Senin, 24 Desember 2012

Korupsi Kebijakan

Korupsi tradisional seperti mark up dana, memalsukan kuitansi, atau permainan suap di bawah tangan sangat mudah dideteksi. Namun korupsi modern itu menempatkan pejabat-pejabat korup di posisi strategis kemudian dijadikan sapi perah dengan menyuruhnya membuat kebijakan-kebijakan yang mengutungkan pihak-pihak sponsor yang menjadikannya mempunyai jabatan. Korupsi modern bermain dalam wilayah korupsi kebijakan.

Kebijakan yang harusnya menuai kebajikan malah hanya menjadi pembajakan. Pembajakan uang rakyat. Korupsi kebijakan ini sangat sulit dideteksi namun dampaknya sangat mudah diendus. Pihak-pihak yang selalu merasa diuntungkanlah yang memanen. Namun si pembuat kebijakan sendiri dapat lepas dari tuntutan dengan dalih independen, demi kepentingan bangsa, padahal hanya bualan belaka.

Modus korupsi bersifat win-win solution. Sebelum pejabat korup menduduki posisi dilakukan dahulu bergaining agreement, bahkan dia bisa mendapatkan DP nya terlebih dahulu. Baru kemudian saat menjabat, politik dagang sapinya mulai dimainkan. Para pelaku ini pun tak jauh-jauh dari mereka yang sering mendapat proyek dan tender dari pemerintah. Tender-tender yang menang tanpa mekanisme yang benar akan bisa menjadi buktinya.

Bayangkan saja, sebuah kebijakan yang akan menaikan suku bunga atau menurunkan suku bunga kredit, apakah serta merta itu kebijakan yang rasional dan memenuhi dahaga logika semata? Tentu tidak, pasti ada pihak yang diuntungkan ataupun dirugikan. Belum lagi kebijkan yang kontroversial seperti bailout sebuah bank yang bisa menyedot uang negara triliunan. Apakah itu semata untuk menyelamatkan kondisi perekonomian negara, atau malah menyelamatkan penjahat-penjahat berdasi yang terlibat dalam dinasti korupsi? Ini membutuhkan analisis yang lebih tajam lagi.

Lama-lama dinasti yang memainkan korupsi kebijakan ini juga akan meletus seperti bubble economy dalam madzab kapitalisme. Yang akan boom dan bust dalam suatu siklus yang bisa diprediksi. Dinasti ini harusnya lekas membaca sejarah panjang VOC yang menjajah negeri ini dimana akhirnya VOC hancur lebur karena ketamakan korupsinya sendiri. Korupsi ini berhasil mendidik pejabat-pejabatnya untuk tambah rakus, tamak, serakah dan semakin tidak bisa mengendalikan nafsunya.


Kalau fenomena kemiskinan hanya berdaya rusak pada matinya orang yang kurang gizi, kelaparan dan pengangguran. Atau mungkin hanya menimbulkan orang miskin terpaksa berbuat kejahatan yang lingkupnya pun hanya terbatas. Namun bagaimana dengan daya rusak korupsi kebijakan ini jika dibiarkan?
Tentunya sangat mengerikan. Uang berlimpah yang dinikmati oleh pejabat-pejabat korup yang sedang asyik di jabatan publik akan membuatnya menjadi orang yang tidak peduli lagi akan wabah kemiskinan, membiarkan kelaparan berkepanjangan, pengabaian kerusakan alam yang mengenaskan, dan acuh terhadap tragedi kemanusiaan yang harusnya bisa segera diselesaikan.

Sebelum itu semua terjadi dengan kiamat yang lebih besar, maka keberanian tegas dari pemimpin untuk benar-benar bersih dalam korupsi, tidak menjadi godfather dinasti korupsi dan demi menyelamatkan negeri ini dari daya rusak korupsi tersebut maka pembabatan habis korupsi harus diprioritaskan. Sudah saatnya pemimpin koruptor atau koruptor pemimpin dienyahkan dari bangsa ini.


Oleh Rudy Karetji
Direktur Eksekitif Nasional
Komite Rakyat Anti Korupsi Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar