Upaya pemerintah dalam memberantas korupsi melalui pembentukan
perundang-undangan dengan tiga kali perubahannya sampai saat ini masih
belum menunjukkan tingkat keberhasilan memadai.
Ketidakberhasilan
dimaksud dapat dilihat dari empat aspek: hukum, ekonomi, sosial, dan
aspek politik. Aspek keberhasilan hukum bukan diukur dari jumlah perkara
korupsi yang ditangani KPK dan Kejaksaan Agung setiap tahun, melainkan
harus dilihat dari kualitas prosedur yang digunakan dalam menuntut dan
menetapkan seseorang sebagai tersangka/terdakwa dan kualitas putusan
pengadilan negeri, pengadilan tinggi, dan Mahkamah Agung. Kualitas
prosedur saat ini masih belum mencerminkan kepastian hukum dan keadilan,
terbukti masih adanya diskriminasi dan arogansi penyidik yang mencemari
institusi.
Kualitas putusan pengadilan tidak hanya dilihat dari
vonis bebas semata-mata, melainkan pula dari vonis hukuman yang sangat
jauh dari keadilan hanya karena kegamangan integritas oleh keberadaan
komisi yudisial dan kebebasan pers serta kritik sosial. Selain itu, yang
sangat kontroversial dari sudut penemuan keadilan adalah jika putusan
majelis hakim hanya demi popularitas semata. Keberhasilan secara
kuantitas ipso iure belum berarti keberhasilan secara kualitatif.
Sebaliknya, keberhasilan secara kualitatif mutatis mutandis keberhasilan
secara kuantitatif.
Dalam konteks aspek ekonomi, keberhasilan
secara kuantitatif pemberantasan korupsi tidak ipso facto memperkuat
pertumbuhan ekonomi karena keberhasilan tersebut telah terbukti tidak
berhasil mendorong pemerataan keadilan sosial. Ini terkait celah yang
masih menganga untuk ber-KKN di sektor pelayanan publik dan di sektor
produksi yang bersentuhan dengan kepentingan rakyat. Dari aspek sosial,
tingkat kepuasan atau ketidakpuasan masyarakat terhadap pemberantasan
korupsi berkorelasi langsung dengan kualitas pelayanan kepada publik di
bidang perizinan, empati dan simpati terhadap kejujuran, profesionalisme
dan integritas aparat penegak hukum, termasuk hakim.
Kepercayaan
masyarakat tidak tergantung pada hiruk-pikuknya LSM menyuarakan
ketidakberesan dalam proses penegakan hukum, tapi dipengaruhi oleh
tingkat kebenaran dan keabsahan substansi yang disuarakan. Aspek
politik, keberhasilan secara kuantitatif pemberantasan korupsi tidak ada
pengaruhnya terhadap stabilitas politik, justru sebaliknya, stabilitas
politik yang kuat sangat memengaruhi komitmen dan sikap pemerintah dalam
pemberantasan korupsi.
Paradigma yang KeliruDari
keempat aspek tersebut semakin jelas bahwa keberhasilan penegakan hukum
dalam pemberantasan korupsi tidak tergantung pada keberhasilan KPK,
Kejaksaan Agung atau Kepolisian RI. Keliru pandangan umum yang
berkembang bahwa pemberantasan korupsi semata-mata tergantung pada
penegakan hukum karena penegakan hukum justru sangat tergantung pada
stabilitas ekonomi, stabilitas sosial, dan stabilitas politik.
Bahkan
keberhasilan pemberantasan korupsi tidak ada hubungan sama sekali
dengan citra pemerintah, jika keberhasilan tersebut ditelikung oleh
tindakan amoral, diskriminatif, dan asosial oleh segelintir oknum
penegak hukum. Target pemberantasan korupsi yang ditetapkan melalui
instruksi presiden (inpres) dalam praktik justru telah menimbulkan ekses
penyalahgunaan kekuasaan, arogansi institusional, dan “kering” hati
nurani. Bahkan merupakan kebijakan yang keliru jika pencapaian target
telah dijadikan alasan untuk promosi, mutasi, dan degradasi jabatan
seorang penegak hukum. Diperlukan evaluasi dan koreksi terhadap
kebijakan sistem target keberhasilan pemberantasan korupsi di dalam
RPJMN 2010–2014, terutama dalam kaitan dampak positif terhadap iklim
pertumbuhan ekonomi dan investasi.
Laporan IMF tentang
perkembangan korupsi di Indonesia pada akhir 2010 belum cukup melegakan
kita semua karena IMF tidak mempertimbangkan kuantitas keberhasilan
menahan dan memenjarakan pelaku korupsi, melainkan IMF hanya mengukur
kualitas pelayanan publik di sektor perdagangan dan ekonomi, terutama
tingkat kepuasan dan kenyamanan berinvestasi di Indonesia.
Kelemahan StrategiDi
mana letak kelemahan strategi Indonesia dalam memberantas korupsi?
Kelemahan satu-satunya dan sangat strategis adalah sejak era reformasi
pembentukan KPK dan perubahan UU Antikorupsi serta penguatan UU Tindak
Pidana Pencucian Uang tidak diimbangi oleh strategi pencegahan yang
memadai dan pelaksanaan yang konsisten. Alhasil tidak dapat memberikan
hasil segera (quickyielding) dan kontributif terhadap keberhasilan
langkah hukum represif.
Akibat kelemahan ini maka keberhasilan
pemberantasan korupsi di hilir tidak mutatis mutandis refleksi
keberhasilan di hulu. Ketimpangan dan kesenjangan dua strategi di atas
menyebabkan rencana dan implementasi strategi pemberantasan korupsi
nasional selama ini terjebak dalam lingkaran ketidakberhasilan yang
tidak berujung (unending circle of unsuccessful result) dan otomatis
telah menghabiskan waktu dan anggaran yang tidak efisien dan efektif.
Keberhasilan yang telah dicapai selama ini belum mencerminkan suatu
strategi yang bersifat sistemik, terencana, dan komprehensif.
Yang
terjadi selama ini adalah keberhasilan sesaat dengan metode ”terapi
kejut”, yaitu dengan mengusung kasus korupsi penyelenggara negara yang
menarik perhatian masyarakat dan ekspose melalui media nasional. Sistem
terapi kejut, sesuai namanya, juga akan menghasilkan “kejutan sementara”
tapi tidak mencerminkan tujuan mulia dari pemberantasan korupsi itu
sendiri. Target menciptakan iklim birokrasi yang sehat dan bebas KKN
yang memberikan dampak nyata terhadap kesejahteraan rakyat—bukan sekadar
tontonan murahan—masih jauh.
Selain evaluasi dan koreksi
terhadap strategi nasional pemberantasan korupsi, perlu pula dilakukan
dengan mempertimbangkan sistem penegakan hukum dalam kasus korupsi di
negara-negara maju seperti di AS, Inggris, dan beberapa negara Uni
Eropa. Begitu pula perbandingan ke negara-negara di Asia seperti China
merupakan langkah yang tepat untuk dijalankan segera. Tingkat
keberhasilan pemberantasan korupsi level internasional terbanyak diraih
oleh negara-negara yang telah melaksanakan pelayanan publik secara
transparan, akuntabel, dan dijalankan oleh aparat birokrasi yang
memiliki integritas tinggi— diperkuat dengan tingkat kesejahteraan
aparat birokrasi yang memadai.
Pendekatan BaruKekuatan
negara maju dan keberhasilannya dalam pencegahan dan pemberantasan
korupsi telah dilengkapi dengan pendekatan baru penegakan hukum, yaitu
pendekatan analisis ekonomi yang menitikberatkan pada tiga komponen
yaitu, “maximization, equilibrium, and efficiency” (Cooter dan Allen,
2004). Keberhasilan penerapan ketiga komponen utama analisis ekonomi
tersebut di negara maju telah menghasilkan ketentuan baru mengenai
“injunction” dalam penanganan perkara tindak pidana suap (bribery)
seperti dalam kasus Monsanto (2007) dan kasus Innospec (2010) yang
diduga telah melakukan suap terhadap pejabat di Indonesia.
Sistem
“injunction” hanya menjatuhi denda administratif tanpa penuntutan
pidana, dan hanya mewajibkan tersangka memenuhi syarat antara lain
bersedia diaudit manajemen perusahaan dan restrukturisasi manajemen.
Ketidakpatuhan terhadap syarat tersebut diancam pidana penjara dan
pidana denda serta pencabutan izin usaha. Pendekatan ini pula yang telah
menghasilkan ketentuan baru tentang “transaksi” di dalam KUHP Belanda
(1996). Transaksi itu adalah diskresi kepada jaksa penuntut umum untuk
melakukan negosiasi tidak melakukan penuntutan.
Syaratnya,
terdakwa bersedia memberikan kompensasi terhadap korban atau terdakwa
bersedia harta kekayaannya yang berasal dari tindakan pidana dan setara
dengan kerugian yang diderita oleh negara atau korban disita, atau
terhadap tindak pidana dengan ancaman di bawah 6 tahun atau terhadap
terdakwa lanjut usia di atas 60 Tahun. Pola pendekatan analisis ekonomi
juga telah diterapkan di dalam KUHP Jepang dan Thailand. Di Thailand,
korban juga diberi hak oleh undang-undang dalam tindak pidana tertentu
untuk turut menentukan dilanjutkan atau tidaknya proses penyidikan dan
penuntutan.
Selain keseimbangan dua strategi pemberantasan
korupsi di atas, diperkuat juga dengan ketiga komponen utama pendekatan
analisis ekonomi bagi Indonesia yang masih memerlukan perubahan
paradigma dalam sistem peradilan pidana, yaitu dari paradigma keadilan
retributif kepada paradigma keadilan rehabilitatif dan restoratif. Ujung
penentu keberhasilan pendekatan analisis ekonomi dalam pemberantasan
korupsi adalah perilaku hakim yang memeriksa dan memutus perkara korupsi
harus mengedepankan pendekatan teori ekonomi daripada semata-mata
pendekatan teori legalistik-positivistik (Posner, 2008).
Masih Ada WaktuSaran-saran
perubahan strategi pemberantasan korupsi dengan pendekatan analisis
ekonomi yang dilandaskan pada ketiga prinsip tersebut sudah tentu
memerlukan kajian mendalam dengan mempertimbangkan faktor sosiologis,
psikologis, politik, ekonomi, dan budaya Indonesia. Namun harus juga
diingat, saran-saran perubahan strategi ini merupakan hasil pengamatan
sejak perubahan UU Nomor 3 Tahun 1971 sampai dengan perubahan UU Nomor
31 Tahun 1999 dan UU Nomor 20 Tahun 2001.
Selain itu, saran-saran
tersebut merujuk pada pengalaman buruk kinerja pemberantasan korupsi
sejak pemberlakuan undang-undang tersebut dibandingkan dengan dampak
positif dan konstruktif. Indikatornya bukan hanya keberhasilan
memenjarakan sejumlah koruptor besar dan kecil, melainkan dampak positif
terhadap iklim pembangunan nasional, terutama pembenahan dan
peningkatan pembangunan ekonomi nasional di tengah-tengah persaingan
ekonomi internasional.
Pertanyaan yang selalu muncul dari hasil
pengamatan penulis adalah, mengapa banyak instrumen internasional dalam
pencegahan dan pemberantasan korupsi—termasuk pencucian uang—tapi selalu
disertai sikap inkonsisten negara-negara maju yang notabene pengusul
inisiatif instrumen internasional tersebut dalam menerapkannya ke dalam
sistem hukum nasional masing-masing? Bahkan sikap inkonsisten ini juga
ditunjukkan dalam kerja sama internasional khusus pengalaman buruk upaya
pengembalian aset hasil korupsi yang pernah dialami oleh Nigeria,
Filipina, Afrika Selatan, juga Indonesia.
Sikap umum negara
berkembang yang selalu taat dan berkomitmen terhadap konvensi
internasional dalam pencegahan dan pemberantasan kejahatan
transnasional, termasuk korupsi dan pencucian uang, sering tidak
diimbangi oleh konsistensi sikap dan komitmen kuat dan sungguh-sungguh
dari negara-negara maju untuk mendukung keberhasilan pengembalian aset
hasil tindak pidana khusus korupsi, dengan alasan perbedaan sistem
hukum. Atas dasar pengamatan dan pengalaman ini pula dapat dikatakan
bahwa semakin kencang tekanan menerapkan paradigma retributif dalam
pemberantasan korupsi dan pencucian uang dan semakin longgar kerahasiaan
bank untuk tujuan tersebut maka semakin besar peluang (sudah menjadi
kenyataan) pelaku membawa kabur hasil jarahannya ke negara-negara maju
yang notabene adalah pengusul inisiatif konvensi internasional tersebut
di atas.
Sebaliknya yang terjadi justru di negara maju itulah
harta kekayaan hasil jarahan menikmati “perlindungan hukum” dan
kenyamanan untuk berbisnis dengan “uang haram” yang di Indonesia
dicari-cari sampai mati. Kontradiksi baik ipso iure dan ipso facto
sebagaimana diuraikan di atas seharusnya juga menjadi bahan pertimbangan
saran perubahan strategi pemberantasan korupsi di Indonesia untuk lima
tahun mendatang. Mumpung belum terlambat dan kebablasan.