Senin, 16 Desember 2013

“Korupsi Birokrasi dan Korupsi Politik di Indonesia Masih Tinggi”

Setiap tahun Transparency International (TI) meluncurkan Corruption Perception Index (CPI). Sejak diluncurkan pada tahun 1995, CPI digunakan oleh banyak negara sebagai referensi tentang situasi korupsi. CPI merupakan indeks gabungan yang mengukur persepsi korupsi secara global. Indeks gabungan ini berasal dari 13 (tiga belas) data korupsi yang dihasilkan oleh berbagai lembaga independen yang kredibel. CPI digunakan untuk membandingkan  kondisi korupsi di suatu negara terhadap negara lain. CPI mengukur tingkat persepsi korupsi di sektor publik, yaitu korupsi yang dilakukan oleh pejabat negara dan politisi.

CPI direpresentasikan dalam bentuk bobot skor/angka (score) dengan rentang 0-100. Skor 0 berarti negara dipersepsikan sangat korup, sementara skor 100 berarti dipersepsikan sangat bersih dari korupsi. Di tahun 2013, secara global terdapat enam (6) negara yang memiliki skor tertinggi. Negara-negara tersebut adalah Denmark (91), Finlandia (91), Selandia Baru (89), Swedia (89), Norwegia (86), dan Singapura (86). Negara dengan skor terendah terdapat 5 negara yaitu;  Sudan Selatan (14), Sudan (11), Afghanistan (8), Korea Utara (8) dan Somalia (8).

Tabel 1
Peringkat dan Skor Corruption Perception Index 2013
Peringkat Negara Skor
5 Singapura 86
15 Hong Kong 75
36 Taiwan 61
46 Korea Selatan 55
80 China 40
94 Filipina 36
114 Indonesia 32
116 Vietnam 31
119 Timor Leste 30
157 Myanmar 21
Sumber: Corruption Perception Index 2013

Pada tahun 2013 ini, skor CPI Indonesia sebesar 32. Indonesia menempati urutan 114 dari 177 negara yang diukur.

Negara lain yang memiliki skor sama dengan Indonesia adalah Mesir (32). Skor Indonesia sedikit lebih baik dari Albania (31), Nepal (31), Vietnam (31), dan sedikit lebih buruk dari Ethiopia (33), Kosovo (33), dan Tanzania (33). Sementara itu, di kawasan Asia Pasifik, Indonesia masih jauh berada di bawah Singapura (86), Hongkong (75), Taiwan (61), Korea Selatan (55), dan China (40). Di ASEAN, skor Indonesia jauh di bawah Brunei (60) dan Malaysia (50). Indonesia sedikit di bawah Filipina (36) dan Thailand (35). Namun skor Indonesia sedikit lebih baik dari Vietnam (31), Timor Leste (30), Laos (26) dan Myanmar (21).

Meskipun skor CPI 2013 Indonesia tidak beranjak dari skor tahun 2012 yaitu 32, namun Indonesia meningkat empat peringkat. Tahun 2012, Indonesia berada di peringkat 118 dari 176 negara dan di tahun 2013 peringkat Indonesia menjadi 114 dari 177 negara.

Skor CPI Indonesia selama dua tahun diukur dari efektifitas pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia. Di sisi lain optimisme publik dan keberhasilan KPK dalam upaya penegakan hukum memberikan warna lain. Upaya penegakan hukum di bidang korupsi politik dan korupsi di sektor strategis justru menguak tabir stagnasi tersebut.

Dalam satu tahun terakhir Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berhasil mengungkap kasus korupsi sektor hukum di Mahkamah Konstitusi (Akil Muchtar) dan Mahkamah Agung (Hakim Kartini dkk), Korupsi di Kepolisian (Djoko Susilo), Korupsi di Kejaksaan (Sistoyo); Korupsi di sektor politik (Nazaruddin, Waode Nurhayati, Zulkarnain Djabar, Angelina Sondakh, dan Andi Mallarangeng); dan Korupsi di sektor bisnis (Rudi Rubiandini, Ahmad Fatanah dan Hartati Murdaya).

Temuan Global Corruption Barometer 2013 (GCB 2013) menempatkan parlemen dan partai politik sebagai lembaga yang korup dalam persepsi dan pengalaman masyarakat. Parlemen menduduki peringkat kedua terkorup (setelah Kepolisian) dari 12 lembaga publik yang dinilai. Sementara partai politik berada pada peringkat ke-4 terkorup. Fakta dari CPI 2013 dan GCB 2013 menunjukkan bahwa pemerintahan SBY belum optimal dalam mendorong program Strategi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi (Stranas PPK). Stranas PPK belum menyentuh sektor politik dan sektor-sektor strategis lainnya seperti peradilan dan lembaga pelayanan publik.

Lemahnya koordinasi antar lembaga pemerintah mengakibatkan praktik korupsi dan suap masih tinggi di lembaga-lembaga publik. Di Indonesia, GCB 2013 menyebutkan 1 dari 3 orang yang berinteraksi dengan penyedia layanan publik di Indonesia masih melakukan praktek suap dengan berbagai alasan.

Maraknya praktik korupsi dan suap di lembaga publik secara tidak langsung mengancam Sistem Integritas Nasional (SIN). SIN tidak akan berjalan efektif saat upaya penegakan hukum dan pencegahan serta pemberantasan korupsi sering terganggu oleh problem politik. Pemerintah harus lebih keras lagi mendorong implementasi Stranas PPK sebagai bagian dari penerapan ratifikasi UNCAC. Pemerintahan SBY-Boediono harus dapat memastikan dampak program antikorupsi di penghujung kepemimpinannya juga keberlanjutan Stranas PPK 2012-2025 sebagai program jangka panjang.

Tahun 2013-2014 sebagai tahun politik dan transisi kekuasaan harus menjadi momentum pembenahan besar di ranah politik. Partai politik dan para kandidat calon anggota parlemen juga presiden/wakil presiden harus mengedepankan nilai integritas sebagai orientasi lembaga politik yang lebih bermartabat. Hal ini untuk menjawab harapan masyarakat yang tinggi terhadap integritas dan antikorupsi. Juga untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap lembaga politik yang kini terpuruk.

Untuk itu masyarakat harus bisa lebih kritis dalam mengawasi dan terlibat aktif dalam proses-proses politik menjelang Pemilu 2014 agar lebih transparan dan akuntabel.

Rudy Karetji

Tidak ada komentar:

Posting Komentar