Berbagai tindak korupsi yang tidak hanya merambah di dunia politik,
ekonomi dan usaha, birokrasi, tetapi juga sudah merambah ke dunia
peradilan seperti dalam kasus Akil Muhtar, eks Ketua Mahkamah
Konstitusi, menandakan bahwa lokus korupsi semakin menggurita. Termasuk
di lembaga kepolisian dalam kasus Irjen Djoko Susilo yang tersangkut
kasus simulator SIM.
Tak cukup itu, bidang yang bersentuhan dengan agamapun telah
tercemari dengan korupsi. Siapapun pasti miris dan mengelus dada dengan
adanya kasus korupsi pengadaan Al Quran, korupsi biaya nikah di KUA. Tak
beda halnya korupsi di dunia pendidikan yang akhir-akhir ini menjadi
banyak sorotan karena melibatkan orang cerdik pandai, kaum intelektual
dan orang berpendidikan lainya.
Lokus korupsi (tentunya juga kolusi dan nepotisme) telah meluas
seiring dengan bertambahnya aktor di berbagai bidang. Hampir semua
profesi di negeri ini terwakili oleh oknumnya. Tidak hanya pengusaha,
politisi, olahragawan, ekonom, birokrat, penegak hukum, tetapi juga
telah melibatkan agamawan agama, pendidik, dan lain sebagainya.
Modusnya pun semakin beragam. Bertemu di luar negeri, di hotel,
menggunakan pesan BBM, ketemu darat dan lain sebagainya. Alasan yang
digunakan pun beragam seperti untuk pemenangan partai, calon Pilkada,
investasi hingga kesenangan semata. Tak aneh bila istilah juga semakin
kreatif, seperti apel malang, apel washington, fustun, salam putih,
arbain milliar cash, dan lain sebagainya.
Belajar dari ribuan kasus yang sudah terungkap dan terselesaikan,
sudah saatnya dibuat telaah kritis menyangkut lokus terjadinya korupsi.
Telaah tersebut akan memudahkan publik mengenali, mengantisipasi dan
ikut menangani bila terjadi tindak korupsi. Publik perlu mengetahui
titik kritis terjadinya korupsi dari akar sampai ujung berdasarkan
praktek nyata yang terjadi.
Rudy Karetji
Direktur Eksekutif KRAK INDONESIA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar