Korupsi dalam sejarah manusia bukanlah hal baru. Ia lahir berbarengan
dengan umur manusia itu sendiri. Ketika manusia mulai hidup
bermasyarakat, di sanalah awal mula terjadinya korupsi. Penguasaan atas
suatu wilayah dan sumber daya alam oleh segelintir kalangan mendorong
manusia untuk saling berebut dan menguasai. Berbagai taktik dan strategi
pun dilaksanakan. Perebutan manusia atas sumber daya alam dan politik
inilah awal mula terjadinya ketidakadilan. Padahal kebutuhan untuk
bertahan hidup kian menanjak, tapi kesempatan untuk memenuhinya semakin
terbatas. Sejak saat itu moralitas dikesampingkan. Orientasi hidup yang
mengarah pada keadilan berubah menjadi kehidupan saling menguasai dan
mengekploitasi. Di dalam sejarah, kita dapat menemukan banyak catatan
yang terkait dengan kondisi tersebut.
Di Indonesia, korupsi mulai
terjadi sejak jaman kerajaan. Bahkan VOC bangkrut pada awal abad 20
akibat korupsi yang merajalela di tubuhnya. Setelah proklamasi
kemerdekaan, banyak petinggi Belanda yang kembali ke tanah airnya,
posisi kosong mereka kemudian diisi oleh kaum pribumi pegawai
pemerintah Hindia Belanda (ambtenaar) yang tumbuh dan berkembang di
lingkungan korup. Kultur korupsi tersebut berlanjut hingga masa
pemerintah Orde Lama. Di awal pemerintahan Orde Baru, Presiden Soeharto
melakukan berbagai upaya untuk memberantas korupsi. Terlepas dari upaya
tersebut, Presiden Soeharto tumbang karena isu korupsi. Perjalanan
panjang korupsi telah membuat berbagai kalangan pesimis akan prospek
pemberantasan korupsi, baik di Indonesia maupun di berbagai belahan
dunia.
Dalam dua dekade terakhir, dunia mulai memandang korupsi
sebagai isu penting. Berbagai inisiatif untuk memerangi korupsi
dilakukan mulai dari tingkat nasional, regional hingga level
internasional. Pandangan bahwa korupsi mendorong pertumbuhan ekonomi
mulai ditinggalkan banyak kalangan. Korupsi dipandang bukan hanya
sebagai permasalahan moral semata, tetapi sebagai permasalahan
multidimensional (politik, ekonomi, social dan budaya).Perubahan cara
pandang dan pendekatan terhadap korupsi, yang diikuti dengan menjamurnya
kerjasama antar bangsa dalam isu ini menyemai optimisme bahwa perang
melawan korupsi adalah perang yang bisa kita menangkan.
Tulisan
ini disusun untuk menyamakan sekaligus mempertajam kerangka berpikir
guna membantu para pembaca dalam menyelami bab-bab selanjutnya. Tulisan
ini terdiri dari beberapa bagian dan mengupas berbagai isu korupsi mulai
dari pengertian korupsi, pergeseran cara pandang dunia terhadap
korupsi, tipologi korupsi dan model-model analisa tentang korupsi.
Selain itu, akan didiskusikan juga alternatif pendekatan untuk menekan
tingkat korupsi. Diakhir akan diulas perlunya membangun integritas di
berbagai aspek kehidupan bangsa (integritas nasional) sebagai langkah
untuk memberantas korupsi.
APA ITU KORUPSI ?
Apabila kita
mengunjungi website Webster Dictionary dan meng-klik kata corruption,
definisi yang muncul adalah “immoral conduct or practices harmful or
offensive to society atau a sinking to a state of low moral standards
and behavior (the corruption of the upper classes eventually led to the
fall of the Roman Empire).
Definisi tersebut terlalu luas dan
kurang bermanfaat untuk dijadikan pijakan dalam membahas korupsi sebagai
permasalahan multidimensi (politik, ekonomi dan sosial-budaya).
Definisi
lain dari korupsi yang paling banyak diacu, termasuk oleh World Bank
dan UNDP, adalah “the abuse of public office for private gain”. Dalam
arti yang lebih luas, definisi korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan
publik untuk kepentingan pribadi atau privat yang merugikan publik
dengan cara-cara bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Definisi
ini merupakan konsensus yang banyak diacu para pakar di bidang
anti-korupsi. Walau demikian, definisi ini belum sempurna meski cukup
membantu dalam membatasi pembicaraan tentang korupsi. Beberapa
kelemahan definisi tersebut di antaranya bias yang cenderung memojokkan
sektor publik, serta definisi yang tidak mencakup tindakan korupsi oleh
privat walaupun sama-sama merugikan publik.
Korupsi terjadi jika tiga hal terpenuhi, yaitu:
(1) Seseorang memiliki kekuasaan termasuk untuk menentukan kebijakan
publik dan melakukan administrasi kebijakan tersebut,
(2) Adanya economic rents, yaitu manfaat ekonomi yang ada sebagai akibat
kebijakan publik tersebut, dan
(3) Sistem yang ada membuka peluang terjadinya pelanggaran oleh pejabat
publik yang bersangkutan. Apabila satu dari ketiga parameter ini tidak
terpenuhi, maka tindakan yang terjadi tidak bisa dikategorikan sebagai
tindakan korupsi.
Secara
umum, tindakan illegal seperti penggelapan pajak dan penyelundupan
selama tidak melibatkan pejabat publik tidak dapat dikategorikan sebagai
tindakan korupsi, padahal secara tidak langsung tindakan ini merugikan
publik karena mengurangi pendapatan negara dari sektor pajak. Dalam
studi Lambsdorff disebutkan bahwa besarnya proporsi budget pemerintah
terhadap GDP suatu negara berkorelasi positif terhadap tingkat korupsi,
barangkali definisi korupsi yang bias pada sektor publik merupakan salah
satu jawabannya.
Definisi tersebut juga menyamaratakan korupsi
di negara yang menganut sistem kerajaan dan demokrasi. Dalam negara
kerajaan, raja mempunyai wewenang untuk mengatur distribusi kekayaan
negara bagi rakyat, karena pada prinsipnya tidak ada pemisahan antara
kekayaan negara dan kekayaan pribadi raja. Sebagai contoh, seorang raja
bisa saja menggunakan uang kerajaan untuk urusan pribadi dan ini tidak
diangap sebagai tindakan korupsi. Tindakan yang sama akan menjadi kasus
korupsi besar apabila terjadi di negara demokrasi.
Pertanyaannya,
apabila sebuah negara demokrasi dengan tingkat korupsi tinggi
mentransform diri menjadi negara kerajaan, apakah berbagai kasus korupsi
akan terselesaikan atau dianggap selesai? Menggunakan definisi korupsi
yang ada dan alat ukur yang kita miliki saat ini, bisa jadi jawaban dari
pertanyaan tersebut adalah ya.
Transparansi Internasional
mempunyai definisi yang lebih fleksibel tentang korupsi, yaitu
“penyalahgunaan kepercayaan yang diberikan orang lain, untuk kepentingan
pribadi”. Di sisi lain, Indonesia juga telah mengambil langkah maju
dalam mendefiniskan tindak korupsi, dimana jenis tindakan yang termasuk
dalam kategori korupsi diperluas, bahkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mencantumkan daftar 29
perbuatan yang bisa dikategorikan sebagai korupsi, baik melibatkan
maupun tidak melibatkan pejabat publik. Informasi tentang ke-29
perbuatan tersebut, tercantum dalam tulisan Saldi Isra dan Eddy OS.
Hiariej dalam bagian lain dari buku ini.
Pergeseran Pandangan Tentang Korupsi
Pandangan
tentang korupsi mengalami pergeseran dari waktu ke waktu. Debat tentang
apakah korupsi mampu meningkatkan efisiensi ekonomi cukup mendominasi
diskursus tentang korupsi pada periode 1970-an dan awal 1980-an. Salah
satu prinsip yang dianut oleh sebagian kalangan saat itu adalah “grease
–the –wheel”. Korupsi dipandang oleh para “corruption apologist” sebagai
minyak pelumas sistem ekonomi yang tidak berjalan secara efisien akibat
tidak berfungsinya birokrasi dikombinasikan dengan peraturan pemerintah
yang tumpang tindih.
Dalam kondisi ini, suap dipandang sebagai
insentif bagi pegawai publik untuk melayani klien dengan sebaik-baiknya.
Ari Perdana, pada bagian lain dari buku ini mengulas bahwa korupsi baru
bermanfaat ketika birokrasi benar-benar tidak berfungsi sehingga perlu
pelumas. Hal ini bukanlah kondisi ideal bagi mesin ekonomi untuk
bekerja, tetapi merupakan second best saja. Dalam kata lain, kondisi ini
lebih baik daripada mesin ekonomi tidak berjalan sama sekali. Grease
perlu diberikan supaya “roda” (baca: mesin ekonomi) yang macet karena
“karatan” bisa berputar. Idealnya, kita menjaga agar “roda” tersebut
tidak “karatan”, sehingga tanpa minyak pun bisa berputar tanpa hambatan.
Dalam
dua puluh tahun terakhir, cara pandang dunia terhadap masalah korupsi
mengalami perubahan drastis. Korupsi dipandang sebagai masalah, dan
penanganan korupsi mulai menjadi perhatian dunia. Berbagai faktor yang
mendorong perubahan paradigma tersebut adalah:
Pertama,
berakhirnya perang dingin. Pada masa perang dingin, bantuan luar negeri
lebih bersifat ideologis daripada ekonomis dan ditujukan untuk mengikat
negara berkembang supaya tidak beralih kepada blok lawan. Dalam kata
lain, donor asing cenderung tidak menempatkan kualitas program, alokasi
dana dan tata kelola yang baik pada saat implementasi sebagai faktor
pertimbangan utama diberikannya dana, sehingga kebocoran merupakan efek
yang tidak bisa dihindari. Keruntuhan Uni Soviet yang mengakhiri perang
dingin merubah praktek tersebut. Donor asing lebih pragmatis dan
menuntut agar dana dipergunakan secara efisien dan akuntable. Isu
pemberantasan korupsi mulai mengemuka di kalangan donor asing.
Kedua
, kejatuhan presiden Filipina, Ferdinand Marcos, oleh people power pada
tahun-tahun terakhir kekuasaannya, 1986. Dunia tidak pernah menduga
bahwa kejatuhan Marcos akan terjadi demikian cepat. Korupsi yang sangat
kronis membuat rakyat Filipina mulai gerah hingga mendorong munculnya
berbagai protes. Awalnya protes kecil, tetapi menjadi masal berkat
peran gereja-gereja sebagai simpul mobilisasi masa (saat itu SMS, e-mail
dan Facebook belum populer). Ketika kardinal Sin merestui demo
tersebut, protes menjadi semakin masif dan berskala nasional.
Pemberitaan oleh berbagai media, seperti BBC dan CNN, membuat dunia
turut memberikan tekanan kepada Marcos untuk mundur. Kejadian ini
merupakan momentum penting bagi upaya pemberantasan korupsi di dunia
karena dianggap sebagai gerakan murni yang berasal dari, dilakukan oleh
dan untuk rakyat – dalam banyak kasus rakyat sering dijadikan sebagai
“kendaraan” aktor politik tertentu.
Kejadian ini juga
mengirimkan pesan yang kuat bagi para penguasa korup di seluruh dunia
tentang resiko atas tindakan mereka. Secara tidak langsung, peristiwa
tersebut juga menginspirasi masyrakat dunia agar lebih berani bertindak.
Kejadian di Filipina, secara tidak disadari, diikuti oleh upaya
pemberantasan korupsi di berbagai belahan dunia, termasuk Spanyol,
Itali, Perancis, Jepang, Meksiko dan beberapa negara Amerika Latin
lainnya.
Ketiga, kegagalan konsep pembangunan di banyak negara
berkembang, terutama di Afrika. Terlepas dari konsep pembangunan yang
disusun secara komprehensif dengan nilai program miliaran dollar, hasil
pembangunan ternyata jauh dari harapan.
Bahkan, indikator
makroekonomi, dan kualitas hidup penduduk Afrika justru semakin terpuruk
dari waktu ke waktu. Paul Collier dalam “The Bottom One Billion”
menyebutkan bahwa 80 persen dari satu miliar penduduk termiskin dunia
berada di 50 failing states yang kebanyakan berada di Afrika. Masih
menurut Collier, kemiskinan tersebut disebabkan oleh empat jebakan yang
bersifat fundamental, yaitu:
(1) konflik horizontal,
(2) land-lock countries dengan tetangga yang kurang kondusif – negara-
negara korup dan penuh konflik,
(3) kekayaan alam berlimpah – yang dikelola secara korup dan tidak untuk
kepentingan rakyat, dan
(4) pemerintahan yang tidak menerapkan good governance. Korupsi sangat
erat terkait dengan dua faktor penyebab kemiskinan yang disebutkan
terakhir, dan kesimpulan ini sejalan dengan berbagai riset yang
menyatakan bahwa korupsi menyebabkan kemiskinan dan ketimpangan
sosial.
Ketiga,
munculnya berbagai NGO anti-korupsi di dunia, terutama pada periode
1990-an. Institusi seperti, Transparency International dan lain-lain
mengeluarkan berbagai peringkat dan skor persepsi korupsi serta
integrity index di berbagai negara di seluruh dunia.
Hal ini
memungkinkan kita untuk membandingkan secara apple to apple tingkat
korupsi di berbagai negara. Terlepas dari berbagai kelemahan sistem
pengukuran yang ada, ranking dan skor yang dipublikasikan telah berhasil
menggugah berbagai negara untuk meningkatkan upaya pencegahan dan
perang melawan korupsi. Mereka ingin “naik kasta” menjadi negara bersih.
Hal ini ditujukan untuk menarik investor asing dan untuk
menaikkan gengsi pemerintah. Mengingat mayoritas ranking dan skor
tersebut merupakan index persepsi, beberapa negara lebih fokus pada
kegiatan pembangunan —citra dari pada pemberantasan korupsi yang
sesungguhnya karena dinilai lebih efektif dalam memperbaiki skor
mereka.
Keempat, runtuhnya ekonomi negara-negara Asia pada
ekonomi krisis 1997. Para corruption apologist sering menggunakan
solidnya kinerja ekonomi “Macan Asia” (Korea Selatan, Taiwan, Hong Kong
dan Singapura), Indonesia, Malaysia, Thailand dan Filipina – negara
dengan tingkat korupsi yang tinggi tetapi mempunyai kinerja ekonomi yang
menakjubkan – sebagai justifikasi pandangan mereka. Krisis ekonomi
tahun 1997 telah meruntuhkan perekonomian negara-negara tersebut,
korupsi yang akut makin memperparah keadaan serta mempersulit proses
kebangkitan mereka.
Hal ini memutar balikkan pandangan para
corruption apologist. Korupsi bukanlah pelumas bagi mesin ekonomi,
tetapi sebaliknya merupakan pasir (sand in the economic engine) yang
menghambat mesin ekonomi bekerja dengan baik, akibat inefisiensi serta
kesalahan alokasi sumberdaya yang ditimbulkannya. Kalaupun tumbuh,
pertumbuhan tersebut tidaklah berkelanjutan.
Saat ini, hampir
seluruh kalangan bersepakat tentang apa itu korupsi dan dampak korupsi
bagi perekonomian negara. Diskursus tentang korupsi lebih banyak
diorientasikan untuk membahas cara-cara penanggulangan korupsi serta
upaya mempererat kerjasama internasional karena dalam era modern ini,
korupsi sering merupakan aktivitas lintas negara dan benua.
Tipologi Korupsi
Arvind
Jain dalam paper berjudul “Corruption: a Review” secara menarik
menggambarkan area dimana korupsi sering terjadi di negara demokrasi.
Pemetaan interaksi antar aktor politik dan ekonomi membantu memberikan
gambaran tentang potensi korupsi.
Interaksi 1
Interaksi 1 melibatkan rakyat dan
pemimpin negara yang dipilih melalui proses demokrasi. Dalam interaksi
tersebut, terutama di negara demokrasi yang belum mengalami konsolidasi,
peluang korupsi politik dalam berbagai bentuk, termasuk politik uang
untuk memenangkan pemilu sangat mungkin terjadi.
Umumnya,
pemimpin terpilih mempunyai diskresi yang luas dalam menentukan
kebijakan pemerintah. Diskresi ini membuka kesempatan bagi para pemimpin
untuk mengambil kebijakan yang tidak menomorsatukan kepentingan rakyat,
dari mana kekuasaan mereka sesungguhnya berasal.
Dalam banyak
kasus, para elit politik mengeluarkan kebijakan, termasuk kebijakan
ekonomi, yang menguntungkan kelompok tertentu. Dalam kebijakan alokasi
anggaran misalnya, elit politik bisa saja mengarahkan penggunaan
anggaran pemerintah untuk sektor yang sebenarnya kurang bermanfaat bagi
rakyat, tetapi dapat membesarkan bisnis para “investor politik” mereka.
Privatisasi
adalah contoh klasik dalam kasus ini, dimana kebijakan publik diarahkan
untuk mentransfer kepemilikan asset berharga milik publik kepada
privat. Walaupun privatisasi berpotensi untuk menciptakan lingkungan
bisnis yang relatif bersih dan kompetitif, tetapi proses privatisasi itu
sendiri sangat rawan korupsi.
Interaksi 2
Interaksi 2 terdiri dari tiga bagian, yaitu:
(1) Interaksi antara para birokrat dengan pemimpin pilihan rakyat,
(2) Interaksi antara birokrat dengan anggota legislatif dan
(3) Interaksi antara birokrat dengan rakyat. Interaksi ini membuka peluang
terjadinya bureaucratic corruption atau korupsi birokrat.
Dalam
berbagai kasus, birokrat atau pejabat publik yang dipilih oleh para
pimpinan negara sering diposisikan sebagai kepanjangan tangan mereka
untuk “memeras” kekayaan negara melalui berbagai institusi pemerintahan
maupun perusahaan milik negara (BUMN). Birokrat terpilih diharuskan
menyerahkan setoran rutin kepada para elit politik untuk melanggengkan
posisi politik mereka melalui proses demokrasi yang koruptif. Dalam
kondisi ini, sangat mungkin korupsi terjadi secara berulang.
Interaksi
antara pejabat publik dengan anggota legislatif juga membuka peluang
terjadinya korupsi. Di Indonesia, seleksi pejabat tingkat tertentu
(misalnya Gubernur BI, Direksi BUMN, Ketua MA, Ketua KPK, Ketua BPK dan
lain-lain) harus melalui proses fit and proper test di legislatif.
Proses ini memunculkan peluang “jual beli” jabatan yang melibatkan
kandidat pejabat publik dan anggota legislatif. Setelah terpilih,
legislatif berhak untuk mengadakan dengar pendapat dengan para birokrat
terpilih, interaksi ini juga membuka peluang terjadinya korupsi.
Pada
dataran yang lain, interaksi antara pejabat publik dengan rakyat
merupakan pintu terjadinya korupsi kecil, pejabat publik korup dari
berbagai level mengutip uang dari rakyat. Proses ini sangat mungkin
terjadi, mengingat kantor pelayanan publik (Kantor pelayanan KTP, IMB,
SIM, ijin usaha, dll) umumnya memonopoli pelayanan publik, padahal
monopoli merupakan pintu utama terjadinya korupsi.
Dalam banyak
kasus, korupsi kecil terjadi secara integratif, melibatkan karyawan
level bawah hingga level atas. Karyawan level bawah diharuskan
menyetorkan pendapatannya kepada atasan, sebaliknya atasan memberikan
perlindungan kepada bawahan.
Interaksi 3
Interaksi 3
melibatkan pemimpin terpilih dan anggota legislatif. Berbagai kebijakan
publik memerlukan persetujuan dari legislatif, interaksi ini membuka
peluang terjadinya korupsi legislatif (legislative corruption) baik
berupa suap kepada atau pemerasan oleh anggota legislatif.
Korupsi
legislatif relatif mudah terjadi pada negara dengan sistem demokrasi
yang belum terkonsolidasi, dimana pembiayaan kampanye politik belum
diatur dan diawasi dengan baik. Sistem voting tertutup di lembaga
legislatif, seperti yang terjadi di Indonesia, turut memperparah kondisi
karena konstituen tidak bisa mengawasi apakah para wakil yang mereka
pilih benar-benar mewakili kepentingan mereka. Hal ini merupakan awal
munculnya problem akuntabilitas yang akut.
Faktor lain yang
berkontribusi terhadap fenomena korupsi legislatif adalah tidak adanya
kelompok oposisi yang kuat. Kelompok kepentingan tertentu (interest
group) mempunyai peluang besar untuk dapat memuluskan ide mereka
melalui lobi dengan biaya yang jauh lebih rendah, karena mereka cukup
menyogok satu kelompok saja.
Di lain pihak, ketiadaan oposisi
yang kuat juga menurunkan resiko atas tindakan korupsi para anggota
legislatif dan kelompok kepentingan tertentu, akibat tidak adanya pihak
oposisi yang berpotensi membongkar penyimpangan yang terjadi.
Interaksi 4
Interaksi
4 melibatkan rakyat dan anggota legislatif yang dipilih melalui
pemilihan umum. Demokrasi prosedural relatif lebih mudah diwujudkan,
tetapi mewujudkan demokrasi substansial bukanlah perkara mudah. Sebagai
contoh, India telah memiliki demokrasi tanpa henti sejak tahun 1950
(tiga tahun setelah merdeka dari Inggris pada tahun 1947), tetapi hingga
saat ini demokrasi masih belum merealisasikan janjinya yaitu kemakmuran
yang adil bagi seluruh rakyat. Salah satu prakondisi bagi terwujudnya
demokrasi substantif adalah pengaturan politik uang dan pendanaan
kampanye yang baik.
Di negara dimana politik uang merupakan
fenomena biasa, seringkali politisi menyuap rakyat agar mereka terpilih
dalam pemilu, sehingga keterpilihan mereka tidak ditentukan oleh kinerja
tetapi oleh kemampuan finansial mereka. Tentu saja dari para “investor
politik”, dari mana uang tersebut bersumber, mengharapkan “pengembalian
investasi” berupa kebijakan yang menguntungkan mereka.
Grand Corruption & Petty Corruption
Terdapat
ratusan, bahkan ribuan jenis tindakan yang bisa kita kategorikan
sebagai korupsi. Tindakan-tindakan tersebut dapat kita kelompokan dalam
dua kategori besar yaitu grand corruption atau korupsi besar dan petty
corruption atau korupsi kecil. Tidak ada landasan teori yang pasti
sebagai dasar penggolongan tersebut, tetapi prinsip yang dapat dijadikan
acuan adalah besaran dana, modus operandi serta level pejabat publik
yang terlibat di dalamnya.
a. Grand Corruption
Grand
corruption atau korupsi besar adalah korupsi yang dilakukan oleh pejabat
publik tingkat tinggi menyangkut kebijakan publik dan keputusan besar
di berbagai bidang, termasuk bidang ekonomi. Korupsi disebut juga
corruption by greed atau korupsi akibat keserakahan, karena para pelaku
umumnya sudah berkecukupan secara materiil.
Korupsi besar
menyebabkan kerugian negara yang sangat besar secara finansial maupun
non-finansial. Modus operandi yang umum terjadi adalah kolusi antara
kekuatan ekonomi, kekuatan politik dan para pengambil kebijakan publik.
Melalui pengaruh yang dimiliki, kelompok kepentingan tertentu
mempengaruhi pengambil kebijakan guna mengeluarkan kebijakan yang
menguntungkan kelompoknya.
Apabila pengaruh kelompok tersebut
begitu besar dan seolah dapat mengontrol proses perumusan kebijakan
publik, fenomena ini sering disebut dengan state capture atau elit
capture.
State caputer dapat terjadi dalam berbagai bentuk, World
Bank – dalam bukunya Anti-Corruption in Transition 2, menjabarkan
beberapa bentuk state capture yaitu:
(1) Suap kepada anggota DPR untuk mempengaruhi perundangan,
(2) Suap kepada pejabat negara untuk mempengaruhi kebijakan publik,
(3) Suap kepada lembaga peradilan untuk mempengaruhi keputusan terkait
dengan kasus-kasus besar,
(4) Suap kepada pejabat bank sentral untuk mempengaruhi kebijakan
moneter, dan
(5) sumbangan kampanye ilegal untuk partai politik.
Kerugian
terbesar bagi negara dan rakyat tidak saja diakibatkan oleh besarnya
nilai uang yang hilang, tetapi juga bergesernya orientasi kebijakan
publik dari untuk kepentingan rakyat menjadi untuk kepentingan
segelintir individu.
Dalam jangka menengah dan panjang, grand
corruption akan melahirkan problem struktural yang sulit untuk ditata
ulang, seperti struktur ekonomi yang tidak efisien serta struktur
politik yang koruptif. State capture akan menjadikan demokrasi sebagai
quasai sistem kerajaan, dimana tidak ada pembedaan yang jelas antara
kekayaan/kepentingan para elit politik dan kekayaan/kepentingan negara.
Ketika
ini terjadi, sangat kecil peluang bagi suatu bangsa untuk
meluruskannya. Sebagai contoh, Indonesia memerlukan krisis ekonomi dan
guncangan sosial politik yang dahsyat pada tahun 1998, untuk bisa
menggeser struktur ekonomi dan politik ke arah yang benar.
Contoh
klasik korupsi besar adalah privatisasi asset negara secara tidak
transparan dan fair, pemberian konsesi eksploitasi tambang dan kekayaan
alam lainnya kepada kelompok tertentu, proses tender proyek skala besar
yang tidak transparan, keringanan pajak dan biaya masuk untuk sector dan
kelompok tertentu, dan bailout secara pilih kasih kepada perusahaan
tertentu agar lolos dari jebakan krisis ekonomi.
Petty corruption
Petty
corruption atau korupsi kecil, sering disebut survival corruption atau
corruption by need, adalah korupsi yang dilakukan oleh pegawai
pemerintah guna mendukung kebutuhan hidup sehari-hari, akibat pendapatan
yang tidak memadai.
Korupsi kecil merupakan fenomena yang
terjadi di banyak negara yang gagal menyusun dan mengimplementasikan
kebijakan publik yang menyejahterakan rakyat. Tentunya, kita sepakat
bahwa korupsi dengan alasan apapun merupakan tindakan yang tidak bisa
dibenarkan, tetapi penulis memandang kesalahan mendasar penyebab
maraknya korupsi kecil di dalam birokrasi adalah belum dilaksanakannya
reformasi birokrasi yang mampu menerapkan merit system yang
menyejahterakan para pegawai pemerintah.
Pemberantasan korupsi kecil sama strategisnya dengan pemberantasan grand corruption mengingat:
Pertama,
kendati nilai kerugian per-kejadian relatif kecil, tetapi dikarenakan
jumlah kejadian yang masif, total kerugian yang diderita oleh negara dan
masyarakat akibat korupsi ini sangat besar.
Kedua, korupsi
kecil menyangkut sisi kehidupan sehari-hari masyarakat. Apabila tidak
segera ditanggulangi, masyarakat akan menganggap korupsi sebagai bagian
dari keseharian mereka yang akan menciptakan masyarakat yang permisif
dan toleran terhadap korupsi. Apabila ini terjadi, upaya untuk
melibatkan masyarakat secara aktif dalam memberantas korupsi akan
semakin sulit dilaksanakan.
Ketiga, korupsi kecil menyemai
korupsi besar. Pejabat tingkat bawah, yang terlibat korupsi kecil,
dengan berjalannya waktu akan menjadi pejabat tinggi dengan diskresi
kekuasan yang besar. Ada kecenderungan seseorang untuk mengulangi
kejahatan yang pernah dilakukannya sepanjang ada kesempatan, sehingga
meningkatkan potensi terjadinya korupsi besar; Hal ini relevan dengan
tulisan Rimawan Pradiptyo di bagian lain dari buku ini yang menjabarkan
kecenderungan seorang pelaku kejahatan untuk mengulang bahkan melipatkan
ukuran kejahatan di masa mendatang.
Salah satu pertanyaan
pertanyaan penting di sini adalah apakah benar menaikan gaji pegawai
bisa menekan tingkat korupsi dan apakah gaji pegawai negeri saat ini
terlalu rendah. Dalam penelitian Treisman dan Evans ditunjukkan bahwa
tidak ada indikasi kuat bahwa gaji yang lebih tinggi akan menurunkan
tingkat korupsi.
Beberapa survei termasuk yang dilakukan oleh
Sakernas membuktikan bahwa sebenarnya pegawai negeri menerima pendapatan
relatif lebih tinggi dari pegawai swasta, apabila memasukan komponen
tunjangan di luar gaji pokok. Dalam kata lain, gaji pegawai negeri
per-unit kontribusi yang mereka lakukan sebenarnya sudah relatif
kompetitif.
Pada abad ke-18, Swedia, salah satu negara dengan
tingkat korupsi paling rendah di dunia saat ini, merupakan negara yang
paling korup di Eropa, upaya menaikan gaji pegawai pemerintah
dikombinasikan dengan deregulasi di sektor kepegawaian telah melahirkan
pegawai-pegawai pemerintah yang jujur dan kompeten.
Pengalaman
Swedia menunjukkan bahwa bahwa kenaikan gaji saja tidaklah cukup, upaya
menekan korupsi kecil hendaknya dilakukan melalui reformasi birokrasi
yang menyeluruh. Pada bagian lain dari buku ini, Vishnu Juwono mengupas
secara komprehensif dan sistematis isu reformasi birokrasi ini.
Mengapa Korupsi Sulit Diberantas?
Meski
upaya pemberantasan korupsi gencar dilaksanakan, tetapi kondisi tidak
kunjung membaik. Korupsi merupakan isu multidimensional yang mempunyai
komponen politik, ekonomi, sosial dan budaya, yang sering melibatkan
para pemegang kekuasaan, sehingga memberantas korupsi bukanlah perkara
mudah.
Sejarah mencatat begitu banyak pemimpin yang dipilih oleh
rakyat karena mengangkat isu pemberantasan korupsi sebagai tema sentral
kampanye mereka. Tetapi paradoks terjadi, terlepas apakah mereka
benar-benar anti-korupsi dan pada awalnya berupaya keras untuk
memberantas korupsi, ataukah mereka sekedar menggunakan isu korupsi
untuk meraih simpati masa saja, banyak di antara mereka yang jatuh
akibat kasus korupsi.
Di Indonesia misalnya, pada awal
kepemimpinan Presiden Soeharto berupaya secara serius memberantas
korupsi melalui pembentukan berbagai lembaga, tetapi upaya yang bersifat
formalistis tersebut gagal dan bahkan isu korupsi ikut menjatuhkannya
pada tahun 1998.
Di Filipina, Presiden Estrada terpilih melalui
pemilu yang bebas dan terbuka pada tahun 1998 dengan mengusung isu
pemberantasan korupsi. Pada tahun 2001, Estrada kehilangan kekuasaan dan
bahkan dihukum karena keterlibatannya dalam berbagai kasus korupsi. PM
Benazir Bhuto dari Pakistan, Presiden Olusegun Obasanjo dari Nigeria,
adalah sebagian kecil dari deretan panjang pemimpin dunia yang bernasib
sama.
Michael Natch menyebutkan bahwa tingginya korupsi
merupakan sebuah parameter yang valid untuk memprediksi tumbangnya suatu
pemerintahan.
Korupsi merupakan kejahatan yang sulit diungkap,
karena korupsi melibatkan dua pihak yaitu koruptor dan klien yang sering
keduanya berupaya untuk menyembunyikan kejadian tersebut, mengingat
manfaat besar korupsi bagi mereka dan/atau risiko hukum atau sosial
apabila tindakan mereka terungkap.
Dalam kasus korupsi dimana
klien dan pejabat korup yang sama-sama menikmati manfaat, mereka akan
menutupi asi mereka agar kepentingan mereka tetap terlindungi. Sementara
dalam kasus korupsi dimana salah satu pihak merupakan korban, si korban
cenderung tidak melaporkan kejadian mengingat, dalam banyak kasus,
korban dapat dipersalahkan ketika membongkar kasus korupsi dengan
berbagai alasan termasuk alasan pencemaran nama baik. Busyro Muqoddas di
bagian lain dari buku ini mengungkapkan contoh kasus yang tepat untuk
menjelaskan fenomena ini.
Sama halnya dengan kasus penggunaan
obat terlarang ataupun perkosaan, kasus korupsi ditutupi oleh pihak yang
terlibat, termasuk oleh korban, sehingga data yang terekspose
kemungkinan hanya merupakan sebagian kecil dari jumlah kasus yang
sesungguhnya terjadi. Dengan kata lain, kasus korupsi seperti gunung es
dimana sebagian besar kejadian tidak muncul di permukaan.
Pelaporan
oleh pihak yang dirugikan oleh kasus korupsi merupakan ujung dari mata
rantai pemberantasan korupsi. Sayangnya, para pelapor yang biasa disebut
dengan wistleblower merupakan makluk langka yang jarang ditemui. Satu
faktor di antaranya adalah kurang memadainya perlindungan terhadap
pelapor. Walaupun Indonesia sudah memiliki wistleblower rule, tetapi
dalam taraf implemetasi, kebijakan tersebut masih mengandung banyak
kelemahan. Mas Ahmad Daniri mengulas secara lebih detail permasalahan
Whitleblower dalam bagian lain dari buku ini.
Korupsi terjadi apabila tiga hal terpenuhi yaitu:
(1) Adanya benefit atau rent yang bisa dibagikan,
(2) Adanya pejabat publik yang memiliki kekuasaan, yang mau
memfasilitasi proses korupsi – dalam hal ini memberikan akses kepada
pihak tertentu terhadap benefit tersebut, dan
(3) adanya pihak tertentu yang mau melakukan upaya penyogokan.
Poin
kedua di atas, menggambarkan bahwa kasus korupsi sering melibatkan
pejabat publik atau elit politik yang mempunyai kekuasaan. Mereka
tentunya tidak akan tinggal diam dan berupaya mempengaruhi proses
penyelidikan dan penyidikan kasus korupsi.
Kemungkinan yang
sering terjadi adalah para koruptor, secara terorganisasi maupun tidak,
bekerjasama melawan upaya pemberantasan korupsi; atau sering disebut
dengan “corruption fight back” atau serangan balik korupsi. Serangan ini
sering mengakibatkan jatuhnya tokoh sentral dibelakang pemberantasan
korupsi.
Nuhu Ribadu adalah salah satu contoh. Pejuang
anti-korupsi dan mantan ketua the Economic and Financial Crimes
Commission of Nigeria (KPK-nya Nigeria), merupakan satu diantaranya
“korban” corruption fight back.[9] Nuhu mengungkapkan kepada penulis
bahwa pada tahun 2007 jabatannya dicabut akibat dirinya membongkar kasus
korupsi salah seorang gubernur di Nigeria dan dirinya juga secara
serius mulai mengungkap kasus korupsi yang melibatkan tokoh-tokoh di
sekitar presiden Nigeria.
Hingga saat ini Nuhu tinggal di
pengasingan, di luar negeri. Kejadian ini sebenarnya menunjukkan bahwa
Indonesia jauh lebih maju dalam pemberantasan korupsi dibandingkan
dengan Nigeria dan banyak negara lain. Di Indonesia, beberapa gubernur,
gubernur bank sentral, anggota legislatif pusat/daerah, menteri dan
bahkan besan presiden yang sedang berkuasapun dijatuhi hukuman akibat
kasus korupsi.
Negara Bebas Korupsi Sebuah Utopia?
Mewujudkan
negara bebas korupsi merupakan slogan yang sering diusung oleh berbagai
lembaga anti-korupsi. Bahkan kebanyakan institusi tersebut mencantumkan
“Negara bebas korupsi” atau kalimat sejenis sebagai bagian dari visi,
misi atau tujuan organisasi mereka. Apakah mungkin kita mewujudkan suatu
negara bebas korupsi? Di Denmark dan Finlandia, negara yang pernah
mendapatkan skor sempurna atau 10 pada Corruption Perception Index (CPI)
tahun 1998, 1999 dan 2000, pun korupsi masih saja terjadi walaupun
tidak kasat mata. Fakta tersebut menunjukkan bahwa korupsi bisa ditekan,
tetapi tidak bisa diberantas habis.
Sama dengan virus influenza
yang mempunyai puluhan ribu strain/jenis yang terus berkembang dalam hal
jumlah, korupsi juga memiliki ribuan modus yang terus bertambah seiring
dengan perkembangan jaman. Walaupun virus influenza sebenarnya relatif
mudah untuk dicegah, tetapi jumlah strain yang begitu banyak membuat
upaya pemberantasan menjadi mahal dan tidak praktis.
Sebagai
gambaran, satu vaksin umumnya hanya bisa menahan satu atau beberapa
strain virus saja, sehingga untuk bisa benar-benar kebal terhadap
influenza, seseorang harus menerima ribuan injeksi vaksin; selain mahal,
injeksi ribuan vaksin tersebut dapat membahayakan jiwa si pasien.
Korupsi
tidak berbeda dengan virus influenza. Korupsi mempunyai berbagai modus
dan jenis dengan modus operandi yang berkembang seiring dengan kemajuan
jaman.
Menekan korupsi hingga tingkat nol jelas tidak mungkin,
mengingat biaya yang sangat mahal, baik biaya finansial maupun
non-finansial. Untuk mencapai tingkat korupsi nol, barangkali setiap
ruang harus dilengkapi dengan kamera, setiap pembicaraan lewat telepon
dan internet harus disadap, dan setiap rumah harus diawasi oleh agen
rahasia. Hal ini, selain mahal juga dapat menghilangkan kebebasan
individu, sesuatu yang tidak ternilai harganya.
Korupsi tidak
bisa ditekan ke level nol, tetapi dapat digiring menuju ke level
optimal. Secara teori upaya pemberantasan korupsi akan terus dilakukan
hingga kerugian yang ditanggung masyarakat akibat per-unit korupsi sama
dengan biaya memberantas per-unit korupsi.
Ketika titik
keseimbangan tersebut terjadi, pemberantasan korupsi umumnya dihentikan,
meninggalkan jumlah korupsi pada level optimum tertentu. Jumlah titik
optimal antar negara bervareasi. Hal ini dapat kita analogikan dengan
seorang pengusaha akan memproduksi barang terus menerus hingga marginal
cost sama dengan marginal benefit. Secara lebih detail, konsep ini
diulas dengan pendekatan ekonomi yang lugas oleh Ari Perdana, pada
bagian lain buku ini.
Bagaimana operasionalisasi dari konsep di
atas? Strategi pemberantasan korupsi dalam prakteknya dimulai dari
korupsi-korupsi yang kasat mata dan mudah diberantas. Dalam kata lain,
pemberantasan difokuskan pada low hanging fruit dengan biaya murah,
relatif mudah dan kerugian akibat korupsi relatif tinggi.
Sejalan
dengan keberhasilan upaya pemberantasan korupsi, low hanging fruit akan
semakin sulit didapatkan sehingga yang tertinggal adalah high hanging
fruit, yang relatif sulit untuk diberantas atau dalam terminologi
ekonomi disebut mempunyai marginal cost yang tinggi. Sebagian kalangan
mengacaukan fenomena low hanging fruit ini dengan fenomena tebang pilih
dalam pemberantasan korupsi.
Dalam kata lain, memberantas
korupsi di tahap awal akan relatif mudah dengan hasil yang lebih
terlihat, searah dengan keberhasilan upaya pemberantasan korupsi, kita
akan dihadapkan pada korupsi dengan tingkat kesulitan pemberantasan yang
lebih tinggi dan dengan biaya yang besar. Hal ini merupakan alasan
mengapa di negara “bersih” seperti negara-negara di Skandinavia, korupsi
tetap saja terjadi.
Masyarakat tidak terlalu mempedulikan upaya
pemberantasan korupsi saat jumlah korupsi optimal tercapai, mengingat
kerugian yang ditanggung lebih rendah dari biaya yang harus dikeluarkan
untuk memberantasnya.
Model Analisa Korupsi
Semenjak
korupsi bergeser dari isu pinggiran menjadi isu sentral dalam banyak
diskurusu, berbagai konsep pemodelan korupsi bermunculan. Pemodelan yang
tepat akan membantu kita, tidak hanya dalam memahami proses terjadinya
korupsi, juga membantu dalam upaya menekan tingkat korupsi.
Secara
prinsip menekan tingkat korupsi dapat dilakukan dengan menurunkan
(menaikkan) faktor-faktor yang mendorong (menghambat) terjadinya
korupsi. Model merupakan simplifikasi dari fenomena yang sesungguhnya.
Kasus korupsi riil pastilah jauh lebih kompleks, sehingga diperlukan
proses adaptasi sebelum model diterapkan dalam dunia nyata. Hal lain,
model bersifat unik sehingga belum tentu model yang tepat untuk suatu
kasus korupsi dapat diimplementasikan dalam kasus yang sama dilingkungan
yang berbeda.
a. Willingness and opportunity (keinginan dan kesempatan)
Korupsi
hanya akan terjadi jika dua hal terjadi secara bersamaan, yaitu adanya
keinginan untuk korup (willingness to corrupt) faktor yang sifatnya
internal tetapi bisa dipengaruhi oleh hal-hal eksternal dan kesempatan
untuk korupsi (opportunity to corrupt) faktor yang sifatnya eksternal.
Manusia
adalah makhluk ekonomi yang selalu berupaya memaksimalkan manfaat atas
setiap aktivitas dengan biaya seminimal mungkin. Ekonom menyebut
fenomena ini sebagai utility maximization, dalam banyak kasus prinsip
ini sulit dibedakan dengan fenomena selfish atau mengutamakan
diri-sendiri. Selfish merupakan awal munculnya sifat greed atau serakah,
akar dari mentalitas korup.
Dalam kata lain, dalam diri manusia
sesungguhnya sudah ada benih atau kecenderungan untuk melakukan tindakan
korup. Dalam bagian lain dari buku ini, Aan Rukmana dan M. Subhi
Ibrahim mengupas aspek moral dan religious terkait dengan korupsi.
Keinginan
untuk korup merupakan refleksi dari kualitas moral masing-masing
individu. Manusia bukanlah malaikat yang mempunyai moralitas tinggi yang
stabil. Manusia jujur pun bisa saja berbuat tidak jujur karena
keterpaksaan. Dari sisi reliabilitas, upaya pemberantasan korupsi yang
menitikberatkan pada pembangunan moral saja tidaklah reliable.
Selain
berfluktuasi, kualitas moral seseorang dapat berubah secara drastis
seiring dengan berjalannya waktu. Banyak koruptor yang ketika masih muda
atau pada periode awal kepemimpinannya adalah individu yang mempunyai
integritas tinggi. Seperti diulas di awal tulisan ini, banyak pemimpin
yang dipilih oleh rakyat secara demokratis karena mengangkat isu
pemberantasan korupsi, tetapi jatuh akibat kasus korupsi.
Opportunity
merupakan faktor kedua yang memungkinkan korupsi terjadi. Upaya menekan
kesempatan terjadinya korupsi bisa dilakukan dengan memperbaiki sistem,
misalnya dengan menerapkan sistem yang lebih akuntable. Proses tender
terbuka terkait dengan pemesanan barang atau penentuan kontraktor
merupakan contoh klasik upaya tersebut. Contoh lain adalah menerapkan
sistem pemungutan suara terbuka di legislatif sehingga konstituen dapat
melakukan pengawasan terhadap para wakilnya dengan lebih baik.
Walaupun
sistem memegang peran penting terutama karena sifatnya yang lebih
reliable, akan tetapi tanpa dukungan individu yang bermoral tentunya hal
ini akan sia-sia. Sebagus apapun sistem yang dibangun, pihak-pihak yang
bermoral korup selalu saja dapat berkolusi untuk mengakali sistem yang
sudah dibangun. The man behind the gun memegang peran kunci. Di tangan
polisi pistol bisa menekan tingkat kejahatan, tetapi di tangan penjahat
pistol akan menimbulkan petaka.
b. Model CDMA/V
Model
untuk menganalisa korupsi yang dianggap paling klasik dan populer adalah
model CDMA, yang sering dibahas oleh para pakar anti-korupsi, salah
satunya Robert E. Klitgard. Menurut model ini, korupsi (C) merupakan
fenomena yang dipengaruhi oleh tingkat diskresi (D), monopoli (M) dan
akuntabilitas (A).
Karena korupsi mempunyai makna yang beragam
di berbagai kebudayaan, faktor etika memegang peranan penting. Berbagai
riset terkait dengan Corruption Perception Index (CPI) menunjukkan bahwa
nilai-nilai budaya menjelaskan 75 persen dari variasi yang ada dalam
CPI tersebut.
Corruption = f {(Discretionary + Monopoly – Accountability)/Values}
b.1. Discretionary (diskresi)
Discretionary
(diskresi) merupakan keluasan kewenangan yang dimiliki oleh seorang
pemimpin untuk mengambil keputusan. Semakin tinggi posisi seorang
pemimpin semakin tinggi pula diskresi yang dimilikinya, dalam pengertian
semakin banyak keputusan yang harus dia ambil yang didasarkan pada
kreativitas, justifikasi, dan pemahaman si pimpinan; semakin besar
diskresi semakin tinggi potensi terjadinya korupsi.
Kepemimpinan
otoriter merupakan contoh kasus diskresi mutlak, di mana semua
perundangan dan birokrasi tunduk kepada keinginan pemimpin, akibatnya
korupsi merupakan fenomena yang hampir pasti kita temui. Hal ini
diakibatkan oleh kaburnya batas antara kepentingan individu pemimpin dan
kepentingan negara, yang pada gilirannya akan mengaburkan batas antara
kekayaan individu pemimpin dengan kekayaan negara.
Upaya
mengurangi dikresi dapat dilaksanakan dengan mengeluarkan job
description yang jelas kepada pejabat publik atau staf lainnya, diikuti
dengan proses approval yang sitematis sebelum keputusan diambil serta
diakhiri dengan proses monitoring dan evaluasi.
b.2. Monopoly (monopoli)
Monopoli
atas produk atau jasa akan meningkatkan posisi tawar pemegang monopoli
di hadapan para klien atau konsumen. Dalam bidang ekonomi, pemegang
monopoli (produsen) dapat memanfaatkan posisi tawar tersebut untuk
memaksimalkan keuntungan, misalnya dengan menaikkan harga guna jual
produk. Dalam pasar yang monopolistis konsumen tidak mempunyai pilihan
lain, sehingga kenaikan harga tersebut tidak terlalu berkorelasi dengan
volume penjualan barang dan jasa.
Menggunakan logika berpikir
yang sama, dalam pelayanan publik seperti pengurusan KTP, SIM, IMB, dan
ijin usaha, di mana institusi pemerintah memegang monopoli, pegawai
pemerintah dapat dengan mudah menyalahgunakan wewenang yang mereka
miliki. Penyalahgunaan yang mereka lakukan dapat berupa mengurangi
jumlah, mengurangi kualitas atau bahkan tidak memberikan layanan saya
sekali. Singkatnya, pelayanan hanya akan diberikan bagi mereka yang
memberikan uang pelicin, atau kualitas dan kecepatan layanan dipengaruhi
oleh nilai suap yang diterima; hal ini merupakan tindakan korup.
Salah
satu upaya untuk menekan korupsi adalah dengan mentransformasi monopoli
menjadi kompetisi. Dalam kasus kantor pelayanan publik misalnya, solusi
yang mungkin adalah dengan menyediakan beberapa kantor pelayanan
publik, sehingga publik mempunyai pilihan. Pada gilirannya, hal ini akan
menurunkan posisi tawar pegawai pemerintah dimata publik yang akan
menurunkan tingkat korupsi.
b.3. Accountability (akuntabilitas)
Makna
akuntabilitas umumnya terkait dengan pemberian hadiah. Boven memaknai
akuntabilitas sebagai kewajiban untuk menjelaskan dan menjustifikasi
suatu perbuatan atau keputusan yang diakibatkan oleh diskresi yang
dimiliki oleh seorang individu.
Akuntabilitas adalah fungsi
diskresi, artinya birokrat harus diberikan diskresi terlebih dahulu baru
kemudian dituntut untuk akuntabel terhadap bagaimana mereka menggunakan
diskresi yang dimilikinya.
Masih menurut Boven, pejabat harus
akuntabel dihadapan publik. Untuk meningkatkan akuntabilitas tersebut,
paling tidak tiga hal berikut terkait dengan interaksi antara pejabat
dengan publik harus terpenuhi: Pertama, pejabat berkewajiban untuk
melaporkan berbagai aktivitasnya kepada publik; kedua, publik (melalui
perwakilannya) mempunyai hak untuk menanyakan lebih lanjut apabila
terdapat data atau informasi yang belum cukup; ketiga, publik – melalui
wakilnya, mempunyai kekuasaan untuk menilai laporan tersebut, meliputi
menerima atau menolak laporan, mengkritisi kebijakan, dan secara terbuka
mengkritisi pejabat bersangkutan.
Variabel yang mempengaruhi sukses tidaknya penerapan akuntabilitas di antaranya:
(1) Transparansi, yaitu keterbukaan bagi publik untuk menyelidiki,
mengkritisi dan menganalisis kebijakan publik;
(2) Akses, yaitu adanya akses bagi publik terhadap informasi yang relevan,
kapanpun, di manapun oleh siapapun dengan biaya yang sangat rendah;
Untuk menggambarkan kondisi di
Indonesia, pandangan tersebut penulis sesuaikan menjadi diagram sebagai
berikut:
(3)
Responsiveness, yaitu kecepatan dalam melakukan follow up atas kritik,
masukan dan pendapat dari publik;
(4) kontrol, yaitu berfungsinya kontrol yang ada dalam masyarakat – media,
NGO, dll – terhadap pelaksanaan prinsip-prinsip akuntabilitas oleh
pejabat publik;
(5)
tanggungjawab, yaitu tanggungjawab pegawai dan pejabat publik untuk
bekerja secara professional sesuai dengan standar dan kode etik yang
berlaku.
Secara sederhana, formula untuk membangun akuntabilitas adalah:
Akuntabilitas = f{transparansi, akses informasi, responsiveness, kontrol, tanggungjawab}
b.4. Values (nilai-nilai)
Values
atau nilai-nilai masyarakat, seperti materialism dan familism,
mempengaruhi bagaimana seseorang dalam menyusun prioritas hidupnya,
temasuk dalam memandang korupsi. Di Sisilia, Italia Selatan, masyarakat
memandang loyalitas terhadap keluarga sebagai sesuatu yang sangat
penting. Pandangan ini menyebabkan masyarakat Sisilia akrab dengan
favoritism, yaitu mementingkan kelompok tertentu terutama keluarga, yang
ini merupakan akar munculnya korupsi.
Selanjutnya, Lipset dan
Lenz menambahkan bahwa dalam masyarakat yang terlalu mengagungkan
kesuksesan materi, tetapi tidak memberikan kesempatan yang sama kepada
seluruh anggota masyarakat terhadap sumberdaya ekonomi, cenderung
memiliki tingkat korupsi yang tinggi.
Selain itu, nilai-nilai
masyarakat yang mendorong self expression cenderung mendorong
terciptanya integritas di kalangan para birokrat, dalam kaitan dengan
korupsi, integritas pemerintah merupakan faktor kunci dalam menekan
tingkat korupsi. Standholz dan Tageepera melakukan survei terhadap
tingkat korupsi di negara-negara komunis dan non-komunis, dan
menyimpulkan bahwa komunisme mengakibatkan rendahnya self expression di
kalangan masyarakat, sehingga tingkat korupsi cenderung tinggi.
Pendapat-pendapat
tersebut menunjukan bahwa nilai-nilai yang dipercaya oleh masyarakat
memegang peran penting terhadap bagaimana masyarakat memandang korupsi,
serta bagaimana mereka memprioritaskan sukses secara materi dengan
keterlibatan dalam upaya memberantas korupsi. Hal ini merupakan
justifikasi untuk memasukkan faktor nilai-nilai dalam formula CDMA/V.
c. Cost and Benefit Analysis (analisa biaya dan manfaat)
Manusia
adalah makluk rasional yang selalu mengambil tindakan berdasarkan
insentif yang diterimanya. Korupsi merupakan keputusan rasional dan
kalkulatif para pelaku. Koruptor memutuskan untuk melakukan korupsi jika
insentif untuk korup lebih besar daripada insentif untuk jujur, atau
dalam kata lain biaya yang ditanggung atas perbuatan korup lebih rendah
dari pada manfaat yang diperoleh atas korupsi yang dilakukan.
Sebaliknya,
apabila biaya lebih besar daripada manfaat yang diperoleh, koruptor
tidak akan melakukan tindakan korupsi. Rimawan Pradiptyo mengulas secara
lebih matematis permasalahan ini pada bagian lain dari buku ini.
Singkatnya:
Korupsi dilakukan jika net benefit of corruption > 0; korupsi tidak
dilakukan jika net benefit of corruption < 0; Net benefit of
corruption (nilai manfaat bersih korupsi) yang merupakan selisih antara
manfaat dan biaya korupsi dapat diukur dengan rumus pendekatan sebagai
berikut:
Net benefit of corruption = f {Manfaat financial, manfaat
non financial, hukuman, biaya sosial, kehilangan pekerjaan, kehilangan
karir, perasaan tidak tenang atau dosa, penurunan semangat kerja}
Upaya
pemberantasan korupsi akan efektif apabila berbagai mekanime anti
korupsi mampu menekan manfaat korupsi dan pada saat yang bersamaan
meningkatkan biaya bagi pelaku.