Korupsi tradisional seperti mark up dana, memalsukan kuitansi, atau
permainan suap di bawah tangan sangat mudah dideteksi. Namun korupsi
modern itu menempatkan pejabat-pejabat korup di posisi strategis
kemudian dijadikan sapi perah dengan menyuruhnya membuat
kebijakan-kebijakan yang mengutungkan pihak-pihak sponsor yang
menjadikannya mempunyai jabatan. Korupsi modern bermain dalam wilayah
korupsi kebijakan.
Kebijakan yang harusnya menuai kebajikan malah hanya menjadi pembajakan.
Pembajakan uang rakyat. Korupsi kebijakan ini sangat sulit dideteksi
namun dampaknya sangat mudah diendus. Pihak-pihak yang selalu merasa
diuntungkanlah yang memanen. Namun si pembuat kebijakan sendiri dapat
lepas dari tuntutan dengan dalih independen, demi kepentingan bangsa,
padahal hanya bualan belaka.
Modus korupsi bersifat win-win solution. Sebelum pejabat korup
menduduki posisi dilakukan dahulu bergaining agreement, bahkan dia bisa
mendapatkan DP nya terlebih dahulu. Baru kemudian saat menjabat, politik
dagang sapinya mulai dimainkan. Para pelaku ini pun tak jauh-jauh dari
mereka yang sering mendapat proyek dan tender dari pemerintah.
Tender-tender yang menang tanpa mekanisme yang benar akan bisa menjadi
buktinya.
Bayangkan saja, sebuah kebijakan yang akan menaikan suku bunga atau
menurunkan suku bunga kredit, apakah serta merta itu kebijakan yang
rasional dan memenuhi dahaga logika semata? Tentu tidak, pasti ada pihak
yang diuntungkan ataupun dirugikan. Belum lagi kebijkan yang
kontroversial seperti bailout sebuah bank yang bisa menyedot uang negara
triliunan. Apakah itu semata untuk menyelamatkan kondisi perekonomian
negara, atau malah menyelamatkan penjahat-penjahat berdasi yang terlibat
dalam dinasti korupsi? Ini membutuhkan analisis yang lebih tajam lagi.
Lama-lama dinasti yang memainkan korupsi kebijakan ini juga akan
meletus seperti bubble economy dalam madzab kapitalisme. Yang akan boom
dan bust dalam suatu siklus yang bisa diprediksi. Dinasti ini harusnya
lekas membaca sejarah panjang VOC yang menjajah negeri ini dimana
akhirnya VOC hancur lebur karena ketamakan korupsinya sendiri. Korupsi
ini berhasil mendidik pejabat-pejabatnya untuk tambah rakus, tamak,
serakah dan semakin tidak bisa mengendalikan nafsunya.
Kalau fenomena kemiskinan hanya berdaya rusak pada matinya orang yang
kurang gizi, kelaparan dan pengangguran. Atau mungkin hanya menimbulkan
orang miskin terpaksa berbuat kejahatan yang lingkupnya pun hanya
terbatas. Namun bagaimana dengan daya rusak korupsi kebijakan ini jika
dibiarkan?
Tentunya sangat mengerikan. Uang berlimpah yang dinikmati oleh
pejabat-pejabat korup yang sedang asyik di jabatan publik akan
membuatnya menjadi orang yang tidak peduli lagi akan wabah kemiskinan,
membiarkan kelaparan berkepanjangan, pengabaian kerusakan alam yang
mengenaskan, dan acuh terhadap tragedi kemanusiaan yang harusnya bisa
segera diselesaikan.
Sebelum itu semua terjadi dengan kiamat yang lebih besar, maka
keberanian tegas dari pemimpin untuk benar-benar bersih dalam korupsi,
tidak menjadi godfather dinasti korupsi dan demi menyelamatkan negeri
ini dari daya rusak korupsi tersebut maka pembabatan habis korupsi harus
diprioritaskan. Sudah saatnya pemimpin koruptor atau koruptor pemimpin
dienyahkan dari bangsa ini.
Oleh Rudy Karetji
Direktur Eksekitif Nasional
Komite Rakyat Anti Korupsi Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar