Sosialita yang sejatinya bersosialisasi dengan kehidupan dan memberi
manfaat kepada orang lain justru saat ini banyak menimbulkan efek
negatif yakni melakukan tindak korupsi yang disebabkan karena faktor
‘politik’ dan gaya hidup glamor.
“Siapa pun mempunyai `bakat’ korupsi asalkan menemukan momentum (niat
dan kesempatan) yang tepat, dan kebetulan saat ini kebanyakan pelakunya
adalah perempuan dan laki-laki cerdas yang masuk dalam kelompok
sosialita,”
Sebagian perempuan dan laki-laki cerdas yang tersangkut kasus korupsi
biasanya terjebak dalam kondisi lingkungan politik yang sering
menjadikan aktor korupsi oleh sistem yang menyimpang. “Perempuan dan
laki-laki di dalam birokrasi dipaksa masuk dalam mata rantai korupsi
yang mengakar, karena birokrasi di Indonesia sampai kini tepat menjadi
mesin kepentingan kekuasaan,
Fenomena sejumlah perempuan dan laki-laki yang terlibat dalam
berbagai skandal korupsi tidak tepat lagi jika dibahas dengan
menggunakan sudut pandang relasi gender. Lebih mengena jika persoalan
ini diuraikan dengan mengerahkan perspektif sosiologis yang membahas
tentang kekuasaan dan perilaku menyimpang.
“Jadi korupsi, sebagai perilaku menyimpang, jelas sekali bertautan dengan persoalan kekuasaan,”
Laki-laki perempuan yang menduduki kekuasaan, baik secara politis maupun
bisnis, memiliki kesempatan yang lebih banyak berbuat korup
dibandingkan lelaki atau perempuan yang tidak berposisi sebagai penentu
dalam wilayah otoritas politik dan finansial yang dimilikinya.
“Intinya korupsi sangat jelas lebih berkaitan persoalan kekuasaan
daripada esensialistik keperempuanan. Siapa pun yang lebih berkuasa
pasti terdorong untuk melakukan aksi-aksi korupsi,”
Rudy Karetji
Direktur Eksekutif Nasional
KRAK Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar