Rabu, 12 Desember 2012

KORUPSI STRUKTURAL DI TANAH PAPUA BARAT

Dinamika performens Korupsi Struktural dari Aceh sampai Papua, adalah wajah pentas perwayangan yang setiap hari dipertontonkan oleh Para elit Bangsa ini, baik di Media Eletroknik maupun Cetak serta Radio, ditengah carut-marut penegakan Hukum yang tidak berkeadilan sosial, semua pihak mengklaim bahwa dirinya yang hebat, kuat, dan kebal hukum, karena keterlibatan aparat penegak hukum, politisi, birokrat , pengusaha dan juga para advokad yang membela dan menjamin kekebalan hukum bagi para koruptor dengan melegitimasikan UU dan Peraturan Pemerintah sebagai referensi hukum guna melemahkan semangat perlawanan dan pencegahan atas perbuatan melawan hukum sebagai bagian dari Politik Kekuasaan. Korupsi menurut bahasa kita adalah suatu perbuatan tindak pidana kejahatan kemanusiaan luar biasa, ya cara untuk melawannya juga dengan cara yang luar biasa. Budaya Malu sudah tidak lagi mempan bagi para elit pelaku korupsi dengan bangganya mereka lalu merampok berjemaah atas nama kekuasaan politik bisnis. Perbuatan Korupsi sudah dianggap hal biasa bukan lagi luar biasa, sebab sangsi hukumnyapun hanya 1-3 tahun, apalah artinya hukuman sedemikian rendah dan merendahkan martabat manusia, karena hukum mudah diuangkan alias Kase Uang Habis Perkara (KUHAP). Ya kita semua tahu bahwa Bangsa Indonesia saat ini berada pada peringkat seratusan dalam hal indeks persepsi korupsi internasional, sementara untuk Asia Indonesia jagonya, maka tak heran ketika sensus BPS 2010 menunjukan Provinsi Termiskin di Indonesia adalah Papua Barat pertama dan kedua adalah Provinsi Papua. Hal ini tidak diimbangi dengan dana ABPN,APBDP,dan APBDK, serta Royalty Migas Bawah Tanah dan Juga Royalty Freeport dan lebih miris lagi Dana Otonomi Khusus yang sejak 2002-2010 sudah sekitar Rp. 28,8 Trilyun digelontorkan ke Papua dan Papua Barat ternyata Dana segedeh itu tidak mampu mengangkat taraf hidup orang asli papua dari kemiskinan menjadi mapan.

Dampak dari banyaknya uang yang digelontorkan ke Papua dan Papua Barat , telah berhasil melahirkan raja-raja kecil, termasuk imbas Korupsi Struktural dengan Modus Operandi dalam berbagai cara untuk memperkaya diri,keluarga, dan kroni-kroni para koruptor itu.

Sebut saja kasus Korupsi Hambalan, Korupsi PPID,Korupsi Anggota DPR-RI, Korupsi Chek Pelawat, Korupsi Bailout Century, Korupsi Pajak, Korupsi Pembuatan Alquran, Korupsi Simulator SIM Korlantas Polri dan lain sebagainya adalah merupakan fenomena sistem Pelayanan Pemerintah Pusat, sementara di daerah-daerah juga banyak, Isu Dahlan Iskan dengan Wacana Pemerasan BUMN, di daerah dijadikan ATM Para kepala Daerah, apalagi di Papua dan Papua Barat.

Penegakan Hukum diperjualbelikan dengan bargaining Politik Papua Merdeka oleh para koruptor di tanah papua barat, termasuk oknum-oknum aparat keamanan di pusat termasuk para pegawai cukong atau broker atau pun makelar yang bekerja mengejar Succes Fee; dengan bukti ini, maka susah untuk menghilangkan Karakter Korupsi Bangsa ini mulai dari anak bangsa di pusat pemerintahan-sampai ke daerah-daerah. Bagi Papua dan Papua Barat, dinilai sebagai daerah konflik sehingga sengaja dibiarkan saja oleh Kepolisian,Kejaksaan, dan KPK, termasuk hukum menjamin Impunitas atas para koruptor karena uang selembar lima puluh ribu rupiah , lalu harga diri diperjual belikan tak pandang bulu dia pegawai rendahan hingga pegawai tinggi, Korupsi sudah bagian dari karakter sistem pelayanan pemerintahan.

Kasus-kasus korupsi di Tanah Papua Barat; baik di Provinsi Papua maupun Papua Barat sengaja dibiarkan bebas mengalir menyusuri relung hidup setiap anak bangsa dan dipelihara untuk memperkaya pihak-pihak di Tanah Papua Barat maupun Indonesia. Adapun Modus Operandi Korupsi Struktural terkadang dengan menggunakan kekuasaan politik melalui Partai Politik Berkuasa seperti Partai Golkar,Demokrat, PDIP, PKB, PKS, Gerindra, Hanura dan lainnya, melalui kader-kader partainya didaerah selalu dijadikan mesin pencetak uang untuk kepentingan partai politik dan pribadinya. Sayangnya Kekuasaan Politik lebih dominan di daerah daripada Hukum, sehingga semena-mena hukum diperjualbelikan untuk kepentingan mereka para Politisi dan Birokrasi, yudikatif, dan kontraktor sebagai pihak ketiga yang mengelola anggaran negara.

Ketika rakyat papua marah dan menuntut hak – hak dasar mereka, kemudian pemerintah memperhadapkan mereka dengan Kekerasan baik Kekerasan Struktural maupun horisontal. Pemerintah juga melegalkan hukum melalui UU dan Peraturan Pemerintah sebagai lehgitimasi impunitas atas pelaku korupsi, dengan kata lain melegalkan “ Kata Papua Merdeka “, digunakan oleh Koruptor di Tanah Papua Barat, sebagai Senjatah ampu dalam memproteksi dan membebaskan mereka dari jeratan Hukum.

Adapun Korupsi Struktural dan Modus Operandi yang terjadi di tanah papua barat adalah sebagai berikut:
1. Kasus Terdakwa Korupsi Ketua DPRP Papua Drs. Jhon Ibo,MM, Kerugian Negara 5,2 Milyar dana APBD pembangunan  rumah dinas jabatan Ketua dan Wakil ketua DPRP Papua; saat ini sidangnya masih terkatung-katung sudah tiga bulan lamanya, belum ada putusan, sementara Terdakwa diberi status tahanan kota oleh pihak kejaksaan agung.

2. Kasus Tersangka Korupsi Dana APBD Kabupaten Waropen, mantan Bupati Waropen Drs. Ones J. Ramandey,MM , kerugian negara Rp. 5 Milyar, Tersangka sudah ditahan dipolda papua tetapi diberi ijin bantaran kepada tersangka oleh pihak penyidik kejaksaan tinggi papua dan hingga saat ini sejak februari lalu belum ditangkap, sementara tersangka bebas berkeliaran di Jakarta. 

3. Terdakwa Korupsi Dana Bagi Hasil Provinsi Papua Ir. M.L.Rumadas,M.Si dengan kerugian negara Rp. 18 Milyar, terdakwa sebagai sekda Provinsi papua Barat yang juga adalah tersangka Korupsi Dana 20 Milyar Bantuan kepada 44 anggota DPRP Papua Barat yang sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Tinggi Papua tetapi hingga saat ini tidak jelas proses hukumnya, untuk sementara terdakwa di beri status tahanan kota oleh kejaksaan agung. 

4. Dugaan kasus tindak pidana korupsi yang melibatkan 23 anggota DPRD Biak Numfor dan diperiksa terkait dugaan korupsi kerugian negara yang ditimbulkan berkisar Rp600 juta-Rp700 juta. Dan keterangan yang dimintai pihak Polres yakni terkait Penggunaan Dana Sosialisasi, Pembangunan Perumahan, Penggunaan Uang Untuk Dipertanggungjawabkan (UUDP), serta Uang Perjalan Dinas.

     5. Tersangka Korupsi Dana Rp. 5,2 Milyar mantan anggota DPRD Mimika yang juga adalah istri Bupati Mimika Klemens Tinal yakni Ny. Stefra Sodora Dupuy yang sudah ditetapkan oleh Polda Papua sebagai btersangka 2008 dan hingga saat ini masih DPO alias daftar pencarian orang, diduga melibatkan pihak petinggi Polda Papua. Berdasarkan surat izin gubernur papua No. 180/3803/SET.perihal persetujuan dilaksanakannya Tindakan Kepolisian terhadap anggota DPRD Kabupaten Mimika. Tertanggal 30-11-2007.

      6. Dugaan Kasus Tindak Pidana Korupsi Dana Kampung Kabupaten Fakfak senilai Rp. 28 Milyar oleh Bupati Fakfak Muhammad Uswanas yang hingga saat ini baru membagikan dana pemberdayaan kampung tahun 2012, sementara 2010 dan 2011 disimpan di bank papua fakfak dan tidak difahami peruntukannnya

      7. Diduga Melakukan Tindak Pidana Korupsi Dana pengadaan Alat Kesehatan RSUD Fakfak Oleh Bendahara Partai Politik Golkar Provinsi Papua Bahlil Lahadalia,SE, dengan mendatangkan alat-alat medis yang sudah rusak dan tidak bisa dipergunakan senilai Rp.17 Milyar lebih.

     8. Diduga Melakukan Tindak Pidana Korupsi dana Pembangunan Bandara Internasional Siboru Fakfak dengan sitem Proyek Multy Years sudah menelan biaya Rp. 24 Milyar lebih tetapi pembangunan fisiknya baru 5%, oleh Bahlil Lahadalia Bendahara Partai Golkar Papua.

     9. Diduga Melakukan Tindak Pidana Korupsi Dana Otsus yang di depositokan senilai Rp. 1,2 Trilyun di dua Bank di Jayapura yakni Bank Papua dan Bank Mandiri yang dilakukan oleh Mantan Gubernur Papua Barnabas Suebu,SH dan Kepala BPKAD Provinsi Papua Dr. Achmad Hatary.

    10. Diduga Melakukan Tindak Pidana Korupsi dan Narkoba Bupati Teluk Wondama Drs. Alberth H. Torey, MM kerugian Negara Rp.1,9 Milyar SPMU.No1133/BT/2004 pada Bank Papua dan Dana Bantuan Keuangan dari Provinsi Papua senilai Rp. 13,2 Milyar.

    Untuk itu Rudy Karetji Direktur Eksekutif Nasional Komite Rakyat Anti Korupsi Indonesia, mengatakan dalam waktu dekat ini akan melakukan advokasi atau mengejar kasus2 tersebut diatas dengan cara menjewer atau mengorek telinga para penegak hukum di republik ini agar tidak budeg/alias tuli.  

Selasa, 11 Desember 2012

Aneh bin Ajaib, SBY Himbau Bela Pejabat Terjebak Korupsi

Pada peringatan Hari Anti Korupsi se-Dunia dan Hak Asasi Manusia (HAM), Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berbicara tentang kasus korupsi yang dilakukan pejabat pemerintah. Pidato ini disampaikan tidak lama setelah KPK menetapkan mantan Menpora Andi Malarangeng sebagai tersangka korupsi proyek Hambalang. Berdasarkan pengalaman delapan tahun terakhir, Presiden SBY mengungkapkan ada dua jenis korupsi.
Pertama, pejabat memang berniat korupsi. Kedua, tindak pidana korupsi terjadi karena ketidakpahaman pejabat terhadap peraturan perundang-undangan. Dalam hal kasus korupsi yang menjerat pejabat pemerintah, dihadapan jajaran Kabinet Indonesia Bersatu II dan seluruh gubernur, ia menegaskan pejabat pemerintah yang terjebak kasus korupsi harus dibela.
“Pengalaman empirik kita delapan tahun lebih ini, saya menganalisis ada dua jenis korupsi. Pertama, memang korupsi diniati untuk melakukan korupsi. Ya sudah, good bye. Tapi ada juga kasus-kasus korupsi terjadi karena ketidakpahaman pejabat yang dilakukan itu keliru dan terkategori korupsi. Maka negara wajib menyelamatkan mereka-mereka yang tidak punya niat melakukan korupsi tapi bisa salah di dalam mengemban tugas-tugasnya,” jelasnya di Istana Negara, Jakarta.

Menurutnya banyak pejabat pemerintah yang tidak memahami definisi tindak pidana korupsi, sehingga ketika tindakan dan kebijakannya dianggap melanggar hukum, pejabat pemerintah tersebut mempertanggungjawabkan perbuatannya dihadapan hukum. Padahal pejabat pemerintah tersebut tidak berniat melakukan tindakan korupsi.

“Tugas yang datang siang dan malam, Kadang-kadang memerlukan kecepatan pengambilan keptusan, memerlukan kebijakan yang tepat (dari pejabat pemerintah). Jangan biarkan mereka (pejabat pemerintah) dinyatakan bersalah dalam tindak pidana korupsi,” ucap SBY disambut tepuk tangan seluruh jajaran Kabinet Indonesia Bersatu II dan seluruh gubernur yang hadir di Istana Negara.

Pernyataan SBY yang terkesan nyeleneh ini mendapat tanggapan dari Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad. Ia tak sepakat dengan pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terkait pejabat negara yang tak paham penggunaan anggaran harus dilepas dari jeratan hukum.

“Bahwa ada ketidaktahuan, tapi bukan berarti ketidaktahuan itu menghapuskan pertanggungjawaban pidana. Karena dalam teori hukum pidana, ketidaktahuan bukan berarti menghapuskan pertanggungjawaban hukum pidananya,” ujar Abraham Samad usai menghadiri Puncak Peringatan Hati Antikorupsi, di Istana Negara, Jakarta, Senin (10/12/2012).

Menurut pria asli Makassar ini, seorang pejabat negara dituntut harus cerdas dan paham dalam menggunakan anggaran. Hal itu agar sang pejabat tak salah dalam menggunakan dan mengalokasikan anggaran. “Oleh karena itu pemimpin dituntut harus cerdas, kalau ada pemimpin mengatakan tidak tahu kalau telah terjadi korupsi, ya tidak usah memimpin,” tegasnya.

Tak hanya Abraham Samad, para analis pun mengingatkan SBY. Bahwa justru karena ‘sangat paham’, para koruptor memanfaatkan celah-celah peraturan untuk korupsi. Pejabat yang tidak paham Undang-undang itu sangat jarang. “Itu ironis dan tragis, kalau ada orang bodoh diangkat jadi pejabat,” kata pengamat sosial dan sosiolog UIN Jakarta Abas Jauhari MA.

Presiden SBY jangan mau dijadikan ‘bebek lumpuh’ oleh para koruptor yang berwatak oportunis dan sistemis. Lihatlah para koruptor ini, mereka disukai dan dihormati para petugas penjara dan kepala Lapasnya karena menjadi sumber ‘revenue’ tambahan.

Sementara para koruptor tetap tampil glamor di depan publik, mengenakan berbagai aksesoris mewah, meski statusnya telah ditetapkan sebagai tersangka korupsi. Mulai dari cincin, ikat pinggang, hingga tas tangan.

SBY harus ingat bahwa sebanyak 1.408 kasus korupsi yang ditangani aparat hukum selama 2004-2011 menjadi bukti dampak buruk korupsi. Nilai kerugian negara mencapai Rp39,3 triliun. Anggaran sebesar itu bisa untuk membangun, misalnya, 393.000 rumah sederhana atau memberikan bantuan modal usaha untuk 3,9 juta sarjana baru. Ingat, korupsi adalah kejahatan luar biasa dan harus dibasmi dengan kebijakan, tekad, organisasi dan sumber daya manusia yang luar biasa pula.

Para analis memprediksi, korupsi akan terus merajalela tahun depan, menjelang pemilu, dalam bentuk aneka ragam perbuatan yang terkutuk. Korupsi adalah musuh publik, SBY harus memihak publik dan menindak koruptor dengan efek jera, bukan malah ‘membela’ secara moral dengan argumentasi ‘tidak paham UU dan peraturan’ sebab itu bakal dijadikan amunisi koruptor untuk berlindung atau menghindar dari jeratan hukuman. ”Korupsi sudah menggurita. Masyarakat harus mendorong SBY untuk mencegah secara sistemik dan menindaknya bagi para aktor korupsi secara sistemik pula