Minggu, 30 Oktober 2011

DASAR KAU KEONG RACUN

“Keong Racun”!
 “Dasar kau keong racun, baru kenal, eh, ngajak tidur…, kau goda diriku kau rayu diriku….”
Entah sudah banyak yang sadar atau tidak, politik dan demokrasi di Indonesia masa kini sesungguhnya adalah keong racun. Sudah banyak orang yang –baik sadar atau tidak sadar- menjadi korban keong racun politik-demokrasi di Indonesia.

Politik itu kejam. Kejam tapi menggiurkan. Demokrasi di Republik ini adalah kebenaran versi yang banyak. Siapa yang lebih banyak, bertaring dan bercakar, dialah yang dianggap benar. benarnya sendiri. Tapi tidak sendirian, melainkan banyak-banyakan, kuasa-kuasaan.
Bullshit politik-demokrasi menempatkan kedaulatan ditangan rakyat. Di muka bumi Indonesia ini kedaulatan dipegang oleh pemerintah yang sejatinya adalah gundik para kapitalis alias “penjajah” rakyat jelata!

Fakta yang ada sekarang, kedaulatan yang ada sekarang berada ditangan kapitalis yang mempunyai modal besar. Atas nama rakyat, bajingan-bajingan kapitalis itu perlahan tetapi pasti mengeruk harta rakyat dengan rayuan keong racunnya mengobral janji-janji gombal.. Yang menyeramkan, mereka sangat bernafsu memperkosa berbagai sumber daya alam, dan mengeksploitasi aset-aset bangsa yang sebenarnya milik rakyat bersama, mereka meraup keuntungannya sendiri dan menjadikan orang-orang terdekat mereka makin gemuk, makmur, berkuasa, kaya-raya, dstnya.

Sebagai contoh; hasil bumi Papua sangat kaya raya. Freeport adalah tambang tembaga terbesar di dunia, belum lagi tambang emasnya. Tetapi rakyat Papua sangat miskin, bahkan Papua dan Papua Barat menjadi dua propinsi termiskin di Indonesia. Ini benar-benar gila bin edan dan sangat kurang ajar! Yang kaya dan makin gemuk adalah penjajahnya yakni para kapitalis yang didukung oleh pemerintahan yang dzolim, pemerintah yang telah menjajah bangsanya sendiri! Pantaslah jika ada rakyat Papua yang ingin merdeka, sebab mereka bukan sekedar hanya merasa dijajah, melainkan mereka memang hakikatnya sedang terjajah!

Keong racun. Baru kenal sudah ngajak tidur. Tidur bukan sembarang tidur. Mengajak tidur lelap meninggalkan-melupakan realita, dan selanjutnya masuk ke alam mimpi-mimpi belaka. Dibius masuk dalam pekat alam impian, bak mimpi (janji-janji gombal) yang berhasil diberikan pada gadis lugu dari desa yang hendak menggapai bintang di langit metropolitan. Saat mimpi itu disangka hendak menjadi kenyataan, segeralah harta paling berharganya dirampok habis-habisan, kemurnian dan normanya terkoyak-koyak, nilai-nilai luhur mulia warisan nenek moyangnya perlahan tetapi pasti mulai terkikis oleh kenajisan metropolis.

Merusak realita masa depan yang luhur bagi kemanusiaan, bahkan menghancur leburkannya. Menciptakan lobang hitam yang menganga angker. Yang selanjutnya, setelah perselingkuhannya dengan impiannya itu menghasilkan buah, maka ditahun-tahun terkemudian lahirlah bayi-bayi bejat-bertaring, yang tumbuh kembangnya diasupi susu haram oleh pejabat pemerintah, yang segera akan tumbuh besar dan menjadi drakula-drakula kapitalis penghisap darah.

Sedikit orang yang mampu terjaga/tersadar dari racun impian alias rayuan gombal amoh yang ditebarkan oleh keong racun. Mimpi-mimpi indah yang sebenarnya busuk itu, yang diciptakan oleh para tuan (pemerintah). Para penguasa yang lalim!

Demokrasi made in pemerintah, yang sebenarnya adalah bajingan-bajingan tengik bertopeng juruselamat itu, begitu indah kala dijanjikan oleh mulut manis mereka, agung dibayangkan, dikira mampu memuaskan hasrat yang selama ini terpendam. Dan memang perkiraan tersebut benar. Benar bagi golongannya sendiri.

Yakni politik-demokrasi mampu membuat hasrat libido para pelakunya tersalurkan seketika, apalagi dipoles dengan topeng baru bergembor pembela HAM (Hak Asasi Manusia) yang membuat demokrasi makin lihai bergerak liar dan rakus saja, hingga sering menggelinjang-gelinjang lupa daratan. Apalagi ditambahi dengan “pil-pil mak erot” (perangsang dan pemacu) berupa KEKUASAAN dan KORUPSI yang manjur membuat gurita penguasa makin bertahan lama, besar dan makin panjang.

Membuat para pelakunya sanggup berulangkali kali mencapai “orgasme kenikmatan mimpi”.
Ber-uhh..ahh…uhh..ahh… dengan tak tahu malu meskipun “maninya” (baca: kerakusannya, keserakahannya, semangat koruptifnya, hasrat kapitalisnya) sudah menyembur muncrat tak karuan di sana-sini disaksikan jutaan rakyat yang hanya bisa geleng-geleng kepala dan mengelus dada, diiringi tangisan kaum papa yang terpaksa hanya bisa nelangsa saja setelah diperkosa para penguasa.

Seperti korban lumpur lapindo yang adalah korban perselingkuhan antara pejabat pemerintah bajingan dengan perusahaan pemerkosa alam. Tangis para korban hanya ditepiskan, seakan dianggapnya raungan binatang saja.

Para pejabat, yang sulit dibedakan dengan penjahat itu, suka petentang-petenteng kunjungan ke sana kemari, dengan berbagai simbol kemewahan melekat di sekitarnya: rumah mewah, mobil mewah, safari mahal, sepatu mengkilat buatan luar negeri, jam tangan emas-perak hasil merapok kekayaan negeri yang sebenarnya milik bersama, hingga senyuman malaikat yang sebetulnya hanyalah topeng guna menutupi jiwanya yang adalah vampire, setan gondol, sontoloyo!

Segala simbol kemewahan para penjahat (pejabat), yang tiap hari riwa-riwi menebar pesona di negeri ini sambil terus mengeksploitasi rakyat miskin, semua itu hanya makin menelanjangi kesenjangan sosial yang memang sudah telanjang bulat di negeri tempat bernaung para bangsat ini. Sebutan “bangsat” yang pernah muncrat dari mulut Ruhut Sitompul layak dikenakan pada diri mereka sendiri. Ya, rupanya, sejatinya, mereka bukan bangsa Indonesia, melainkan bangsat Indonesia!
Hhhh….! Politik dan demokrasi, yang kini ada di tangan pemerintah Indonesia, adalah keong racun!

Wahai Pak Presiden beserta antek-antekmu, yakni para pejabat (penjahat?) pemerintahan mulai tingkat pusat hingga tingkat daerah, sudah terlalu sering, kau goda diriku …kau rayu diriku…. Kau tak tahu malu…. Dan, …kutakut sekali..!
Ah…, dasar kau, keong racun!

RUDY KARETJI
KRAK INDONESIA

KEGIATAN INDUSTRI SKALA INTERNASIONAL & NASIONAL SUDAH MENGKHIANATI ADAT DAN MASYARAKAT PRIBUMI PAPUA

Faktor penyebab situasi di Papua terus memanas sudah barang tentu sangat kompleks. Lebih dari sekadar konflik politik, berbagai bentuk kericuhan yang terus meletup di Papua sesungguhnya adalah imbas kekeliruan dalam memilih strategi pembangunan dan penerapan model pendekatan keamanan yang cenderung bersifat represif.

Terlepas dari siapa yang menjadi dalang dan patut dipersalahkan atas berbagai kericuhan di Papua, inti munculnya keresahan dan resistansi sosial di Papua adalah penolakan terhadap kebijakan pembangunan yang mengabaikan keberadaan masyarakat lokal. Pembangunan yang bersifat sentralistis dan dipaksakan dari atas tidak hanya melahirkan perubahan pada tradisi, tercabiknya nilai-nilai spiritual, perubahan pada pola mata pencaharian penduduk, tetapi juga mengakibatkan terjadinya kesenjangan sosial dan perampasan hak-hak adat masyarakat lokal.

Dalam rangka kembali menuntut hak-hak mereka itulah, akhirnya di kalangan masyarakat Papua tidak hanya terjadi protes sosial, tetapi juga lahir gerakan sosial yang berkepanjangan.
Sebagai sebuah daerah pedalaman yang resah karena dihela industrialisasi dan pembangunan yang lebih mementingkan produksi, salah satu konsekuensi yang tak terhindarkan untuk muncul di Papua adalah berbagai bentuk perlawanan, ancaman terhadap stabilitas, bahkan teror.

Di wilayah Papua, sudah menjadi keresahan umum masyarakat pedalaman, ketika industrialisasi mulai merambah ke sana, yang namanya tanah adat dan tanah milik penduduk lokal sering kemudian dikorbankan untuk kepentingan yang bersifat ekstraktif atau kepentingan orang-orang yang datang dari luar daerah.

Secara teoretis, proses industrialisasi yang merambah tanah adat serta kebijaksanaan pembangunan yang lahir dan serba dikendalikan oleh negara niscaya tidak cuma menelikung pranata-pranata komunitas masyarakat pedalaman, tetapi dalam banyak kasus juga makin menambah beban kemelaratan penduduk lokal yang marginal, bahkan mengakibatkan merebaknya polarisasi sosial di kalangan penduduk asli dan para pendatang.

Pendek kata, sepanjang kegiatan pembangunan dan industrialisasi yang berlangsung di Papua tidak berusaha mengembangkan mekanisme redistribusi aset atau pembagian kembali sebagian keuntungan untuk kepentingan pengembangan SDM penduduk setempat secara sungguh-sungguh, sepanjang itu pula akan senantiasa muncul resistansi dan kericuhan.

Selama ini, banyak bukti menunjukkan bahwa kegiatan industrialisasi yang semata-mata mementingkan kepentingan produksi dan tujuan komersial tidak saja mengakibatkan berkembangnya kecemburuan sosial masyarakat lokal, tetapi juga melahirkan tekanan-tekanan yang bersifat struktural. Bisa dibayangkan apa jadinya jika sebuah dunia usaha dibangun sedemikian gigantik, tetapi ternyata di sekitar mereka penduduk lokal masih hidup dengan cara mengais-ngais kemiskinan dan menjadi pesakitan di tanah kelahiran sendiri.

Di berbagai daerah di Papua, sudah sering terjadi kegiatan industrialisasi yang pongah justru melahirkan potensi pergesekan, bahkan konflik terbuka, antara penduduk setempat dan kekuatan komersial yang mengeksploitasi sumber daya alam setempat. Di kawasan Papua yang kaya akan sumber daya laut dan tambang, sering terjadi permasalahan yang dihadapi penduduk setempat adalah adanya intervensi berbagai perusahaan komersial yang sangat mengganggu keamanan sumber pangan penduduk lokal.

Pembangunan dan industrialisasi di Papua harus diakui telah melahirkan sejumlah dilema. Di satu sisi, industrialisasi diharapkan dapat menjadi jalan keluar serta pintu terobosan untuk mempercepat upaya penanggulangan kemiskinan dan keterbelakangan masyarakat Papua. Tetapi, di sisi lain, industrialisasi dan investasi berbagai kekuatan komersial, ternyata, sering malah melahirkan marginalisasi dan kerusakan ekologis serta tidak berkesesuaian dengan kebutuhan masyarakat lokal. Lantas, apa sebetulnya yang harus dikembangkan agar pembangunan di Papua tidak salah arah?

Pada era Orde Baru, ketika pemerintah mencanangkan program yang disebut ”kebijakan ke arah timur”, yang bertujuan mendorong investasi di wilayah Indonesia bagian timur, sejak itu pula arus investasi yang masuk ke wilayah Papua mulai meningkat pesat. Sejumlah perusahaan di bidang perkayuan, perikanan, pertanian, dan pertambangan mulai melirik Papua. Sebab, potensi sumber daya alam di kawasan itu memang menjanjikan.

Dari segi investasi untuk kepentingan negara, perubahan dan modernisasi yang merambah wilayah Papua, termasuk imbas berupa munculnya berbagai kericuhan dan resistansi penduduk lokal, barangkali dipahami sebagai konsekuensi yang tidak terhindarkan. Tetapi, untuk memastikan agar arah perubahan dan pembangunan yang berlangsung di Papua tidak terperosok menjadi kolonialisasi model baru yang merugikan kepentingan penduduk setempat, mau tidak mau harus dilakukan rekonstruksi paradigma pembangunan secara mendasar.

Membangun sebuah wilayah –dan bagaimana menghargai masyarakat lokal di Papua– tidaklah cukup hanya dilakukan dengan cara memberikan ganti rugi material semata secara karitatif melalui program CSR atau kompensasi politik dalam bentuk pemberian otonomi daerah. Bagaimanapun, menghargai dan menempatkan hak-hak masyarakat lokal secara proporsional dan adil serta menempatkan mereka sebagai tuan di tanah kelahiran sendiri adalah kunci untuk mempersiapkan masa depan Papua ke arah yang lebih bermartabat.

RUDY KARETJI
DIREKTUR EKSEKUTIF
KOMITE RAKYAT ANTI KORUPSI INDONESIA