Jumat, 22 Juli 2011

HASRAT KORUPSI

SETIAP kita dianugerahi potensi menjadi baik atau buruk, dengan otoritas sepenuhnya pada diri kita sendiri hendak memanfaatkan yang mana; apakah cukup salah satu potensi saja atau malah kombinasi keduanya. Orang bisa tampak baik di hadapan orang lain meski sejatinya ia buruk sekali. Tampil manis di muka umum demi menutup wajah bopeng yang tersembunyi di balik topeng.
Sebab hidup adalah pilihan. Sepanjang pilihan itu diputuskan dalam kesadaran lahiriah sebagai makhluk berakal, maka manusia tak bisa mengelak dengan dalih, katakanlah, berlaku jahat di luar kesadaran. Atau, yang sering kita dengar, terpaksa melakukan kejahatan. Dipaksa oleh siapa? Bagaimana kalau yang memaksa adalah hasrat dalam diri? Bisakah tetap disebut sebagai terpaksa ?
Meski memiliki potensi kebaikan sekaligus keburukan, manusia tetap mendapat kuasa untuk menentukan hasrat mana yang harus dipenuhi. Para penganjur hidup lurus kerap menyebutnya sebagai pengendalian hawa nafsu. Semacam usaha mengatur keseimbangan antara kewajiban berbuat baik dan keharusan mengabaikan perbuatan buruk. Dan ini adalah pekerjaan sehari-hari, karena dalam hal apa pun hidup memang menghadapkan kita pada, selalu saja, pilihan-pilihan dengan implikasi yang bisa positif bisa pula negatif.
Jangankan urusan seserius surga-neraka, untuk pilihan apakah kita hendak selamat di akhirat kelak dan untuk itu harus banyak-banyak beramal saleh, atau cuek saja dengan nasib hari akhir sehingga menjalani hidup suka-suka, bahkan yang seolah sepele seperti sarapan pagi pun kita harus memutuskan sebuah pilihan. Memutuskan sarapan atau tidak sarapan sudah satu soal. Setelah itu, kita masih harus menentukan pilihan lain lagi; sarapan apa, di mana, dengan siapa, porsinya seberapa dan sebagainya, dan seterusnya.
Maka, memenuhi sebuah hasrat atau mengabaikannya adalah pilihan, dan kita dipercaya menjadi panglima atas diri kita sendiri; kita yang menentukan menjadi baik atau buruk hidup kita.
***
Saya termasuk percaya bahwa korupsi, entah sebagai budaya maupun penyakit, adalah buah dari manajemen hasrat yang salah pada sebagian kita. Betapa sang panglima tak sanggup menolak hasrat berbuat jahat, bahkan meskipun latar belakang agama dan pendidikan sudah begitu kuatnya. Mau bukti? Tengoklah nama-nama koruptor yang divonis bersalah belakangan ini. Mereka bukan saja tampil alim sehari-hari, tetapi juga bergelar doktor dan profesor.
Penghuni penjara bukan lagi melulu pelaku kriminal berwajah beringas dengan tubuh penuh tato, yang sepanjang hidupnya mungkin tak pernah mendengar ceramah agama dan mengenyam pendidikan, tetapi juga orang-orang terhormat yang selama ini diciumi tangan dan kakinya, dipuja-puja sebagai raja, dihormati karena cendikia, dielu-elukan seakan-akan begitu sempurna dan mulia. Yang menyedihkan, mereka bukan dipenjara karena harus membela kebenaran atau melawan kebatilan, seperti kisah-kisah heroik yang biasa kita dengar. Mereka dipenjara karena korupsi duit rakyat.
Dalam kasus pejabat-pejabat yang terlibat penilepan uang negara, hasrat untuk korupsi mungkin terlalu dominan sehingga bukan saja mengalahkan hasrat mengabdi dan berbuat baik bagi rakyat, tetapi juga menenggelamkan keinginan berlaku jujur. Hebatnya, selalu saja ada dalih untuk membenarkan setiap perbuatan, meskipun dalih itu harus dibuat-buat dan diliputi kebohongan. Dosanya pun menjadi ganda; sudah korupsi, berbohong pula.
Hukum di republik ini memang masih sangat toleran terhadap perbuatan korupsi. Selain vonis penjara bagi koruptor sering lebih ringan dibandingkan kejahatan jenis apapun, termasuk sekelas maling ayam, ukuran korup atau tidak korup pun sebenarnya hanya sebatas hukum administratif saja. Orang dituduh korupsi ketika secara administratif pertanggungjawaban uang yang dipakainya bermasalah. Kalau administrasi beres, ya no problem, meskipun sebenarnya korupsi juga.
Penanganan kasus-kasus korupsi selama ini belum menyentuh asas moralitas dan kepatutan, karena mengukurnya memang sulit. Artinya, para pejabat kita sebenarnya boleh memakan uang rakyat, sepanjang administrasinya lengkap dan tak kedapatan melanggar undang-undang. Siapapun dipersilakan korupsi selama uang yang dikorupsi itu mendapat legitimasi hukum, dan karena itu berstatus legal. Hahaha, korupsi yang legal, begitulah. Masalah patut dan tak patut biar jadi urusan dengan Tuhan.
Itu sebabnya kita hanya bisa geleng-geleng kepala menyaksikan betapa pejabat-pejabat publik kita kaya raya. Untuk ukuran camat dan kepala desa saja banyak yang tampak sangat berkecukupan, terutama bila pembandingnya adalah masyarakat kebanyakan yang konon mereka urusi dan ayomi.
Kepala-kepala dinas, kepala kantor, kepala badan, orang-orang berdasi di pemerintahan, sudah kaya-kaya. Jangan tanya sekelas bupati, karena ada bupati di Kaltim yang saking kayanya bisa menitip uang pengembalianRp 34 miliar lebih untuk pengganti uang yang dituduhkan telah dikorupsinya. Itu sebabnya, jangan kaget bila pejabat-pejabat yang divonis penjara karena korupsi, masih tetap kaya raya setelah bebas kelak, meskipun sebagian hartanya sudah dikuras untuk membayar ganti kerugian negara.
Fakta ini membuat banyak anak muda kita akhirnya tergiur juga jadi pegawai negeri, dengan harapan kelak kariernya bagus dan bisa naik kelas jadi pejabat. Atau melibatkan diri ke partai politik sambil menyusur jalan menuju jaminan hidup mapan di masa depan. Di jalur politik ini karier malah bisa melompat-lompat di luar dugaan. Misalnya, ada yang baru dua tahun jadi wakil rakyat, sudah mengoleksi beberapa mobil mewah dan rumah mentereng, padahal sebelum jadi anggota legislatif ke mana-mana pakai sepeda motor dan tinggal di rumah kontrakan. Bukan hendak tampil sederhana, tapi karena waktu itu memang masih tak punya apa-apa.
***
Mari kita bikin hitung-hitungan sederhana. Gaji tertinggi seorang bupati paling banter Rp 15 juta sebulan (sangat mungkin lebih kecil dari ini). Ditambah tunjangan ini-itu, ya kira-kira bisa menjadi Rp 50 juta sebulan. Ini sungguh pendapatan resmi. Kalau kita tambahkan pendapatan tidak resmi maksimal 10 kali lipatnya saja, ketemu angka Rp 500 juta sebulan. Wow, besar sekali? Nanti dulu. Mari kita tengok hitung-hitungan berikutnya.
Untuk jadi bupati dalam sebuah pemilihan langsung, sudah lazim istilah menyewa perahu agar diusung partai politik. Semacam mahar untuk sebuah lamaran. Tarifnya bervariasi. Tetapi dari cerita-cerita yang beredar selama ini, angkanya tak kurang dari Rp 5 miliar. Proses sosialisasi dan kampanye memakan biaya tak kalah gede. Bisa dua kali lipat harga sewa perahu, kira-kira Rp 10 miliar. Total, Rp 15 miliar. Itu modal minimum saja, karena pengakuan beberapa kepala daerah, mereka menghabiskan uang lebih dari itu.
Lha, kalau pendapatan sebagai bupati hanya Rp 500 juta sebulan, maka perlu waktu 30 bulan untuk balik modal. Lebih separo masa jabatan. Itu dengan catatan Rp 500 juta itu dipakai untukbalikin modal semuanya. Jadi, bahkan setelah ditambah pendapatan tak resmi pun, dalam logika apa saja, masih sulit mengembalikan Rp 15 miliar dalam waktu segera.
Nah, bayangkanlah kalau si bupati lurus-lurus saja, tanpa mencari pendapatan tak resmi. Dengan pendapatan maksimal Rp 50 juta sebulan, dia harus mengembalikan biaya Rp 15 miliar dalam waktu 5 tahun masa jabatan. Itu sama dengan Rp 3 miliar setiap tahun, atau Rp 250 juta setiap bulan. Hmm, katakanlah gaji resmi yang maksimal Rp 50 juta tadi semuanya dipakai untuk mencicil pengembalian modal, dari mana nombokin kekurangan Rp 200 juta per bulan? Apa iya ada yang masih mau jadi bupati kalau bakal nombok begini?
Hebatnya, entah cari modal dari mana, ada kepala daerah yang belum habis masa jabatan, malah sudah bersiap bertarung lagi dalam pilkada berikutnya, untuk jabatan yang lebih tinggi tentu saja. Kita lantas bertanya-tanya, apa modal untuk pilkada sebelumnya sudah kembali? Lalu ke mana cari modal baru untuk pilkada yang baru? Iya kalau modalnya Rp 15 miliar. Kalau lebih? Untuk informasi kita-kita aja nih, modal maju jadi gubernur konon tak kurang dari Rp 30 miliar!
***
Beda antara korupsi dan tidak korupsi menjadi setipis kulit bawang, ketika yang kita bicarakan adalah hukum administrasi dan legalitas penggunaan uang negara. Tetapi bila perbincangannya masuk pada ihwal etika, moral dan kepatutan, maka rasanya sulit menghindarkan kecurigaan kita bahwa pejabat publik yang kaya-kaya itu sebenarnya koruptor semua.
Mereka bukan pewaris harta dari moyang yang kaya, bukan pula penemu harta karun seperti kisah dalam dongeng-dongeng petualangan. Mereka juga tak dikenal sebagai pemilik perusahaan atau ahli niaga. Hidup mereka selama ini sangat bergantung pada pekerjaan sebagai abdi rakyat. Dari mana duit menumpuk kalau bukan karena keberadaan mereka di lembaga pemerintah? Apa iya bisa kaya tanpa korupsi?
Entahlah. Anggap saja ini pertanyaan ceroboh dari seorang rakyat yang mau tau urusan pejabat. Atau lazimnya kecemburuan orang miskin kepada orang kaya. Bahwa korupsi memang (masih dan terus) terjadi di mana-mana, dan republik ini tetap betah saja berada di urutan atas negara-negara terkorup di dunia, begitulah faktanya. Seorang kawan dengan enteng berujar kepada saya,… hasrat korupsi ada pada setiap kita. Kalau kamu jadi pejabat dan kesempatannya ada, kamu mungkin akan korupsi juga.
Hahaha, saya tertawa, kemudian berdoa: kalau begitu, Ya Allah, jangan pernah berikan kesempatan itu

salam
Rudy Karetji

Tidak ada komentar:

Posting Komentar