Jumat, 28 Desember 2012

Memberi Efek Jera Bagi Para Koruptor

Negara Indonesia adalah negara yang kaya raya baik dari segi Sumber Daya Alam (SDA), semua itu berlimpah dari Sabang sampai Merauke yang seharusnya dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran Rakyat. Sejak merdeka tahun 1945 sampai saat ini Indonesia masih ber predikat sebagai negara berkembang dimana tingkat kesejahteraan masyarakatnya masih rendah bila dibandingkan dengan Negara asia lainnya. 


Kondisi ini mungkin disebabkan oleh belum maksimalnya pengelolaan SDA oleh pemerintah sehingga tidak bisa memberikan pendapatan yang maksimal bagi negara,  disamping belum maksimalnya pengelolaannya mungkin juga disebabkan oleh rendahnya SDM sehingga belum mampu mengolah SDA yang ada untuk bisa menghasilkan nilai ekonomi. Pemerintah yang cenderung pro terhadap kapitalis membiarkan sektor-sektor fital dikuasai oleh pemilik modal besar dan mengeksploitasi habis-habisan sehingga rakyat hanya bisa melihat dan menjadi buruh kecil dengan penghasilan yang kecil pula.  
Pemerintah yang asik bermain-main dengan modal besar kadang melupakan kewajibannya untuk mensejahterakan rakyat, dimana kadang ada permainan diantara mereka untuk bisa meraih untung untuk keperluan sendiri atau kelompok tertentu, dengan menghalalkan segala cara.  Inilah yang menyebabkan kebocoran dimana-mana dan sepertinya sektor pertambangan yang dikatakan paling banyak dibocorkan dan diselewengkan.
Penyelewengan bisa terjadi dimana saja bukan hanya sektor tertentu, banyak instansi pemerintah yang korup sehingga merugikan negara sampai trilyunan rupiah. Korupi ini sungguh sudah sangat memprihatinkan, para koruptor tidak tanggung-tanggung mengelapkan uang negara, Saya tidak akan banyak mengambil contoh, yang dulu sampai sekarang tidak ada kabarnya adalah kasus Bank Century, KPK seolah-olah tidak mampu mengungkap masalah ini.
Berlanjut ke kasus yang lainnya adalah Korupsi kepolisian dalam kasus pengadaan alat simulator SIM (Surat Izin Mengemudi) yang melibatkan petinggi Polri yang juga menyebabkan perseteruan antara KPK dan Polri dalam kasus siapa yang pantas menangani kasus Korupsi Simulator SIM tersebut. Pada akhirnya Presiden pun turun tangan dan menetapkan bahwa KPK lah yang berhak melakukan penyelidikan terhadap Kasus Simulator SIM.
Berlanjut ke kasus kelas kakap lainnya adalah Korupsi yang terjadi pada Proyek Hambalang, dalam kasus ini banyak kader-kader dari partai pemerintah atau Partai Demokrat yang terjerat dan menjadi tersangka, ada beberapa nama yang sudah terjerat seperti Nazarudin dan Angelian Sondakh dan yang paling terakhir KPK mencekal Menpora yang masih aktif Andy Malarangeng untuk tidak bisa ke Luar negeri, dan pada akhirnya pun Pak Menteri lebih memilih untuk mengundurkan diri, dan banyak yang memuji sikap Andy itu dengan menyebut bahwa perbuatan atau sikap pengunduran dirinya itu adalah sikap seorang Negarawan sejati dan patut diberi apresiasi, Mungkin itu beberapa contoh yang bisa saya sebutkan masih banyak kasus korupsi yang ada dipusat dan daerah-daerah yang telah merugikan negara.
Begitu banyaknya para koruptor dinegeri ini, saya menjadi prihatin dengan keadaan negeri ini, seolah-olah koruptor tersebut tidak punya rasa malu, Korupsi sepertinya menjadi salah satu hal yang wajib dilakukan jika menjabat dinegeri ini. Seprtinya mereka menjabat bukan untuk mencari prestasi melainkan untuk korupsi, Begitu tebalnya muka para koruptor cahaya kamera media yang meberitakan merekan seperti tidak menyilaukan mata mereka sepertinya mereka terlalu silau dengan harta negara yang mereka korupsikan.
Pemerintah tidak berani memberikan hukuman mati pada para koruptor, untuk memakaikan baju tahanan pun tidak berani kepada para koruptor, tetapi saat ini sedang dibahas warna baju untuk tahanan koruptor, ada yang memilih putih dan ada pula yang hitam, inilah Indonesia penjahat itu ibarat pejabat yang membuat kita harus hormat, meskipun sudah menjadi tersangka korupsi. Mungkin inilah yang menyebabkan semakin banyaknya muncul koruptor-koruptor baru.
Untuk mencegah munculnya koruptor-koruptor baru, pemerintah harus berani memberikan efek jera atau malu bagi mereka yang sudah menjadi tersangka dan dijatuhi hukuman, selama ini hukuman bisa dibilang ringan sehingga para koruptor berani kosupsi tanpa menanggung malu dan bisa hidup enak dan kaya raya. Melihat dari hukuman yang diberikan memang bisa terbilang ringan, maka dari itu mereka bisa diberikan hukuman lain berupa efek malu.
Efek malu ini adalah memberikan penghargaan pada para koruptor terhadap perbuatan korupsi yang mereka lakukan dengan menjadikan mereka sebagai koruptor nasional atau koruptor daerah, sama halnya dengan Pahlawan. Mungkin caranya adalah Presiden meberikan predikat Koruptor kepada mereka yang sudah menjadi tersangka dan sudah menjalani hukumannya. Sama halnya seperti Pahlawan, Foto mereka dipajang di tembok-tembok kelas atau di kantor-kantor isntansi pemerintah, dan buatlah mata pelajaran Sejarah dan biografi para koruptor yang telah merugikan negara, mungkin dengan cara demikian para koruptor itu benar-benar malu dan calon-calon koruptor berfikir 1000 kali untuk melakukan tindak korupsi. Mungkin ini hanya ide yang tak mungkin dan mustahil, tetapi ini ide yang peduli dengan kondisi negara ini, saya berharap Indoesia menjadi negara yang jauh lebih baik dari sekarang, semoga ada aparat pemerintah yang membaca coretan ini, mungkin hanya itu yang bisa saya tulis semoga bermanfaat dan saya ucapkan terimakasih.

Rudy Karetji
Direktur Eksekutif
Komite Rakyat Anti Korupsi Indonesia

Kamis, 27 Desember 2012

ANATOMI KORUPSI DAN SOLUSI

Upaya pemerintah dalam memberantas korupsi melalui pembentukan perundang-undangan dengan tiga kali perubahannya sampai saat ini masih belum menunjukkan tingkat keberhasilan memadai.

Ketidakberhasilan dimaksud dapat dilihat dari empat aspek: hukum, ekonomi, sosial, dan aspek politik. Aspek keberhasilan hukum bukan diukur dari jumlah perkara korupsi yang ditangani KPK dan Kejaksaan Agung setiap tahun, melainkan harus dilihat dari kualitas prosedur yang digunakan dalam menuntut dan menetapkan seseorang sebagai tersangka/terdakwa dan kualitas putusan pengadilan negeri, pengadilan tinggi, dan Mahkamah Agung. Kualitas prosedur saat ini masih belum mencerminkan kepastian hukum dan keadilan, terbukti masih adanya diskriminasi dan arogansi penyidik yang mencemari institusi.

Kualitas putusan pengadilan tidak hanya dilihat dari vonis bebas semata-mata, melainkan pula dari vonis hukuman yang sangat jauh dari keadilan hanya karena kegamangan integritas oleh keberadaan komisi yudisial dan kebebasan pers serta kritik sosial. Selain itu, yang sangat kontroversial dari sudut penemuan keadilan adalah jika putusan majelis hakim hanya demi popularitas semata. Keberhasilan secara kuantitas ipso iure belum berarti keberhasilan secara kualitatif. Sebaliknya, keberhasilan secara kualitatif mutatis mutandis keberhasilan secara kuantitatif.

Dalam konteks aspek ekonomi, keberhasilan secara kuantitatif pemberantasan korupsi tidak ipso facto memperkuat pertumbuhan ekonomi karena keberhasilan tersebut telah terbukti tidak berhasil mendorong pemerataan keadilan sosial. Ini terkait celah yang masih menganga untuk ber-KKN di sektor pelayanan publik dan di sektor produksi yang bersentuhan dengan kepentingan rakyat. Dari aspek sosial, tingkat kepuasan atau ketidakpuasan masyarakat terhadap pemberantasan korupsi berkorelasi langsung dengan kualitas pelayanan kepada publik di bidang perizinan, empati dan simpati terhadap kejujuran, profesionalisme dan integritas aparat penegak hukum, termasuk hakim.

Kepercayaan masyarakat tidak tergantung pada hiruk-pikuknya LSM menyuarakan ketidakberesan dalam proses penegakan hukum, tapi dipengaruhi oleh tingkat kebenaran dan keabsahan substansi yang disuarakan. Aspek politik, keberhasilan secara kuantitatif pemberantasan korupsi tidak ada pengaruhnya terhadap stabilitas politik, justru sebaliknya, stabilitas politik yang kuat sangat memengaruhi komitmen dan sikap pemerintah dalam pemberantasan korupsi.

Paradigma yang Keliru

Dari keempat aspek tersebut semakin jelas bahwa keberhasilan penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi tidak tergantung pada keberhasilan KPK, Kejaksaan Agung atau Kepolisian RI. Keliru pandangan umum yang berkembang bahwa pemberantasan korupsi semata-mata tergantung pada penegakan hukum karena penegakan hukum justru sangat tergantung pada stabilitas ekonomi, stabilitas sosial, dan stabilitas politik.

Bahkan keberhasilan pemberantasan korupsi tidak ada hubungan sama sekali dengan citra pemerintah, jika keberhasilan tersebut ditelikung oleh tindakan amoral, diskriminatif, dan asosial oleh segelintir oknum penegak hukum. Target pemberantasan korupsi yang ditetapkan melalui instruksi presiden (inpres) dalam praktik justru telah menimbulkan ekses penyalahgunaan kekuasaan, arogansi institusional, dan “kering” hati nurani. Bahkan merupakan kebijakan yang keliru jika pencapaian target telah dijadikan alasan untuk promosi, mutasi, dan degradasi jabatan seorang penegak hukum. Diperlukan evaluasi dan koreksi terhadap kebijakan sistem target keberhasilan pemberantasan korupsi di dalam RPJMN 2010–2014, terutama dalam kaitan dampak positif terhadap iklim pertumbuhan ekonomi dan investasi.

Laporan IMF tentang perkembangan korupsi di Indonesia pada akhir 2010 belum cukup melegakan kita semua karena IMF tidak mempertimbangkan kuantitas keberhasilan menahan dan memenjarakan pelaku korupsi, melainkan IMF hanya mengukur kualitas pelayanan publik di sektor perdagangan dan ekonomi, terutama tingkat kepuasan dan kenyamanan berinvestasi di Indonesia.

Kelemahan Strategi


Di mana letak kelemahan strategi Indonesia dalam memberantas korupsi? Kelemahan satu-satunya dan sangat strategis adalah sejak era reformasi pembentukan KPK dan perubahan UU Antikorupsi serta penguatan UU Tindak Pidana Pencucian Uang tidak diimbangi oleh strategi pencegahan yang memadai dan pelaksanaan yang konsisten. Alhasil tidak dapat memberikan hasil segera (quickyielding) dan kontributif terhadap keberhasilan langkah hukum represif.

Akibat kelemahan ini maka keberhasilan pemberantasan korupsi di hilir tidak mutatis mutandis refleksi keberhasilan di hulu. Ketimpangan dan kesenjangan dua strategi di atas menyebabkan rencana dan implementasi strategi pemberantasan korupsi nasional selama ini terjebak dalam lingkaran ketidakberhasilan yang tidak berujung (unending circle of unsuccessful result) dan otomatis telah menghabiskan waktu dan anggaran yang tidak efisien dan efektif. Keberhasilan yang telah dicapai selama ini belum mencerminkan suatu strategi yang bersifat sistemik, terencana, dan komprehensif.

Yang terjadi selama ini adalah keberhasilan sesaat dengan metode ”terapi kejut”, yaitu dengan mengusung kasus korupsi penyelenggara negara yang menarik perhatian masyarakat dan ekspose melalui media nasional. Sistem terapi kejut, sesuai namanya, juga akan menghasilkan “kejutan sementara” tapi tidak mencerminkan tujuan mulia dari pemberantasan korupsi itu sendiri. Target menciptakan iklim birokrasi yang sehat dan bebas KKN yang memberikan dampak nyata terhadap kesejahteraan rakyat—bukan sekadar tontonan murahan—masih jauh.

Selain evaluasi dan koreksi terhadap strategi nasional pemberantasan korupsi, perlu pula dilakukan dengan mempertimbangkan sistem penegakan hukum dalam kasus korupsi di negara-negara maju seperti di AS, Inggris, dan beberapa negara Uni Eropa. Begitu pula perbandingan ke negara-negara di Asia seperti China merupakan langkah yang tepat untuk dijalankan segera. Tingkat keberhasilan pemberantasan korupsi level internasional terbanyak diraih oleh negara-negara yang telah melaksanakan pelayanan publik secara transparan, akuntabel, dan dijalankan oleh aparat birokrasi yang memiliki integritas tinggi— diperkuat dengan tingkat kesejahteraan aparat birokrasi yang memadai.

Pendekatan Baru

Kekuatan negara maju dan keberhasilannya dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi telah dilengkapi dengan pendekatan baru penegakan hukum, yaitu pendekatan analisis ekonomi yang menitikberatkan pada tiga komponen yaitu, “maximization, equilibrium, and efficiency” (Cooter dan Allen, 2004). Keberhasilan penerapan ketiga komponen utama analisis ekonomi tersebut di negara maju telah menghasilkan ketentuan baru mengenai “injunction” dalam penanganan perkara tindak pidana suap (bribery) seperti dalam kasus Monsanto (2007) dan kasus Innospec (2010) yang diduga telah melakukan suap terhadap pejabat di Indonesia.

Sistem “injunction” hanya menjatuhi denda administratif tanpa penuntutan pidana, dan hanya mewajibkan tersangka memenuhi syarat antara lain bersedia diaudit manajemen perusahaan dan restrukturisasi manajemen. Ketidakpatuhan terhadap syarat tersebut diancam pidana penjara dan pidana denda serta pencabutan izin usaha. Pendekatan ini pula yang telah menghasilkan ketentuan baru tentang “transaksi” di dalam KUHP Belanda (1996). Transaksi itu adalah diskresi kepada jaksa penuntut umum untuk melakukan negosiasi tidak melakukan penuntutan.

Syaratnya, terdakwa bersedia memberikan kompensasi terhadap korban atau terdakwa bersedia harta kekayaannya yang berasal dari tindakan pidana dan setara dengan kerugian yang diderita oleh negara atau korban disita, atau terhadap tindak pidana dengan ancaman di bawah 6 tahun atau terhadap terdakwa lanjut usia di atas 60 Tahun. Pola pendekatan analisis ekonomi juga telah diterapkan di dalam KUHP Jepang dan Thailand. Di Thailand, korban juga diberi hak oleh undang-undang dalam tindak pidana tertentu untuk turut menentukan dilanjutkan atau tidaknya proses penyidikan dan penuntutan.

Selain keseimbangan dua strategi pemberantasan korupsi di atas, diperkuat juga dengan ketiga komponen utama pendekatan analisis ekonomi bagi Indonesia yang masih memerlukan perubahan paradigma dalam sistem peradilan pidana, yaitu dari paradigma keadilan retributif kepada paradigma keadilan rehabilitatif dan restoratif. Ujung penentu keberhasilan pendekatan analisis ekonomi dalam pemberantasan korupsi adalah perilaku hakim yang memeriksa dan memutus perkara korupsi harus mengedepankan pendekatan teori ekonomi daripada semata-mata pendekatan teori legalistik-positivistik (Posner, 2008).

Masih Ada Waktu

Saran-saran perubahan strategi pemberantasan korupsi dengan pendekatan analisis ekonomi yang dilandaskan pada ketiga prinsip tersebut sudah tentu memerlukan kajian mendalam dengan mempertimbangkan faktor sosiologis, psikologis, politik, ekonomi, dan budaya Indonesia. Namun harus juga diingat, saran-saran perubahan strategi ini merupakan hasil pengamatan sejak perubahan UU Nomor 3 Tahun 1971 sampai dengan perubahan UU Nomor 31 Tahun 1999 dan UU Nomor 20 Tahun 2001.

Selain itu, saran-saran tersebut merujuk pada pengalaman buruk kinerja pemberantasan korupsi sejak pemberlakuan undang-undang tersebut dibandingkan dengan dampak positif dan konstruktif. Indikatornya bukan hanya keberhasilan memenjarakan sejumlah koruptor besar dan kecil, melainkan dampak positif terhadap iklim pembangunan nasional, terutama pembenahan dan peningkatan pembangunan ekonomi nasional di tengah-tengah persaingan ekonomi internasional.

Pertanyaan yang selalu muncul dari hasil pengamatan penulis adalah, mengapa banyak instrumen internasional dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi—termasuk pencucian uang—tapi selalu disertai sikap inkonsisten negara-negara maju yang notabene pengusul inisiatif instrumen internasional tersebut dalam menerapkannya ke dalam sistem hukum nasional masing-masing? Bahkan sikap inkonsisten ini juga ditunjukkan dalam kerja sama internasional khusus pengalaman buruk upaya pengembalian aset hasil korupsi yang pernah dialami oleh Nigeria, Filipina, Afrika Selatan, juga Indonesia.

Sikap umum negara berkembang yang selalu taat dan berkomitmen terhadap konvensi internasional dalam pencegahan dan pemberantasan kejahatan transnasional, termasuk korupsi dan pencucian uang, sering tidak diimbangi oleh konsistensi sikap dan komitmen kuat dan sungguh-sungguh dari negara-negara maju untuk mendukung keberhasilan pengembalian aset hasil tindak pidana khusus korupsi, dengan alasan perbedaan sistem hukum. Atas dasar pengamatan dan pengalaman ini pula dapat dikatakan bahwa semakin kencang tekanan menerapkan paradigma retributif dalam pemberantasan korupsi dan pencucian uang dan semakin longgar kerahasiaan bank untuk tujuan tersebut maka semakin besar peluang (sudah menjadi kenyataan) pelaku membawa kabur hasil jarahannya ke negara-negara maju yang notabene adalah pengusul inisiatif konvensi internasional tersebut di atas.

Sebaliknya yang terjadi justru di negara maju itulah harta kekayaan hasil jarahan menikmati “perlindungan hukum” dan kenyamanan untuk berbisnis dengan “uang haram” yang di Indonesia dicari-cari sampai mati. Kontradiksi baik ipso iure dan ipso facto sebagaimana diuraikan di atas seharusnya juga menjadi bahan pertimbangan saran perubahan strategi pemberantasan korupsi di Indonesia untuk lima tahun mendatang. Mumpung belum terlambat dan kebablasan.

Budaya Korupsi Meracuni Birokrasi

Masyarakat Indonesia sudah tidak asing lagi dengan kata korupsi bahkan rakyat jelata yang tinggal dipelosok desa pun mengenal korupsi. Gerakan anti korupsi digelar disetiap tempat, gerakan pemberantasan korupsi digulirkan dan jihad melawan kriminal birokrasi ditegakkan dengan harapan prilaku insan birokrasi dan sistem pemerintahan berubah menjadi lebih baik. Hampir seluruh lapisan masyarakat Indonesia berkeinginan negerinya yang tercinta bebas dari penyakit korupsi serta sistem birokrasi yang ruwet sehingga tercipta sistem sosial, politik dan ekonomi yang adil, bermoral dan agamis. Namun harapan indah itu saat ini seakan hanya ada dalam angan-angan bahkan mungkin sebuah mimpi karena betapa banyak usaha yang telah dilakukan namun penyakit ini seakan sudah mengakar kuat kuat sehingga tidak bergeming. Bahkan berbagai bencana yang mendera negeri kita belum juga mampu merubah perilaku para koruptor dan  para birokrat.

Berbagai kejahatan berlindung di bawah payung hukum positif dan tanpa diketahui masyarakat atau bahkan aparat penegak hukum terlibat didalamnya. Apabila ada yang terbongkar, itu hanya kasus-kasus tertentu saja dan  itupun  terkadang tidak ada tindak lanjutnya hingga masyarakat lupa dan kasus dianggap selesai.

Ajaran agama dan nilai moral seolah tidak lagi mempan membendung kejahatan korupsi dan menghindarkan umat manusia dari kecenderungan berkhianat, menyimpang dan berdusta. Nasihat agama sepertinya tak berbekas, para tokoh agama kehilangan wibawa, moral dan ritual ibadah mandul tidak memberi pengaruh pada prilaku keseharian. Seharusnya setiap ibadah mampu merubah prilaku lebih bagus dan mental lebih baik.

Kenapa korupsi dan budaya suap menjadi tradisi yang susah diberantas ? Sebab utama adalah keimanan yang lemah, kesempatan terbuka lebar, lingkungan yang mendukung dan sanksi hukum yang tidak tegas terhadap pelaku korupsi bahkan sebagian pelakunya ada yang tidak tersentuh hukum sama sekali.

Mental korupsi melekat pada diri sebagian anak bangsa. Limbah suap mencemari setiap lorong kehidupan. Budaya KKN menghiasi hampir seluruh lapisan masyarakat baik kelas bawah, menengah maupun atas. Tidak bisa dipungkiri, para koruptor yang bekerja di instansi pemerintah maupun swasta adalah manusia biasa, kadang imannya menguat, kadang melemah. Ketika iman sedang menguat, keinginan untuk berbuat baik juga menguat. Namun ketika iman melemah, kecenderungan berbuat jahatpun menguat termasuk korupsi dan maksiat lainnya. Ada beberapa faktor yang secara signifikan mendorong seseorang untuk melakukan tindakan korupsi dan menistakan harga diri dengan menerima suap dan uang pelicin dalam menjalankan tugas dan amanah pekerjaannya, diantaranya :
  1. Lemahnya semangat keagamaan dan menurunnya indikasi keimanan.
  2. Mengikuti keinginan syahwat dan menuruti kelezatan dunia yang semu yang tak pernah kenal batas.
  3. Pembelaan dan nepotisme terhadap keluarga secara berlebihan sehingga mematikan sikap obyektif, rasa keadilan,  prilaku amanah dan profisionalime.
  4. Memilih teman-teman buruk, pembisik-pembisik jahat, patner-patner culas dan kroni-kroni yang korup sehingga peluang korupsi terbuka lebar.
  5. Menempatkan para pejabat atau petugas yang kurang ikhlas dalam pengabdian dan kurang bertanggung jawab dalam mengemban tugas sehingga mereka banyak melakukan aji mumpung yaitu mumpung jadi pejabat.
  6. Terpengaruh dengan gaya hidup yang glamor dan serba hedonis.
  7. Terpengaruh dengan pemikiran dan prinsip-prinsip hidup yang meyimpang dan matrialistis.
  8. Terpedaya dengan kehebatan materi dan kenikmatan harta sesaat sehingga silau dengan fatamorgama dunia. Bahkan muncul anggapan bahwa harta benda adalah segala-galanya.
  9. Diktator dalam mengendalikan kepemimpinan membuat para pemimpin dan pejabat gampang korupsi.
  10. Tekanan pihak asing yang senantiasa mengatur kebijakan politik dan ekonomi suatu negara akan membuat para pengelola negara gampang terjebur dalam tindak korupsi.
Barangsiapa yang ingin memerangi korupsi hendaknya menganalisa sebab-sebab diatas secara cermat dan mencari solusi serta penangkalnya secara bijaksana dan penuh dengan ketegasan dalam memberi sanksi.

Mengakarnya budaya korupsi, suap, sogok, money politics, pungli dan kelompok turunannya di tubuh birokrasi setiap lembaga, baik negeri maupun swasta merupakan fakta dan tantangan paling fenomenal.
Dalam bahasa agama, korupsi, suap, sogok, uang pelicin, money politics, pungli dan kelompok turunannya digolongkan sebagai tindakan atau perbuatan seseorang yang memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada orang lain dengan tujuan mempengaruhi keputusan pihak penerima agar keputusannya menguntungkan pihak pemberi meski dengan melawan hukum.

Tindakan atau perbuatan seseorang yang memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada orang lain terjadi melalui kesepakatan antara dua pihak yaitu pemberi suap dan penerimanya, tapi, kadang ia juga melibatkan pihak ketiga sebagai perantara.

Praktik sogok atau suap semula berakar dan tumbuh hanya di ruang pengadilan, kemudian berkembang hampir ke semua lini kehidupan masyarakat, bahkan untuk suatu yang tidak logis. Sogok atau suap tidak hanya subur di negara kita, di negara lain, termasuk di negara maju sekalipun juga berkembang. Padahal, agama menegaskan, sogok atau suap merupakan tindakan yang sangat tercela.

Sogok atau suap terus terjadi tanpa mengenal henti. Ia mengakar, menjamur, bahkan selalu menabur benih baru korupsi dan semakin memberi impresi tentang parahnya fenomena sogok atau suap di negara kita, seakan mementahkan komitmen pemerintah dalam memberantas korupsi, suap, sogok dan sebangsanya.

Selasa, 25 Desember 2012

Gaya Hidup Tanpa Korupsi dan Kolusi

Beberapa Kalangan berpendapat bahwa korupsi sudah menjadi Budaya bangsa Indonesia, sungguh menjadi keprihatinan untuk kita bersama. Kehidupan masyarakat yang cenderung semakin materialistis ini, sikap sederhana adalah sesuatu yang langka.  Orang cenderung ingin mempertontonkan kemewahan dan berlebihan dengan apa yang mereka miliki, merasa tidak pernah puas dengan apa yang telah mereka miliki.

Nilai sukses seseorang yang terkadang hanya dilihat dari kemampuan menumpuk harta dan kekayaan, membuat orang seakan tidak puas dengan apa yang telah mereka miliki. Sikap materialistis yang cenderung berlebih-lebihan, membuat orang melakukan perbuatan-perbuatan berupa tindakan korupsi dan bentuk kejahatan lainnya.

Hidup dalam kesederhanaan adalah adanya rasa cukup pada dirinya dengan apa yang diterimanya. Hidup Sederhana adalah hidup tidak berlebih-lebihan, tidak bersikap mempertontonkan kemewahan di kalangan khalayak.   Hidup sederhana adalah berlaku adil serta mensyukuri apa yang didapatkan. Sikap hidup sederhana juga berarti bersikap secara proporsional, menempatkan sesuatu pada tempatnya, menggunakan harta yang dimilikinya untuk kepentingan orang banyak.

Dalam berperilaku hidup sederhana sebenarnyalah bukan berarti tidak diperkenankan memiliki harta kekayaan. Namun, dalam hak kepemilikan harta  kekayaan harus didapatkannya sesuai dengan  aturan yang berlaku bersih dari suap menyuap.

Dimulai dari Kolusi kemudian Korupsi

Kolusi sering terjadi dalam kepentingan ekonomi, Kolusi merupakan sikap dan perbuatan tidak jujur dengan membuat kesepakatan secara tersembunyi dalam melakukan kesepakatan perjanjian yang diwarnai dengan pemberian uang atau fasilitas tertentu sebagai pelicin agar segala urusannya menjadi lancar.

Dalam hal berhubungan dengan birokrasi dan kepentingan kebijakan politik aksi kolusi ini berujung pada Korupsi. Padahal korupsi adalah sebuah perilaku pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya kelompoknya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.

Penanganan korupsi harus membenahi birokrasi sebagai sumber korupsi. Kunci dari penanganan korupsi adalah mencegah niat korupsi setiap aparatur pemerintah. Jika niat sudah tidak ada, maka tidak ada rencana untuk kolusi dan korupsi. Aparatur pemerintah ke depan perlu diperbaiki dalam interaksi sosial di kantor dan di rumah.  Contoh yang paling gambling adalah digunakannya no polisi warna hitam untuk mobil dinas. Jelas ini peluang untuk “memamerkan kekayaan” seorang aparatur dengan member kesan “mobil dinas” adalah mobil pribadinya. Tanpa malu menggunakan mobil dinas untuk kegiatan diluar dinas seperti antar jemput kegiatan suami, istri atau anak aparatur adalah pemandangan yang wajar.

Mungkin dimulai dari hal yang kecil yaitu dengan Kepolisian tidak memberikan no polisi bantuan ( nopol hitam / pribadi untuk mobil dinas ) adalah langkah sederhana yang mudah dilakukan. Melakukan operasi bagi nopol dinas yang digunakan diluar dinas. Mungkin ini salah satu langkah yang dapat dilakukan Kepolisian untuk mencegah perilaku Korupsi aparatur pemerintah pengguna mobil dinas.

Dimulai dari dari diri sendiri, dari yang kecil dari sekarang… adalah langkah rasional untuk pemberantasan Korupsi…. Semoga dengan Pola hidup sederhana bagi aparatur pemerintah dan isntitusi pemerintah, penyakit Korupsi di Indonesia bisa bertahap terobati….

Rudy Karetji
Direktur Eksekutif
Krak Indonesia

Pembuktian Terbalik Kasus Korupsi

Istilah pembuktian terbalik telah dikenal luas oleh masyarakat sebagai bahasa yang dengan mudah dapat dicerna pada masalah dan salah satu solusi pemberantasan korupsi. Istilah ini sebenarnya kurang tepat, dari sisi bahasa dikenal sebagai omkering van het bewijslat ataureversal burden of proof yang bila diterjemahkan secara bebas menjadi “pembalikan beban pembuktian. Sebagai asas universal, memang akan menjadi pengertian yang bias apabila diterjemahkan sebagai pembuktian terbalik.

Di sini ada suatu beban pembuktian yang diletakkan kepada salah satu pihak, yang universalis terletak pada penuntut umum. Namun, mengingat adanya sifat kehususan yang sangat mendesak, beban pembuktian tersebut diletakkan tidak lagi kepada penuntut umum tetapi kepada terdakwa. Proses pembalikan beban dalam pembuktian inilah yang kemudian dikenal awam dengan istilah “pembuktian terbalik”


Pendapat Prof Andi Hamzah SH, ini sungguh tepat karena tanpa meletakan kata “beban” maka makna yang terjadi akan berlainan. Pembuktian terbalik tanpa kata beban dapat ditafsirkan tidak adanya beban pembuktian dari terdakwa sehingga secara harfiah hanya melihat tata urutan alat bukti saja.

Sistem Pembuktian KUHAP
Dalam hukum perdata, masalah pembuktian memang menimbulkan persepsi bias, mengingat aturan mengenai pembuktian ini masuk dalam kelompok hukum perdata materiil maupun hukum perdata formil. Berlainan halnya dengan hukum pidana. Hingga kini setelah diberlakukannya KUHAP melalui undang-undang no. 8 tahun 1981, masalah pembuktian diatur secara tegas dalam kelompok sistem hukum pidana formil (acara). Sistem ini mengatur suatu proses terjadi dan bekerjanya alat bukti untuk selanjutnya dilakukan suatu persesuaian dengan perbuatan materiil yang dilakukan terdakwa, untuk pada akhirnya ditarik kesimpulan mengenai terbukti atau tidaknya terdakwa melakukan perbuatan pidana yang didakwakan kepadanya.

Berdasarkan teori dan alat bukti menurut Hukum Pidana Formal diatur pada Bab XVI bagian keempat pasal 183 sampai pasal 232 KUHP. Pada KUHAP, sistem pembuktian hukum pidana menganut pendekatan Pembuktian Negatif berdasarkan undang-undang atau Negatief Wettelijk Overtuiging
Dengan dasar teori Negatief Wettelijk Overtuiging ini, hakim dapat menjatuhkan suatu pidana kepada terdakwa berdasarkan keyakinan (Hakim) dengan alat bukti yang sah berdasarkan undang-undang dengan didasari minimum 2 (dua) alat bukti sebagaimana disebutkan dalam pasal 183 KUHAP, yaitu :
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila ia dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”

Sedang yang dimaksud dengan 2 alat bukti yang sah haruslah memperhatikan tata urutan alat bukti menurut pasal 184 KUHAP, yaitu :
a. Keterangan saksi
b. Keterangan ahli
c. Surat
d. Petunjuk
e. Keterangan terdakwa

Dalam sistem Hukum Pidana Formil Indonesia, khususnya KUHAP, sudah dimaklumi bahwa beban pembuktian ada atau tidaknya pidana yang dilakukan terletak pada Jaksa Penuntut Umum. Pasal 137 KUHAP menyebutkan :
“Penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadilinya.”

Apabila ketentuan ini dihubungkan dengan pasal 183 KUHAP maka penuntutan suatu perkara pidana tetap memiliki limitasi minimum dua alat bukti untuk menentukan apakah seorang terdakwa ini bersalah atau tidak bersalah. Jadi sebagai suatu lex generalis, sistem beban pembuktian (umum) dalam perkara tindak pidana diletakan pada beban Jaksa Penuntut Umum.

Sistem Beban Pembuktian Khusus pada kasus Korupsi sebelumnya kita telah mengetahui bahwa lex generalis, sistem beban pembuktian (umum) dalam perkara tindak pidana diletakan pada beban Jaksa Penuntut Umum. Bagaimana dengan kasus Tindak Pidana Korupsi ? 
Tindak Pidana Korupsi merupakan pengecualian dan memiliki sifat khusus yang berkaitan dengan Hakim Pidana Materiil maupun Formil. Masalah beban pembuktian, sebagai bahagian dari hukum pidana formil mengalami perubahaan paradigma sejak diberlakukan Undang-undang No. 3 tahun 1971 dan Undang-undang no 31 tahun 1999.

Dalam pasal 17 Undang-Undang No. 3 tahun 1971 ayat 1,2,3,4 menunjukkan beban pembuktian dalam perkara TPK mengalami perubahan paradigma baru. Di sini terjadi pergeseran beban pembuktian atau pembalikan beban pembuktian sebagaimana anggapan masyarakat hukum pidana terdahulu). Memang terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana setelah diperkenankan hakim, namun hal ini tidak bersifat imperatif artinya apabila terdakwa tidak mempergunakan kesempatan ini justru memperkuat dugaan jaksa penuntut umum.

Dalam Undang- undang No. 31 tahun 1999 aturan tentang beban pembuktian terdapat pada pasal 37. Sistem pembalikan beban pembuktian dalam kedua undang-undang ini masih terbatas karena masih menunjuk peran Jaksa penuntut umum memiliki kewajiban membuktikan kesalahannya.

Problematik Beban Pembuktian Terbalik
Keterbatasan kedua UU di atas menimbulkan pro kontra di kalangan hukum mengenai penerapan pembalikan beban pembuktian. Sebagaian mengatakan bahwa pembalikan beban pembuktian secara total akan melanggar hak asasi manusia.
Namun Prof JE Sahetappy mengatakan, "Apakah benar bahwa penerapan beban pembuktian terbalik ini melanggar Hak Asasi Manusia?. Saya memang melihat akhir-akhir ini banyak interprestasi ibarat beauty is in the eye of the beholder bertalian dengan Hak Asasi Manusia. Dalam hubungan ini, saya ingin bertanya, apakah penerapan asas retroactive seperti yang sudah disetujui oleh PAH I MPR di Senayan itu bertentangan dengan Hak Asasi Manusia. Bukankah banyak LSM dan para politisi ingin sekali menerapkan asas retroactive itu bertalian dengan gross violation of human rights. Supaya diketahui saja, bahwa di dunia hukum dikenal asas de uitzonderingen bevestigen de regel (perkecualian memastikan aturan yang ada), dan itu seringkali dilupakan atau pura-pura tidak diingat oleh para partisan dari kelompok tertentu. Kalau dikatakan bahwa PERPU ini bertentangan dengan KUHAP, maka hendaklah diingat bahwa Undang-Undang Korupsi Nomor 31 Tahun 1999, yang saya labelkan sebagai undang-undang tanpa anus dan sebagai tidak memiliki aturan peralihan, pada hakekatnya suatu bom waktu dalam rangka pemberantasan korupsi. Saya tidak akan berpanjang lebar tentang hal itu disini, tetapi bersedia mengulasnya lebih lanjut apabila diperlukan."

"Apakah PERPU itu tidak bertentangan dengan KUHAP? Hemat saya tidak, sebab dalam Undang-Undang Korupsi Nomor 31 Tahun 1999, sudah diakomodasi hukum acaranya, sehingga tidak ada alasan untuk menolak PERPU ini. Sebagai suatu kesimpulan sementara dapat dicatat sebagai berikut: PERPU ini amat sangat dibutuhkan dalam rangka pemberantasan korupsi Mereka yang menantang PERPU ini dengan berbagai alasan, bisa dikategorisasi dari yang "takut " korupsinya akan dibongkar, sampai pada berusaha mengkambinghitamkan pihak penguasa. Tidak ada unsur pelanggaran HAM, sebab asas "rertroactive" untuk gross violation of human rights juga melanggar doktrin hukum legalistik positivistik; Pelanggaran terhadap KUHAP juga tidak benar, sebab Undang-Undang Korupsi yang sekarang sudah mengatur hukum acaranya sendiri Pasal 28 Undang-Undang Korupsi juga membutuhkan penjabaran lebih lanjut dan itu bisa dicapai melalui PERPU. Saya masih akan berharap "common sense" , juga akan legal ethic and moral ethics,

Pendapat yang senada diutarakan Romli Atmasasmita, Guru Besar Hukum Pidana Internasional Unpad. Perkembangan praktik tersebut di be­berapa negara telah memunculkan suatu gagasan baru dalam menyikapi hambatan dalam proses pembuktian korupsi. Teori pembuktian yang selama ini diakui adalah asas pembuktian "beyond reasonable doubt",yang dianggap tidak bertentang­an dengan prinsip praduga tak bersalah (presumption of innocence), akan tetapi disisi lain sering menyulitkan proses pembukti­an kasus-kasus korupsi. Terbukti dalam praktik sistem pembuktian tersebut atau dikenal dengan istilah, ”pembuktian ne­gatif” tidak mudah diterapkan. Kedalaman ilmu pengetahuan dan akal manusia (logika hukum) memang ti­dak terbatas, sehingga muncullah alterna­tif asas pembuktian baru yang justru ber­asal dari penelitian negara maju dan di­pandang tidak bertentangan baik dengan perlindungan hak asasi tersangka maupun konstitusi; namun sangat efektif da­lam membuka secara luas akses pembukti­an asal usul harta kekayaan yang diduga di­peroleh karena korupsi.

Alternatif pem­buktian yang diajukan dan digagas oleh pe­mikir di negara maju , teori "keseimbangan kemungkinan pembuktian" (balanced probability of prin­ciples), yaitu mengedepankan keseimbangan yang proporsional antara perlindungan kemerdekaan individu di satu sisi, dan perampasan hak individu yang bersangkutan atas harta kekayaannya yang diduga kuat berasal dari korupsi. Model baru asas pembuktian terbalik ini ditu­jukan terhadap pengungkapan secara tun­tas asal usul aset-aset yang diduga dari hasil korupsi itu sendiri, dengan menempatkan hak atas kekayaan pribadi seseorang pada level yang sangat rendah, akan tetapi secara bersamaan menempatkan hak kemerdekaan orang yang bersangkutan pada level yang sangat tinggi dan sama sekali tidak boleh dilanggar.

Teori keseimbangan kemungkinan pembuktian terbalik dalam harta kekayaan tersebut menempatkan seseorang yang diduga kuat melakukan tindak pidana korupsi pada posisi di mana sebe­lumnya yang bersangkutan belum mem­peroleh harta kekayaan sebanyak seka­rang yang didapat. Teori tersebut dengan dasar pertimbangan di atas telah diprak­tikkan oleh Pengadilan Tinggi Hongkong dalam kasus ICAC Hongkong terhadap pe­mohon 'judicial review" terhadap proses pembuktian terbalik yang dilaksanakan oleh pengadilan rendah telah sesuai de­ngan Hongkong Bribery Ordinance Act. Keputusan Pengadilan Tinggi Hong kong menganggap bahwa proses pembuktian terbalik yang telah dilaksanakan peng­adilan rendah telah memberikan keadilan sama bagi kedua belah pihak yaitu kepada pemohon maupun kepada ICAC Hong Kong dalam menyampaikan pembuktian­nya.

Berlainan dengan model Hongkong (dalam pembuktian terbalik) yang dapat digunakan dalam kasus korupsi melalui prosedur hukum acara pidana, maka model pembuktian terbalik dalam Kon­vensi Anti Korupsi 2003 (Pasal 31 ayat 8), dan banyak memperoleh pengakuan dari negara-negara maju baik yang mengguna­kan sistem hukum "Common Law" dan "Civil Law", yaitu mendukung penggu­naan prosedur keperdataan dalam mene­rapkan teori pembuktian terbalik dengan keseimbangan kemungkinan tersebut, artinya, sepanjang prosedur pembuktian terbalik tersebut ditujukan untuk meng­gugat hak kepemilikan seseorang atas harta kekayaannya yang berasal dari tindak pidana korupsi.

UU Nomor 31 tahun 1999 (Pasal 31) dan UU Nomor 15 tahun 2002 (Pasal 37) telah memuat ketentuan mengenai pembuktian terbalik. Ketentuan di dalam kedua undang-­undang tersebut masih belum dilandaskan kepada justifikasi teoritis sebagaimana telah diuraikan di atas, melainkan hanya menem­patkan ketentuan pembuktian terbalik tersebut semata-mata sebagai sarana untuk memudahkan proses pembuktian saja tanpa dipertimbangkan aspek hak asasi ter­sangka/terdakwa berdasakan UUD 1945. Kini dengan munculnya dua model pem­buktian terbalik dengan keseimbangan kemungkinan tersebut, maka telah terdapat referensi teoritik dan praktik dalam masalah pembuktian terbalik.

Sudah tentu pembuktian terbalik da­lam hal hak-kepemilikan harta kekayaan seseorang yang diduga berasal dari korup­si menimbulkan pro dan kontra. Pandang­an kontra mengatakan bahwa, pembukti­an terbalik dalam hak kepemilikan harta kekayaan tersebut juga bertentangan de­ngan hak asasi manusia yaitu setiap orang berhak untuk memperoleh kekayaannya dan hak privasi yang harus dilindungi. Na­mun demikian, bertolak kepada pemikiran bahwa korupsi merupakan sumber ke­miskinan dan kejahatan serius yang sulit pembuktiannya di dalam praktik sistem hukum di semua negara,maka hak asasi in­dividu atas harta kekayaannya bukanlah dipandang sebagai hak absolut, melain­kan hak relatif, dan berbeda dengan per­lindungan atas kemerdekaan seseorang dan hak untuk memperoleh peradilan yang fair dan terpercaya.

Konvensi Anti Korupsi 2003 yang telah diratifikasi telah memuat ketentuan me­ngenai pembuktian terbalik (Pasal 31 ayat 8) dalam konteks proses pembekuan, perampasan, dan penyitaan di bawah judul Kriminalisasi dan Penegakan Hukum (Bab III). Pascaratifikasi Konvensi Anti Korupsi 2003 sudah tentu berdampak terhadap hukum pembuktian yang masih dilandaskan kepada Undang-undang Hukum Acara Pidana Nomor 8 tahun 1981 dan ketentuan mengenai penyelidikan, penyidikan dan penuntutan serta pemeriksaan pengadilan di dalam UU nomor 31 tahun 1999.

Yang terpenting dalam hukum pem­buktian kasus korupsi, sudah seharusnya unsur kerugian negara yang nyata bahkan yang masih diperkirakan akan nyata kerugiannya, sudah tidak pada tempatnya dan tidak proporsional lagi untuk dijadikan unsur pokok dalam suatu tindak pidana korupsi, dan karenannya tidak perlu harus dibuktikan lagi. Bahkan kerugian masyarakat luas terutama pihak ketiga yang dirugikan karena korupsi sudah seharusnya diakomodasi di dalam UU baru pemberantasan korupsi.


Oleh Rudy Karetji
Direktur Eksekutif
Komite Rakyat Anti Korupsi Indonesia

Senin, 24 Desember 2012

Hukuman Sosial Bagi Koruptor

Ketika negara terlalu berpihak dan menguntungkan koruptor, timbul spirit dan gagasan baru dari masyarakat sendiri untuk ”menghukum” pelaku korupsi. Sebagian besar publik menyerukan perlunya penerapan sanksi sosial bagi koruptor, meski dinilai belum tentu efektif.

Pemberantasan korupsi menjadi agenda besar pemerintah yang tampaknya terus mengalami ganjalan. Di luar soal polemik institusi, yaitu ”perseteruan” Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepolisian RI, ada pula persoalan sistemis, yakni penanganan dan pemidanaan pelaku korupsi. Ringannya hukuman bagi koruptor menjadikan publik belum bisa mengapresiasi sepenuhnya langkah-langkah pemberantasan korupsi oleh pemerintah.

Catatan Koalisi Masyarakat Sipil menyebutkan, hingga Agustus 2012 sebanyak 71 terdakwa korupsi melenggang bebas di pengadilan tindak pidana korupsi. Kalaupun dihukum, mayoritas vonis hukuman bagi koruptor 1-2 tahun. Dengan demikian, cukup mudah bagi para koruptor melewati ”masa penderitaan” ketimbang pelaku kriminal biasa yang bisa mencapai beberapa kali lipat masa hukumannya.

Tiga dari empat responden jajak pendapat melihat kadar vonis yang dijatuhkan bagi pelaku korupsi masih terlalu ringan dan dinilai tidak memberikan efek jera. Tidak heran, sinisme terhadap upaya pemberantasan korupsi tercermin kuat dari jajak pendapat kali ini. Hampir seluruh responden (89,9 persen) yang dihubungi di berbagai kota mengungkapkan ketidakpuasan akan situasi pemidanaan pelaku korupsi saat ini.

Pukulan telak bagi proses wacana dan gerakan pemberantasan korupsi bertambah saat sejumlah bekas terdakwa atau narapidana justru tetap bisa mengemban jabatan-jabatan publik. Peristiwa paling baru adalah pengangkatan Azirwan yang pernah dipidana 2,5 tahun penjara dalam kasus suap sebagai Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kepulauan Riau. Pemerintah berpedoman pada argumen ketentuan dalam Undang-Undang Pokok Kepegawaian yang menyebutkan, PNS yang dihukum kurang dari empat tahun tidak diberhentikan. Dari sisi aturan hukum, kebijakan ini tidak menyalahi undang-undang.

Namun, dari aspek moral dan etika, promosi ini dipandang tidak patut. Rohaniwan Franz Magnis-Suseno dalam buku Etika Politik (1987) menyebutkan peran etika politik untuk mempertanyakan tanggung jawab dan kewajiban manusia yang berpedoman pada etika politik. Bila batasan itu dilanggar, akan muncul hukuman moral.

Aspek tanggung jawab dan kewajiban berhadapan pula dengan sumpah dan janji yang pernah diucapkan saat menjadi pegawai negeri (dalam UU Kepegawaian), yaitu bekerja dengan jujur dan mengutamakan kepentingan negara. Secara normatif, tengok pula pedoman umum dalam UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Bersih dan Bebas KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) yang semestinya menjadi pedoman para penyelenggara negara dalam mengedepankan semangat antikorupsi.

Promosi jabatan bagi Azirwan tak pelak menjadi pertanyaan besar tentang keseriusan pemerintah dan konsistensi sistem hukum dalam upaya pembersihan korupsi di negeri ini. Hebatnya lagi, Azirwan bukanlah satu-satunya contoh bagaimana koruptor masih mendapatkan ruang gerak di negeri ini. Dalam dua tahun terakhir sedikitnya terdapat enam pejabat publik yang tetap dilantik meski terjerat kasus korupsi. Sejak disuarakan saat reformasi, publik terus menanti kemerdekaan negeri ini dari praktik yang telah menggerogoti moralitas bangsa. Sayangnya, tingginya asa masyarakat masih berjarak dengan kondisi realitas sesungguhnya.

Karena itu, tak heran bahwa publik melihat kini saatnya mekanisme ”hukuman sosial” diterapkan bagi koruptor. Sejauh ini hukuman sosial yang dimaksudkan adalah bentuk hukuman yang lebih bersifat sanksi di luar proses hukum positif. Artinya, hukuman itu berada di ranah nonformal sistem peradilan. Meskipun demikian, tak tertutup pula bentuk hukuman sosial menjadi salah satu bagian dari proses pemidanaan dalam kasus korupsi.

Gagasan bentuk hukuman sosial yang paling banyak disetujui responden adalah pengumuman koruptor di media massa, seperti televisi atau koran. Nyaris seluruh responden (92,8 persen) menyetujui bentuk hukuman tersebut. Bentuk berikutnya adalah mengajak masyarakat untuk tidak memilih pejabat korup dalam semua kontestasi politik. Terhadap bentuk itu, sebanyak 82,3 persen responden menyetujui. Bentuk ketiga paling ekstrem, yaitu mengucilkan dari pergaulan masyarakat, cenderung kurang disetujui.

Dibanding hukuman badan (penjara), hukuman sosial memang kurang dinilai efektif meredam aksi korupsi. Bagian terbesar publik jajak pendapat ini tetap melihat perlunya pengenaan hukuman badan yang lebih tegas ketimbang sekadar pengenaan hukuman sosial. Meski demikian, bercermin dari lemahnya aturan dan sistem hukum, sepertiga bagian responden menegaskan perlunya kedua mekanisme itu diterapkan bersamaan.

Penerapan hukuman sosial oleh masyarakat memang bisa dimaknai sebagai sebuah ”perlawanan publik” atas rasa putus asa publik terhadap kebijakan negara yang terlalu longgar bagi pelaku korupsi. Lebih jauh, korupsi dan berbagai penyimpangan etika dalam konteks politik bisa membahayakan perjalanan demokrasi karena menimbulkan krisis kepercayaan terhadap parlemen, bahkan negara.

Hukuman sosial bagi koruptor, menurut pengamat politik Universitas Airlangga, Kacung Maridjan, menyiratkan arti ”dipenjara” secara sosial, tetapi memiliki dampak yang tidak kalah dahsyat dibanding hukuman penjara fisik. Contohnya, kepala daerah yang terbukti korup bisa dihukum untuk menjadi tukang bersih-bersih kantor di tempat mereka menjadi kepala daerah dalam kurun tahun tertentu (Kompas, 24/8).

Selain rasa tidak puas, minornya pemberantasan korupsi dan keberpihakan kebijakan kepada pelaku korupsi menggugah kesadaran masyarakat untuk memberikan hukuman dengan caranya sendiri. Selama ini, penyelenggara negara dinilai terlalu permisif terhadap pelaku korupsi. Menilik fakta yang terjadi, aturan hukum dan komitmen aparatnya menjadi celah yang dapat dimanfaatkan koruptor untuk kembali menduduki posisinya.

Pengangkatan mantan narapidana korupsi dan sejumlah kebijakan permisif terkait praktik korupsi bisa mengikis moralitas bangsa. Etika dan moralitas politik bukan lagi menjadi pedoman utama dalam kehidupan bernegara. Tidak hanya korupsi, tetapi juga berbagai polah tingkah politisi dan pejabat publik yang dinilai mulai menanggalkan etika dalam berpolitik.

Rudy Karetji

Korupsi Kebijakan

Korupsi tradisional seperti mark up dana, memalsukan kuitansi, atau permainan suap di bawah tangan sangat mudah dideteksi. Namun korupsi modern itu menempatkan pejabat-pejabat korup di posisi strategis kemudian dijadikan sapi perah dengan menyuruhnya membuat kebijakan-kebijakan yang mengutungkan pihak-pihak sponsor yang menjadikannya mempunyai jabatan. Korupsi modern bermain dalam wilayah korupsi kebijakan.

Kebijakan yang harusnya menuai kebajikan malah hanya menjadi pembajakan. Pembajakan uang rakyat. Korupsi kebijakan ini sangat sulit dideteksi namun dampaknya sangat mudah diendus. Pihak-pihak yang selalu merasa diuntungkanlah yang memanen. Namun si pembuat kebijakan sendiri dapat lepas dari tuntutan dengan dalih independen, demi kepentingan bangsa, padahal hanya bualan belaka.

Modus korupsi bersifat win-win solution. Sebelum pejabat korup menduduki posisi dilakukan dahulu bergaining agreement, bahkan dia bisa mendapatkan DP nya terlebih dahulu. Baru kemudian saat menjabat, politik dagang sapinya mulai dimainkan. Para pelaku ini pun tak jauh-jauh dari mereka yang sering mendapat proyek dan tender dari pemerintah. Tender-tender yang menang tanpa mekanisme yang benar akan bisa menjadi buktinya.

Bayangkan saja, sebuah kebijakan yang akan menaikan suku bunga atau menurunkan suku bunga kredit, apakah serta merta itu kebijakan yang rasional dan memenuhi dahaga logika semata? Tentu tidak, pasti ada pihak yang diuntungkan ataupun dirugikan. Belum lagi kebijkan yang kontroversial seperti bailout sebuah bank yang bisa menyedot uang negara triliunan. Apakah itu semata untuk menyelamatkan kondisi perekonomian negara, atau malah menyelamatkan penjahat-penjahat berdasi yang terlibat dalam dinasti korupsi? Ini membutuhkan analisis yang lebih tajam lagi.

Lama-lama dinasti yang memainkan korupsi kebijakan ini juga akan meletus seperti bubble economy dalam madzab kapitalisme. Yang akan boom dan bust dalam suatu siklus yang bisa diprediksi. Dinasti ini harusnya lekas membaca sejarah panjang VOC yang menjajah negeri ini dimana akhirnya VOC hancur lebur karena ketamakan korupsinya sendiri. Korupsi ini berhasil mendidik pejabat-pejabatnya untuk tambah rakus, tamak, serakah dan semakin tidak bisa mengendalikan nafsunya.


Kalau fenomena kemiskinan hanya berdaya rusak pada matinya orang yang kurang gizi, kelaparan dan pengangguran. Atau mungkin hanya menimbulkan orang miskin terpaksa berbuat kejahatan yang lingkupnya pun hanya terbatas. Namun bagaimana dengan daya rusak korupsi kebijakan ini jika dibiarkan?
Tentunya sangat mengerikan. Uang berlimpah yang dinikmati oleh pejabat-pejabat korup yang sedang asyik di jabatan publik akan membuatnya menjadi orang yang tidak peduli lagi akan wabah kemiskinan, membiarkan kelaparan berkepanjangan, pengabaian kerusakan alam yang mengenaskan, dan acuh terhadap tragedi kemanusiaan yang harusnya bisa segera diselesaikan.

Sebelum itu semua terjadi dengan kiamat yang lebih besar, maka keberanian tegas dari pemimpin untuk benar-benar bersih dalam korupsi, tidak menjadi godfather dinasti korupsi dan demi menyelamatkan negeri ini dari daya rusak korupsi tersebut maka pembabatan habis korupsi harus diprioritaskan. Sudah saatnya pemimpin koruptor atau koruptor pemimpin dienyahkan dari bangsa ini.


Oleh Rudy Karetji
Direktur Eksekitif Nasional
Komite Rakyat Anti Korupsi Indonesia

Sosialita Antara Orang Yang Cerdas dan Koruptor

Sosialita yang sejatinya bersosialisasi dengan kehidupan dan memberi manfaat kepada orang lain justru saat ini banyak menimbulkan efek negatif yakni melakukan tindak korupsi yang disebabkan karena faktor ‘politik’ dan gaya hidup glamor.

“Siapa pun mempunyai `bakat’ korupsi asalkan menemukan momentum (niat dan kesempatan) yang tepat, dan kebetulan saat ini kebanyakan pelakunya adalah perempuan dan laki-laki cerdas yang masuk dalam kelompok sosialita,”

Sebagian perempuan dan laki-laki cerdas yang tersangkut kasus korupsi biasanya terjebak dalam kondisi lingkungan politik yang sering menjadikan aktor korupsi oleh sistem yang menyimpang. “Perempuan dan laki-laki di dalam birokrasi dipaksa masuk dalam mata rantai korupsi yang mengakar, karena birokrasi di Indonesia sampai kini tepat menjadi mesin kepentingan kekuasaan,

Fenomena sejumlah perempuan dan laki-laki yang terlibat dalam berbagai skandal korupsi tidak tepat lagi jika dibahas dengan menggunakan sudut pandang relasi gender. Lebih mengena jika persoalan ini diuraikan dengan mengerahkan perspektif sosiologis yang membahas tentang kekuasaan dan perilaku menyimpang.
“Jadi korupsi, sebagai perilaku menyimpang, jelas sekali bertautan dengan persoalan kekuasaan,”

Laki-laki perempuan yang menduduki kekuasaan, baik secara politis maupun bisnis, memiliki kesempatan yang lebih banyak berbuat korup dibandingkan lelaki atau perempuan yang tidak berposisi sebagai penentu dalam wilayah otoritas politik dan finansial yang dimilikinya.

“Intinya korupsi sangat jelas lebih berkaitan persoalan kekuasaan daripada esensialistik keperempuanan. Siapa pun yang lebih berkuasa pasti terdorong untuk melakukan aksi-aksi korupsi,”

Rudy Karetji
Direktur Eksekutif Nasional
KRAK Indonesia

Minggu, 23 Desember 2012

Pencegahan Tindak Pidana Korupsi

Penyelenggara Negara mempunyai peran penting dalam konstelasi ketatanegaraan. Hal ini tersirat dalam Amanat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan antara lain bahwa tujuan dibentuknya ”Pemerintah Negara Indonesia dan yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa…”.

Dalam implementasinya, penyelenggaraan Negara tidak boleh menyimpang dari kaidah-kaidah yang digariskan. Namun demikian, dalam perkembangannya, pembangunan di berbagai bidang berimplikasi terhadap perilaku penyelenggara negara yang memunculkan rasa ketidakpercayaan masyarakat.

Stigma yang menganggap penyelenggara negara belum melaksanakan fungsi pelayanan publik berkembang sejalan dengan ”social issue” mewabahnya praktek-prakter korupsi sebagai dampak adanya pemusatan kekuasaan, wewenang dan tanggung jawab pada jabatan tertentu. Disamping itu masyarakat sendiri tidak sepenuhnya dilibatkan dalam Kegiatan Penyelenggaraan Negara sehingga eksistensi kontrol sosial tidak berfungsi secara efektif terhadap penyelenggara negara, terutama dalam hal akuntabilitas pengelolaan keuangan negara, sehingga rentan sekali untuk menimbulkan penyimpangan dan korupsi.

Korupsi tidak hanya dilakukan oleh penyelenggara negara, antar penyelenggara negara, tetapi juga melibatkan pihak lain seperti keluarga, kroni dan para pengusaha, sehingga merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, yang dapat membahayakan eksistensi atass fungsi penyelenggaraan negara.

Langkah awal dan mendasar untuk menghadapi dan memberantas segala bentuk korupsi adalah dengan memperkuat landasan hukum yang salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang dirubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diharapkan dapat mendukung pembentukan pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi, kolusi dan nepotisme, dan diperlukan pula kesamaan visi, misi dan persepsi aparatur penegak hukum dalam penanggulangannya. Kesamaan visi, misi dan persepsi tersebut harus sejalan dengan tuntutan hati nurani rakyat yang menghendaki terwujudnya penyelengara negara yang mampu menjalankan tugas dan fungsinya secara efektif, efisien, bebas dari korupsi.

Upaya pemberantasan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pemerintah sampai saat ini masih terus bergulir, walaupun berbagai strategi telah dilakukan, tetapi perbuatan korupsi masih tetap saja merebak di berbagai sektor kehidupan. Beberapa kalangan berpendapat bahwa terpuruknya perekonomian Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini, salah satu penyebabnya adalah korupsi yang telah merasuk ke seluruh lini kehidupan yang diibaratkan seperti jamur di musim penghujan, tidak saja di birokrasi atau pemerintahan tetapi juga sudah merambah ke korporasi termasuk BUMN.

Rudy Karetji
Direktur Eksekutif
Komite Rakyat Anti Korupsi Indonesia

Sekda Papua Barat di Tuntut 2 Tahun Penjara

Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Negeri Manokwari menuntut Sekretaris Daerah (Sekda) Papua Barat Marthen Luther Rumadas dengan pidana penjara selama 2 tahun atas dugaan korupsi Dana Bagi Hasil (DBH) Minyak dan Gas Bumi (Migas) tahun 2006-2007 senilai Rp 11 miliar.

Jaksa dalam surat tuntutan yang dibacakan pada persidangan di Pengadilan Tipikor Papua Barat, Rabu (19/12) menuntut agar majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang mengadili perkara ini, menjatuhkan putusan yang menyatakan Rumadas terbukti sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi dengan melanggar Pasal 3 jo pasal 18 Undang-Undang Korupsi No. 20 tahun 2001.

Hal yang memberatkan, menurut jaksa, terdakwa melakukan tindakan melawan program pemerintah memberantas korupsi. Sedangkan hal yang meringankan, terdakwa belum pernah dihukum, sopan selama dalam persidangan. Majelis hakim yang diketuai Tarima Saragih, akhirnya menunda persidangan hingga pekan dengan memberikan kesempatan kepada kuasa hukum terdakwa untuk menyiapkan pembelaannya.
Sementara mantan Kepala Dinas Pendapatan Daerah (Kadispenda) Papua Barat Harun Djitmau yang diduga korupsi Dana Bagi Hasil Migas tahun 2006-2007 senilai Rp 7 miliar, dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dengan hukuman penjara 6 tahun, dan denda Rp 500 juta, subsidiari 6 bulan kurungan.
Selain itu, Harun juga dikenakan membayar biaya uang pengganti senilai Rp 7 miliar selama sebulan subsidi 3 tahun penjara. Harun dinyatakan terbukti melanggar Pasal 3 jo pasal 18 Undang-Undang Korupsi No 20 tahun 2001.

Jaksa memiliki pandangan berbeda terhadap tuntutan kedua terdakwa ini. Ketua Tim Jaksa Muslim mengatakan, perbedaan tuntutan disebabkan Rumadas telah mengembalikan kerugian negara sebesar Rp 11 miliar, sedangkan Harun Djitmau sama sekali belum mengembalikan kerugian negara Rp 7 miliar.
Menurut Rudy Karetji, Direktur Eksekutif Komite Rakyat Anti Korupsi Indonesia, Hukuman yang dijatuhkan ke SEKDA Papua Barat (M.L. Rumadas) sangatlah ringan. Seharusnya SEKDA Papua Barat dituntut hukumannya lebih tinggi dari mantan KADISPENDA Papua Barat (Harun Jitmau), Walau SEKDA sudah mengembalikan uang yang dikorupsinya. Karena SEKDA Papua Barat adalah atasan dari terdakwa Harun Jitmau.

Selain itu lanjut Rudy Karetji mengatakan, agar pihak Kejasaan Negeri dan Pihak Kejaksaan Agung harus mengembangkan kasus ini, karena fakta persidangan menurut salah satu terdakwa memberikan kesaksian, bahwa dari dana tersebut Gubernur dan Wakil Gubernur Papua Barat juga ikut menikmati uang haram tersebut. Dan jika pihak Kejaksaan Negeri atau Kejaksaan Agung tidak bisa menembangkan kasus korupsi Dana Bagi Hasil MIGAS 2006-2007 ini, Komite Rakyat Anti Korupsi Indonesia bersama masyarakat Papua Barat menganggap bahwa pihak Kejaksaan Negeri dan Kejaksaan Agung Tidak serius memberantas kasus korupsi di Papua Barat.

Selain itu juga Rudy Karetji, atas nama seluruh pengurus Eksekutif Nasional Komite Rakyat Anti Korupsi Indonesia, berharap agar para hakim TIPIKOR yang menangani kasus ini dapat memberikan hukuman seberat-beratnya kepada kedua terdakwa tersebut sehingga para pejabat di papua barat tidak seenaknya merampok uang yang seharusnya untuk kepentingan masyarakat Papua Barat.

Rudy Karetji

Pemberantasan Korupsi di Indonesia Masih Tebang Pilih

Korupsi semakin menambah kesenjangan akibat memburuknya distribusi kekayaan. Bila sekarang kesenjangan kaya dan miskin sudah sedemikian menganga, maka korupsi makin melebarkan kesenjangan itu karena uang terdistribusi secara tidak sehat atau dengan kata lain tidak mengikuti kaedah-kaedah ekonomi sebagaimana mestinya. Koruptor makin kaya, yang miskin semakin miskin. Akibat lainnya, karena uang seolah mudah dipeoleh, sikap konsumtif menjadi semakin merangsang, tidak ada dorongan kepada pola produktif, akhirnya timbul inefisiensi dalam pemanfaatan sumber daya ekonomi yang telah tersedia.

Korupsi juga dituding sebagai penyebab utama keterpurukan bangsa ini. Akibat perbuatan korup yang dilakukan segelintir orang maka kemudian seluruh bangsa ini harus menanggung akibatnya. Ironisnya kalau dulu korupsi hanya dilakukan oleh para pejabat dan hanya di tingkat pusat, sekarang hampir semua orang baik itu pejabat pusat maupun daerah, birokrat, pengusaha, bahkan rakyat biasa bisa melakukan korupsi.

Hal ini bisa terjadi barangkali karena dahulu orang mengganggap bahwa yang bisa korupsi hanya orang-orang orde baru sehingga mumpung sekarang orde baru runtuh semua berlomba-lomba untuk ‘meniru’ perilaku korup yang dilakukan orang-orang Orde Baru. Alasan lain yang hampir sama barangkali seperti yang dipaparkan oleh Rieke Diyah Pitaloka dalam tesisnya bahwa kekerasan yang dilakukan masyarakat sipil bukan sesuatu yang otonom, tetapi ada disposisi antara aktor dan kekerasan itu sendiri. Artinya, antara si penguasa dan pelaku kekerasan itu ada timbal balik, contohnya adalah kasus korupsi.

Jadi ada semacam perpindahan kekerasan dari negara kepada masyarakat. Perilaku korupsi yang dilakukan oleh hanya segelintir pejabat negara akhirnya ‘berpindah’ dilakukan oleh masyarakat biasa. Hal yang lebih berbahaya lagi, korupsi ini tidak hanya dilakukan oleh per individu melainkan juga dilakukan secara bersama-sama tanpa rasa malu. Misalnya korupsi yang dilakukan seluruh atau sebagian besar anggota DPR/DPRD. Jadi korupsi dilakukan secara berjamaah. Yang lebih berbahaya lagi sebenarnya adalah korupsi sistemik yang telah merambah ke seluruh lapisan masyarakat dan sistem kemasyarakatan. Dalam segala proses kemasyarakatan, Korupsi bisa terjadi apabila karena faktor-faktor sebagai berikut:
a. Ketiadaan atau kelemahan kepemimpinan dalam posisi-posisi kunci yang mampu memberikan ilham dan 
    mempengaruhi tingkah laku yang menjinakkan korupsi.
b. Kelemahan pengajaran-pengajaran agama dan etika.
c. Kolonialisme.
d. Kurangnya pendidikan.
e. Kemiskinan.
f. Tiadanya hukuman yang keras.
g. Kelangkaan lingkungan yang subur untuk perilaku anti korupsi.
h. Struktur pemerintahan.
i. Perubahan radikal.
j. Keadaan masyarakat

Khususnya di Indonesia, adalah adanya perkembangan dan perbuatan pembangunan khususnya di bidang ekonomi dan keuangan yang telah berjalan dengan cepat, serta banyak menimbulkan berbagai perubahan dan peningkatan kesejahteraan. Di samping itu, kebijakan-kebijakan pemerintah, dalam upaya mendorong ekspor, peningkatan investasi melalui fasilitas-fasilitas penanaman modal maupun kebijaksanaan dalam pemberian kelonggaran, kemudahan dalam bidang perbankan, sering menjadi sasaran dan faktor penyebab terjadinya korupsi.

Sedangkan faktor yang menyebabkan merajalelanya korupsi di negeri ini, adalah adanya kenyataan bahwa birokrasi dan pejabat-pejabat politik masih banyak didominasi oleh orang-orang lama. Lebih lanjut menurutnya orang-orang yang pada masa Orde Baru ikut melakukan korupsi masih banyak yang aktif di dalam proses politik dan pemerintahan. Upaya hukum untuk membersihkan orang-orang korup itu juga gagal karena para penegak hukumnya juga seharusnya adalah orang-orang yang harus dibersihkan. Faktor lainnya adalah hukum yang dibuat tidak benar-benar untuk kesejahteraan masyarakat, tetapi justru hukum dijadikan alat untuk mengabdi kepada kekuasaan atau kepada orang-orang yang memiliki akses pada kekuasaan dan para pemilik modal.

Sebaliknya masyarakat kecil tidak bisa merasakan keadilan hukum. Hukum menampakkan ketegasannya hanya terhadap orang-orang kecil, lemah, dan tidak punya akses, sementara jika berhadapan dengan orang-orang ‘kuat’, memiliki akses kekuasaan, memiliki modal, hukum menjadi lunak dan bersahabat. Sehingga sering terdengar ucapan, seorang pencuri ayam ditangkap, disiksa dan akhirnya dihukum penjara sementara para pejabat korup yang berdasi tidak tersentuh oleh hukum. Namun demikian sebenarnya usaha-usaha pemberantasan korupsi di Indonesia sudah banyak dilakukan, tetapi hasilnya kurang begitu nampak. Walaupun begitu tidak boleh ada kata menyerah untuk memberantas penyakit ini.


Oleh : Rudy Karetji

Kuatnya Uang

Fungsi historis uang adalah alat tukar. tapi sekarang fungsi uang tidak sekedar alat tukar, tapi juga juga sebagai simbol kekuatan , kekuasaan,kesuksesan, status dan kehormatan.

Uang juga bisa jadi motivator, motivator pada hal-hal yang positif dan juga pada hal-hal negatif. Jadi uang memungkinkan segalanya, uang dapat menjadi pembuka pintu. Uang adalah pelayan yang baik tetapi majikan yang kejam. Karena segala akar kejahatan adalah cinta uang. Oleh sebab itu kita harus hati-hati akan cinta terhadap uang.

Kekuatan lain dari uang adalah kekuatan yang sangat nyata pada jiwa kita, coba kita lihat wajah kita dicermin kalo lagi banyak uang, pasti penuh senyum dan ber-seri-seri. Lain lagi kalo lagi bokek alias tongpes alias tidak punya uang, wajah kita akan terlihat nyureng ,kening berkerut, pelit senyum dsb.
Jadi uang memiliki kekuatan spiritual untuk menenangkan hati kita yang memberi daya dan juga hidup kepada uang itu, sebuah kekuatan yang luar biasa yang betul-betul sangat memerlukan kendali pada diri kita.
Tapi jangan sampai kita mendewakan uang, memuja uang, karena hukumnya dosa,  menghalalkan segala cara demi uang.  Membunuh demi uang,  serakah,  tamak,  iri hati,  penyalah gunaan kekayaan,  sombong, dan angkuh.

Singkatnya marilah kita hidup sesuai dengan takaran iman dan taqwa. Mencintai uang boleh saja, tapi jangan melebihi cintanya kepada rasa iman dan taqwa. Jadikanlah uang hanya sebagai alat kita untuk hidup agar kita bisa ibadah dengan baik, agama apapun.Mencari uang itu juga wajib tapi sebatas hanya untuk berkehidupan yg beriman dan bertaqwa. Karena Allah swt mengajurkan agar kita semua bisa memanfaatkan waktu sebaik baiknya agar bisa menafkahi keluarga secukupnya.

Tidak seorangpun yang tidak ingin kaya tentunya, tapi jadilah orang kaya yang beriman dan bertaqwa, yang dermawan, yang murah hati, yang selalu membelanjakan sebagian hartanya untuk orang yang membutuhkan / fakir miskin , yang tidak terpengaruh kekuatan uang yang negatif, untuk sogok sana sogok sini demi keinginan pribadi, tetaplah pada koridor kebijakan dalam mengelola kekayaan kita.

Rudy Karetji

Sabtu, 22 Desember 2012

OTONOMI DAERAH DAN KORUPSI

Lagi-lagi masyarakat disuguhi sebuah kenyataan yang membuat miris. Sebuah potret yang menunjukkan maraknya abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan) yang dilakukan para pejabat bermental korup. Itulah potret korupsi yang terus saja dipertontonkan secara telanjang dan kasat mata para pemegang kekuasaan.
Betapa tidak, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mencatat dari 524 kepala daerah (gubernur, bupati, dan wali kota), 173 di antaranya terlibat kasus korupsi pada 2004-2012. Dari jumlah tersebut, 70 persen telah diputus bersalah dan diberhentikan, sebuah jumlah yang sungguh mencengangkan.

Fenomena maraknya korupsi para kepala daerah di era otonomi ini seakan membenarkan tesis bahwa era reformasi korupsi di kalangan pemerintah sudah tumbuh ke atas dalam hierarki dan ke bawah menjalar ke daerah-daerah. Wabah korupsi benar-benar telah sistemis. Endemi korupsi telah begitu menggurita hingga ke generasi muda. Ini jelas tak bisa dianggap enteng.

Genderang perang terhadapnya tampaknya harus terus ditabuh. Penyakit kronis korupsi tidak hanya memiskinkan rakyat, tapi juga merupakan pembusukan peradaban. Apalagi modus operasinya yang selalu bergeser dari masa ke masa. Pada awal kemerdekaan, korupsi lebih banyak terjadi di level pemerintah pusat, kemudian pada masa Orde Baru disebabkan semangat kronisme disertai nepotisme yang begitu kuat.
Era reformasi saat ini aktor-aktor korupsi telah meluas ke level seantero wilayah Nusantara yang melibatkan pejabat daerah dengan demikian pesat. Perubahan institusional di era reformasi tampaknya memang berkontribusi pada pelebaran korupsi. Seperti dikatakan kalangan neoinstitusionalisme, sebuah perubahan struktur pemerintahan dan politik akan memengaruhi tingkah laku aktor politik dan mekanisme kebijakan beserta efek politik yang ditimbulkan.

Dalam konteks desentralisasi, otonomi daerah lebih banyak melahirkan korupsi daripada kemajuan kesejahteraan rakyat secara keseluruhan. Ada beberapa faktor yang menyebabkan korupsi era otonomi justru semakin menyebar dan meluas. Salah satunya karena aturan legal formal dan pelembagaan penegakan korupsi di daerah belum komprehensif. Selain itu, kelemahan civil society dan pada saat bersamaan budaya politik patronclient cukup kuat.

Oleh : Rudy Karetji
Direktur Eksekutif
KRAK Indonesia

Rabu, 12 Desember 2012

KORUPSI STRUKTURAL DI TANAH PAPUA BARAT

Dinamika performens Korupsi Struktural dari Aceh sampai Papua, adalah wajah pentas perwayangan yang setiap hari dipertontonkan oleh Para elit Bangsa ini, baik di Media Eletroknik maupun Cetak serta Radio, ditengah carut-marut penegakan Hukum yang tidak berkeadilan sosial, semua pihak mengklaim bahwa dirinya yang hebat, kuat, dan kebal hukum, karena keterlibatan aparat penegak hukum, politisi, birokrat , pengusaha dan juga para advokad yang membela dan menjamin kekebalan hukum bagi para koruptor dengan melegitimasikan UU dan Peraturan Pemerintah sebagai referensi hukum guna melemahkan semangat perlawanan dan pencegahan atas perbuatan melawan hukum sebagai bagian dari Politik Kekuasaan. Korupsi menurut bahasa kita adalah suatu perbuatan tindak pidana kejahatan kemanusiaan luar biasa, ya cara untuk melawannya juga dengan cara yang luar biasa. Budaya Malu sudah tidak lagi mempan bagi para elit pelaku korupsi dengan bangganya mereka lalu merampok berjemaah atas nama kekuasaan politik bisnis. Perbuatan Korupsi sudah dianggap hal biasa bukan lagi luar biasa, sebab sangsi hukumnyapun hanya 1-3 tahun, apalah artinya hukuman sedemikian rendah dan merendahkan martabat manusia, karena hukum mudah diuangkan alias Kase Uang Habis Perkara (KUHAP). Ya kita semua tahu bahwa Bangsa Indonesia saat ini berada pada peringkat seratusan dalam hal indeks persepsi korupsi internasional, sementara untuk Asia Indonesia jagonya, maka tak heran ketika sensus BPS 2010 menunjukan Provinsi Termiskin di Indonesia adalah Papua Barat pertama dan kedua adalah Provinsi Papua. Hal ini tidak diimbangi dengan dana ABPN,APBDP,dan APBDK, serta Royalty Migas Bawah Tanah dan Juga Royalty Freeport dan lebih miris lagi Dana Otonomi Khusus yang sejak 2002-2010 sudah sekitar Rp. 28,8 Trilyun digelontorkan ke Papua dan Papua Barat ternyata Dana segedeh itu tidak mampu mengangkat taraf hidup orang asli papua dari kemiskinan menjadi mapan.

Dampak dari banyaknya uang yang digelontorkan ke Papua dan Papua Barat , telah berhasil melahirkan raja-raja kecil, termasuk imbas Korupsi Struktural dengan Modus Operandi dalam berbagai cara untuk memperkaya diri,keluarga, dan kroni-kroni para koruptor itu.

Sebut saja kasus Korupsi Hambalan, Korupsi PPID,Korupsi Anggota DPR-RI, Korupsi Chek Pelawat, Korupsi Bailout Century, Korupsi Pajak, Korupsi Pembuatan Alquran, Korupsi Simulator SIM Korlantas Polri dan lain sebagainya adalah merupakan fenomena sistem Pelayanan Pemerintah Pusat, sementara di daerah-daerah juga banyak, Isu Dahlan Iskan dengan Wacana Pemerasan BUMN, di daerah dijadikan ATM Para kepala Daerah, apalagi di Papua dan Papua Barat.

Penegakan Hukum diperjualbelikan dengan bargaining Politik Papua Merdeka oleh para koruptor di tanah papua barat, termasuk oknum-oknum aparat keamanan di pusat termasuk para pegawai cukong atau broker atau pun makelar yang bekerja mengejar Succes Fee; dengan bukti ini, maka susah untuk menghilangkan Karakter Korupsi Bangsa ini mulai dari anak bangsa di pusat pemerintahan-sampai ke daerah-daerah. Bagi Papua dan Papua Barat, dinilai sebagai daerah konflik sehingga sengaja dibiarkan saja oleh Kepolisian,Kejaksaan, dan KPK, termasuk hukum menjamin Impunitas atas para koruptor karena uang selembar lima puluh ribu rupiah , lalu harga diri diperjual belikan tak pandang bulu dia pegawai rendahan hingga pegawai tinggi, Korupsi sudah bagian dari karakter sistem pelayanan pemerintahan.

Kasus-kasus korupsi di Tanah Papua Barat; baik di Provinsi Papua maupun Papua Barat sengaja dibiarkan bebas mengalir menyusuri relung hidup setiap anak bangsa dan dipelihara untuk memperkaya pihak-pihak di Tanah Papua Barat maupun Indonesia. Adapun Modus Operandi Korupsi Struktural terkadang dengan menggunakan kekuasaan politik melalui Partai Politik Berkuasa seperti Partai Golkar,Demokrat, PDIP, PKB, PKS, Gerindra, Hanura dan lainnya, melalui kader-kader partainya didaerah selalu dijadikan mesin pencetak uang untuk kepentingan partai politik dan pribadinya. Sayangnya Kekuasaan Politik lebih dominan di daerah daripada Hukum, sehingga semena-mena hukum diperjualbelikan untuk kepentingan mereka para Politisi dan Birokrasi, yudikatif, dan kontraktor sebagai pihak ketiga yang mengelola anggaran negara.

Ketika rakyat papua marah dan menuntut hak – hak dasar mereka, kemudian pemerintah memperhadapkan mereka dengan Kekerasan baik Kekerasan Struktural maupun horisontal. Pemerintah juga melegalkan hukum melalui UU dan Peraturan Pemerintah sebagai lehgitimasi impunitas atas pelaku korupsi, dengan kata lain melegalkan “ Kata Papua Merdeka “, digunakan oleh Koruptor di Tanah Papua Barat, sebagai Senjatah ampu dalam memproteksi dan membebaskan mereka dari jeratan Hukum.

Adapun Korupsi Struktural dan Modus Operandi yang terjadi di tanah papua barat adalah sebagai berikut:
1. Kasus Terdakwa Korupsi Ketua DPRP Papua Drs. Jhon Ibo,MM, Kerugian Negara 5,2 Milyar dana APBD pembangunan  rumah dinas jabatan Ketua dan Wakil ketua DPRP Papua; saat ini sidangnya masih terkatung-katung sudah tiga bulan lamanya, belum ada putusan, sementara Terdakwa diberi status tahanan kota oleh pihak kejaksaan agung.

2. Kasus Tersangka Korupsi Dana APBD Kabupaten Waropen, mantan Bupati Waropen Drs. Ones J. Ramandey,MM , kerugian negara Rp. 5 Milyar, Tersangka sudah ditahan dipolda papua tetapi diberi ijin bantaran kepada tersangka oleh pihak penyidik kejaksaan tinggi papua dan hingga saat ini sejak februari lalu belum ditangkap, sementara tersangka bebas berkeliaran di Jakarta. 

3. Terdakwa Korupsi Dana Bagi Hasil Provinsi Papua Ir. M.L.Rumadas,M.Si dengan kerugian negara Rp. 18 Milyar, terdakwa sebagai sekda Provinsi papua Barat yang juga adalah tersangka Korupsi Dana 20 Milyar Bantuan kepada 44 anggota DPRP Papua Barat yang sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Tinggi Papua tetapi hingga saat ini tidak jelas proses hukumnya, untuk sementara terdakwa di beri status tahanan kota oleh kejaksaan agung. 

4. Dugaan kasus tindak pidana korupsi yang melibatkan 23 anggota DPRD Biak Numfor dan diperiksa terkait dugaan korupsi kerugian negara yang ditimbulkan berkisar Rp600 juta-Rp700 juta. Dan keterangan yang dimintai pihak Polres yakni terkait Penggunaan Dana Sosialisasi, Pembangunan Perumahan, Penggunaan Uang Untuk Dipertanggungjawabkan (UUDP), serta Uang Perjalan Dinas.

     5. Tersangka Korupsi Dana Rp. 5,2 Milyar mantan anggota DPRD Mimika yang juga adalah istri Bupati Mimika Klemens Tinal yakni Ny. Stefra Sodora Dupuy yang sudah ditetapkan oleh Polda Papua sebagai btersangka 2008 dan hingga saat ini masih DPO alias daftar pencarian orang, diduga melibatkan pihak petinggi Polda Papua. Berdasarkan surat izin gubernur papua No. 180/3803/SET.perihal persetujuan dilaksanakannya Tindakan Kepolisian terhadap anggota DPRD Kabupaten Mimika. Tertanggal 30-11-2007.

      6. Dugaan Kasus Tindak Pidana Korupsi Dana Kampung Kabupaten Fakfak senilai Rp. 28 Milyar oleh Bupati Fakfak Muhammad Uswanas yang hingga saat ini baru membagikan dana pemberdayaan kampung tahun 2012, sementara 2010 dan 2011 disimpan di bank papua fakfak dan tidak difahami peruntukannnya

      7. Diduga Melakukan Tindak Pidana Korupsi Dana pengadaan Alat Kesehatan RSUD Fakfak Oleh Bendahara Partai Politik Golkar Provinsi Papua Bahlil Lahadalia,SE, dengan mendatangkan alat-alat medis yang sudah rusak dan tidak bisa dipergunakan senilai Rp.17 Milyar lebih.

     8. Diduga Melakukan Tindak Pidana Korupsi dana Pembangunan Bandara Internasional Siboru Fakfak dengan sitem Proyek Multy Years sudah menelan biaya Rp. 24 Milyar lebih tetapi pembangunan fisiknya baru 5%, oleh Bahlil Lahadalia Bendahara Partai Golkar Papua.

     9. Diduga Melakukan Tindak Pidana Korupsi Dana Otsus yang di depositokan senilai Rp. 1,2 Trilyun di dua Bank di Jayapura yakni Bank Papua dan Bank Mandiri yang dilakukan oleh Mantan Gubernur Papua Barnabas Suebu,SH dan Kepala BPKAD Provinsi Papua Dr. Achmad Hatary.

    10. Diduga Melakukan Tindak Pidana Korupsi dan Narkoba Bupati Teluk Wondama Drs. Alberth H. Torey, MM kerugian Negara Rp.1,9 Milyar SPMU.No1133/BT/2004 pada Bank Papua dan Dana Bantuan Keuangan dari Provinsi Papua senilai Rp. 13,2 Milyar.

    Untuk itu Rudy Karetji Direktur Eksekutif Nasional Komite Rakyat Anti Korupsi Indonesia, mengatakan dalam waktu dekat ini akan melakukan advokasi atau mengejar kasus2 tersebut diatas dengan cara menjewer atau mengorek telinga para penegak hukum di republik ini agar tidak budeg/alias tuli.  

Selasa, 11 Desember 2012

Aneh bin Ajaib, SBY Himbau Bela Pejabat Terjebak Korupsi

Pada peringatan Hari Anti Korupsi se-Dunia dan Hak Asasi Manusia (HAM), Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berbicara tentang kasus korupsi yang dilakukan pejabat pemerintah. Pidato ini disampaikan tidak lama setelah KPK menetapkan mantan Menpora Andi Malarangeng sebagai tersangka korupsi proyek Hambalang. Berdasarkan pengalaman delapan tahun terakhir, Presiden SBY mengungkapkan ada dua jenis korupsi.
Pertama, pejabat memang berniat korupsi. Kedua, tindak pidana korupsi terjadi karena ketidakpahaman pejabat terhadap peraturan perundang-undangan. Dalam hal kasus korupsi yang menjerat pejabat pemerintah, dihadapan jajaran Kabinet Indonesia Bersatu II dan seluruh gubernur, ia menegaskan pejabat pemerintah yang terjebak kasus korupsi harus dibela.
“Pengalaman empirik kita delapan tahun lebih ini, saya menganalisis ada dua jenis korupsi. Pertama, memang korupsi diniati untuk melakukan korupsi. Ya sudah, good bye. Tapi ada juga kasus-kasus korupsi terjadi karena ketidakpahaman pejabat yang dilakukan itu keliru dan terkategori korupsi. Maka negara wajib menyelamatkan mereka-mereka yang tidak punya niat melakukan korupsi tapi bisa salah di dalam mengemban tugas-tugasnya,” jelasnya di Istana Negara, Jakarta.

Menurutnya banyak pejabat pemerintah yang tidak memahami definisi tindak pidana korupsi, sehingga ketika tindakan dan kebijakannya dianggap melanggar hukum, pejabat pemerintah tersebut mempertanggungjawabkan perbuatannya dihadapan hukum. Padahal pejabat pemerintah tersebut tidak berniat melakukan tindakan korupsi.

“Tugas yang datang siang dan malam, Kadang-kadang memerlukan kecepatan pengambilan keptusan, memerlukan kebijakan yang tepat (dari pejabat pemerintah). Jangan biarkan mereka (pejabat pemerintah) dinyatakan bersalah dalam tindak pidana korupsi,” ucap SBY disambut tepuk tangan seluruh jajaran Kabinet Indonesia Bersatu II dan seluruh gubernur yang hadir di Istana Negara.

Pernyataan SBY yang terkesan nyeleneh ini mendapat tanggapan dari Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad. Ia tak sepakat dengan pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terkait pejabat negara yang tak paham penggunaan anggaran harus dilepas dari jeratan hukum.

“Bahwa ada ketidaktahuan, tapi bukan berarti ketidaktahuan itu menghapuskan pertanggungjawaban pidana. Karena dalam teori hukum pidana, ketidaktahuan bukan berarti menghapuskan pertanggungjawaban hukum pidananya,” ujar Abraham Samad usai menghadiri Puncak Peringatan Hati Antikorupsi, di Istana Negara, Jakarta, Senin (10/12/2012).

Menurut pria asli Makassar ini, seorang pejabat negara dituntut harus cerdas dan paham dalam menggunakan anggaran. Hal itu agar sang pejabat tak salah dalam menggunakan dan mengalokasikan anggaran. “Oleh karena itu pemimpin dituntut harus cerdas, kalau ada pemimpin mengatakan tidak tahu kalau telah terjadi korupsi, ya tidak usah memimpin,” tegasnya.

Tak hanya Abraham Samad, para analis pun mengingatkan SBY. Bahwa justru karena ‘sangat paham’, para koruptor memanfaatkan celah-celah peraturan untuk korupsi. Pejabat yang tidak paham Undang-undang itu sangat jarang. “Itu ironis dan tragis, kalau ada orang bodoh diangkat jadi pejabat,” kata pengamat sosial dan sosiolog UIN Jakarta Abas Jauhari MA.

Presiden SBY jangan mau dijadikan ‘bebek lumpuh’ oleh para koruptor yang berwatak oportunis dan sistemis. Lihatlah para koruptor ini, mereka disukai dan dihormati para petugas penjara dan kepala Lapasnya karena menjadi sumber ‘revenue’ tambahan.

Sementara para koruptor tetap tampil glamor di depan publik, mengenakan berbagai aksesoris mewah, meski statusnya telah ditetapkan sebagai tersangka korupsi. Mulai dari cincin, ikat pinggang, hingga tas tangan.

SBY harus ingat bahwa sebanyak 1.408 kasus korupsi yang ditangani aparat hukum selama 2004-2011 menjadi bukti dampak buruk korupsi. Nilai kerugian negara mencapai Rp39,3 triliun. Anggaran sebesar itu bisa untuk membangun, misalnya, 393.000 rumah sederhana atau memberikan bantuan modal usaha untuk 3,9 juta sarjana baru. Ingat, korupsi adalah kejahatan luar biasa dan harus dibasmi dengan kebijakan, tekad, organisasi dan sumber daya manusia yang luar biasa pula.

Para analis memprediksi, korupsi akan terus merajalela tahun depan, menjelang pemilu, dalam bentuk aneka ragam perbuatan yang terkutuk. Korupsi adalah musuh publik, SBY harus memihak publik dan menindak koruptor dengan efek jera, bukan malah ‘membela’ secara moral dengan argumentasi ‘tidak paham UU dan peraturan’ sebab itu bakal dijadikan amunisi koruptor untuk berlindung atau menghindar dari jeratan hukuman. ”Korupsi sudah menggurita. Masyarakat harus mendorong SBY untuk mencegah secara sistemik dan menindaknya bagi para aktor korupsi secara sistemik pula

Kamis, 26 Juli 2012

INDONESIA NEGARA BERANI TELAH BERUBAH MENJADI NEGARA PENAKUT

Mungkin hanya sebagian yang sependapat dan sepakat bila saya mengatakan kalau Indonesia itu adalah negara penakut. Meskipun demikian, sebagai orang Indonesia saya harus belajar berani untuk mengatakan atau berbicara apa adanya. Bukan tanpa tujuan dan makna saya mengungkapkan pernyataan ini, tetapi itu berdasarkan realita atau fakta atas apa yang telah saya dengar, lihat, rasakan atau apa yang telah saya alami sebagai warga negara Indonesia. Ada banyak bukti yang memperlihatkan Indonesia itu sebagai negara penakut, yang hingga saat ini mungkin sudah disadari tetapi tidak berani untuk menyentuhnya. Mengapa? Alasannya juga banyak, tetapi terkumpul dalam satu kata, yaitu TAKUT. Berikut adalah beberapa ketakutan yang diperlihatkan di negara Indonesia:

1. Takut untuk maju ke tahap yang lebih baik (berkembang).
Ketakutan Indonesia untuk menjadi negara maju atau berkembang terlihat sikapnya yang plin-plan atau ragu-ragu dalam menyikapi masalah perekonomian, nelayan, perkebunan dan pertanian rakyatnya. Betapa tidak? Perhatikan saja hasil produk yang lebih banyak di perjual-belikan di Indonesia adalah hasil produk luar. Mulai dari keperluan primer hingga keperluan sekunder. Sepatu, pakaian, sendal dan hingga keperluan pokok rumah tangga, sebagian besar adalah hasil import. Padahal apa yang tidak bisa dihasilkan di negara Indonesia? Hasil tanah yang berlimpah yang sebenarnya dapat mendatangkan kekayaan bagi negara Indonesia, tetapi pemerintah tidak berani mempasilitasi rakyatnya untuk mengusahakannya. Contoh: batik buatan Indonesia adalah lebih mahal harganya dibandingkan batik keluaran Cina. Mengapa? Karena di Indonesia cara mengolah dan mengerjakannya masih sangat manual di bandingkan di negara Cina. Mengapa manual? Karena lagi-lagi pemerintah tidak berani untuk mengeluarkan modal untuk menciptakan daya saing yang berstandar modern.

Selanjutnya, hasil panen para petani, pekebun dan nelayan yang sering diabaikan oleh pemerintah juga sangat mempengaruhi dan merupakan faktor penting dalam kemajuan dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Tetapi peluang ini diabaikan begutu saja, yaitu tidak berani membeli hasil rakyatnya dengan harga yang tinggi, tetapi giliran menjual pupuk meskipun harganya menekan rakyatnya, terutama dari golongan para petani atau pekebun tak dihiraukan, meskipun sebenarnya hati mereka tidak semuanya ikhlas membelinya. Artinya, mau tidak mau, dan dari pada tidak ada, ya beli saja meskipun mahal (tidak ada pilihan). Pemerintah hanya berani menjual hasil import dengan harga tinggi dibanding membeli hasil kerja keras dan keringat rakyatnya. Sehingga yang ada hutang semakin bertambah dan membengkak. Seharusnya Indonesia memperbesar daya eksport hasil negaranya ke negara-negara-negara kerja samanya.

Pemerintah Indonesia seharusnya berani mempasilitasidan menciptakan lapangan pekerjaan untuk rakyatnya, demi kesejahteraan bangsa dan rakyat Indonesia itu sendiri dan bukan untuk kepentingan pribadi. Seperti yang telah dipraktikkan oleh para politikus di Indonesia yang tidak bertanggung jawab dan tidak berkeprikemanusiaan dan prikeadilan. Saya sangat yakin, jika orang-orang seperti mereka tetap dilindungi dan tidak dibuang ke laut, maka lambat-laun Indonesia pasti akan kehilangan identitas, nama baik Indonesia akan terus dinodai oleh mereka.

2. Takut untuk mengeluarkan modal atau mengambil risiko.
Jika saja pemerintah Indonesia berani mengeluarkan modal akan ada risiko, yaitu mungkin Indonesia akan mengalami defisit untuk sementara waktu, karena sebagian besar kas negara digunakan untuk mengembangkan usaha rakyatnya, yang nantinya akan mendatangkan keuntungan berlipat ganta pada negara Indonesia itu sendiri, maka Indonesia pasti bisa bangkit setahap demi setahap dari keterpurukannya. Jadi uangnya bukan digunakan untuk kunjungan ke negara-negara dan bersenang-senang atau jalan dengan berbagai alasan yang tak jelas. Umumnya, negara yang maju dan berkembang adalah negara yang berani mengambil risiko atau miskin untuk sementara waktu, tetapi melihat fit back yang jauh lebih besar dari modal yang dikeluarkan di masa mendatang. Jika Indonesia tidak berani mengambil risiko ini, maka jangan terlalu berharap bahwa negara Indonesia akan menjadi negara yang makmur dan sejahtera, sebaliknya mungkin.

3. Takut untuk membayar mahal anak-anaknya yang pintar
 Indonesia menjadi salah satu negara yang terpuruk perekonomiannya di dunia adalah bukan karena tanpa orang pintar atau jenius. Banyak sekali orang-orang Indonesia yang pintar di bidang-bidang tertentu, entah itu di bidang politik dan ekonomi yang dapat memajukan kesejahteraan bangsa dan secara bertahap membangkitkan dapat Indonesia dari keterpurukan perekonomiannya. Salah satunya atalah Sri Mulyani yang sangat berbakat di bidang perekonomian, yang sudah jelas-jelas kualitasnya saat menyelamatkan perekonomian Indonesia sebelumnya. Tetapi negara Indonesia justru menyia-nyiakannya sewaktu di Indonesia, dan yang lebih parahnya lagi adalah ia hampir dijadikan korban politik binatang oleh para politikus Indonesia dalam kasus Bank Century.

Banyak orang yang berusaha menjadikan beliau (Sri Muliani) sebagai kambing hitam dalam kasus Bank Century, tetapi saya sendiri tidak yakin bahwa beliau terlibat dalam kasus itu. Ada banyak kejanggalan yang tidak dapat dibuktikan oleh tim pansus dan KPK dalam menangani kasus Century. Justru yang saya lihat adalah sebaliknya, yaitu mungkin mereka-mereka itu yang telah menyembunyikan uang yang dituduhkan kepada Sri Mulyani. Padahal tinggal bilang sejujurnya kalau Indonesia tidak berani membajar beliau dengan mahal berdasarkan kualitas dan kinerjanya. Itulah lah anehnya para politikus Indonesia. Jadi jangan heran jika Indonesia ini semakin terpuruk, jauh dari keadilan, kemakmuran dan kesejahteraan, karena semuanya penakut.

4. Takut untuk memberantas kasus korupsi.
Mendarah dagingnya kasus korupsi di tubuh para politikus Indonesia adalah virus yang sangat mematikan, yang lambat-laun Indonesia akan menjadi negara yang terus terpuruk dalam segala keadaan, padahal penyebabnya hanya satu, yaitu KORUPSI. Ketidakmampuan dan kegagalan yang diperlihatkan oleh para pemimpin negara Indonesia untuk menyelesaikan dan meminimalisir kasus korupsi yang ada di Indonesia adalah bahwa Indonesia itu takut untuk memberantas virus mematikan itu. Jadi bukan karena tidak mampu, tetapi karena TAKUT. Mengapa? Karena semuanya sudah terinfeksi dan tertular atau dihinggapi oleh virus KORUPSI itu. Jadi, nanti kalau dibongkar, maka si pembongkar pun bisa ketahuan kebusukannya oleh publik. Inilah yang disembunyikan oleh sebagian besar pemimpin negara Indonesia. Sungguh para koruptor adalah sama dengan binatang buas, dan bahkan lebih ganas dari itu.

Jika negara Indonesia tetap melindungi, memelihara dan memakai orang-orang seperti mereka untuk memajukan negara Indonesia ini, maka saya yakin 100% itu adalah hal yang jauh dari kemungkinan, jika kebohongan maka itu jelas. Lihat saja dari drama dan sandiwara-sandiwara yang mereka perankan di gedung DPR. Mereka mengatasnamakan diri sebagai wakil rakyat, tetapi nyatanya mereka tak ubanya sebagai WAKIL RAMPOK. Seharusnya orang-orang atau manusia seperti mereka harus dihukum gantung atau hukum mati seperti yang dilakukan oleh negara-negara berkembang, seperti Cina, Malaysia dan seterusnya. Karena jika terus-terus dilindungi orang seperti itu, maka Indonesia akan jadi negara sambah di mata dunia.

Indonesia seharusnya mempraktikkan simbolnya yang adalah burung Garuda atau burung raja Wali, yang sanggup terbang tinggi membawa Indonesia mengatasi masalah-masalah yang terjadi di dalamnya, dan bukan malah bergaul dengan ayam Kalkun, yang tidak berdaya, lemah dan bodoh. Jika itu dilanjutkan, maka Indonesia akan seperti burung Garuda yang patah sayapnya karena terkena suatu jerat. Dengan kata lain, tidak ada jalan lain selain menikmati hidupnya di bawah ancaman dan tekanan-tekanan dari negara tetangganya.