Akar dari sikap korup adalah sisi-sisi gelap manusia sendiri yang
telah ditolak dan disangkal, sehingga kini merangsek keluar tanpa bisa
dikontrol, bahkan oleh manusia itu sendiri. Untuk itu dihadapan fenomena
korupsi, saya ingin mengajukan empat hal yang bisa dilakukan, supaya
sebagai bangsa, kita bisa “melampaui” korupsi. Sebelum itu saya akan
memetakan masalah korupsi yang menjadi tantangan utama banyak negara
sekarang ini.
Gelombang Kekecewaan
Di Indonesia kita sudah cukup sadar, bahwa korupsi terus terjadi,
karena sistem hukum kita amat lemah. Hukum berpihak pada siapa yang kuat
secara politis dan ekonomi. Bagi yang rakyat kebanyakan, keadilan hanya
berupa janji yang tak kunjung terwujud. Mereka pun jadi korban korupsi,
korban ketidakadilan, dan semakin sulit hidupnya dari hari ke hari.
Partai politik pun memiliki perilaku serupa. Menjelang Pemilu mereka
mengumbar janji pada rakyat. Rakyat yang mayoritas tak mampu berpikir
kritis pun percaya, dan mendukung mereka. Namun setelah dipilih dan
didukung oleh rakyat, partai politik bersikap korup, dan mengkhianati
janji mereka pada rakyat. Kekecewaan dan ketidakpercayaan pada
pemerintah yang berkuasa telah menjadi atmosfer yang melingkupi
masyarakat Indonesia sekarang ini.
Sebagai bangsa kita amat sulit mengontrol hasrat berkuasa dan
naluri-naluri gelap dalam diri kita. Kekuasaan meracuni motivasi banyak
orang, sehingga mereka tidak lagi bekerja dan berkarya dengan tulus,
namun dengan sikap korup dan tipu daya. Kenikmatan memikat kita untuk
mengejarnya, walaupun dengan meninggalkan nilai-nilai kemanusiaan yang
luhur. Perilaku kita tak jauh berbeda dengan perilaku hewan-hewan yang
tak punya pertimbangan rasional, dan semata tunduk pada hasrat-hasrat
dasariahnya.
Semua itu dibarengi dengan penyangkalan diri sosial yang terjadi di
masyaraka kita. Kita merasa semua baik-baik saja. Pejabat korup datang
dan kita menyambutnya dengan gegap gempita. Nasihat-nasihat moral agamis
dilontarkan untuk membius kita dari realitas gelap diri dan masyarakat
kita. Kita malu mengakui bahwa kita bersikap munafik di dalam berbagai
bidang kehidupan.
Kita bahkan tidak mengenal diri kita lagi. Apa atau siapa itu bangsa
Indonesia? Kita malu mengakui bahwa kita punya banyak sekali kesalahan
di dalam menata bangsa ini. Masa lalu yang gelap kita lupakan; kita
anggap tidak ada. Orang-orang berlomba untuk sekolah dan bekerja di luar
negeri, karena malu tinggal di negeri ini. Bangsa kita menyangkal diri
terus menerus, dan kehilangan dirinya sendiri di dalam penyangkalan
tersebut.
Karena menyangkal diri, maka kita sendiri amat asing dengan diri kita
sendiri. Berbagai solusi untuk menyelesaikan masalah bangsa hanya
menyentuh permukaan belaka. Akar masalah tetap tak tersentuh, bahkan
diabaikan atas nama stabilitas dan harmoni semu. Masalah-masalah
mendesak seperti korupsi di berbagai bidang pun tak lagi terkontrol, dan
skalanya semakin luas serta semakin dalam.
Kita terjebak dalam lingkaran setan dekadensi diri. Dalam banyak hal
kita tidak lagi beraspirasi untuk menjadi luhur dan agung, namun justru
menjadi semakin rakus dan jahat. Orang merasa bangga jika bisa kaya
dalam sesaat, karena menipu atau korupsi. Kita seakan terjebak pada
perlombaan untuk menjadi yang paling bejat. Dalam situasi yang amat
hitam ini, apa yang mesti dilakukan?
Melampaui Korupsi
Langkah pertama adalah dengan melakukan pembenahan secara agresif
pada dua lembaga publik di Indonesia, yakni partai politik dan sistem
hukum. Dua lembaga publik tersebut harus dipaksa untuk mengikuti kaidah
etik mereka sebagai pelayan rakyat untuk mencapai keadilan dan
kemakmuran bersama. Dalam hal ini rakyat harus berani mengorganisir
diri, dan memaksakan agenda tersebut ke berbagai partai politik maupun
sistem hukum yang ada, mulai dari polisi, kejaksaan, pengadilan, sampai
dengan Mahkamah Agung. Maka partisipasi politik yang konsisten amat
diperlukan.
Pada level yang lebih individual, menurut saya, kita perlu mengenali
dan mengakui sisi-sisi gelap yang ada di dalam diri kita, sekaligus yang
ada di dalam diri setiap manusia. Setidaknya ada lima sisi gelap
manusia, yakni hasrat berkuasa yang bercokol di dalam dirinya, nafsu
untuk meraup kenikmatan, sisi hewani yang tak tertata, kemalasan dan
ketidakberpikiran manusia, dan kekosongan jiwa manusia. Dari lima sisi
gelap ini, kita bisa melihat bagaimana kejahatan menorehkan jejaknya
dalam sejarah manusia, dan akhirnya berubah menjadi kejahatan sistemik
yang mengakar begitu dalam dan begitu luas dalam masyarakat.
Berikutnya kita harus mampu mengelola beragam sisi gelap tersebut.
Tata kelola dimulai dengan pengenalan. Orang yang menyangkal bahwa
dirinya memiliki kemungkinan untuk berbuat jahat justru biasanya akan
menjadi pelaku kejahatan. Maka untuk bisa mengelola dirinya dengan baik,
orang perlu mengenali sisi-sisi jahat yang bercokol di dalam dirinya.
Kemunafikan adalah akar terdalam dari kejahatan.
Cara mengelola adalah dengan mengangkat dorongan-dorongan gelap
manusia itu menjadi sesuatu yang bisa diterima oleh masyarakat. Misalnya
dorongan untuk berkuasa bisa diangkat menjadi dorongan untuk mencipta
hal-hal yang berguna untuk masyarakat luas. Dorongan untuk mencapai
kenikmatan diangkat dari dorongan untuk menunda kenikmatan-kenikmatan
rendah jangka pendek menjadi kenikmatan yang bersifat jangka panjang,
dan memberikan kebaikan pada orang lain. Inilah yang saya sebut sebagai
transendensi diri.
Transendensi Diri
Transendensi diri juga dapat dilihat sebagai upaya manusia untuk
bergerak melampaui sisi-sisi gelapnya, dan membiarkan dirinya dibimbing
oleh nilai-nilai luhur kehidupan yang lahir dari konteks komunitas
hidupnya. Transendensi diri setiap pribadi adalah kunci utama untuk
sungguh melenyapkan korupsi sampai ke akarnya. Pelbagai upaya politik,
hukum, dan ekonomi untuk melenyapkan korupsi akan sia-sia, jika rakyat
di suatu negara tunduk pada sisi-sisi gelap dirinya.
Transendensi diri juga berarti membiarkan diri dibimbing oleh
kesadaran dan akal budi. Dengan proses ini orang tidak lagi menjadi
budak dari sisi-sisi gelapnya, dan dipermainkan oleh hasrat manusia yang
memang tak pernah terpuaskan. Tentu saja untuk hidup, kita perlu
hasrat. Hasrat adalah sumber energi yang mendorong kita untuk hidup dan
mencipta. Namun hasrat bukanlah binatang jinak yang bisa dibiarkan tanpa
kontrol
Saya menyarankan agar kita semua belajar untuk mengenali
dorongan-dorongan berkuasa, berburu nikmat, gejolak sisi-sisi hewani,
kemalasan berpikir, dan kekosongan jiwa kita sebagai manusia. Semua itu
harus diakui dan dikenali. Setelah itu kita perlu untuk membangun niat,
komitmen, serta teknik untuk menata dan melampaui sisi-sisi gelap yang
bercokol di dalam diri kita, maupun diri semua manusia tersebut.
Teknik yang saya tawarkan adalah transendensi diri. Awalnya adalah
pengenalan dan berakhir pada pelampauan. Hanya dengan begini korupsi
bisa kita tumpas sampai ke akar-akarnya. Saya bermimpi suatu saat nanti,
masyarakat dunia akan sungguh terbebas dari permasalahan korupsi.
Semoga ini bukan mimpi belaka.
Rudy Karetji
Direktur Eksekutif
Komite Rakyat Anti Korupsi Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar