Kamis, 27 Desember 2012

ANATOMI KORUPSI DAN SOLUSI

Upaya pemerintah dalam memberantas korupsi melalui pembentukan perundang-undangan dengan tiga kali perubahannya sampai saat ini masih belum menunjukkan tingkat keberhasilan memadai.

Ketidakberhasilan dimaksud dapat dilihat dari empat aspek: hukum, ekonomi, sosial, dan aspek politik. Aspek keberhasilan hukum bukan diukur dari jumlah perkara korupsi yang ditangani KPK dan Kejaksaan Agung setiap tahun, melainkan harus dilihat dari kualitas prosedur yang digunakan dalam menuntut dan menetapkan seseorang sebagai tersangka/terdakwa dan kualitas putusan pengadilan negeri, pengadilan tinggi, dan Mahkamah Agung. Kualitas prosedur saat ini masih belum mencerminkan kepastian hukum dan keadilan, terbukti masih adanya diskriminasi dan arogansi penyidik yang mencemari institusi.

Kualitas putusan pengadilan tidak hanya dilihat dari vonis bebas semata-mata, melainkan pula dari vonis hukuman yang sangat jauh dari keadilan hanya karena kegamangan integritas oleh keberadaan komisi yudisial dan kebebasan pers serta kritik sosial. Selain itu, yang sangat kontroversial dari sudut penemuan keadilan adalah jika putusan majelis hakim hanya demi popularitas semata. Keberhasilan secara kuantitas ipso iure belum berarti keberhasilan secara kualitatif. Sebaliknya, keberhasilan secara kualitatif mutatis mutandis keberhasilan secara kuantitatif.

Dalam konteks aspek ekonomi, keberhasilan secara kuantitatif pemberantasan korupsi tidak ipso facto memperkuat pertumbuhan ekonomi karena keberhasilan tersebut telah terbukti tidak berhasil mendorong pemerataan keadilan sosial. Ini terkait celah yang masih menganga untuk ber-KKN di sektor pelayanan publik dan di sektor produksi yang bersentuhan dengan kepentingan rakyat. Dari aspek sosial, tingkat kepuasan atau ketidakpuasan masyarakat terhadap pemberantasan korupsi berkorelasi langsung dengan kualitas pelayanan kepada publik di bidang perizinan, empati dan simpati terhadap kejujuran, profesionalisme dan integritas aparat penegak hukum, termasuk hakim.

Kepercayaan masyarakat tidak tergantung pada hiruk-pikuknya LSM menyuarakan ketidakberesan dalam proses penegakan hukum, tapi dipengaruhi oleh tingkat kebenaran dan keabsahan substansi yang disuarakan. Aspek politik, keberhasilan secara kuantitatif pemberantasan korupsi tidak ada pengaruhnya terhadap stabilitas politik, justru sebaliknya, stabilitas politik yang kuat sangat memengaruhi komitmen dan sikap pemerintah dalam pemberantasan korupsi.

Paradigma yang Keliru

Dari keempat aspek tersebut semakin jelas bahwa keberhasilan penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi tidak tergantung pada keberhasilan KPK, Kejaksaan Agung atau Kepolisian RI. Keliru pandangan umum yang berkembang bahwa pemberantasan korupsi semata-mata tergantung pada penegakan hukum karena penegakan hukum justru sangat tergantung pada stabilitas ekonomi, stabilitas sosial, dan stabilitas politik.

Bahkan keberhasilan pemberantasan korupsi tidak ada hubungan sama sekali dengan citra pemerintah, jika keberhasilan tersebut ditelikung oleh tindakan amoral, diskriminatif, dan asosial oleh segelintir oknum penegak hukum. Target pemberantasan korupsi yang ditetapkan melalui instruksi presiden (inpres) dalam praktik justru telah menimbulkan ekses penyalahgunaan kekuasaan, arogansi institusional, dan “kering” hati nurani. Bahkan merupakan kebijakan yang keliru jika pencapaian target telah dijadikan alasan untuk promosi, mutasi, dan degradasi jabatan seorang penegak hukum. Diperlukan evaluasi dan koreksi terhadap kebijakan sistem target keberhasilan pemberantasan korupsi di dalam RPJMN 2010–2014, terutama dalam kaitan dampak positif terhadap iklim pertumbuhan ekonomi dan investasi.

Laporan IMF tentang perkembangan korupsi di Indonesia pada akhir 2010 belum cukup melegakan kita semua karena IMF tidak mempertimbangkan kuantitas keberhasilan menahan dan memenjarakan pelaku korupsi, melainkan IMF hanya mengukur kualitas pelayanan publik di sektor perdagangan dan ekonomi, terutama tingkat kepuasan dan kenyamanan berinvestasi di Indonesia.

Kelemahan Strategi


Di mana letak kelemahan strategi Indonesia dalam memberantas korupsi? Kelemahan satu-satunya dan sangat strategis adalah sejak era reformasi pembentukan KPK dan perubahan UU Antikorupsi serta penguatan UU Tindak Pidana Pencucian Uang tidak diimbangi oleh strategi pencegahan yang memadai dan pelaksanaan yang konsisten. Alhasil tidak dapat memberikan hasil segera (quickyielding) dan kontributif terhadap keberhasilan langkah hukum represif.

Akibat kelemahan ini maka keberhasilan pemberantasan korupsi di hilir tidak mutatis mutandis refleksi keberhasilan di hulu. Ketimpangan dan kesenjangan dua strategi di atas menyebabkan rencana dan implementasi strategi pemberantasan korupsi nasional selama ini terjebak dalam lingkaran ketidakberhasilan yang tidak berujung (unending circle of unsuccessful result) dan otomatis telah menghabiskan waktu dan anggaran yang tidak efisien dan efektif. Keberhasilan yang telah dicapai selama ini belum mencerminkan suatu strategi yang bersifat sistemik, terencana, dan komprehensif.

Yang terjadi selama ini adalah keberhasilan sesaat dengan metode ”terapi kejut”, yaitu dengan mengusung kasus korupsi penyelenggara negara yang menarik perhatian masyarakat dan ekspose melalui media nasional. Sistem terapi kejut, sesuai namanya, juga akan menghasilkan “kejutan sementara” tapi tidak mencerminkan tujuan mulia dari pemberantasan korupsi itu sendiri. Target menciptakan iklim birokrasi yang sehat dan bebas KKN yang memberikan dampak nyata terhadap kesejahteraan rakyat—bukan sekadar tontonan murahan—masih jauh.

Selain evaluasi dan koreksi terhadap strategi nasional pemberantasan korupsi, perlu pula dilakukan dengan mempertimbangkan sistem penegakan hukum dalam kasus korupsi di negara-negara maju seperti di AS, Inggris, dan beberapa negara Uni Eropa. Begitu pula perbandingan ke negara-negara di Asia seperti China merupakan langkah yang tepat untuk dijalankan segera. Tingkat keberhasilan pemberantasan korupsi level internasional terbanyak diraih oleh negara-negara yang telah melaksanakan pelayanan publik secara transparan, akuntabel, dan dijalankan oleh aparat birokrasi yang memiliki integritas tinggi— diperkuat dengan tingkat kesejahteraan aparat birokrasi yang memadai.

Pendekatan Baru

Kekuatan negara maju dan keberhasilannya dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi telah dilengkapi dengan pendekatan baru penegakan hukum, yaitu pendekatan analisis ekonomi yang menitikberatkan pada tiga komponen yaitu, “maximization, equilibrium, and efficiency” (Cooter dan Allen, 2004). Keberhasilan penerapan ketiga komponen utama analisis ekonomi tersebut di negara maju telah menghasilkan ketentuan baru mengenai “injunction” dalam penanganan perkara tindak pidana suap (bribery) seperti dalam kasus Monsanto (2007) dan kasus Innospec (2010) yang diduga telah melakukan suap terhadap pejabat di Indonesia.

Sistem “injunction” hanya menjatuhi denda administratif tanpa penuntutan pidana, dan hanya mewajibkan tersangka memenuhi syarat antara lain bersedia diaudit manajemen perusahaan dan restrukturisasi manajemen. Ketidakpatuhan terhadap syarat tersebut diancam pidana penjara dan pidana denda serta pencabutan izin usaha. Pendekatan ini pula yang telah menghasilkan ketentuan baru tentang “transaksi” di dalam KUHP Belanda (1996). Transaksi itu adalah diskresi kepada jaksa penuntut umum untuk melakukan negosiasi tidak melakukan penuntutan.

Syaratnya, terdakwa bersedia memberikan kompensasi terhadap korban atau terdakwa bersedia harta kekayaannya yang berasal dari tindakan pidana dan setara dengan kerugian yang diderita oleh negara atau korban disita, atau terhadap tindak pidana dengan ancaman di bawah 6 tahun atau terhadap terdakwa lanjut usia di atas 60 Tahun. Pola pendekatan analisis ekonomi juga telah diterapkan di dalam KUHP Jepang dan Thailand. Di Thailand, korban juga diberi hak oleh undang-undang dalam tindak pidana tertentu untuk turut menentukan dilanjutkan atau tidaknya proses penyidikan dan penuntutan.

Selain keseimbangan dua strategi pemberantasan korupsi di atas, diperkuat juga dengan ketiga komponen utama pendekatan analisis ekonomi bagi Indonesia yang masih memerlukan perubahan paradigma dalam sistem peradilan pidana, yaitu dari paradigma keadilan retributif kepada paradigma keadilan rehabilitatif dan restoratif. Ujung penentu keberhasilan pendekatan analisis ekonomi dalam pemberantasan korupsi adalah perilaku hakim yang memeriksa dan memutus perkara korupsi harus mengedepankan pendekatan teori ekonomi daripada semata-mata pendekatan teori legalistik-positivistik (Posner, 2008).

Masih Ada Waktu

Saran-saran perubahan strategi pemberantasan korupsi dengan pendekatan analisis ekonomi yang dilandaskan pada ketiga prinsip tersebut sudah tentu memerlukan kajian mendalam dengan mempertimbangkan faktor sosiologis, psikologis, politik, ekonomi, dan budaya Indonesia. Namun harus juga diingat, saran-saran perubahan strategi ini merupakan hasil pengamatan sejak perubahan UU Nomor 3 Tahun 1971 sampai dengan perubahan UU Nomor 31 Tahun 1999 dan UU Nomor 20 Tahun 2001.

Selain itu, saran-saran tersebut merujuk pada pengalaman buruk kinerja pemberantasan korupsi sejak pemberlakuan undang-undang tersebut dibandingkan dengan dampak positif dan konstruktif. Indikatornya bukan hanya keberhasilan memenjarakan sejumlah koruptor besar dan kecil, melainkan dampak positif terhadap iklim pembangunan nasional, terutama pembenahan dan peningkatan pembangunan ekonomi nasional di tengah-tengah persaingan ekonomi internasional.

Pertanyaan yang selalu muncul dari hasil pengamatan penulis adalah, mengapa banyak instrumen internasional dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi—termasuk pencucian uang—tapi selalu disertai sikap inkonsisten negara-negara maju yang notabene pengusul inisiatif instrumen internasional tersebut dalam menerapkannya ke dalam sistem hukum nasional masing-masing? Bahkan sikap inkonsisten ini juga ditunjukkan dalam kerja sama internasional khusus pengalaman buruk upaya pengembalian aset hasil korupsi yang pernah dialami oleh Nigeria, Filipina, Afrika Selatan, juga Indonesia.

Sikap umum negara berkembang yang selalu taat dan berkomitmen terhadap konvensi internasional dalam pencegahan dan pemberantasan kejahatan transnasional, termasuk korupsi dan pencucian uang, sering tidak diimbangi oleh konsistensi sikap dan komitmen kuat dan sungguh-sungguh dari negara-negara maju untuk mendukung keberhasilan pengembalian aset hasil tindak pidana khusus korupsi, dengan alasan perbedaan sistem hukum. Atas dasar pengamatan dan pengalaman ini pula dapat dikatakan bahwa semakin kencang tekanan menerapkan paradigma retributif dalam pemberantasan korupsi dan pencucian uang dan semakin longgar kerahasiaan bank untuk tujuan tersebut maka semakin besar peluang (sudah menjadi kenyataan) pelaku membawa kabur hasil jarahannya ke negara-negara maju yang notabene adalah pengusul inisiatif konvensi internasional tersebut di atas.

Sebaliknya yang terjadi justru di negara maju itulah harta kekayaan hasil jarahan menikmati “perlindungan hukum” dan kenyamanan untuk berbisnis dengan “uang haram” yang di Indonesia dicari-cari sampai mati. Kontradiksi baik ipso iure dan ipso facto sebagaimana diuraikan di atas seharusnya juga menjadi bahan pertimbangan saran perubahan strategi pemberantasan korupsi di Indonesia untuk lima tahun mendatang. Mumpung belum terlambat dan kebablasan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar