK Indonesia.

Jumat, 22 November 2013

Pertimbangan Sosiologis Harus Ada Dalam Putusan Hakim

Menurut pasal 1 Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang kitab undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Hakim adalah pejabat Peradilan Negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili. Kemudian kata “mengadili” sebagai rangakaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak dalam sidang suatu perkara dan menjunjung tinggi 3 (tiga) asas peradilan yaitu sederhana, cepat dan biaya ringan.
Profesi Hakim adalah profesi dengan pekerjaan kemanusiaan yang tidak boleh jatuh kedalam dehumanizing yang bersifat logic mechanical hingga dapat terperosok pada jurang alienasi hukum dari manusia dan kemanusiaan itu sendiri. Hakim bertanggung jawab untuk mengembalikan hukum kepada pemilik hukum itu yaitu manusia. Hukum untuk manusia sebagai alat untuk mewujudkan kesejahteraan manusia, bukan hukum untuk hukum itu sendiri.
Hakim merupakan salah satu obyek studi sosiologi hukum. Dimana masyarakat banyak yang mencibir sinis dan pesimis namun ada juga yang menaruh harapan terhadap putusan hakim dalam suatu perkara. Banyak masalah yang memicu kekecewaan masyarakat, salah satunya adalah bagaimana hakim memutuskan perkara-perkara yang bisa mengundang pro dan kontra dalam masyarakat luas. Jangan sampai putusan itu mematikan rasa keadilan masyarakat.
Kerap sekali terjadi terutama terhadap perkara – perkara yang mendapat perhatian masyarakat luas. Bisa saja sebuah putusan dianggap tidak adil dan dianggap sarat dengan nuansa koruptif dan kolutif.
Secara umum anggapan itu adalah sah – sah saja, setidaknya ada alasan dari masyarakat yaitu telah hampir hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan, disebabkan terbongkarnya berbagai kasus penyuapan yang melibatkan aparat Pengadilan, terutama hakim. Oleh karena itu seorang hakim dalam memutus suatu perkara harus mempertimbangkan kebenaran yuridis (hukum) dengan kebenaran fisolofis (keadilan). Seorang Hakim harus membuat keputusan – keputusan yang adil dan bijaksana dengan mempeertimbangkan implikasi hukum dan dampaknya yang terjadi dalam masyarakat.
Kepastian hukum menekankan agar hukum atau peraturan ditegakan sebagaimana yang diinginkan oleh bunyi hukum/peraturannya. Fiat Justitia et pereat mundus (meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan). Adapun nilai sosiologis menekankan kepada kemanfaatan bagi masyarakat.
Didalam memutus sebuah perkara dan mempertimbangkan layak tidaknya seseorang dijatuhi pidana seorang hakim didasarkan oleh keyakinan hakim dan tidak hanya berdasarkan bukti – bukti yang ada.
Secara normatif, pengadilan adalah tempat untuk mendapatkan keadilan. Hal itu tersandang dari namanya “pengadilan” dan dari irah-irah putusan Hakim yang menjadi gawangnya. Menurut irah-irah itu, dalam menyelesaikan perkara Hakim tidak bekerja “demi hukum” atau “demi undang-undang”, melainkan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Frase “Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” menjadi simbol bahwa Hakim bekerja mewakili Tuhan Yang Maha Esa. Frase itu juga menjadi jaminan bahwa Hakim dalam menyelesaikan perkara akan bekerja secara jujur, bersih, dan adil karena ia mengatas namakan Tuhan. Sebab jika tidak demikian, maka Hakim yang tidak berlaku jujur, bersih, dan adil, kelak di “pengadilan terakhir” ia harus mempertanggungjawabkan perbuatan dan perilakunya di hadapan Tuhan Yang Maha Adil.
Putusan pengadilan adalah penyataan hakim yang diucapkan pada sidang pengadilan yang terbuka untuk umum untuk menyelesaikan atau mengakhiri suatu perkara. Putusan dapat dijatuhkan setelah pemeriksaan perkara selesai dan oleh pihak-pihak yang berperkara sudah tidak ada lagi yang ingin dikemukakan. Putusan pengadilan merupakan suatu yang sangat diharapkan oleh pihak-pihak yang berperkara, sebab dengan putusan pengadilan tersebut pihak-pihak yang berperkara mengharapkan adanya kepastian hukum dalam perkara yang mereka hadapi.
Untuk memberikan putusan pengadilan yang benar-benar menciptakan kepastian hukum dan mencerminkan keadilan, hakim yang melaksanakan peradilan harus benar-benar mengetahui duduk perkara yang sebenarnya dan peraturan hukum yang mengaturnya untuk diterapkan, baik peraturan hukum yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan maupun hukum yang tidak tertulis dalam hukum adat. Namun kenyataannya tidak selalu sejalan dengan gagasan normatifnya. Tidak selamanya Hakim memiliki kesadaran di dalam hatinya bahwa kelak ia akan mempertanggungjawabkan hasil pekerjaannya di hadapan Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karenanya tidak jarang terdapat putusan-putusan Hakim yang tidak mencerminkan rasa keadilan.
Tidak semua Hakim memiliki rasa takut bahwa kelak ia akan bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa tentang apa yang telah diputuskannya. Memang sulit untuk mengukur secara matematis, putusan Hakim yang bagaimana yang memenuhi rasa keadilan itu. Akan tetapi tentu saja ada indikator yang dapat digunakan untuk melihat dan merasakan bahwa suatu putusan telah memenuhi rasa keadilan atau tidak. Indikator itu antara lain dapat ditemukan di dalam “pertimbangan hukum” yang digunakan Hakim.
Pertimbangan hukum merupakan dasar argumentasi Hakim dalam memutuskan suatu perkara. Jika argumen hukum itu tidak benar dan tidak sepantasnya (proper), maka orang kemudian dapat menilai bahwa putusan itu tidak benar dan tidak adil.
Pertimbangan hukum yang tidak benar dapat terjadi karena berbagai kemungkinan:
1.      Hakim tidak mempunyai cukup pengetahuan hukum tentang masalah yang sedang ditangani. Namun secara normatif seharusnya hal ini tidak boleh terjadi, karena Hakim dapat memerintahkan setiap pihak untuk menyediakan ahli yang akan memberikan keterangan dan menjelaskan pokok persoalannya di dalam persidangan.
2.      Hakim sengaja menggunakan dalil hukum yang tidak benar atau tidak semestinya karena adanya faktor lain seperti adanya tekanan pihak-pihak tertentu, suap, dan faktor-faktor lain yang mempengaruhi independensi Hakim yang bersangkutan.
3.      Hakim tidak memiliki cukup waktu untuk menuliskan semua argumen hukum yang baik disebabkan karena terlalu banyaknya perkara yang harus diselesaikan dalam kurun waktu yang relatif singkat.
4.      Hakim malas untuk meningkatkan pengetahuan dan wawasannya, sehingga berpengaruh terhadap kualitas putusan yang dibuatnya. Faktor ini merupakan faktor yang pengaruhnya tidak langsung, namun cukup menentukan kualitas putusan.
Secara ideal, semua kemungkinan yang disebutkan di atas tidak boleh terjadi dalam lembaga peradilan. Jika hal itu terjadi, maka bukan tidak mungkin lembaga peradilan yang seharusnya menjadi gerbang keadilan, justru menjadi tempat terjadinya ketidakadilan. Tidak terkecuali Mahkamah Agung sebagai lembaga pengadilan tertinggi di negeri ini. Hakim-hakim Agung yang seharusnya menjadi penjaga gawang keadilan terakhir, boleh jadi justru menjadi pihak yang menciptakan ketidakadilan.
Seharusnya fakta persidangan merupakan dasar/bahan untuk menyusun pertimbangan majelis hakim sebelum majelis hakim membuat analisa hukum yang kemudian digunakan oleh hakim tersebut untuk menilai apakah terdakwa dapat dipersalahkan atas suatu peristiwa yang terungkap di persidangan untuk memperoleh keyakinan apakah terdakwa patut dipersalahkan, patut dihukum atas perbuatannya sebagaimana yang terungkap dipersidangan.singkatnya, suatu putusan harus didasarkan pada fakta persidangan dan dibarengi dengan putusan yang mencerminkan rasa keadilan.
 
Rudy Karetji

Selasa, 19 November 2013

Negara Tanpa Korupsi, Apakah Harapan atau Khayalan ??

Lama-lama mengamati Negara ini semakin membingungkan saja. Banyak hal yang bertentangan dengan hati nurani, undang-undang yang berlaku terus menerus terjadi. Kita ambil contoh masalah praktek-praktek korupsi. Pada sisi pemerintah selalu mengatakan korupsi harus dihapus habis di atas permukaan bumi Indonesia. Bahkan kaiimat-kalimat yang ingin membabat habis korupsi menjadi tema para pemimpin bangsa, baik presiden, gubernur, bupati atau mungkin lurah atau kepala desa.

Pada tataran pemerintah pusat, agar usaha-usaha pemberantasan korupsi dapat dinilai bersungguh-sungguh kemudian dibentuklah berbagai perangkat Negara. Adanya institusi kepolisian dan kejaksaan yang memang memiliki wewenang untuk itu dianggap belum cukup. Kemudian dibentuklah suatu perangkat Negara yang katanya superbody, memiliki independensi tinggi yaitu KPK. Namun kemudian apa yang terjadi. Meskipun KPK sudah berjalan cukup lama, namun masalah korupsi ini tidak ada tanda-tanda akan berakhir.

Melihat kenyataan yang ada selama ini, muncul pertanyaan: Mungkinkah Negara Tanpa korupsi?
Pasti cukup banyak diantara kita merasa cukup pesimis dengan pertanyaan itu. Bahkan bagi sebagian orang melihat itu adalah sesuatu hal mustahil terjadi. Seorang teman secara bergurauan mengatakan: Indonesia akan bebas dari korupsi bila kucing sudah tumbuh tanduknya.

Rasa pesimistis kita memang cukup beralasan. Kita ambil contoh kasus yang baru-baru terjadi berkaitan dengan kasus penyuapan pembangunan wisma atlet di Palembang. Meskipun kasus ini masih dalam tingkatan praduga, namun beberapa orang yang diduga terlibat adalah orang-orang yang notabenenya adalah politisi partai yang berkuasa saat ini. Artinya bila itu terjadi dalam lingkaran kekuasaan bukan usaha-usaha untuk memberantas korupsi hanya pepesan kosong belaka?

Belum lagi yang belum terungkap diberbagai lembaga pemerintahan baik di tingkat pusat sampai ke tingkat daerah. Bukan rahasia lagi, tetapi sudah menjadi rahasia umum bila praktek kong-kalikong yang termasuk dalam kategori korupsi terus menerus terjadi.

Menurut saya praktek korupsi yang sangat merajalela di Negara ini sudah menjadi tren yang sangat sulit dihilangkan. Tren ini muncul disebabkan karena lembaga-lembaga terutama KPK belum mampu bekerja maksimal. Bahkan kasus-kasus yang ditangani KPK sampai saat ini masih banyak yang belum tuntas. Terkesan mereka hanya serius melakukan kasus-kasus yang memiliki nilai berita yang tinggi sehingga pamor mereka semakin naik di mata masyarakat. Sehingga kasus-kasus yang terbilang kecil terasa terabaikan begitu saja. Apalagi kasus yang besar-besar itupun banyak yang tidak selesai dan tuntas sampai saat ini. Contohnya adalah kasus century yang kelihatannya tidak tahu kemana akan bermuara.

Karena itu, tidak salah bila ada orang yang beranggapan bahwa Negara Tanpa Korupsi adalah sebuah harapan yang apnormal dan mengada-ngada.

Meskipun demikian, kita juga perlu optimis dengan itu. Tetapi memiliki sebuah syarat mutlak yang harus dipraktekkan yaitu para penguasa harus benar-benar serius bukan hanya berpikir dan berkata-kata saja. Tetapi serius serta konsisten dalam bekerja dan bertindak. Hal ini baru dapat dilakukan bila para penguasa tidak memikirkan kekuasaan semata tetapi bekerja memang untuk kepentingan rakyat. Ketika mereka takut jatuh dari kekuasaannya maka harapan Negara tanpa korupsi hanya ada dalam mimpi-mimpi saja.

Memang banyak pejabat pemerintahan ini yang mengaku bahwa mereka tidak mengambil uang Negara sepeserpun untuk kepentingan pribadi. Meskipun itu ada tetapi belum cukup. Sebab, mungkin bagi dirinya tidak melakukan korupsi tetapi membiarkan atau tidak berani menindak bawahannya yang melakukan korupsi yang kemudian terkadang terkesan melindungi. Bukan begitu yang diharapkan. Tetapi bagaimana seluruh jajarannya sampai yang kecil-kecil harus terbukti bersih dari segala tindakan korupsi itu. Bila para pejabat pemerintah tidak peduli seperti itu (meskipun secara pribadi tidak melakukannya) tidak akan hilang juga praktek-praktek korupsi. Bahkan akan semakin merajalela.

Apapun ceritanya, tindakan korupsi ini akan berkurang bila memang pejabat atau pemimpin bangsa ini tegas. Tetapi, dari sejumlah tokoh yang ada saat ini, yang sebagian dari mereka sudah dijagokan untuk memimpin bangsa ke depan, apakah ada seperti yang kita harapkan?. Entah mengapa, secara pribadi saya merasa mereka yang sering ditonjol-tonjolkan apalagi yang sudah pernah berkuasa, ada sedikit perasaan tidak yakin.
Saya tidak tahu apakah ada calon-calon pemimpin yang memiliki integritas tinggi sehingga memiliki cara untuk membangun Negara ini tanpa korupsi. Bila bicara kemungkinan, bisa jadi ada bisa jadi tidak. Kalaupun ada, sosok yang kita inginkan itu pasti titisan malaikat. Kalau tidak, tak akan terlihat ada tanda-tanda bertepian.

Rudy Karetji
Direktur Eksekutif Nasional
KRAK Indonesia