Kamis, 03 Januari 2013

Pemberantasan Korupsi: Tinjauan Dualitas Struktur dan Pelaku

Pemberantasan korupsi, yang merupakan salah satu butir tuntutan reformasi, sampai saat ini belum menjadi prioritas utama program aksi pemerintah. Alih-alih bisa memberantas korupsi, pemerintah tampaknya malah terjebak dalam perilaku korup itu sendiri. Bahkan seperti disinyalir banyak pihak, realitas bau busuk korupsi di sekeliling mereka tercium kian tajam.

Sedikitnya ada dua penyebab ketidakmampuan (impotensi) pemerintah memberantas korupsi.

Pertama, korupsi sangat lekat dengan kekuasaan, kewenangan dan pemilikan senjata, dimana kesemuanya dimiliki oleh pemerintah beserta jajaran perangkat hukumnya seperti kejaksaan, kepolisian, kehakiman dan sejumlah lembaga pengawasan. Artinya, pihak yang paling potensial melakukan korupsi adalah pemerintah. Pada saat perilaku korup sudah menjadi budaya pemerintahan, maka setiap usaha pemberantasan korupsi sama halnya dengan bunuh diri.

Kedua, pemberantasan korupsi sulit dilakukan karena perilaku korup merupakan suatu hubungan dualitas struktur (bukan sistem) dan pelaku. Karena sifatnya yang merupakan dualitas, pelaku dan struktur saling mengandaikan. Jika korupsi bersifat dualisme, pelaku dan struktur akan saling bertentangan. Namun karena berbentuk dualitas, pelaku dan struktur saling mengandaikan dan keduanya merupakan faktor yang berperan penting dalam perkembagan praktik-praktik korupsi tersebut.

Dualitas Struktur dan Pelaku

Perilaku korup pada dasarnya merupakan struktur yang terdapat dalam rasio pelaku sebagai hasil sedimentasi dari perulangan praktik korupsi yang berjalan dari waktu ke waktu. Praktik korupsi yang bisa dilakukan berulang-ulang oleh pelaku ini, memiliki implikasi pada terbaliknya cara pikir. Nikmat pribadi karena pemilikan materi yang berlimpah, disertai dengan miskinnya kesadaran moral, akhirnya menyeret pelaku pada keyakinan bahwa melakukan korupsi lebih rasional dibanding menghindarinya. Semakin banyak pengalaman korupsi, semakin wajar dan rasional pula perilaku tersebut di mata pelakunya.

Penilaian masyarakat yang telah terkena dampak kapitalisme dan materialisme, yang meletakan standar kesuksesan seseorang dari harta kekayaan yang dimiliki, menambah kuat rasionalitas korupsi ini. Standar ini memicu semangat pelaku untuk memiliki materi yang sebanyak-banyaknya dengan cara apapun, bahkan dengan cara yang melanggar aturan dan hukum. Kita dapat mengatakan bahwa keserakahan terhadap materi ini juga diakibatkan oleh implikasi dari budaya kapitalisme yang sangat mengagungkan harta milik. Sejumlah pengamat menilai bahwa biang keladi korupsi adalah kapitalisme serta sekutu sejarahnya, yaitu, kolonialisme.

Meskipun kita tidak dapat sepenuhnya menyalahkan kapitalisme, namun hampir tidak dapat dipungkiri bahwa munculnya fenomena kerakusan akan harta di masyarakat kontemporer, yang sebagian diantaranya mengakibatkan tindakan korupsi, sebagian disumbang oleh budaya kapitalisme.

Struktur perilaku korup yang telah terbentuk dalam rasio pelaku tersebut kemudian menjadi sarana praktik sosial berikutnya. Berdasarkan pada rasionalitas bahwa tindakan korupsi adalah normal, wajar, dan telah membudaya, pelaku tidak segan-segan lagi melakukan korupsi selanjutnya. Seperti telah dikatakan di atas, rasionalitas menjadi terbalik, perilaku korupsi menjadi rasional, sedangkan tindakan menghindari korupsi malah menjadi tidak rasional karena berarti menyia-nyiakan kesempatan untuk mendapatkan materi.

Rasionalitas subjektif pelaku seperti ini pada akhirnya akan menular pada orang-orang di sekitarnya. Pada saat perilaku korup telah menjadi rasionalitas subjektif dari banyak pelaku, berarti telah terbentuk semacam rasionalitas objektif bahwa normal dan wajar saja melakukan korupsi. Apabila rasionalitas perilaku korupsi telah mendekati tahap objektif ini, perilaku korupsi cenderung dilakukan dengan sangat sistematis. Dengan tidak malu-malu, pelaku seperti ini mencari orang yang bisa diajak kerjasama melakukan korupsi. Hal ini mematahkan asumsi bahwa karakteristik korupsi adalah dilakukan secara diam-diam dan personal. Asumsi tersebut mengatakan bahwa seseorang tidak akan berani mengajak orang lain berbuat korupsi karena orang yang diajak tersebut akan tahu perilaku korup yang dilakukannya.

Seiring dengan bertambah sistematis dan terorganisirnya perilaku korupsi, akhirnya tindakan tercela tersebut dilakukan dalam suatu jaringan kerja. Dengan tidak malu-malu, mereka mengatur strategi agar ada aliran uang masuk ke dalam rekening jaringan tersebut untuk kemudian dibagi-bagi diantara mereka.

Pertama, berdasarkan informasi dari seorang wartawan investigatif asing, mengungkapkan bahwa jaringan korupsi tersistematis terdapat juga di Bappenas dan melibatkan pejabat dari lembaga internasional. Pejabat dari lembaga internasional tersebut bekerjasama dengan beberapa pejabat Bappenas memanfaatkan dana utangan yang masih belum terpakai ( yang berasal dari informasi wartawan tersebut, besar dana utangan yang belum terpakai ketika itu sebesar US$ 600 juta) untuk menciptakan proyek-proyek yang pasti disetujui. Proyek-proyek tersebut tentu diwarnai mark-up dan pembocoran dengan sepengetahuan para ahli asing tersebut, karena mereka tergabung dalam komplotan koruptor itu.

Kedua, Menurut Pak Kwik Bahwa ada suatu bank BUMN yang memiliki sistem yang sangat bagus. Dari transaksi perbankan sehari-hari, para pejabat bank tersebut mengetahui bahwa setiap kliring antar cabang yang dilakukannya tidak pernah menghasilkan saldo kliring antar cabang yang nihil. Berdasarkan kesepakatan mereka, dibuat rekening khusus yang berfungsi sebagai “keranjang sampah” supaya semua buku ditutup dengan saldo kliring nol. Ternyata saldo rekening tersebut luar biasa besarnya. Akhirnya dibuat suatu sistem dan program komputer yang kerjanya membagi isi rekening tersebut ke seluruh rekening direksi sampai kepala bagian bank tersebut secara “adil” dan rapi.

Ketiga, korupsi yang terjadi di perpajakan, dimana pendapatan pajak secara keseluruhan untuk Tahun Anggaran 2003 sekitar 240 triliun rupiah. Korupsi di perpajakan berawal dari penentuan jumlah pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak yang ditentukan bersama antara pejabat pajak dan wajib pajak. Contoh bahwa pada saat jumlah pajak sudah disetujui, misalnya sebesar 400 juta, sering kali yang masuk ke kas negara hanya, misalnya 100 juta. Pembayar pajak diberi tanda terima dari kas negara dan dijamin tidak diganggu lagi. Dari contoh tersebut terlihat bahwa 75 persen pajak dikorupsi oleh pejabat pajak yang tentu saja ini tidak dilakukan sendiri, melainkan dalam suatu jaringan. Kalau diasumsikan bahwa yang dikorupsi hanya 50 persen dan penerimaan pajak tahun 2003 yang berjumlah sebesar 240 triliun, maka kita akan tahu bahwa korupsi di perpajakan mencapai angka 240 triliun, suatu angka yang luar biasa besarnya.

Tiga contoh tersebut menggambarkan betapa sistematisnya praktik korupsi yang dilakukan oleh orang-orang pemerintah. Korupsi telah dilakukan dengan berlandaskan pada kesepakatan bersama para pengambil kebijakan di organisasi tersebut. Luar biasa, korupsi telah terstruktur dalam setiap rasio pelaku sehingga telah menjadi rasio objektif dalam organisasi. Apabila terus berlangsung, struktur tersebut akan berkembang dan tertanam semakin kuat, dan akan menjadi sarana praktik korupsi berikutnya. Rantai dualitas struktur dan pelaku korupsi ini hanya bisa diputus dengan mengubah struktur dalam rasio pelaku.

Perubahan Struktur

Perubahan yang harus dilakukan agar korupsi dapat diberantas, atau paling tidak, dapat diminimalisir, adalah dengan mengubah struktur yang ada dalam rasionalitas pelaku dengan cara menanamkan pengertian bahwa tindakan korupsi adalah melanggar hukum dan moralitas. Untuk mengubah struktur, kita terlebih dahulu harus mengenali apa itu struktur.

Struktur terdiri dari aturan dan sumber daya. Struktur ini di satu sisi terbentuk dari perulangan praktik sosial, di sisi lain membentuk praktik sosial itu sendiri. Struktur yang terdiri dari aturan dan sumber daya ini, pada akhirnya dapat dilihat sebagai sifat atau ciri-ciri dari sistem sosial. Dengan kata lain, sistem sosial merupakan pelembagaan dari struktur, yang terdiri dari aturan dan sumber daya.

Jadi, struktur korupsi adalah aturan dan sumber daya yang terdapat dalam rasio pelaku sebagai hasil sedimentasi dari perulangan praktik korupsi yang berjalan dari waktu ke waktu. Struktur yang terbentuk dari perulangan praktik korupsi ini, selanjutnya akan menjadi sarana praktik korupsi berikutnya. Struktur korupsi ini pada akhirnya dapat dilihat sebagai sifat atau ciri-ciri dari sistem yang korup. Sistem yang korup merupakan pelembagaan dari struktur korupsi, yaitu aturan-aturan dan sumber daya yang korup.

Berdasarkan uraian tersebut, menghilangkan korupsi hanya bisa dilakukan dengan perubahan yang sistemik. Perubahan sistemik ini hanya bisa dilakukan dengan melakukan perubahan struktur. Kita harus membongkar struktur tersebut dan “mempretelinya” bagian per bagian. Setelah ditemukan bagian per bagiannya, kita dapat melakukan perubahan pada tiap bagian tersebut.

Struktur fragmentasi menjadi tiga, yaitu, penandaan/signifikasi (signification), penguasaan/dominasi (domination), dan pembenaran/legitimasi (legitimation). Mengacu pada pembagian ini, dalam melakukan perubahan struktur, termasuk struktur korupsi, kita harus melakukannya dengan cara merubah tiga komponen struktur ini. Dalam tiga bagian struktur ini, sedikitnya ada enam hal yang harus dilakukan perubahan agar korupsi dapat diberantas.

Dari struktur signifikasi, ada satu hal yang harus diubah, yaitu, struktur rasionalitas subjektif (yang di Indonesia sekarang ini tampaknya telah menjadi rasionalitas objektif) yang beranggapan bahwa korupsi adalah perbuatan yang rasional. Rasio tersebut harus diubah menjadi keyakinan bahwa perbuatan korupsi adalah tidak rasional. Pelaku korupsi harus disadarkan bahwa perilakunya tidak rasional karena resiko yang begitu berat yang akan dihadapinya, yaitu, bukan hanya penjara tetapi juga pelanggengan pemiskinan masyarakat. Namun keberhasilan upaya penyadaran ini sangat ditentukan oleh keseriusan para penegak hukum mempraktekkan Law Enforcement.

Untuk memperkuat Law Enforcement, perubahan struktur rasionalitas dari subjek ini harus dilakukan. Perubahan ini paling mungkin dilakukan oleh masyarakat, yaitu, dengan meningkatkan sikap kritis mereka terhadap tindakan korupsi. Sikap kritis ini harus dijaga keberlangsungannya dengan cara membentuk sebanyak mungkin simpul-simpul di masyarakat yang bisa mengawasi setiap praktik pemerintahan. Kehadiran Komite Ralyat Anti Korupsi Indonesia (KRAK Indonesia) semoga merupakan darah segar bagi usaha memerangi korupsi. Namun tidak cukup dengan KRAK Indonesia dan ICW, diperlukan simpul-simpul lain di masyarakat yang bersedia berperang melawan para koruptor. Idealnya dalam satu Kabupaten/Kota terdapat satu simpul.

Simpul-simpul yang menjadi kontrol eksternal pemerintah ini akan efektif apabila dibantu oleh pers. Dengan kritisisme mereka yang tinggi, diharapkan birokrat bermental korup akan “tiarap” dan tidak berani melakukan tindakan korupsi, serta para penegak hukum akan berani untuk menindak para koruptor tersebut. Pressure publik yang demikian merupakan dorongan moral yang penting untuk menekan praktik korupsi.
Dari struktur dominasi, sedikitnya ada tiga hal yang harus diubah dalam rangka pemberantasan korupsi. Ketiga hal tersebut adalah pemangkasan mata rantai perizinan, menghilangkan budaya feodalisme, dan mendesentralisasikan kekuasaan secara radikal.

Pertama, pemangkasan mata rantai pengurusan perizinan. Perizinan dimata birokrat yang korup adalah alat yang ampuh untuk memeras pihak yang memerlukan. Perizinan menciptakan suatu hubungan ketergantungan antara pemberi izin dan yang memerlukan izin. Hubungan ketergantungan ini merangsang pemberi izin yang korup untuk “jual mahal”. Sementara yang memerlukan izin akan menghitung-hitung untung dan rugi transaksi tersebut. Pendek kata, birokrasi perizinan yang sekarang sangat berbelit-belit dan panjang harus dipangkas.
Dengan memangkas mata rantai perizinan, jumlah “aksi jual mahal” dari birokrat korup akan berkurang.

Kedua, menghilangkan budaya feodalisme. Feodalisme harus dihilangkan karena korupsi dalam iklim yang feudal merupakan suatu hal yang tidak terlarang. Pada dasarnya feodalisme tidak mengenal korupsi. Dalam alam feodal, misalnya dalam kerajaan, Raja adalah pemilik kerajaan tersebut, termasuk manusia yang menjadi warganya. Apa yang dilakukan raja, termasuk mempergunakan kekuasaan untuk kepentingan sendiri adalah tindakan yang sah.

Apabila budaya feodal tetap dipelihara, segala perilaku pemegang kekuasaan akan menjadi sah-sah saja. Hal ini tentu tidak bisa dibiarkan hidup di alam demokrasi. Pemerintah dan rakyat yang diperintah memiliki kedudukan yang sejajar, meskipun rakyat tetap berkewajiban menaati pemerintahnya. Pemerintah bukan pemilik segala-galanya yang ada dalam wilayah kekuasaannya, melainkan hanyalah “pelayan rakyat” yang harus mengabdikan dirinya kepada kepentingan umum.

Ketiga, mengubah bentuk negara dari kesatuan menjadi federal. Kekuasaan yang tersentralistik sangat rawan korupsi. Otonomi daerah yang telah memasuki tahun ke empat ternyata tidak sepenuh hati dilaksanakan, baik dibidang ekonomi maupun politik. Data dan peristiwa, baik dibidang ekonomi maupun di bidang politik, menunjukkan bahwa sentralisme kekuasaan itu tetap berlangsung.

Di bidang ekonomi, dari data pengelolaan keuangan publik di Indonesia yang diolah terungkap bahwa pemerintah pusat, yang diwakili oleh BPPN, Menteri BUMN dan berbagai instansi pusat lainnya, mengendalikan hampir 95 persen dari seluruh komponen keuangan publik di negeri ini. Dari sejumlah Rp. 1800 triliun uang negara, yang dikelola daerah hanya Rp. 90 triliun saja. Artinya, hanya 5 persen dari keuangan publik yang dikelola oleh daerah.

Di bidang politik, sentralisme kekuasaan terjadi pada berbagai proses politik yang terjadi di daerah. Dalam proses pemilihan kepala daerah, misalnya, sangat kental dengan campur tangan pusat. Dalam hampir setiap pemilihan, kepala daerah terpilih adalah calon yang didukung pusat. Orang daerah tidak memiliki kebebasan untuk menentukan sendiri kepala daerahnya karena apabila berseberangan dengan keinginan pusat, dirinya akan mengalami nasib buruk, yaitu, tersingkir dari kancah politik daerah yang sedang “dinikmatinya”.

Setelah mencermati sentralisme kekuasaan yang begitu parah, baik dibidang ekonomi maupun politik, dimana sentralisme ini merupakan salah satu penyebab merebaknya korupsi tersistematis, strategi penanggulangan korupsi harus dilakukan secara revolusioner. Memotong rantai korupsi yang telah begitu tersistematis tersebut hanya bisa dilakukan dengan mengubah lokus kekuasaan dari yang sekarang ini berada di pusat menjadi di daerah. Artinya bentuk negara harus diubah dari negara kesatuan menjadi federal.

Lokus kekuasaan yang berada di daerah menjadikan setiap daerah memiliki kebebasan untuk menentukan kebijakannya sendiri. Pemerintah federal (pusat) menerima kekuasaan pada bidang-bidang yang diserahkan daerah kepadanya, kemudian segala kebijakan pusat pada bidang-bidang itu wajib ditaati oleh seluruh daerah. Dengan menganut federalisme ini, tidak ada lagi pusat kekuasaan. Setiap daerah provinsi merupakan negara bagian yang berhak mengurus rumah tangga sendiri. Hirarki dan pola pikir sentralistis yang terdapat dalam negara kesatuan akan hilang, sehingga kedudukan pusat dan daerah akan menjadi sejajar.

Setelah tidak ada lagi hirarki kekuasaan, jaringan kerja para koruptor yang sekarang berbentuk rantai korupsi dan terbentang dengan kuatnya dari pusat ke daerah akan terputus. Korupi akan dapat dilokalisir pada tiap negara bagian. Setelah itu, penanganan korupsi menjadi tanggung jawab setiap pemerintahan negara bagian. Dari struktur legitimasi, sedikitnya ada dua hal yang harus diubah, yaitu, undang-undang dan institusi.

Pertama, mengubah sistem perundang-undangan dari lunak menjadi keras terhadap korupsi. Hukuman terhadap koruptor harus merupakan hukuman yang paling berat, yaitu, hukuman mati. Sebab kalau tidak, tindakan mereka akan mengakibatkan kematian bagi negara ini.

Selain itu, diperlukan cara pembuktian terbalik. Dalam hal harta kekayaan seorang pejabat, misalnya, dengan cara pembuktian terbalik, bisa dituduhkan kepadanya bahwa hartanya itu diperoleh dari korupsi. Tertuduh harus membuktikan ketidakbenaran tuduhan korupsi yang menimpa dirinya itu. Apabila dia tidak bisa membuktikan bahwa tuduhan itu tidak benar, dia resmi sebagai pelaku korupsi dan kepadanya dijatuhkan hukuman yang berat.

Kedua, memperkuat otoritas institusi pemberantasan korupsi dengan dukungan penuh dari pemimpin nasional. Keberhasilan pemberantasan korupsi sangat ditentukan oleh political will penguasa. Jika penguasa ketika berhadapan dengan kasus korupsi banyak melakukan perhitungan politik dan mengedepankan kepentingan politik tersebut dalam rangka mempertahankan kekuasaan, dapat dipastikan korupsi tidak akan dapat diberantas. Penguasa “busuk” seperti ini bukannya memanfaatkan kekuasaan politik yang dimilikinya untuk penegakkan hukum, malah sebaliknya, hukum dipakainya untuk mencapai atau mempertahankan kekuasaan politiknya.

Koruptor kelas kakap yang memiliki keterkaitan kepentingan politik dengan dia, cenderung lepas dari jeratan hukum. Dalam kondisi seperti ini, supremasi hukum hanya isapan jempol belaka. Penguasa meneriakan supremasi hukum hanya kalau hal itu menguntungkan posisi kekuasaannya. Penguasa seperti ini hanya berpegang pada prinsip-prinsip Machiavelian dimana supremasi kekuasaan adalah yang utama. Dia menempatkan prinsip hukum dan moralitas di bawah kepentingan politiknya. Jika kondisinya seperti ini, usaha apapun yang dilakukan untuk memberantas korupsi, akan sia-sia.

Jadi, pemberantasan korupsi harus digerakan atau paling tidak didukung dengan sepenuh hati oleh penguasa. Korupsi tidak akan berhasil, jika tidak ada sejumlah individu yang punya prinsip tinggi yang menduduki posisi-posisi kunci dan vital untuk keberhasilan usaha ini”. Dalam konteks Indonesia, pemihakan dan dorongan yang kuat untuk pemberantasan korupsi ini harus datang dari pemimpin nasional, dalam hal ini presiden. Tanpa dukungan tersebut, institusi manapun yang berniat memberantas korupsi, seperti KPK, kepolisin, kejaksaan dan pengadilan, tidak akan berhasil.

Catatan Akhir

Pemberantasan korupsi harus dilakukan secara sistemik dengan cara melakukan perubahan pada struktur dan pelaku yang dualitas hubungan keduanya menentukan wajah sistem. Upaya memerangi korupsi ini harus digerakan serta didukung sepenuhnya oleh presiden dan pejabat yang menduduki posisi-posisi kunci seperti menteri, kepala kepolisian, kepala kejaksaan, Ketua Mahkamah Agung, dan Ketua-Ketua Pengadilan, selain tentunya, ketua dan anggota Komisi Pemberantasan Korupsi. Mereka harus mengedepankan supremasi hukum di atas kekuasaan dan kepentingan lainnya.

Oleh Rudy Karetji
Direktur Eksekutif
Komite Rakyat Anti Korupsi Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar