Menurut pasal 1
Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang kitab undang-undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP), Hakim adalah pejabat Peradilan Negara yang diberi wewenang oleh
undang-undang untuk mengadili. Kemudian kata “mengadili” sebagai rangakaian
tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara berdasarkan asas
bebas, jujur, dan tidak memihak dalam sidang suatu perkara dan menjunjung
tinggi 3 (tiga) asas peradilan yaitu sederhana, cepat dan biaya ringan.
Profesi Hakim adalah
profesi dengan pekerjaan kemanusiaan yang tidak boleh jatuh kedalam
dehumanizing yang bersifat logic mechanical hingga dapat terperosok pada jurang
alienasi hukum dari manusia dan kemanusiaan itu sendiri. Hakim bertanggung
jawab untuk mengembalikan hukum kepada pemilik hukum itu yaitu manusia. Hukum
untuk manusia sebagai alat untuk mewujudkan kesejahteraan manusia, bukan hukum
untuk hukum itu sendiri.
Hakim merupakan salah satu
obyek studi sosiologi hukum. Dimana masyarakat banyak yang mencibir sinis dan
pesimis namun ada juga yang menaruh harapan terhadap putusan hakim dalam suatu
perkara. Banyak masalah yang memicu kekecewaan masyarakat, salah satunya adalah
bagaimana hakim memutuskan perkara-perkara yang bisa mengundang pro dan kontra
dalam masyarakat luas. Jangan sampai putusan itu mematikan rasa keadilan
masyarakat.
Kerap sekali terjadi terutama terhadap perkara – perkara yang mendapat perhatian masyarakat luas. Bisa saja sebuah putusan dianggap tidak adil dan dianggap sarat dengan nuansa koruptif dan kolutif.
Kerap sekali terjadi terutama terhadap perkara – perkara yang mendapat perhatian masyarakat luas. Bisa saja sebuah putusan dianggap tidak adil dan dianggap sarat dengan nuansa koruptif dan kolutif.
Secara umum anggapan itu
adalah sah – sah saja, setidaknya ada alasan dari masyarakat yaitu telah hampir
hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan, disebabkan
terbongkarnya berbagai kasus penyuapan yang melibatkan aparat Pengadilan,
terutama hakim. Oleh karena itu seorang hakim dalam memutus suatu perkara harus
mempertimbangkan kebenaran yuridis (hukum) dengan kebenaran fisolofis
(keadilan). Seorang Hakim harus membuat keputusan – keputusan yang adil dan
bijaksana dengan mempeertimbangkan implikasi hukum dan dampaknya yang terjadi
dalam masyarakat.
Kepastian hukum menekankan
agar hukum atau peraturan ditegakan sebagaimana yang diinginkan oleh bunyi
hukum/peraturannya. Fiat Justitia et pereat mundus (meskipun dunia ini runtuh
hukum harus ditegakkan). Adapun nilai sosiologis menekankan kepada kemanfaatan
bagi masyarakat.
Didalam memutus sebuah
perkara dan mempertimbangkan layak tidaknya seseorang dijatuhi pidana seorang
hakim didasarkan oleh keyakinan hakim dan tidak hanya berdasarkan bukti – bukti
yang ada.
Secara normatif,
pengadilan adalah tempat untuk mendapatkan keadilan. Hal itu tersandang dari
namanya “pengadilan” dan dari irah-irah putusan Hakim yang menjadi gawangnya.
Menurut irah-irah itu, dalam menyelesaikan perkara Hakim tidak bekerja “demi
hukum” atau “demi undang-undang”, melainkan “Demi Keadilan Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Frase “Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa” menjadi simbol bahwa Hakim bekerja mewakili Tuhan Yang
Maha Esa. Frase itu juga menjadi jaminan bahwa Hakim dalam menyelesaikan
perkara akan bekerja secara jujur, bersih, dan adil karena ia mengatas namakan
Tuhan. Sebab jika tidak demikian, maka Hakim yang tidak berlaku jujur, bersih,
dan adil, kelak di “pengadilan terakhir” ia harus mempertanggungjawabkan
perbuatan dan perilakunya di hadapan Tuhan Yang Maha Adil.
Putusan pengadilan adalah
penyataan hakim yang diucapkan pada sidang pengadilan yang terbuka untuk umum
untuk menyelesaikan atau mengakhiri suatu perkara. Putusan dapat dijatuhkan
setelah pemeriksaan perkara selesai dan oleh pihak-pihak yang berperkara sudah
tidak ada lagi yang ingin dikemukakan. Putusan pengadilan merupakan suatu yang
sangat diharapkan oleh pihak-pihak yang berperkara, sebab dengan putusan
pengadilan tersebut pihak-pihak yang berperkara mengharapkan adanya kepastian
hukum dalam perkara yang mereka hadapi.
Untuk memberikan putusan
pengadilan yang benar-benar menciptakan kepastian hukum dan mencerminkan
keadilan, hakim yang melaksanakan peradilan harus benar-benar mengetahui duduk
perkara yang sebenarnya dan peraturan hukum yang mengaturnya untuk diterapkan,
baik peraturan hukum yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan maupun
hukum yang tidak tertulis dalam hukum adat. Namun kenyataannya tidak selalu
sejalan dengan gagasan normatifnya. Tidak selamanya Hakim memiliki kesadaran di
dalam hatinya bahwa kelak ia akan mempertanggungjawabkan hasil pekerjaannya di
hadapan Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karenanya tidak jarang terdapat putusan-putusan
Hakim yang tidak mencerminkan rasa keadilan.
Tidak semua Hakim memiliki
rasa takut bahwa kelak ia akan bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa
tentang apa yang telah diputuskannya. Memang sulit untuk mengukur secara
matematis, putusan Hakim yang bagaimana yang memenuhi rasa keadilan itu. Akan
tetapi tentu saja ada indikator yang dapat digunakan untuk melihat dan
merasakan bahwa suatu putusan telah memenuhi rasa keadilan atau tidak.
Indikator itu antara lain dapat ditemukan di dalam “pertimbangan hukum” yang
digunakan Hakim.
Pertimbangan hukum
merupakan dasar argumentasi Hakim dalam memutuskan suatu perkara. Jika argumen
hukum itu tidak benar dan tidak sepantasnya (proper), maka orang kemudian dapat
menilai bahwa putusan itu tidak benar dan tidak adil.
Pertimbangan hukum yang
tidak benar dapat terjadi karena berbagai kemungkinan:
1.
Hakim tidak mempunyai cukup pengetahuan hukum tentang
masalah yang sedang ditangani. Namun secara normatif seharusnya hal ini tidak
boleh terjadi, karena Hakim dapat memerintahkan setiap pihak untuk menyediakan
ahli yang akan memberikan keterangan dan menjelaskan pokok persoalannya di
dalam persidangan.
2.
Hakim sengaja menggunakan dalil hukum yang tidak benar
atau tidak semestinya karena adanya faktor lain seperti adanya tekanan
pihak-pihak tertentu, suap, dan faktor-faktor lain yang mempengaruhi independensi
Hakim yang bersangkutan.
3.
Hakim tidak memiliki cukup waktu untuk menuliskan semua
argumen hukum yang baik disebabkan karena terlalu banyaknya perkara yang harus
diselesaikan dalam kurun waktu yang relatif singkat.
4.
Hakim malas untuk meningkatkan pengetahuan dan
wawasannya, sehingga berpengaruh terhadap kualitas putusan yang dibuatnya.
Faktor ini merupakan faktor yang pengaruhnya tidak langsung, namun cukup
menentukan kualitas putusan.
Secara ideal, semua
kemungkinan yang disebutkan di atas tidak boleh terjadi dalam lembaga
peradilan. Jika hal itu terjadi, maka bukan tidak mungkin lembaga peradilan
yang seharusnya menjadi gerbang keadilan, justru menjadi tempat terjadinya
ketidakadilan. Tidak terkecuali Mahkamah Agung sebagai lembaga pengadilan
tertinggi di negeri ini. Hakim-hakim Agung yang seharusnya menjadi penjaga
gawang keadilan terakhir, boleh jadi justru menjadi pihak yang menciptakan
ketidakadilan.
Seharusnya fakta
persidangan merupakan dasar/bahan untuk menyusun pertimbangan majelis hakim
sebelum majelis hakim membuat analisa hukum yang kemudian digunakan oleh hakim
tersebut untuk menilai apakah terdakwa dapat dipersalahkan atas suatu peristiwa
yang terungkap di persidangan untuk memperoleh keyakinan apakah terdakwa patut
dipersalahkan, patut dihukum atas perbuatannya sebagaimana yang terungkap
dipersidangan.singkatnya, suatu putusan harus didasarkan pada fakta persidangan
dan dibarengi dengan putusan yang mencerminkan rasa keadilan.
Rudy Karetji
Tidak ada komentar:
Posting Komentar