Korupsi semakin menambah kesenjangan akibat memburuknya distribusi
kekayaan. Bila sekarang kesenjangan kaya dan miskin sudah sedemikian
menganga, maka korupsi makin melebarkan kesenjangan itu karena uang
terdistribusi secara tidak sehat atau dengan kata lain tidak mengikuti
kaedah-kaedah ekonomi sebagaimana mestinya. Koruptor makin kaya, yang
miskin semakin miskin. Akibat lainnya, karena uang seolah mudah
dipeoleh, sikap konsumtif menjadi semakin merangsang, tidak ada dorongan
kepada pola produktif, akhirnya timbul inefisiensi dalam pemanfaatan
sumber daya ekonomi yang telah tersedia.
Korupsi juga dituding sebagai penyebab utama keterpurukan bangsa ini.
Akibat perbuatan korup yang dilakukan segelintir orang maka kemudian
seluruh bangsa ini harus menanggung akibatnya. Ironisnya kalau dulu
korupsi hanya dilakukan oleh para pejabat dan hanya di tingkat pusat,
sekarang hampir semua orang baik itu pejabat pusat maupun daerah,
birokrat, pengusaha, bahkan rakyat biasa bisa melakukan korupsi.
Hal ini
bisa terjadi barangkali karena dahulu orang mengganggap bahwa yang bisa
korupsi hanya orang-orang orde baru sehingga mumpung sekarang orde baru
runtuh semua berlomba-lomba untuk ‘meniru’ perilaku korup yang
dilakukan orang-orang Orde Baru. Alasan lain yang hampir sama barangkali
seperti yang dipaparkan oleh Rieke Diyah Pitaloka dalam tesisnya bahwa
kekerasan yang dilakukan masyarakat sipil bukan sesuatu yang otonom,
tetapi ada disposisi antara aktor dan kekerasan itu sendiri. Artinya,
antara si penguasa dan pelaku kekerasan itu ada timbal balik, contohnya
adalah kasus korupsi.
Jadi ada semacam perpindahan kekerasan dari negara kepada
masyarakat. Perilaku korupsi yang dilakukan oleh hanya segelintir
pejabat negara akhirnya ‘berpindah’ dilakukan oleh masyarakat biasa. Hal
yang lebih berbahaya lagi, korupsi ini tidak hanya dilakukan oleh per
individu melainkan juga dilakukan secara bersama-sama tanpa rasa malu.
Misalnya korupsi yang dilakukan seluruh atau sebagian besar anggota
DPR/DPRD. Jadi korupsi dilakukan secara berjamaah. Yang lebih berbahaya
lagi sebenarnya adalah korupsi sistemik yang telah merambah ke seluruh
lapisan masyarakat dan sistem kemasyarakatan. Dalam segala proses
kemasyarakatan, Korupsi bisa terjadi apabila karena faktor-faktor
sebagai berikut:
a. Ketiadaan atau kelemahan kepemimpinan dalam posisi-posisi kunci yang mampu memberikan ilham dan
mempengaruhi tingkah laku yang menjinakkan korupsi.
b. Kelemahan pengajaran-pengajaran agama dan etika.
c. Kolonialisme.
d. Kurangnya pendidikan.
e. Kemiskinan.
f. Tiadanya hukuman yang keras.
g. Kelangkaan lingkungan yang subur untuk perilaku anti korupsi.
h. Struktur pemerintahan.
i. Perubahan radikal.
j. Keadaan masyarakat
Khususnya di Indonesia, adalah adanya perkembangan dan perbuatan
pembangunan khususnya di bidang ekonomi dan keuangan yang telah berjalan
dengan cepat, serta banyak menimbulkan berbagai perubahan dan
peningkatan kesejahteraan. Di samping itu, kebijakan-kebijakan
pemerintah, dalam upaya mendorong ekspor, peningkatan investasi melalui
fasilitas-fasilitas penanaman modal maupun kebijaksanaan dalam pemberian
kelonggaran, kemudahan dalam bidang perbankan, sering menjadi sasaran
dan faktor penyebab terjadinya korupsi.
Sedangkan faktor yang menyebabkan merajalelanya korupsi di negeri
ini, adalah adanya kenyataan bahwa birokrasi dan pejabat-pejabat politik
masih banyak didominasi oleh orang-orang lama. Lebih lanjut menurutnya
orang-orang yang pada masa Orde Baru ikut melakukan korupsi masih banyak
yang aktif di dalam proses politik dan pemerintahan. Upaya hukum untuk
membersihkan orang-orang korup itu juga gagal karena para penegak
hukumnya juga seharusnya adalah orang-orang yang harus dibersihkan.
Faktor lainnya adalah hukum yang dibuat tidak benar-benar untuk
kesejahteraan masyarakat, tetapi justru hukum dijadikan alat untuk
mengabdi kepada kekuasaan atau kepada orang-orang yang memiliki akses
pada kekuasaan dan para pemilik modal.
Sebaliknya masyarakat kecil tidak bisa merasakan keadilan hukum.
Hukum menampakkan ketegasannya hanya terhadap orang-orang kecil, lemah,
dan tidak punya akses, sementara jika berhadapan dengan orang-orang
‘kuat’, memiliki akses kekuasaan, memiliki modal, hukum menjadi lunak
dan bersahabat. Sehingga sering terdengar ucapan, seorang pencuri ayam
ditangkap, disiksa dan akhirnya dihukum penjara sementara para pejabat
korup yang berdasi tidak tersentuh oleh hukum. Namun demikian sebenarnya
usaha-usaha pemberantasan korupsi di Indonesia sudah banyak dilakukan,
tetapi hasilnya kurang begitu nampak. Walaupun begitu tidak boleh ada
kata menyerah untuk memberantas penyakit ini.
Oleh : Rudy Karetji
Tidak ada komentar:
Posting Komentar