Selasa, 14 Mei 2013

Korupsi Sangat Sulit Diberantas

Korupsi dalam sejarah manusia bukanlah hal baru. Ia lahir berbarengan dengan umur manusia itu sendiri. Ketika manusia mulai hidup bermasyarakat, di sanalah awal mula terjadinya korupsi. Penguasaan atas suatu wilayah dan sumber daya alam oleh segelintir kalangan mendorong manusia untuk saling berebut dan menguasai. Berbagai taktik dan strategi pun dilaksanakan. Perebutan manusia atas sumber daya alam dan politik inilah awal mula terjadinya ketidakadilan. Padahal kebutuhan untuk bertahan hidup kian menanjak, tapi kesempatan untuk memenuhinya semakin terbatas. Sejak saat itu moralitas dikesampingkan. Orientasi hidup yang mengarah pada keadilan berubah menjadi kehidupan saling menguasai dan mengekploitasi. Di dalam sejarah, kita dapat menemukan banyak catatan yang terkait dengan kondisi tersebut.

Di Indonesia, korupsi mulai terjadi sejak jaman kerajaan. Bahkan VOC bangkrut pada awal abad 20 akibat korupsi yang merajalela di tubuhnya. Setelah proklamasi kemerdekaan, banyak petinggi  Belanda yang kembali ke tanah airnya, posisi kosong mereka kemudian  diisi oleh kaum pribumi pegawai pemerintah Hindia Belanda (ambtenaar) yang tumbuh dan berkembang di lingkungan  korup. Kultur korupsi tersebut berlanjut hingga  masa pemerintah Orde Lama. Di awal pemerintahan Orde Baru, Presiden Soeharto melakukan berbagai upaya untuk memberantas korupsi. Terlepas dari upaya tersebut, Presiden Soeharto tumbang karena isu korupsi. Perjalanan panjang korupsi telah membuat berbagai kalangan pesimis akan prospek pemberantasan korupsi, baik di Indonesia maupun  di berbagai belahan dunia.

Dalam dua dekade terakhir, dunia mulai memandang korupsi sebagai isu penting.  Berbagai inisiatif untuk memerangi korupsi dilakukan mulai dari  tingkat nasional, regional hingga level internasional. Pandangan bahwa korupsi mendorong pertumbuhan ekonomi mulai ditinggalkan banyak kalangan. Korupsi dipandang bukan hanya sebagai permasalahan moral semata, tetapi sebagai permasalahan multidimensional (politik, ekonomi, social dan budaya).Perubahan cara pandang dan pendekatan terhadap korupsi, yang diikuti dengan menjamurnya kerjasama antar bangsa dalam isu ini menyemai optimisme bahwa perang melawan korupsi adalah perang yang bisa kita menangkan.

Tulisan ini disusun untuk menyamakan sekaligus mempertajam kerangka berpikir guna membantu para pembaca dalam menyelami bab-bab selanjutnya. Tulisan ini terdiri dari beberapa bagian dan mengupas berbagai isu korupsi mulai dari pengertian korupsi, pergeseran cara pandang dunia terhadap korupsi, tipologi korupsi dan model-model analisa tentang korupsi.  Selain itu, akan didiskusikan juga alternatif pendekatan untuk menekan tingkat korupsi. Diakhir akan diulas perlunya membangun integritas di berbagai aspek kehidupan bangsa (integritas nasional) sebagai langkah untuk memberantas korupsi.

APA ITU KORUPSI ?

Apabila kita mengunjungi website Webster Dictionary dan meng-klik kata corruption, definisi yang muncul adalah “immoral conduct or practices harmful or offensive to society atau a sinking to a state of low moral standards and behavior (the corruption of the upper classes eventually led to the fall of the Roman Empire).

Definisi tersebut terlalu luas dan kurang bermanfaat untuk dijadikan pijakan dalam membahas korupsi sebagai permasalahan multidimensi (politik, ekonomi dan sosial-budaya).

Definisi lain dari korupsi yang paling banyak diacu, termasuk oleh World Bank dan UNDP, adalah “the abuse of public office for private gain”. Dalam arti yang lebih luas, definisi korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan publik untuk kepentingan pribadi atau privat yang merugikan publik dengan cara-cara bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku.

Definisi ini merupakan konsensus yang banyak diacu para pakar di bidang anti-korupsi. Walau demikian, definisi ini  belum sempurna meski cukup membantu dalam membatasi  pembicaraan tentang korupsi. Beberapa kelemahan definisi tersebut di antaranya bias yang cenderung memojokkan sektor publik, serta definisi yang tidak mencakup tindakan korupsi oleh privat walaupun sama-sama merugikan publik.

Korupsi terjadi jika tiga hal terpenuhi, yaitu:
(1) Seseorang memiliki kekuasaan termasuk untuk menentukan kebijakan  
     publik dan melakukan administrasi kebijakan tersebut,
(2) Adanya economic rents, yaitu manfaat ekonomi yang ada sebagai akibat
     kebijakan publik tersebut, dan
(3) Sistem yang ada membuka peluang terjadinya pelanggaran oleh pejabat
     publik yang bersangkutan. Apabila  satu dari ketiga parameter ini  tidak
     terpenuhi, maka tindakan yang terjadi tidak bisa dikategorikan sebagai
     tindakan korupsi.

Secara umum, tindakan illegal seperti penggelapan pajak dan penyelundupan  selama tidak melibatkan pejabat publik tidak dapat dikategorikan sebagai tindakan korupsi, padahal secara tidak langsung tindakan ini merugikan publik karena mengurangi pendapatan negara dari sektor pajak. Dalam studi Lambsdorff disebutkan bahwa besarnya proporsi budget pemerintah terhadap GDP suatu negara berkorelasi positif terhadap tingkat korupsi, barangkali definisi korupsi yang bias pada sektor publik merupakan salah satu jawabannya.

Definisi tersebut juga menyamaratakan korupsi di negara yang menganut sistem kerajaan dan demokrasi. Dalam negara kerajaan, raja mempunyai wewenang untuk mengatur distribusi kekayaan negara bagi rakyat, karena pada prinsipnya tidak ada pemisahan antara kekayaan negara dan kekayaan pribadi raja. Sebagai contoh, seorang raja  bisa saja menggunakan uang kerajaan untuk urusan pribadi dan ini tidak diangap sebagai tindakan korupsi. Tindakan yang sama akan menjadi kasus korupsi besar apabila terjadi di negara demokrasi.

Pertanyaannya, apabila sebuah negara demokrasi dengan tingkat korupsi tinggi mentransform diri menjadi negara kerajaan, apakah berbagai kasus korupsi akan terselesaikan atau dianggap selesai? Menggunakan definisi korupsi yang ada dan alat ukur yang kita miliki saat ini, bisa jadi jawaban dari pertanyaan tersebut adalah ya.

Transparansi Internasional mempunyai definisi yang lebih fleksibel tentang korupsi, yaitu “penyalahgunaan kepercayaan yang diberikan orang lain, untuk kepentingan pribadi”. Di sisi lain, Indonesia juga telah mengambil langkah maju dalam mendefiniskan tindak korupsi, dimana jenis tindakan yang termasuk dalam kategori korupsi diperluas, bahkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mencantumkan daftar 29 perbuatan yang bisa dikategorikan sebagai korupsi, baik melibatkan maupun tidak melibatkan pejabat publik. Informasi tentang ke-29 perbuatan tersebut, tercantum dalam tulisan Saldi Isra dan Eddy OS. Hiariej dalam bagian lain dari buku ini.

Pergeseran Pandangan Tentang Korupsi

Pandangan tentang korupsi mengalami pergeseran dari waktu ke waktu. Debat tentang apakah korupsi mampu meningkatkan efisiensi ekonomi cukup mendominasi diskursus tentang korupsi pada periode 1970-an dan awal 1980-an. Salah satu prinsip yang dianut oleh sebagian kalangan saat itu adalah “grease –the –wheel”. Korupsi dipandang oleh para “corruption apologist” sebagai minyak pelumas sistem ekonomi yang tidak berjalan secara efisien akibat tidak berfungsinya birokrasi dikombinasikan dengan peraturan pemerintah yang tumpang tindih.

Dalam kondisi ini, suap dipandang sebagai insentif bagi pegawai publik untuk melayani klien dengan sebaik-baiknya. Ari Perdana, pada bagian lain dari buku ini mengulas bahwa korupsi baru bermanfaat ketika birokrasi benar-benar tidak berfungsi sehingga perlu pelumas. Hal ini bukanlah kondisi ideal bagi mesin ekonomi untuk bekerja, tetapi merupakan second best saja. Dalam kata lain, kondisi ini lebih baik daripada mesin ekonomi tidak berjalan sama sekali. Grease perlu diberikan supaya “roda” (baca: mesin ekonomi) yang macet karena “karatan” bisa berputar. Idealnya, kita menjaga agar “roda” tersebut tidak “karatan”, sehingga tanpa minyak pun bisa berputar tanpa hambatan.

Dalam dua puluh tahun terakhir, cara pandang dunia terhadap masalah korupsi mengalami perubahan drastis. Korupsi dipandang sebagai masalah, dan penanganan korupsi mulai menjadi perhatian dunia. Berbagai faktor yang mendorong perubahan paradigma tersebut adalah:

Pertama, berakhirnya perang dingin. Pada masa perang dingin, bantuan luar negeri lebih bersifat ideologis daripada ekonomis dan ditujukan untuk mengikat negara berkembang supaya tidak beralih kepada blok lawan. Dalam kata lain, donor asing cenderung tidak menempatkan kualitas program, alokasi dana dan tata kelola yang baik pada saat implementasi sebagai faktor pertimbangan utama diberikannya dana, sehingga kebocoran merupakan efek yang tidak bisa dihindari. Keruntuhan Uni Soviet yang mengakhiri perang dingin  merubah praktek tersebut. Donor asing lebih pragmatis dan menuntut agar dana dipergunakan secara efisien dan akuntable. Isu pemberantasan korupsi mulai mengemuka di kalangan donor asing.

Kedua , kejatuhan presiden Filipina, Ferdinand Marcos, oleh people power pada tahun-tahun terakhir kekuasaannya, 1986. Dunia tidak pernah menduga bahwa kejatuhan Marcos akan terjadi demikian cepat. Korupsi yang sangat kronis membuat rakyat Filipina mulai gerah hingga mendorong  munculnya berbagai protes. Awalnya protes kecil, tetapi menjadi  masal berkat peran gereja-gereja sebagai simpul mobilisasi masa (saat itu SMS, e-mail dan Facebook belum populer). Ketika kardinal Sin merestui demo tersebut, protes menjadi semakin masif dan berskala nasional. Pemberitaan oleh berbagai media, seperti BBC dan CNN, membuat dunia turut memberikan tekanan kepada Marcos untuk mundur. Kejadian ini merupakan momentum penting bagi upaya pemberantasan korupsi di dunia karena dianggap sebagai gerakan  murni yang berasal dari, dilakukan oleh dan untuk rakyat – dalam banyak kasus rakyat sering dijadikan sebagai “kendaraan”  aktor politik tertentu.

Kejadian ini juga mengirimkan pesan yang kuat bagi para penguasa korup di seluruh dunia tentang resiko atas tindakan mereka. Secara tidak langsung, peristiwa tersebut juga menginspirasi masyrakat dunia agar lebih berani bertindak. Kejadian di Filipina, secara tidak disadari, diikuti oleh upaya pemberantasan korupsi di berbagai belahan dunia, termasuk Spanyol, Itali, Perancis, Jepang, Meksiko dan beberapa negara Amerika Latin lainnya.
Ketiga, kegagalan konsep pembangunan di banyak negara berkembang, terutama di Afrika. Terlepas dari konsep pembangunan yang disusun secara komprehensif dengan nilai program miliaran dollar, hasil pembangunan ternyata jauh dari harapan.

Bahkan, indikator makroekonomi, dan kualitas hidup penduduk Afrika justru semakin terpuruk dari waktu ke waktu. Paul Collier dalam  “The Bottom One Billion” menyebutkan bahwa 80 persen dari satu miliar penduduk termiskin dunia berada di 50 failing states yang kebanyakan berada di Afrika. Masih menurut Collier, kemiskinan tersebut disebabkan oleh empat jebakan yang bersifat fundamental, yaitu:
(1) konflik horizontal,
(2) land-lock countries dengan tetangga yang kurang kondusif – negara-
     negara korup dan penuh konflik,
(3) kekayaan alam berlimpah – yang dikelola secara korup dan tidak untuk
     kepentingan rakyat, dan
(4) pemerintahan yang tidak menerapkan good governance. Korupsi sangat
     erat terkait dengan dua faktor penyebab kemiskinan yang disebutkan
     terakhir, dan kesimpulan ini sejalan dengan berbagai riset yang
     menyatakan bahwa korupsi menyebabkan kemiskinan dan ketimpangan
     sosial.

Ketiga, munculnya berbagai NGO anti-korupsi di dunia, terutama pada periode 1990-an. Institusi seperti, Transparency International dan lain-lain mengeluarkan berbagai peringkat dan skor persepsi korupsi serta integrity index di berbagai negara di seluruh dunia.

Hal ini memungkinkan kita untuk membandingkan secara apple to apple tingkat korupsi di berbagai negara. Terlepas dari berbagai kelemahan sistem pengukuran yang ada, ranking dan skor yang dipublikasikan telah berhasil menggugah berbagai negara untuk meningkatkan upaya pencegahan dan perang melawan korupsi. Mereka ingin “naik kasta” menjadi negara bersih.

Hal ini ditujukan untuk menarik investor asing dan untuk menaikkan gengsi pemerintah. Mengingat mayoritas ranking dan skor tersebut merupakan index persepsi, beberapa negara lebih fokus pada kegiatan pembangunan —citra dari pada pemberantasan korupsi yang sesungguhnya karena  dinilai lebih efektif dalam memperbaiki skor mereka.

Keempat, runtuhnya ekonomi negara-negara Asia pada ekonomi krisis 1997. Para corruption apologist sering menggunakan solidnya kinerja ekonomi “Macan Asia” (Korea Selatan, Taiwan, Hong Kong dan Singapura), Indonesia, Malaysia, Thailand dan Filipina – negara dengan tingkat korupsi yang tinggi tetapi mempunyai kinerja ekonomi yang menakjubkan – sebagai justifikasi pandangan mereka. Krisis ekonomi tahun 1997  telah meruntuhkan perekonomian negara-negara tersebut, korupsi yang akut makin memperparah keadaan serta mempersulit proses kebangkitan mereka.

 Hal ini memutar balikkan pandangan para corruption apologist. Korupsi bukanlah pelumas bagi mesin ekonomi, tetapi sebaliknya merupakan pasir (sand in the economic engine) yang menghambat mesin ekonomi bekerja dengan baik, akibat inefisiensi serta kesalahan alokasi sumberdaya yang ditimbulkannya. Kalaupun  tumbuh, pertumbuhan tersebut tidaklah berkelanjutan.

Saat ini, hampir seluruh kalangan bersepakat tentang apa itu korupsi dan dampak korupsi bagi perekonomian negara. Diskursus tentang korupsi lebih banyak diorientasikan untuk membahas cara-cara penanggulangan korupsi serta upaya mempererat kerjasama internasional karena dalam era modern ini, korupsi sering merupakan aktivitas lintas negara dan benua.

Tipologi Korupsi

Arvind Jain dalam paper berjudul “Corruption: a Review” secara menarik menggambarkan area dimana korupsi sering terjadi di negara demokrasi. Pemetaan interaksi antar aktor politik dan ekonomi membantu memberikan gambaran tentang potensi korupsi.

Interaksi 1
Interaksi 1 melibatkan rakyat dan pemimpin negara yang dipilih melalui proses demokrasi. Dalam interaksi tersebut, terutama di negara demokrasi yang belum mengalami konsolidasi, peluang korupsi politik dalam berbagai bentuk, termasuk politik uang untuk memenangkan pemilu sangat mungkin terjadi.

Umumnya, pemimpin terpilih mempunyai diskresi yang luas dalam menentukan kebijakan pemerintah. Diskresi ini membuka kesempatan bagi para pemimpin untuk mengambil kebijakan yang tidak menomorsatukan kepentingan rakyat, dari mana kekuasaan mereka sesungguhnya berasal.

Dalam banyak kasus, para elit politik mengeluarkan kebijakan, termasuk kebijakan ekonomi, yang menguntungkan kelompok tertentu. Dalam kebijakan alokasi anggaran misalnya, elit politik bisa saja mengarahkan penggunaan anggaran pemerintah untuk sektor yang sebenarnya kurang bermanfaat bagi rakyat, tetapi dapat membesarkan bisnis para “investor politik” mereka.

Privatisasi adalah contoh klasik dalam kasus ini, dimana kebijakan publik diarahkan untuk  mentransfer kepemilikan asset berharga milik publik kepada privat. Walaupun privatisasi berpotensi untuk menciptakan lingkungan bisnis yang relatif bersih dan kompetitif, tetapi proses privatisasi itu sendiri sangat rawan korupsi.

Interaksi 2
Interaksi 2 terdiri dari tiga bagian, yaitu:
(1) Interaksi antara para birokrat dengan pemimpin pilihan rakyat,
(2) Interaksi antara birokrat dengan anggota legislatif dan
(3) Interaksi antara birokrat dengan rakyat. Interaksi ini membuka peluang
     terjadinya bureaucratic corruption atau korupsi birokrat.

Dalam berbagai kasus, birokrat atau pejabat publik yang dipilih oleh para pimpinan negara sering diposisikan sebagai kepanjangan tangan mereka untuk “memeras” kekayaan negara melalui berbagai institusi pemerintahan maupun perusahaan milik negara (BUMN). Birokrat terpilih diharuskan menyerahkan setoran rutin kepada para elit politik untuk melanggengkan posisi politik mereka melalui proses demokrasi yang koruptif. Dalam kondisi ini, sangat mungkin korupsi terjadi secara berulang.

Interaksi antara pejabat publik dengan anggota legislatif juga membuka peluang terjadinya korupsi. Di Indonesia, seleksi pejabat tingkat tertentu (misalnya Gubernur BI, Direksi BUMN, Ketua MA, Ketua KPK, Ketua BPK dan lain-lain) harus melalui proses fit and proper test di legislatif. Proses ini memunculkan peluang “jual beli” jabatan yang melibatkan kandidat pejabat publik dan anggota legislatif. Setelah terpilih, legislatif berhak untuk mengadakan dengar pendapat dengan para birokrat terpilih, interaksi ini juga membuka peluang terjadinya korupsi.

Pada dataran yang lain, interaksi antara pejabat publik dengan rakyat merupakan pintu terjadinya korupsi kecil, pejabat publik korup dari berbagai level mengutip uang dari rakyat. Proses ini sangat mungkin terjadi, mengingat kantor pelayanan publik (Kantor pelayanan KTP, IMB, SIM, ijin usaha, dll) umumnya memonopoli pelayanan publik, padahal monopoli merupakan pintu utama terjadinya korupsi.

Dalam banyak kasus, korupsi kecil terjadi secara integratif, melibatkan karyawan level bawah hingga level atas. Karyawan level bawah diharuskan menyetorkan pendapatannya kepada atasan, sebaliknya atasan memberikan perlindungan kepada bawahan.

Interaksi 3
Interaksi 3 melibatkan pemimpin terpilih dan anggota legislatif. Berbagai kebijakan publik memerlukan persetujuan dari legislatif, interaksi ini membuka peluang terjadinya korupsi legislatif (legislative corruption) baik berupa suap kepada atau pemerasan oleh anggota legislatif.

Korupsi legislatif relatif mudah terjadi pada negara dengan sistem demokrasi yang belum terkonsolidasi, dimana pembiayaan kampanye politik belum diatur dan diawasi dengan baik. Sistem voting tertutup di lembaga legislatif, seperti yang terjadi di Indonesia, turut memperparah kondisi karena konstituen tidak bisa mengawasi apakah para wakil yang mereka pilih benar-benar mewakili kepentingan mereka. Hal ini merupakan awal munculnya problem akuntabilitas yang akut.

Faktor lain yang berkontribusi terhadap fenomena korupsi legislatif adalah tidak adanya kelompok oposisi yang kuat. Kelompok kepentingan tertentu (interest group) mempunyai peluang  besar untuk dapat memuluskan ide mereka melalui lobi dengan biaya yang jauh lebih rendah, karena mereka cukup menyogok satu kelompok saja.

Di lain pihak, ketiadaan oposisi yang kuat juga menurunkan resiko atas tindakan korupsi para anggota legislatif dan kelompok kepentingan tertentu, akibat tidak adanya pihak oposisi yang berpotensi membongkar penyimpangan yang terjadi.

Interaksi 4
Interaksi 4 melibatkan rakyat dan anggota legislatif yang dipilih melalui pemilihan umum. Demokrasi prosedural relatif lebih mudah diwujudkan, tetapi mewujudkan demokrasi substansial bukanlah perkara mudah. Sebagai contoh, India telah memiliki demokrasi tanpa henti sejak tahun 1950 (tiga tahun setelah merdeka dari Inggris pada tahun 1947), tetapi hingga saat ini demokrasi masih belum merealisasikan janjinya yaitu kemakmuran yang adil bagi seluruh rakyat. Salah satu prakondisi bagi terwujudnya demokrasi substantif adalah pengaturan politik uang dan pendanaan kampanye yang baik.

Di negara dimana politik uang merupakan fenomena biasa, seringkali politisi menyuap rakyat agar mereka terpilih dalam pemilu, sehingga keterpilihan mereka tidak ditentukan oleh kinerja tetapi oleh kemampuan finansial mereka. Tentu saja dari para “investor politik”, dari mana uang tersebut bersumber, mengharapkan “pengembalian investasi” berupa kebijakan yang menguntungkan mereka.

Grand Corruption & Petty Corruption

Terdapat ratusan, bahkan ribuan jenis tindakan yang bisa kita kategorikan sebagai korupsi. Tindakan-tindakan tersebut dapat kita kelompokan dalam dua kategori besar yaitu grand corruption atau korupsi besar dan petty corruption atau korupsi kecil. Tidak ada landasan teori yang pasti sebagai dasar penggolongan tersebut, tetapi prinsip yang dapat dijadikan acuan adalah besaran dana, modus operandi serta level pejabat publik yang terlibat di dalamnya.

a.      Grand Corruption
Grand corruption atau korupsi besar adalah korupsi yang dilakukan oleh pejabat publik tingkat tinggi menyangkut kebijakan publik dan keputusan besar di berbagai bidang, termasuk bidang ekonomi. Korupsi disebut juga corruption by greed atau korupsi akibat keserakahan, karena para pelaku umumnya sudah berkecukupan secara materiil.

Korupsi besar menyebabkan kerugian negara yang sangat besar  secara finansial maupun  non-finansial. Modus operandi yang umum terjadi adalah kolusi antara kekuatan ekonomi, kekuatan politik dan para pengambil kebijakan publik. Melalui pengaruh yang dimiliki, kelompok kepentingan tertentu mempengaruhi pengambil kebijakan guna mengeluarkan kebijakan yang menguntungkan kelompoknya.

Apabila pengaruh kelompok tersebut begitu besar dan seolah dapat mengontrol proses perumusan kebijakan publik, fenomena ini sering disebut dengan state capture atau elit capture.

State caputer dapat terjadi dalam berbagai bentuk, World Bank – dalam bukunya Anti-Corruption in Transition 2, menjabarkan beberapa bentuk state capture yaitu:
(1) Suap kepada anggota DPR untuk mempengaruhi perundangan,
(2) Suap kepada pejabat negara untuk mempengaruhi kebijakan publik,
(3) Suap kepada lembaga peradilan untuk mempengaruhi keputusan terkait
     dengan kasus-kasus besar,
(4) Suap kepada pejabat bank sentral untuk mempengaruhi kebijakan
     moneter, dan
(5) sumbangan kampanye ilegal untuk partai politik.

Kerugian terbesar bagi negara dan rakyat tidak saja diakibatkan oleh besarnya nilai uang yang hilang, tetapi juga bergesernya orientasi kebijakan publik dari untuk kepentingan rakyat menjadi  untuk kepentingan segelintir individu.

Dalam jangka menengah dan panjang, grand corruption akan melahirkan problem struktural yang sulit untuk ditata ulang, seperti struktur ekonomi yang tidak efisien serta struktur politik yang koruptif. State capture akan menjadikan demokrasi sebagai quasai sistem kerajaan, dimana tidak ada pembedaan yang jelas antara kekayaan/kepentingan para elit politik dan kekayaan/kepentingan negara.

Ketika ini terjadi, sangat kecil peluang bagi suatu bangsa untuk meluruskannya. Sebagai contoh, Indonesia memerlukan krisis ekonomi dan guncangan sosial politik yang dahsyat pada tahun 1998, untuk bisa menggeser struktur ekonomi dan politik ke arah yang benar.

Contoh klasik korupsi besar adalah privatisasi asset negara secara tidak transparan dan fair, pemberian konsesi eksploitasi tambang dan kekayaan alam lainnya kepada kelompok tertentu, proses tender proyek skala besar yang tidak transparan, keringanan pajak dan biaya masuk untuk sector dan kelompok tertentu, dan bailout secara pilih kasih kepada perusahaan tertentu agar lolos dari jebakan krisis ekonomi.

Petty corruption
Petty corruption atau korupsi kecil, sering disebut survival corruption atau corruption by need, adalah korupsi yang dilakukan oleh pegawai pemerintah guna mendukung kebutuhan hidup sehari-hari, akibat pendapatan yang tidak memadai.

Korupsi kecil merupakan fenomena yang terjadi di banyak negara yang gagal menyusun dan mengimplementasikan kebijakan publik yang menyejahterakan rakyat. Tentunya, kita sepakat bahwa korupsi dengan alasan apapun merupakan tindakan yang tidak bisa dibenarkan, tetapi penulis memandang kesalahan mendasar penyebab maraknya korupsi kecil di dalam birokrasi adalah belum dilaksanakannya reformasi birokrasi yang mampu menerapkan merit system yang menyejahterakan para pegawai pemerintah.

Pemberantasan korupsi kecil sama strategisnya dengan pemberantasan grand corruption mengingat:

Pertama, kendati nilai kerugian per-kejadian relatif kecil, tetapi dikarenakan jumlah kejadian yang masif, total kerugian yang diderita oleh negara dan masyarakat akibat korupsi ini sangat besar.

Kedua, korupsi kecil menyangkut sisi kehidupan sehari-hari masyarakat. Apabila tidak segera ditanggulangi, masyarakat akan menganggap korupsi sebagai bagian dari keseharian mereka yang akan menciptakan masyarakat yang permisif dan toleran terhadap korupsi. Apabila ini terjadi, upaya untuk melibatkan masyarakat secara aktif dalam memberantas korupsi akan semakin sulit dilaksanakan.

Ketiga, korupsi kecil menyemai korupsi besar. Pejabat tingkat bawah, yang terlibat korupsi kecil, dengan berjalannya waktu akan menjadi pejabat tinggi dengan diskresi kekuasan yang besar. Ada kecenderungan seseorang untuk mengulangi kejahatan yang pernah dilakukannya sepanjang ada kesempatan, sehingga meningkatkan potensi terjadinya korupsi besar; Hal ini relevan dengan tulisan Rimawan Pradiptyo di bagian lain dari buku ini yang menjabarkan kecenderungan seorang pelaku kejahatan untuk mengulang bahkan melipatkan ukuran kejahatan di masa mendatang.

Salah satu pertanyaan pertanyaan penting di sini adalah apakah benar menaikan gaji pegawai bisa menekan tingkat korupsi dan apakah gaji pegawai negeri saat ini terlalu rendah. Dalam penelitian Treisman dan Evans ditunjukkan bahwa tidak ada indikasi  kuat bahwa gaji yang lebih tinggi akan menurunkan tingkat korupsi.

Beberapa survei termasuk yang dilakukan oleh Sakernas membuktikan bahwa sebenarnya pegawai negeri menerima pendapatan relatif lebih tinggi dari pegawai swasta, apabila memasukan komponen tunjangan di luar gaji pokok. Dalam kata lain, gaji pegawai negeri per-unit kontribusi yang mereka lakukan sebenarnya sudah relatif kompetitif.

Pada abad ke-18, Swedia, salah satu negara dengan tingkat korupsi paling rendah di dunia saat ini, merupakan negara yang paling korup di Eropa, upaya menaikan gaji pegawai pemerintah dikombinasikan dengan deregulasi di sektor kepegawaian telah melahirkan pegawai-pegawai pemerintah yang jujur dan kompeten.

Pengalaman Swedia menunjukkan bahwa bahwa kenaikan gaji saja tidaklah cukup, upaya menekan korupsi kecil hendaknya dilakukan melalui reformasi birokrasi yang menyeluruh. Pada bagian lain dari buku ini, Vishnu Juwono mengupas secara komprehensif dan sistematis isu reformasi birokrasi ini.

Mengapa Korupsi Sulit Diberantas?

Meski upaya pemberantasan korupsi  gencar dilaksanakan, tetapi kondisi tidak kunjung membaik. Korupsi merupakan isu multidimensional yang mempunyai komponen politik, ekonomi, sosial dan budaya, yang sering melibatkan para pemegang kekuasaan, sehingga memberantas korupsi bukanlah perkara mudah.

Sejarah mencatat begitu banyak pemimpin yang dipilih oleh rakyat karena mengangkat isu pemberantasan korupsi sebagai tema sentral kampanye mereka. Tetapi paradoks terjadi, terlepas apakah mereka benar-benar anti-korupsi dan pada awalnya berupaya keras untuk memberantas korupsi, ataukah mereka sekedar menggunakan isu korupsi untuk meraih simpati masa saja, banyak di antara mereka yang jatuh akibat kasus korupsi.

Di Indonesia misalnya, pada awal kepemimpinan Presiden Soeharto berupaya secara serius memberantas korupsi melalui pembentukan berbagai lembaga, tetapi upaya yang bersifat formalistis tersebut gagal dan bahkan isu korupsi ikut menjatuhkannya pada tahun 1998.

Di Filipina, Presiden Estrada terpilih melalui pemilu yang bebas dan terbuka pada tahun 1998 dengan mengusung isu pemberantasan korupsi. Pada tahun 2001, Estrada kehilangan kekuasaan dan bahkan dihukum karena keterlibatannya dalam berbagai kasus korupsi. PM Benazir Bhuto dari Pakistan, Presiden Olusegun Obasanjo dari Nigeria, adalah sebagian kecil dari deretan panjang pemimpin dunia yang bernasib sama.

Michael Natch menyebutkan bahwa tingginya korupsi merupakan sebuah parameter yang valid untuk memprediksi tumbangnya suatu pemerintahan.

Korupsi merupakan kejahatan yang sulit diungkap, karena korupsi melibatkan dua pihak yaitu koruptor dan klien yang sering keduanya berupaya untuk menyembunyikan kejadian tersebut, mengingat manfaat besar korupsi bagi mereka dan/atau risiko hukum atau sosial apabila tindakan mereka terungkap.

Dalam kasus korupsi dimana klien dan pejabat korup yang sama-sama menikmati manfaat, mereka akan menutupi asi mereka agar kepentingan mereka tetap terlindungi. Sementara dalam kasus korupsi dimana salah satu pihak merupakan korban, si korban cenderung tidak melaporkan kejadian mengingat, dalam banyak kasus, korban dapat dipersalahkan ketika membongkar kasus korupsi dengan berbagai alasan termasuk alasan pencemaran nama baik. Busyro Muqoddas di bagian lain dari buku ini mengungkapkan contoh kasus yang tepat untuk menjelaskan fenomena ini.

Sama halnya dengan kasus penggunaan obat terlarang ataupun perkosaan, kasus korupsi ditutupi oleh pihak yang terlibat, termasuk oleh korban, sehingga data yang terekspose kemungkinan hanya merupakan sebagian kecil dari jumlah kasus yang sesungguhnya terjadi. Dengan kata lain, kasus korupsi seperti gunung es dimana sebagian besar kejadian tidak muncul di permukaan.

Pelaporan oleh pihak yang dirugikan oleh kasus korupsi merupakan ujung dari mata rantai pemberantasan korupsi. Sayangnya, para pelapor yang biasa disebut dengan wistleblower  merupakan makluk langka yang jarang ditemui. Satu faktor di antaranya adalah kurang memadainya perlindungan terhadap pelapor. Walaupun Indonesia sudah memiliki wistleblower rule, tetapi dalam taraf implemetasi, kebijakan tersebut masih mengandung banyak kelemahan. Mas Ahmad Daniri mengulas secara lebih detail permasalahan Whitleblower dalam bagian lain dari buku ini.

Korupsi terjadi apabila tiga hal terpenuhi yaitu:
(1) Adanya benefit atau rent yang bisa dibagikan,
(2) Adanya pejabat publik yang  memiliki kekuasaan, yang mau
     memfasilitasi proses korupsi – dalam hal ini memberikan akses kepada
     pihak tertentu terhadap benefit tersebut, dan
(3) adanya pihak tertentu yang mau melakukan upaya penyogokan.

Poin kedua di atas, menggambarkan bahwa kasus korupsi sering melibatkan pejabat publik atau elit politik yang mempunyai kekuasaan. Mereka tentunya tidak akan tinggal diam dan berupaya mempengaruhi proses penyelidikan dan penyidikan kasus korupsi.

Kemungkinan yang sering terjadi adalah para koruptor, secara terorganisasi maupun tidak, bekerjasama melawan upaya pemberantasan korupsi; atau sering disebut dengan “corruption fight back” atau serangan balik korupsi. Serangan ini sering mengakibatkan jatuhnya tokoh sentral dibelakang pemberantasan korupsi.

Nuhu Ribadu adalah salah satu contoh. Pejuang anti-korupsi dan mantan ketua the Economic and Financial Crimes Commission of Nigeria (KPK-nya Nigeria), merupakan satu diantaranya “korban” corruption fight back.[9] Nuhu mengungkapkan kepada penulis bahwa pada tahun 2007 jabatannya dicabut akibat dirinya membongkar kasus korupsi salah seorang gubernur di Nigeria dan dirinya juga secara serius mulai mengungkap kasus korupsi yang melibatkan tokoh-tokoh di sekitar presiden Nigeria.

Hingga saat ini Nuhu tinggal di pengasingan, di luar negeri. Kejadian ini sebenarnya menunjukkan bahwa Indonesia jauh lebih maju dalam pemberantasan korupsi dibandingkan dengan Nigeria dan banyak negara lain. Di Indonesia, beberapa gubernur, gubernur bank sentral, anggota legislatif pusat/daerah, menteri dan bahkan besan presiden yang sedang berkuasapun dijatuhi hukuman akibat kasus korupsi.

Negara Bebas Korupsi Sebuah Utopia?

Mewujudkan negara bebas korupsi merupakan slogan yang sering diusung oleh berbagai lembaga anti-korupsi. Bahkan kebanyakan institusi tersebut mencantumkan “Negara bebas korupsi” atau kalimat sejenis sebagai bagian dari visi, misi atau tujuan organisasi mereka. Apakah mungkin kita mewujudkan suatu negara bebas korupsi? Di Denmark dan Finlandia, negara yang pernah mendapatkan skor sempurna atau 10 pada Corruption Perception Index (CPI) tahun 1998, 1999 dan 2000, pun korupsi masih saja terjadi walaupun tidak kasat mata. Fakta tersebut menunjukkan bahwa korupsi bisa ditekan, tetapi tidak bisa diberantas habis.

Sama dengan virus influenza yang mempunyai puluhan ribu strain/jenis yang terus berkembang dalam hal jumlah, korupsi juga memiliki ribuan modus yang terus bertambah seiring dengan perkembangan jaman. Walaupun virus influenza sebenarnya relatif mudah untuk dicegah, tetapi jumlah strain yang begitu banyak membuat upaya pemberantasan menjadi mahal dan tidak praktis.

Sebagai gambaran, satu vaksin umumnya hanya bisa menahan satu atau beberapa strain virus saja, sehingga untuk bisa benar-benar kebal terhadap influenza, seseorang harus menerima ribuan injeksi vaksin; selain mahal, injeksi ribuan vaksin tersebut dapat membahayakan jiwa si pasien.
Korupsi tidak berbeda dengan virus influenza. Korupsi mempunyai berbagai modus dan jenis dengan modus operandi yang berkembang seiring dengan kemajuan jaman.

Menekan korupsi hingga tingkat nol jelas tidak mungkin, mengingat biaya yang sangat mahal, baik biaya finansial maupun non-finansial. Untuk mencapai tingkat korupsi nol, barangkali setiap ruang harus dilengkapi dengan kamera, setiap pembicaraan lewat telepon dan internet harus disadap, dan setiap rumah harus diawasi oleh agen rahasia. Hal ini, selain mahal juga dapat menghilangkan kebebasan individu, sesuatu yang tidak ternilai harganya.

Korupsi tidak bisa ditekan ke level nol, tetapi dapat digiring menuju ke level optimal. Secara teori upaya pemberantasan korupsi akan terus dilakukan hingga kerugian yang ditanggung masyarakat akibat per-unit korupsi sama dengan biaya memberantas per-unit korupsi.

Ketika titik keseimbangan tersebut terjadi, pemberantasan korupsi umumnya dihentikan, meninggalkan jumlah korupsi pada level optimum tertentu. Jumlah titik optimal antar negara bervareasi. Hal ini dapat kita analogikan dengan seorang pengusaha akan memproduksi barang terus menerus hingga marginal cost sama dengan marginal benefit. Secara lebih detail, konsep ini diulas dengan pendekatan ekonomi yang lugas oleh Ari Perdana, pada bagian lain buku ini.

Bagaimana operasionalisasi dari konsep di atas? Strategi pemberantasan korupsi dalam prakteknya dimulai dari korupsi-korupsi yang kasat mata dan mudah diberantas. Dalam kata lain, pemberantasan difokuskan pada low hanging fruit dengan biaya murah, relatif mudah dan kerugian akibat korupsi relatif tinggi.

Sejalan dengan keberhasilan upaya pemberantasan korupsi, low hanging fruit akan semakin sulit didapatkan sehingga yang tertinggal adalah high hanging fruit, yang relatif sulit untuk diberantas atau dalam terminologi ekonomi disebut mempunyai marginal cost yang tinggi. Sebagian kalangan mengacaukan fenomena low hanging fruit ini dengan fenomena tebang pilih dalam pemberantasan korupsi.

Dalam kata lain, memberantas korupsi di tahap awal akan relatif mudah dengan hasil yang lebih terlihat, searah dengan keberhasilan upaya pemberantasan korupsi, kita akan dihadapkan pada korupsi dengan tingkat kesulitan pemberantasan yang lebih tinggi dan dengan biaya yang besar. Hal ini merupakan alasan mengapa di negara “bersih” seperti negara-negara di Skandinavia, korupsi tetap saja terjadi.

Masyarakat tidak terlalu mempedulikan upaya pemberantasan korupsi saat jumlah korupsi optimal tercapai, mengingat kerugian yang ditanggung lebih rendah dari biaya yang harus dikeluarkan untuk memberantasnya.

Model Analisa Korupsi

Semenjak korupsi bergeser dari isu pinggiran menjadi isu sentral dalam banyak diskurusu, berbagai konsep pemodelan korupsi bermunculan. Pemodelan yang tepat akan membantu kita, tidak hanya dalam memahami proses terjadinya korupsi, juga membantu dalam upaya menekan tingkat korupsi.

Secara prinsip menekan tingkat korupsi dapat dilakukan dengan menurunkan (menaikkan) faktor-faktor yang mendorong (menghambat) terjadinya korupsi. Model merupakan simplifikasi dari fenomena yang sesungguhnya. Kasus korupsi riil pastilah jauh lebih kompleks, sehingga diperlukan proses adaptasi sebelum model diterapkan dalam dunia nyata. Hal lain, model bersifat unik sehingga belum tentu model yang tepat untuk suatu kasus korupsi dapat diimplementasikan dalam kasus yang sama dilingkungan yang berbeda.

a.      Willingness and opportunity (keinginan dan kesempatan)
Korupsi hanya akan terjadi jika dua hal terjadi secara bersamaan, yaitu adanya keinginan untuk korup (willingness to corrupt) faktor yang sifatnya internal tetapi bisa dipengaruhi oleh hal-hal eksternal dan kesempatan untuk korupsi (opportunity to corrupt) faktor yang sifatnya eksternal.

Manusia adalah makhluk ekonomi yang selalu berupaya memaksimalkan manfaat atas setiap aktivitas dengan biaya seminimal mungkin. Ekonom menyebut fenomena ini sebagai utility maximization, dalam banyak kasus prinsip ini sulit dibedakan dengan fenomena selfish atau mengutamakan diri-sendiri. Selfish merupakan awal munculnya sifat greed atau serakah, akar dari mentalitas korup.

Dalam kata lain, dalam diri manusia sesungguhnya sudah ada benih atau kecenderungan untuk melakukan tindakan korup. Dalam bagian lain dari buku ini, Aan Rukmana dan M. Subhi Ibrahim mengupas aspek moral dan religious terkait dengan korupsi.

Keinginan untuk korup merupakan refleksi dari kualitas moral masing-masing individu. Manusia bukanlah malaikat yang mempunyai moralitas tinggi yang stabil. Manusia jujur pun bisa saja berbuat tidak jujur karena keterpaksaan. Dari sisi reliabilitas, upaya pemberantasan korupsi yang menitikberatkan pada pembangunan moral saja tidaklah reliable.

Selain berfluktuasi, kualitas moral seseorang dapat berubah secara drastis seiring dengan berjalannya waktu. Banyak koruptor yang ketika masih muda atau pada periode awal kepemimpinannya adalah individu yang mempunyai integritas tinggi. Seperti diulas di awal tulisan ini, banyak pemimpin yang dipilih oleh rakyat secara demokratis karena mengangkat isu pemberantasan korupsi, tetapi jatuh akibat kasus korupsi.

Opportunity merupakan faktor kedua yang memungkinkan korupsi terjadi. Upaya menekan kesempatan terjadinya korupsi bisa dilakukan dengan memperbaiki sistem, misalnya dengan menerapkan sistem yang lebih akuntable. Proses tender terbuka terkait dengan pemesanan barang atau penentuan kontraktor merupakan contoh klasik upaya tersebut. Contoh lain adalah menerapkan sistem pemungutan suara terbuka di legislatif sehingga konstituen dapat melakukan pengawasan terhadap para wakilnya dengan lebih baik.

Walaupun sistem memegang peran penting terutama karena sifatnya yang lebih reliable, akan tetapi tanpa dukungan individu yang bermoral tentunya hal ini akan sia-sia. Sebagus apapun sistem yang dibangun, pihak-pihak yang bermoral korup selalu saja dapat berkolusi untuk mengakali sistem yang sudah dibangun. The man behind the gun memegang peran kunci. Di tangan polisi pistol bisa menekan tingkat kejahatan, tetapi di tangan penjahat pistol akan menimbulkan petaka.

b.      Model CDMA/V
Model untuk menganalisa korupsi yang dianggap paling klasik dan populer adalah model CDMA, yang sering dibahas oleh para pakar anti-korupsi, salah satunya Robert E. Klitgard. Menurut model ini, korupsi (C) merupakan fenomena yang dipengaruhi oleh tingkat diskresi (D), monopoli (M) dan akuntabilitas (A).

Karena korupsi mempunyai makna yang beragam di berbagai kebudayaan, faktor etika memegang peranan penting. Berbagai riset terkait dengan Corruption Perception Index (CPI) menunjukkan bahwa nilai-nilai budaya menjelaskan 75 persen dari variasi yang ada dalam CPI tersebut.
Corruption = f {(Discretionary + Monopoly – Accountability)/Values}

b.1. Discretionary (diskresi)
Discretionary (diskresi) merupakan keluasan kewenangan yang dimiliki oleh seorang pemimpin untuk mengambil keputusan. Semakin tinggi posisi seorang pemimpin semakin tinggi pula diskresi yang dimilikinya, dalam pengertian semakin banyak keputusan yang harus dia ambil yang didasarkan pada kreativitas, justifikasi, dan pemahaman si pimpinan; semakin besar diskresi semakin tinggi potensi terjadinya korupsi.

Kepemimpinan otoriter merupakan contoh kasus diskresi mutlak, di mana semua perundangan dan birokrasi tunduk kepada keinginan pemimpin, akibatnya korupsi merupakan fenomena yang hampir pasti kita temui. Hal ini diakibatkan oleh kaburnya batas antara kepentingan individu pemimpin dan kepentingan negara, yang pada gilirannya akan mengaburkan batas antara kekayaan individu pemimpin dengan kekayaan negara.

Upaya mengurangi dikresi dapat dilaksanakan dengan mengeluarkan job description yang jelas kepada pejabat publik atau staf lainnya, diikuti dengan proses approval yang sitematis sebelum keputusan diambil serta diakhiri dengan proses monitoring dan evaluasi.

b.2. Monopoly (monopoli)
Monopoli atas produk atau jasa akan meningkatkan posisi tawar pemegang monopoli di hadapan para klien atau konsumen. Dalam bidang ekonomi, pemegang monopoli (produsen) dapat memanfaatkan posisi tawar tersebut untuk memaksimalkan keuntungan, misalnya dengan menaikkan harga guna jual produk. Dalam pasar yang monopolistis konsumen tidak mempunyai pilihan lain, sehingga kenaikan harga tersebut tidak terlalu berkorelasi dengan volume penjualan barang dan jasa.

Menggunakan logika berpikir yang sama, dalam pelayanan publik seperti pengurusan KTP, SIM, IMB, dan ijin usaha, di mana institusi pemerintah memegang monopoli, pegawai pemerintah dapat dengan mudah menyalahgunakan wewenang yang mereka miliki. Penyalahgunaan yang mereka lakukan dapat berupa mengurangi jumlah, mengurangi kualitas atau bahkan tidak memberikan layanan saya sekali. Singkatnya, pelayanan hanya akan diberikan bagi mereka yang memberikan uang pelicin, atau kualitas dan kecepatan layanan dipengaruhi oleh nilai suap yang diterima; hal ini merupakan tindakan korup.

Salah satu upaya untuk menekan korupsi adalah dengan mentransformasi monopoli menjadi kompetisi. Dalam kasus kantor pelayanan publik misalnya, solusi yang mungkin adalah dengan menyediakan beberapa kantor pelayanan publik, sehingga publik mempunyai pilihan. Pada gilirannya, hal ini akan menurunkan posisi tawar pegawai pemerintah dimata publik yang akan menurunkan tingkat korupsi.

b.3. Accountability (akuntabilitas)
Makna akuntabilitas umumnya terkait dengan pemberian hadiah. Boven memaknai akuntabilitas sebagai kewajiban untuk menjelaskan dan menjustifikasi suatu perbuatan atau keputusan yang diakibatkan oleh diskresi yang dimiliki oleh seorang individu.

Akuntabilitas adalah fungsi diskresi, artinya birokrat harus diberikan diskresi terlebih dahulu baru kemudian dituntut untuk akuntabel terhadap bagaimana mereka menggunakan diskresi yang dimilikinya.

Masih menurut Boven, pejabat harus akuntabel dihadapan publik. Untuk meningkatkan akuntabilitas tersebut, paling tidak tiga hal berikut terkait dengan interaksi antara pejabat dengan publik harus terpenuhi: Pertama, pejabat berkewajiban untuk melaporkan berbagai aktivitasnya kepada publik; kedua, publik (melalui perwakilannya) mempunyai hak untuk menanyakan lebih lanjut apabila terdapat data atau informasi yang belum cukup; ketiga, publik – melalui wakilnya, mempunyai kekuasaan untuk menilai laporan tersebut, meliputi menerima atau menolak laporan, mengkritisi kebijakan, dan secara terbuka mengkritisi pejabat bersangkutan.

Variabel yang mempengaruhi sukses tidaknya penerapan akuntabilitas di antaranya:
(1) Transparansi, yaitu keterbukaan bagi publik untuk menyelidiki,
     mengkritisi dan menganalisis kebijakan publik;
(2) Akses, yaitu adanya akses bagi publik terhadap informasi yang relevan,
     kapanpun, di manapun oleh siapapun dengan biaya yang sangat rendah;
Untuk  menggambarkan kondisi di Indonesia, pandangan tersebut penulis sesuaikan menjadi diagram sebagai berikut:
(3) Responsiveness, yaitu kecepatan dalam melakukan follow up atas kritik,
     masukan dan pendapat dari publik;
(4) kontrol, yaitu berfungsinya kontrol yang ada dalam masyarakat – media,
     NGO, dll – terhadap pelaksanaan prinsip-prinsip akuntabilitas oleh
     pejabat publik;
(5) tanggungjawab, yaitu tanggungjawab pegawai dan pejabat publik untuk bekerja secara professional sesuai dengan standar dan kode etik yang berlaku.

Secara sederhana, formula untuk membangun akuntabilitas adalah:
Akuntabilitas = f{transparansi, akses informasi, responsiveness, kontrol, tanggungjawab}

b.4. Values (nilai-nilai)
Values atau nilai-nilai masyarakat, seperti materialism dan familism, mempengaruhi bagaimana seseorang dalam menyusun prioritas hidupnya, temasuk dalam memandang korupsi. Di Sisilia, Italia Selatan, masyarakat memandang loyalitas terhadap keluarga sebagai sesuatu yang sangat penting. Pandangan ini menyebabkan masyarakat Sisilia akrab dengan favoritism, yaitu mementingkan kelompok tertentu terutama keluarga, yang ini merupakan akar munculnya korupsi.

Selanjutnya, Lipset dan Lenz menambahkan bahwa dalam masyarakat yang terlalu mengagungkan kesuksesan materi, tetapi tidak memberikan kesempatan yang sama kepada seluruh anggota masyarakat terhadap sumberdaya ekonomi, cenderung memiliki tingkat korupsi yang tinggi.

Selain itu, nilai-nilai masyarakat yang mendorong self expression cenderung mendorong terciptanya integritas di kalangan para birokrat, dalam kaitan dengan korupsi, integritas pemerintah merupakan faktor kunci dalam menekan tingkat korupsi. Standholz dan Tageepera melakukan survei terhadap tingkat korupsi di negara-negara komunis dan non-komunis, dan menyimpulkan bahwa komunisme mengakibatkan rendahnya self expression di kalangan masyarakat, sehingga tingkat korupsi cenderung tinggi.

Pendapat-pendapat tersebut menunjukan bahwa nilai-nilai yang dipercaya oleh masyarakat memegang peran penting terhadap bagaimana masyarakat memandang korupsi, serta bagaimana mereka memprioritaskan sukses secara materi dengan keterlibatan dalam upaya memberantas korupsi. Hal ini merupakan justifikasi untuk memasukkan faktor nilai-nilai dalam formula CDMA/V.

c.       Cost and Benefit Analysis (analisa biaya dan manfaat)
Manusia adalah makluk rasional yang selalu mengambil tindakan berdasarkan insentif yang diterimanya. Korupsi merupakan keputusan rasional dan kalkulatif para pelaku. Koruptor memutuskan untuk melakukan korupsi jika insentif untuk korup lebih besar daripada insentif untuk jujur, atau dalam kata lain biaya yang ditanggung atas perbuatan korup lebih rendah dari pada manfaat yang diperoleh atas korupsi yang dilakukan.

Sebaliknya, apabila biaya lebih besar daripada manfaat yang diperoleh, koruptor tidak akan melakukan tindakan korupsi. Rimawan Pradiptyo mengulas secara lebih matematis permasalahan ini pada bagian lain dari buku ini.

Singkatnya: Korupsi dilakukan jika net benefit of corruption > 0; korupsi tidak dilakukan jika net benefit of corruption < 0; Net benefit of corruption (nilai manfaat bersih korupsi) yang merupakan selisih antara manfaat dan biaya korupsi dapat diukur dengan rumus pendekatan sebagai berikut:
Net benefit of corruption = f {Manfaat financial, manfaat non financial, hukuman, biaya sosial, kehilangan pekerjaan, kehilangan karir, perasaan tidak tenang atau dosa, penurunan semangat kerja}

Upaya pemberantasan korupsi akan efektif apabila berbagai mekanime anti korupsi mampu menekan manfaat korupsi dan pada saat yang bersamaan meningkatkan biaya bagi pelaku.