Setiap tahun Transparency International (TI) meluncurkan
Corruption Perception Index
(CPI). Sejak diluncurkan pada tahun 1995, CPI digunakan oleh banyak
negara sebagai referensi tentang situasi korupsi. CPI merupakan indeks
gabungan yang mengukur persepsi korupsi secara global. Indeks gabungan
ini berasal dari 13 (tiga belas) data korupsi yang dihasilkan oleh
berbagai lembaga independen yang kredibel. CPI digunakan untuk
membandingkan kondisi korupsi di suatu negara terhadap negara lain. CPI
mengukur tingkat persepsi korupsi di sektor publik, yaitu korupsi yang
dilakukan oleh pejabat negara dan politisi.
CPI direpresentasikan dalam bentuk bobot skor/angka (
score)
dengan rentang 0-100. Skor 0 berarti negara dipersepsikan sangat korup,
sementara skor 100 berarti dipersepsikan sangat bersih dari korupsi. Di
tahun 2013, secara global terdapat enam (6) negara yang memiliki skor
tertinggi. Negara-negara tersebut adalah Denmark (91), Finlandia (91),
Selandia Baru (89), Swedia (89), Norwegia (86), dan Singapura (86).
Negara dengan skor terendah terdapat 5 negara yaitu; Sudan Selatan
(14), Sudan (11), Afghanistan (8), Korea Utara (8) dan Somalia (8).
Tabel 1
Peringkat dan Skor Corruption Perception Index 2013
Peringkat | Negara | Skor |
5 | Singapura | 86 |
15 | Hong Kong | 75 |
36 | Taiwan | 61 |
46 | Korea Selatan | 55 |
80 | China | 40 |
94 | Filipina | 36 |
114 | Indonesia | 32 |
116 | Vietnam | 31 |
119 | Timor Leste | 30 |
157 | Myanmar | 21 |
Sumber: Corruption Perception Index 2013
Pada tahun 2013 ini, skor CPI Indonesia sebesar 32. Indonesia menempati urutan 114 dari 177 negara yang diukur.
Negara
lain yang memiliki skor sama dengan Indonesia adalah Mesir (32). Skor
Indonesia sedikit lebih baik dari Albania (31), Nepal (31), Vietnam
(31), dan sedikit lebih buruk dari Ethiopia (33), Kosovo (33), dan
Tanzania (33). Sementara itu, di kawasan Asia Pasifik, Indonesia masih
jauh berada di bawah Singapura (86), Hongkong (75), Taiwan (61), Korea
Selatan (55), dan China (40). Di ASEAN, skor Indonesia jauh di bawah
Brunei (60) dan Malaysia (50). Indonesia sedikit di bawah Filipina (36)
dan Thailand (35). Namun skor Indonesia sedikit lebih baik dari Vietnam
(31), Timor Leste (30), Laos (26) dan Myanmar (21).
Meskipun skor
CPI 2013 Indonesia tidak beranjak dari skor tahun 2012 yaitu 32, namun
Indonesia meningkat empat peringkat. Tahun 2012, Indonesia berada di
peringkat 118 dari 176 negara dan di tahun 2013 peringkat Indonesia
menjadi 114 dari 177 negara.
Skor CPI Indonesia selama dua tahun
diukur dari efektifitas pencegahan dan pemberantasan korupsi di
Indonesia. Di sisi lain optimisme publik dan keberhasilan KPK dalam
upaya penegakan hukum memberikan warna lain. Upaya penegakan hukum di
bidang korupsi politik dan korupsi di sektor strategis justru menguak
tabir stagnasi tersebut.
Dalam satu tahun terakhir Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) berhasil mengungkap kasus korupsi sektor
hukum di Mahkamah Konstitusi (Akil Muchtar) dan Mahkamah Agung (Hakim
Kartini dkk), Korupsi di Kepolisian (Djoko Susilo), Korupsi di Kejaksaan
(Sistoyo); Korupsi di sektor politik (Nazaruddin, Waode Nurhayati,
Zulkarnain Djabar, Angelina Sondakh, dan Andi Mallarangeng); dan Korupsi
di sektor bisnis (Rudi Rubiandini, Ahmad Fatanah dan Hartati Murdaya).
Temuan
Global Corruption Barometer 2013 (GCB 2013) menempatkan parlemen dan
partai politik sebagai lembaga yang korup dalam persepsi dan pengalaman
masyarakat. Parlemen menduduki peringkat kedua terkorup (setelah
Kepolisian) dari 12 lembaga publik yang dinilai.
Sementara partai politik berada pada peringkat ke-4 terkorup. Fakta
dari CPI 2013 dan GCB 2013 menunjukkan bahwa pemerintahan SBY belum
optimal dalam mendorong program Strategi Pencegahan dan Pemberantasan
Korupsi (Stranas PPK). Stranas PPK belum menyentuh sektor politik dan
sektor-sektor strategis lainnya seperti peradilan dan lembaga pelayanan
publik.
Lemahnya koordinasi antar lembaga pemerintah
mengakibatkan praktik korupsi dan suap masih tinggi di lembaga-lembaga
publik. Di Indonesia, GCB 2013 menyebutkan 1 dari 3 orang yang
berinteraksi dengan penyedia layanan publik di Indonesia masih melakukan
praktek suap dengan berbagai alasan.
Maraknya praktik korupsi
dan suap di lembaga publik secara tidak langsung mengancam Sistem
Integritas Nasional (SIN). SIN tidak akan berjalan efektif saat upaya
penegakan hukum dan pencegahan serta pemberantasan korupsi sering
terganggu oleh problem politik. Pemerintah harus lebih keras lagi
mendorong implementasi Stranas PPK sebagai bagian dari penerapan
ratifikasi UNCAC. Pemerintahan SBY-Boediono harus dapat memastikan
dampak program antikorupsi di penghujung kepemimpinannya juga
keberlanjutan Stranas PPK 2012-2025 sebagai program jangka panjang.
Tahun
2013-2014 sebagai tahun politik dan transisi kekuasaan harus menjadi
momentum pembenahan besar di ranah politik. Partai politik dan para
kandidat calon anggota parlemen juga presiden/wakil presiden harus
mengedepankan nilai integritas sebagai orientasi lembaga politik yang
lebih bermartabat. Hal ini untuk menjawab harapan masyarakat yang tinggi
terhadap integritas dan antikorupsi. Juga untuk mengembalikan
kepercayaan publik terhadap lembaga politik yang kini terpuruk.
Untuk itu masyarakat
harus bisa lebih kritis dalam mengawasi dan terlibat aktif dalam
proses-proses politik menjelang Pemilu 2014 agar lebih transparan dan
akuntabel.
Rudy Karetji