Ketika seorang pejabat divonis bebas di pengadilan tindak pidana korupsi
dan dalam waktu yang lain ada seorang rakyat yang divonis tiga bulan
karena mencuri buah kakao, maka masyarakat menyimpulkan dengan mudah
bahwa hukum tidak adil.
Ya, hukum dan keadilan adalah dua sisi
yang seharusnya berjalan beriringan. Namun, pandangan hukum ternyata
tidak seperti itu. Bahkan para ahli hukum melihat keadilan sebagai
penglihatan sosiologis (pandangan dari luar/eksternal) yang cenderung
menggandengkan hukum dengan keadilan.
Padahal, keadilan dalam
hukum bukan sekadar memandang keadilan dari luar (sosiologis), melainkan
keadilan juga harus bersifat keadilan yuridis atau keadilan yang
dipandang dari dalam/internal. Artinya, keadilan tidak boleh dilihat
secara sosiologis semata, tapi keadilan harus dipandang dari ketentuan
hukum yang mengaturnya.
Secara yuridis, hukum juga bisa memiliki
dualisme, karena ada aturan hukum yang bertentangan dengan aturan hukum
yang lain (conflict of norm), sehingga bila orang menggunakan salah satu
dasar hukum, maka dia bias dianggap bersalah menurut hukum itu, tapi
sesungguhnya dia tidak bersalah dari sudut aturan hukum yang lain.
Oleh
karena itu, ia menilai 40 persen kasus korupsi itu sesungguhnya
bukanlah kasus pidana (korupsi), melainkan kasus dalam ranah hukum
administrasi. Jadi, kasus korupsi jangan selalu dibawa ke ranah hukum
pidana (Foult de Personele), tapi bisa merupakan kesalahan administrasi
(Foult de Service), karena 40 persen disebabkan perbedaan persepsi
terhadap ketentuan dalam UU, PP, dan peraturan perundang-undangan
lainnya, bukan mencuri atau menikmati uang Negara melainkan hanya
kesalahan prosedur.
Dalam konteks itulah, lolosnya sejumlah
tersangka korupsi dan sulitnya rakyat kecil lolos dari jerat hukum itu,
bukanlah hal yang mengesankan aparat penegak hukum mementingkan aspek
yuridis, bukan aspek keadilan.
Bisa jadi, pejabat dinas
pendidikan di sebuah kota yang melakukan pengadaan buku secara langsung
itu merujuk pasal X Permendiknas, tapi aparat pengawas menyalahkan
dengan merujuk pasal Z Permendiknas, sehingga menuduh pejabat itu
melakukan korupsi karena melanggar pasal Z.
Padahal, dia tidak
mencuri atau "makan" uang negara sama sekali, karena dia menggunakan
uang sesuai dengan pasal X yang juga diatur dalam Permendiknas atau
pejabat berwenang yang lain dan buku yang dibeli memang ada serta dapat
dijadikan barang bukti.
Artinya, pejabat itu dijerat kasus
korupsi bukan karena kesalahan dia, tapi kesalahan yang ada pada pasal
yang berbeda, sehingga persoalan sebenarnya bukan pada pejabat, tapi
persoalan ada pada peraturan yang bertentangan. Jadi, hukum secara
yuridis (positivisme hukum) bisa berbeda dengan hukum sosiologis.
Secara
sosiologis, masyarakat sangat mungkin menganggap hukum itu tidak adil,
karena dia melihat hukum dari luar, sedangkan penegak hukum melihat
hukum dari dalam (internal) terkait konstruksi hukum itu sendiri.
Bahkan,
kasus Century yang bila dilihat dari luar itu kasus korupsi yang besar
itu bila dilihat dari dalam sangat mungkin merupakan perbedaan persepsi
terhadap UU Perbankan terkait penyertaan modal negara pada bank swasta.
Contoh
serupa adalah korupsi terkait dana dari hasil pendaftaran mahasiswa
dalam ujian masuk PTN yang dikelola panitia dari kalangan petinggi PTN
se-Indonesia (SPMB), atau kasus dana abadi umat yang dikelola pejabat
Kementerian Agama (DAU).
Kalangan petinggi PTN sangat mungkin
memandang uang pendaftaran atau ujian masuk PTN itu bukan uang negara,
namun pejabat keuangan bisa melihatnya sebagai uang yang harus disetor
ke kas negara terlebih dulu dan bila dibutuhkan dapat diminta langsung
kepada pejabat kas negara. Hal yang sama juga dialami pengelola dana
abadi umat di Kemenag.
Judicial Review Hakim
Solusinya,
majelis hakim hendaknya memiliki kewenangan untuk mengajukan semacam
"judicial review" (JR) kepada Mahkamah Konstitusi (MK) bila menemukan
perbedaan tafsir dalam perkara hukum yang sedang ditangani di
pengadilan. Hal seperti ini sudah berlaku di kalangan penegak hukum di
Eropa.
Bila ada "Judicial Review" dari hakim ke MK, maka akan
membuka mata masyarakat bahwa ada permasalahan dalam peraturan dan
majelis hakim juga tidak memutuskan kasus dengan penafsiran pribadi,
sehingga masyarakat menyikapi sebagai ketidakadilan.
Namun, efektifitas hukum itu sesungguhnya sangat ditentukan tiga hal yakni :
(1) Aturan yang tidak menimbulkan perbedaan persepsi
(2) Kultur hukum
(3) Sarana penegakan hukum
Masalahnya,
bukan hanya UU yang belum sempurna, tapi kultur hukum dan sarana
penegakan hukum di Indonesia juga masih payah, karena kultur masyarakat
masih suka jalan pintas bila berhadapan dengan hukum, sehingga korupsi
pun tumbuh secara kultur mulai dari bawah hingga ke meja pengadilan
tanpa kita sadari.
Siapa yang harus disalahkan, agar hukum di negara kita ini bisa bersifat adil dimata masyarakat dan ALLAH ??? Pekerjaan Rumah (PR) buat kita semua sebagai anak-anak bangsa yang cinta dan ingin keadilan itu ada dinegeri ini !!!!
(Rudy Karetji, Direktur Eksekutif Nasional KRAK Indonesia)