Pemberantasan korupsi, yang merupakan salah satu butir tuntutan
reformasi, sampai saat ini belum menjadi prioritas utama program aksi
pemerintah. Alih-alih bisa memberantas korupsi, pemerintah tampaknya
malah terjebak dalam perilaku korup itu sendiri. Bahkan seperti
disinyalir banyak pihak, realitas bau busuk korupsi di sekeliling mereka
tercium kian tajam.
Sedikitnya ada dua penyebab ketidakmampuan (impotensi) pemerintah
memberantas korupsi.
Pertama, korupsi sangat lekat dengan kekuasaan,
kewenangan dan pemilikan senjata, dimana kesemuanya dimiliki oleh
pemerintah beserta jajaran perangkat hukumnya seperti kejaksaan,
kepolisian, kehakiman dan sejumlah lembaga pengawasan. Artinya, pihak
yang paling potensial melakukan korupsi adalah pemerintah. Pada saat
perilaku korup sudah menjadi budaya pemerintahan, maka setiap usaha pemberantasan korupsi sama halnya dengan bunuh diri.
Kedua, pemberantasan korupsi sulit dilakukan karena perilaku korup
merupakan suatu hubungan dualitas struktur (bukan sistem) dan pelaku.
Karena sifatnya yang merupakan dualitas, pelaku dan struktur saling
mengandaikan. Jika korupsi bersifat dualisme, pelaku dan struktur akan
saling bertentangan. Namun karena berbentuk dualitas, pelaku dan
struktur saling mengandaikan dan keduanya merupakan faktor yang berperan
penting dalam perkembagan praktik-praktik korupsi tersebut.
Dualitas Struktur dan Pelaku
Perilaku korup pada dasarnya merupakan struktur yang terdapat dalam
rasio pelaku sebagai hasil sedimentasi dari perulangan praktik korupsi
yang berjalan dari waktu ke waktu. Praktik korupsi yang bisa dilakukan
berulang-ulang oleh pelaku ini, memiliki implikasi pada terbaliknya cara
pikir. Nikmat pribadi karena pemilikan materi yang berlimpah, disertai
dengan miskinnya kesadaran moral, akhirnya menyeret pelaku pada
keyakinan bahwa melakukan korupsi lebih rasional dibanding
menghindarinya. Semakin banyak pengalaman korupsi, semakin wajar dan
rasional pula perilaku tersebut di mata pelakunya.
Penilaian masyarakat yang telah terkena dampak kapitalisme dan
materialisme, yang meletakan standar kesuksesan seseorang dari harta
kekayaan yang dimiliki, menambah kuat rasionalitas korupsi ini. Standar
ini memicu semangat pelaku untuk memiliki materi yang sebanyak-banyaknya
dengan cara apapun, bahkan dengan cara yang melanggar aturan dan hukum.
Kita dapat mengatakan bahwa keserakahan terhadap materi ini juga
diakibatkan oleh implikasi dari budaya kapitalisme yang sangat
mengagungkan harta milik. Sejumlah pengamat menilai bahwa biang keladi
korupsi adalah kapitalisme serta sekutu sejarahnya, yaitu, kolonialisme.
Meskipun kita tidak dapat sepenuhnya menyalahkan
kapitalisme, namun hampir tidak dapat dipungkiri bahwa munculnya
fenomena kerakusan akan harta di masyarakat kontemporer, yang sebagian
diantaranya mengakibatkan tindakan korupsi, sebagian disumbang oleh budaya kapitalisme.
Struktur perilaku korup yang telah terbentuk dalam rasio pelaku
tersebut kemudian menjadi sarana praktik sosial berikutnya. Berdasarkan
pada rasionalitas bahwa tindakan korupsi adalah normal, wajar, dan telah
membudaya, pelaku tidak segan-segan lagi melakukan korupsi selanjutnya.
Seperti telah dikatakan di atas, rasionalitas menjadi terbalik,
perilaku korupsi menjadi rasional, sedangkan tindakan menghindari
korupsi malah menjadi tidak rasional karena berarti menyia-nyiakan
kesempatan untuk mendapatkan materi.
Rasionalitas subjektif pelaku seperti ini pada akhirnya akan menular
pada orang-orang di sekitarnya. Pada saat perilaku korup telah menjadi
rasionalitas subjektif dari banyak pelaku, berarti telah terbentuk
semacam rasionalitas objektif bahwa normal dan wajar saja melakukan
korupsi. Apabila rasionalitas perilaku korupsi telah mendekati tahap
objektif ini, perilaku korupsi cenderung dilakukan dengan sangat
sistematis. Dengan tidak malu-malu, pelaku seperti ini mencari orang
yang bisa diajak kerjasama melakukan korupsi. Hal ini mematahkan asumsi
bahwa karakteristik korupsi adalah dilakukan secara diam-diam dan
personal. Asumsi tersebut mengatakan bahwa seseorang tidak akan berani
mengajak orang lain berbuat korupsi karena orang yang diajak tersebut
akan tahu perilaku korup yang dilakukannya.
Seiring dengan bertambah sistematis dan terorganisirnya perilaku
korupsi, akhirnya tindakan tercela tersebut dilakukan dalam suatu
jaringan kerja. Dengan tidak malu-malu, mereka mengatur strategi agar
ada aliran uang masuk ke dalam rekening jaringan tersebut untuk kemudian
dibagi-bagi diantara mereka.
Pertama, berdasarkan
informasi dari seorang wartawan investigatif asing, mengungkapkan
bahwa jaringan korupsi tersistematis terdapat juga di Bappenas dan
melibatkan pejabat dari lembaga internasional. Pejabat dari lembaga
internasional tersebut bekerjasama dengan beberapa pejabat Bappenas
memanfaatkan dana utangan yang masih belum terpakai (
yang berasal dari informasi wartawan tersebut, besar dana utangan yang
belum terpakai ketika itu sebesar US$ 600 juta) untuk menciptakan
proyek-proyek yang pasti disetujui. Proyek-proyek tersebut tentu
diwarnai mark-up dan pembocoran dengan sepengetahuan para ahli asing
tersebut, karena mereka tergabung dalam komplotan koruptor itu.
Kedua, Menurut Pak Kwik Bahwa ada suatu bank BUMN yang memiliki
sistem yang sangat bagus. Dari transaksi perbankan sehari-hari, para
pejabat bank tersebut mengetahui bahwa setiap kliring antar cabang yang
dilakukannya tidak pernah menghasilkan saldo kliring antar cabang yang
nihil. Berdasarkan kesepakatan mereka, dibuat rekening khusus yang
berfungsi sebagai “keranjang sampah” supaya semua buku ditutup dengan
saldo kliring nol. Ternyata saldo rekening tersebut luar
biasa besarnya. Akhirnya dibuat suatu sistem dan program komputer yang
kerjanya membagi isi rekening tersebut ke seluruh rekening direksi
sampai kepala bagian bank tersebut secara “adil” dan rapi.
Ketiga, korupsi yang terjadi di perpajakan, dimana
pendapatan pajak secara keseluruhan untuk Tahun Anggaran 2003 sekitar
240 triliun rupiah. Korupsi di perpajakan berawal dari penentuan jumlah
pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak yang ditentukan bersama antara
pejabat pajak dan wajib pajak. Contoh bahwa pada saat jumlah
pajak sudah disetujui, misalnya sebesar 400 juta, sering kali yang
masuk ke kas negara hanya, misalnya 100 juta. Pembayar pajak diberi
tanda terima dari kas negara dan dijamin tidak diganggu lagi. Dari
contoh tersebut terlihat bahwa 75 persen pajak dikorupsi oleh pejabat
pajak yang tentu saja ini tidak dilakukan sendiri, melainkan dalam suatu
jaringan. Kalau diasumsikan bahwa yang dikorupsi hanya 50 persen dan
penerimaan pajak tahun 2003 yang berjumlah sebesar 240 triliun, maka
kita akan tahu bahwa korupsi di perpajakan mencapai angka 240 triliun,
suatu angka yang luar biasa besarnya.
Tiga contoh tersebut menggambarkan betapa sistematisnya praktik
korupsi yang dilakukan oleh orang-orang pemerintah. Korupsi telah
dilakukan dengan berlandaskan pada kesepakatan bersama para pengambil
kebijakan di organisasi tersebut. Luar biasa, korupsi telah terstruktur
dalam setiap rasio pelaku sehingga telah menjadi rasio objektif dalam
organisasi. Apabila terus berlangsung, struktur tersebut akan berkembang
dan tertanam semakin kuat, dan akan menjadi sarana praktik korupsi
berikutnya. Rantai dualitas struktur dan pelaku korupsi ini hanya bisa
diputus dengan mengubah struktur dalam rasio pelaku.
Perubahan Struktur
Perubahan yang harus dilakukan agar korupsi dapat diberantas, atau
paling tidak, dapat diminimalisir, adalah dengan mengubah struktur yang
ada dalam rasionalitas pelaku dengan cara menanamkan pengertian bahwa
tindakan korupsi adalah melanggar hukum dan moralitas. Untuk mengubah
struktur, kita terlebih dahulu harus mengenali apa itu struktur.
Struktur terdiri dari aturan dan sumber daya. Struktur ini di satu
sisi terbentuk dari perulangan praktik sosial, di sisi lain membentuk
praktik sosial itu sendiri. Struktur yang terdiri dari aturan dan sumber
daya ini, pada akhirnya dapat dilihat sebagai sifat atau ciri-ciri dari
sistem sosial. Dengan kata lain, sistem sosial
merupakan pelembagaan dari struktur, yang terdiri dari aturan dan sumber
daya.
Jadi, struktur korupsi adalah aturan dan sumber daya yang terdapat
dalam rasio pelaku sebagai hasil sedimentasi dari perulangan praktik
korupsi yang berjalan dari waktu ke waktu. Struktur yang terbentuk dari
perulangan praktik korupsi ini, selanjutnya akan menjadi sarana praktik
korupsi berikutnya. Struktur korupsi ini pada akhirnya dapat dilihat
sebagai sifat atau ciri-ciri dari sistem yang korup. Sistem yang korup
merupakan pelembagaan dari struktur korupsi, yaitu aturan-aturan dan
sumber daya yang korup.
Berdasarkan uraian tersebut, menghilangkan korupsi hanya bisa
dilakukan dengan perubahan yang sistemik. Perubahan sistemik ini hanya
bisa dilakukan dengan melakukan perubahan struktur. Kita harus
membongkar struktur tersebut dan “mempretelinya” bagian per bagian.
Setelah ditemukan bagian per bagiannya, kita dapat melakukan perubahan
pada tiap bagian tersebut.
Struktur fragmentasi menjadi tiga, yaitu,
penandaan/signifikasi (signification), penguasaan/dominasi (domination),
dan pembenaran/legitimasi (legitimation).
Mengacu pada pembagian ini, dalam melakukan perubahan struktur,
termasuk struktur korupsi, kita harus melakukannya dengan cara merubah
tiga komponen struktur ini. Dalam tiga bagian struktur ini, sedikitnya
ada enam hal yang harus dilakukan perubahan agar korupsi dapat
diberantas.
Dari struktur signifikasi, ada satu hal yang harus diubah, yaitu,
struktur rasionalitas subjektif (yang di Indonesia sekarang ini
tampaknya telah menjadi rasionalitas objektif) yang beranggapan bahwa
korupsi adalah perbuatan yang rasional. Rasio tersebut harus diubah
menjadi keyakinan bahwa perbuatan korupsi adalah tidak rasional. Pelaku
korupsi harus disadarkan bahwa perilakunya tidak rasional karena resiko
yang begitu berat yang akan dihadapinya, yaitu, bukan hanya penjara
tetapi juga pelanggengan pemiskinan masyarakat. Namun keberhasilan upaya
penyadaran ini sangat ditentukan oleh keseriusan para penegak hukum
mempraktekkan Law Enforcement.
Untuk memperkuat Law Enforcement, perubahan struktur rasionalitas
dari subjek ini harus dilakukan. Perubahan ini paling mungkin dilakukan
oleh masyarakat, yaitu, dengan meningkatkan sikap kritis mereka terhadap
tindakan korupsi. Sikap kritis ini harus dijaga keberlangsungannya
dengan cara membentuk sebanyak mungkin simpul-simpul di masyarakat yang
bisa mengawasi setiap praktik pemerintahan. Kehadiran Komite Ralyat Anti Korupsi Indonesia (KRAK Indonesia) semoga merupakan darah segar bagi usaha memerangi
korupsi. Namun tidak cukup dengan KRAK Indonesia dan ICW, diperlukan simpul-simpul
lain di masyarakat yang bersedia berperang melawan para koruptor.
Idealnya dalam satu Kabupaten/Kota terdapat satu simpul.
Simpul-simpul yang menjadi kontrol eksternal pemerintah ini akan
efektif apabila dibantu oleh pers. Dengan kritisisme mereka yang tinggi,
diharapkan birokrat bermental korup akan “tiarap” dan tidak berani
melakukan tindakan korupsi, serta para penegak hukum akan berani untuk
menindak para koruptor tersebut. Pressure publik yang demikian merupakan
dorongan moral yang penting untuk menekan praktik korupsi.
Dari struktur dominasi, sedikitnya ada tiga hal yang harus diubah
dalam rangka pemberantasan korupsi. Ketiga hal tersebut adalah
pemangkasan mata rantai perizinan, menghilangkan budaya feodalisme, dan
mendesentralisasikan kekuasaan secara radikal.
Pertama, pemangkasan mata rantai pengurusan perizinan. Perizinan
dimata birokrat yang korup adalah alat yang ampuh untuk memeras pihak
yang memerlukan. Perizinan menciptakan suatu hubungan ketergantungan antara pemberi
izin dan yang memerlukan izin. Hubungan ketergantungan ini merangsang
pemberi izin yang korup untuk “jual mahal”. Sementara yang memerlukan
izin akan menghitung-hitung untung dan rugi transaksi tersebut. Pendek
kata, birokrasi perizinan yang sekarang sangat berbelit-belit dan
panjang harus dipangkas.
Dengan memangkas mata rantai perizinan, jumlah
“aksi jual mahal” dari birokrat korup akan berkurang.
Kedua, menghilangkan budaya feodalisme. Feodalisme harus dihilangkan
karena korupsi dalam iklim yang feudal merupakan suatu hal yang tidak
terlarang. Pada dasarnya feodalisme tidak mengenal korupsi. Dalam alam
feodal, misalnya dalam kerajaan, Raja adalah pemilik kerajaan tersebut,
termasuk manusia yang menjadi warganya. Apa yang dilakukan raja,
termasuk mempergunakan kekuasaan untuk kepentingan sendiri adalah
tindakan yang sah.
Apabila budaya feodal tetap dipelihara, segala perilaku pemegang
kekuasaan akan menjadi sah-sah saja. Hal ini tentu tidak bisa dibiarkan
hidup di alam demokrasi. Pemerintah dan rakyat yang diperintah
memiliki kedudukan yang sejajar, meskipun rakyat tetap berkewajiban
menaati pemerintahnya. Pemerintah bukan pemilik segala-galanya yang ada
dalam wilayah kekuasaannya, melainkan hanyalah “pelayan rakyat” yang
harus mengabdikan dirinya kepada kepentingan umum.
Ketiga, mengubah bentuk negara dari kesatuan menjadi federal.
Kekuasaan yang tersentralistik sangat rawan korupsi. Otonomi daerah yang
telah memasuki tahun ke empat ternyata tidak sepenuh hati dilaksanakan,
baik dibidang ekonomi maupun politik. Data dan peristiwa, baik dibidang
ekonomi maupun di bidang politik, menunjukkan bahwa sentralisme
kekuasaan itu tetap berlangsung.
Di bidang ekonomi, dari data pengelolaan keuangan publik di Indonesia
yang diolah terungkap bahwa pemerintah
pusat, yang diwakili oleh BPPN, Menteri BUMN dan berbagai instansi pusat
lainnya, mengendalikan hampir 95 persen dari seluruh komponen keuangan
publik di negeri ini. Dari sejumlah Rp. 1800 triliun uang negara, yang
dikelola daerah hanya Rp. 90 triliun saja. Artinya, hanya 5 persen dari
keuangan publik yang dikelola oleh daerah.
Di bidang politik, sentralisme kekuasaan terjadi pada berbagai proses
politik yang terjadi di daerah. Dalam proses pemilihan kepala daerah,
misalnya, sangat kental dengan campur tangan pusat. Dalam hampir setiap
pemilihan, kepala daerah terpilih adalah calon yang didukung pusat.
Orang daerah tidak memiliki kebebasan untuk menentukan sendiri kepala
daerahnya karena apabila berseberangan dengan keinginan pusat, dirinya
akan mengalami nasib buruk, yaitu, tersingkir dari kancah politik daerah yang sedang “dinikmatinya”.
Setelah mencermati sentralisme kekuasaan yang begitu parah, baik
dibidang ekonomi maupun politik, dimana sentralisme ini merupakan salah
satu penyebab merebaknya korupsi tersistematis, strategi penanggulangan
korupsi harus dilakukan secara revolusioner. Memotong rantai korupsi
yang telah begitu tersistematis tersebut hanya bisa dilakukan dengan
mengubah lokus kekuasaan dari yang sekarang ini berada di pusat menjadi
di daerah. Artinya bentuk negara harus diubah dari negara kesatuan
menjadi federal.
Lokus kekuasaan yang berada di daerah menjadikan setiap daerah
memiliki kebebasan untuk menentukan kebijakannya sendiri. Pemerintah
federal (pusat) menerima kekuasaan pada bidang-bidang yang diserahkan
daerah kepadanya, kemudian segala kebijakan pusat pada bidang-bidang itu
wajib ditaati oleh seluruh daerah. Dengan menganut federalisme ini,
tidak ada lagi pusat kekuasaan. Setiap daerah provinsi merupakan negara
bagian yang berhak mengurus rumah tangga sendiri. Hirarki dan pola pikir
sentralistis yang terdapat dalam negara kesatuan akan hilang, sehingga
kedudukan pusat dan daerah akan menjadi sejajar.
Setelah tidak ada lagi hirarki kekuasaan, jaringan kerja para
koruptor yang sekarang berbentuk rantai korupsi dan terbentang dengan
kuatnya dari pusat ke daerah akan terputus. Korupi akan dapat
dilokalisir pada tiap negara bagian. Setelah itu, penanganan korupsi
menjadi tanggung jawab setiap pemerintahan negara bagian. Dari struktur legitimasi, sedikitnya ada dua hal yang harus diubah,
yaitu, undang-undang dan institusi.
Pertama, mengubah sistem
perundang-undangan dari lunak menjadi keras terhadap korupsi. Hukuman
terhadap koruptor harus merupakan hukuman yang paling berat, yaitu,
hukuman mati. Sebab kalau tidak, tindakan mereka akan mengakibatkan
kematian bagi negara ini.
Selain itu, diperlukan cara pembuktian terbalik. Dalam hal harta
kekayaan seorang pejabat, misalnya, dengan cara pembuktian terbalik,
bisa dituduhkan kepadanya bahwa hartanya itu diperoleh dari korupsi.
Tertuduh harus membuktikan ketidakbenaran tuduhan korupsi yang menimpa
dirinya itu. Apabila dia tidak bisa membuktikan bahwa tuduhan itu tidak
benar, dia resmi sebagai pelaku korupsi dan kepadanya dijatuhkan hukuman
yang berat.
Kedua, memperkuat otoritas institusi pemberantasan korupsi dengan
dukungan penuh dari pemimpin nasional. Keberhasilan pemberantasan
korupsi sangat ditentukan oleh political will penguasa. Jika penguasa
ketika berhadapan dengan kasus korupsi banyak melakukan perhitungan
politik dan mengedepankan kepentingan politik tersebut dalam rangka
mempertahankan kekuasaan, dapat dipastikan korupsi tidak akan dapat
diberantas. Penguasa “busuk” seperti ini bukannya memanfaatkan kekuasaan
politik yang dimilikinya untuk penegakkan hukum, malah sebaliknya,
hukum dipakainya untuk mencapai atau mempertahankan kekuasaan
politiknya.
Koruptor kelas kakap yang memiliki keterkaitan kepentingan politik
dengan dia, cenderung lepas dari jeratan hukum. Dalam kondisi seperti
ini, supremasi hukum hanya isapan jempol belaka. Penguasa meneriakan
supremasi hukum hanya kalau hal itu menguntungkan posisi kekuasaannya.
Penguasa seperti ini hanya berpegang pada prinsip-prinsip Machiavelian
dimana supremasi kekuasaan adalah yang utama. Dia menempatkan prinsip
hukum dan moralitas di bawah kepentingan politiknya. Jika kondisinya
seperti ini, usaha apapun yang dilakukan untuk memberantas korupsi, akan
sia-sia.
Jadi, pemberantasan korupsi harus digerakan atau paling tidak
didukung dengan sepenuh hati oleh penguasa. Korupsi tidak akan berhasil, jika tidak
ada sejumlah individu yang punya prinsip tinggi yang menduduki
posisi-posisi kunci dan vital untuk keberhasilan usaha ini”. Dalam
konteks Indonesia, pemihakan dan dorongan yang kuat untuk pemberantasan
korupsi ini harus datang dari pemimpin nasional, dalam hal ini presiden.
Tanpa dukungan tersebut, institusi manapun yang berniat memberantas
korupsi, seperti KPK, kepolisin, kejaksaan dan pengadilan, tidak akan
berhasil.
Catatan Akhir
Pemberantasan korupsi harus dilakukan secara sistemik dengan cara
melakukan perubahan pada struktur dan pelaku yang dualitas hubungan
keduanya menentukan wajah sistem. Upaya memerangi korupsi ini harus
digerakan serta didukung sepenuhnya oleh presiden dan pejabat yang
menduduki posisi-posisi kunci seperti menteri, kepala kepolisian, kepala
kejaksaan, Ketua Mahkamah Agung, dan Ketua-Ketua Pengadilan, selain
tentunya, ketua dan anggota Komisi Pemberantasan Korupsi. Mereka harus
mengedepankan supremasi hukum di atas kekuasaan dan kepentingan lainnya.
Oleh Rudy Karetji
Direktur Eksekutif
Komite Rakyat Anti Korupsi Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar