Kejahatan yang sangat jahat
siapapun di
negeri ini sudah sepakat bahwa Tindak Pidana Korupsi adalah suatu
bentuk kejahatan yang jahatnya sangat-sangat luar biasa. Tindak Pidana
Korupsi tidak hanya sangat merugikan pembangunan berkelanjutan dan
merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran
terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat (bagian dari Hak Asasi
Manusia) secara luas, yang oleh karenanya baik pencegahan maupun
pemberantasannya harus ditangani dengan cara yang luar biasa pula dan
perlu melibatkan peran serta aktif dari masyarakat dalam mencari,
memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi Tindak
Pidana Korupsi. Hal-hal inilah yang menjadikan para pakar
mengklasifikasikan Tindak Pidana Korupsi sebagai Extra Ordinary-Well Organized Crime (Kejahatan Luar Biasa yang Terorganisir dengan Baik).
Dalam
rangka berperan serta secara bertanggung jawab dalam pencegahan dan
pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diatur dalam
Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Pelaksanaan
Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan Dan
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka menjadi penting bagi kita
adalah memahami terlebih dahulu rumusan delik dari suatu
perbuatan-perbuatan yang oleh undang-undang sudah ditetapkan sebagai
Tindak Pidana Korupsi.
Perbuatan-perbuatan
yang merupakan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK), dapat
dikelompokan sebagai berikut :
1.
perbuatan Melawan hukum yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara, sebagai mana
diatur dalam pasal 2 ayat (1) dan
pasal 3
2.
perbuatan penyuapan, baik aktif (yang menyuap) maupun pasif (yang
disuap) serta gratifikasi, sebagaimana diatur
dalam pasal 5 ayat(1) dan
ayat (2), pasal 6 ayat(1) dan ayat (2), pasal 11, pasal 12 huruf a, b,
c, dan d, serta pasal 12b
ayat (1) dan ayat (2).
3. perbuatan penggelapan, sebagaima na diatur dalam pasal 8, pasal 10 huruf a.
4.
perbuatan pemerasan dalam jabatan, sebagaimana diatur dalam pasal 12
huruf e dan huruf f. 5. perbuatan
pemalsuan, sebagaimana diatur dalam
pasal 9.
5. perbuatan yang berkaitan dengan pemborongan, leveransir dan rekanan,
sebagaimana diatur dalam pasal 7 ayat (1)
dan ayat (2), pasal 12 huruf g
dan huruf i.
Berdasarkan
pengelompokan tersebut dapat diketahui bahwa hanya pasal 2 ayat 1 dan
Pasal 3 saja yang mensyaratkan adanya unsur ”dapat merugikan keuangan
negara”. Selanjutnya, perbuatan-perbuatan yang lainnya, sesungguhnya
sudah terlebih dahulu diatur dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana,
sebagai suatu perbuatan pidana umum, namun karena perbuatannya
sedemikian rupa tercela dan dapat merugi kan Keuangan Negara, maka oleh
pembuat Undang-Undang dikategorikan juga sebagai Tindak Pidana Korupsi.
Pemenuhan unsur pasal 2 ayat 1 UU PTPK
Unsur-Unsur
Rumusan Delik Pasal 2 ayat 1 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah
diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150) adalah sebagai
berikut :
Unsur pertama : setiap orang
Untuk
pemenuhan dan pendefinisian maupun penafsiran terhadap unsur pertama
ini dapat dipastikan, semua pihak baik dari kalangan akademisi,
legislatif maupun yudikatif telah sepakat bahwa, yang dimaksud dengan
Setiap orang adalah subjek hukum, yang karena perbuatannya dapat
dimintakan pertanggungjawaban hukum, yaitu orang perseorangan atau
korporasi, termasuk kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi
baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Termasuk pengertian
setiap orang adalah sekda, Kepala Dinas, Pejabat, Pengusaha,
Perseroan Terbatas, Perusahaan Daerah, Yayasan, dan siapa saja yang
secara hukum dapat dimintakan pertanggungjawaban.
Unsur kedua: secara melawan hukum
Berangkat
dari pemikiran bahwa Tindak Pidana Korupsi itu terjadi secara
terorganisir, sistematik dan meluas, tidak hanya merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran
terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas (bagian dari
HAM), sehingga dikategorikan kejahatan luar biasa (extraordinary
crimes) yang penanganan dan pemberantasannya harus dilakukan dengan cara
luar biasa pula. Pembentuk UU PTPK semula merumuskan dan mendefiniskan
bahwa perbuatan melawan hukum itu mencakup semua perbuatan melawan hukum
dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan
tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila
perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa
keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka
perbuatan tersebut dapat dipidana.
Dalam
pendekatan yuridis sosiologis, perumusan dan pendefinisian tersebut
memang sangat ideal, akan tetapi dalam kacamata yuridis normatif yang
mengkedepankan dogmatika dan ketaat-asaan suatu peraturan
perundang-undangan terhadap konstitusi dan asas-asas yang berlaku
universal, maka perumusan dan pendefinisian tersebut tidak dapat
dibenarkan. Salah satu asas hukum pidana yang universal adalah asas
legalitas yaitu suatu asas yang menggariskan bahwa tidak seorangpun
dapat dipidana kecuali berdasarkan ketentuan perundang-undangan pidana
yang telah ada terlebih dahulu daripada perbuatannya itu sendiri.
Artinya, undang-undang atau peraturan itu harus tertulis, tidak boleh
diberlakukan surut, dan tidak dapat dianalogikan.
Pendekatan
dogmatis itulah yang kemudian juga dipertimbangkan oleh Mahkamah
Konstitusi dalam memeriksa dan menjatuhkan putusan perkara Nomor
003/PUUIV/2006 tertanggal 24 Juli 2006. Menurut Mahkamah Konstitusi
memang terdapat persoalan konstitusionalitas dengan kalimat pertama
Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU PTPK khususnya sepanjang berkenaan dengan
perbuatan melawan hukum dalam arti materiil yang telah dicoba
diimplentasikan untuk menjerat para pelaku Tindak Pidana Korupsi.
Mahkamah Konstitusi mempertimbangkan bahwa Pasal 28 D ayat (1) Undang
Undang Dasar 1945 telah mengakui dan melindungi hak konstitusional warga
negara untuk memperoleh jaminan dan perlindungan hukum yang pasti,
dengan mana dalam bidang hukum pidana diterjemahkan sebagai asas
legalitas yang dimuat dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, bahwa asas tersebut
merupakan satu tuntutan akan kepastian hukum di mana orang hanya dapat
dituntut dan diadili atas dasar suatu peraturan perundang-undangan yang
tertulis (lex scripta) yang telah lebih dahulu ada;
Dengan
adanya Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, maka perbuatan-perbuatan
yang tidak patut, perbuatan yang tidak seharusnya, perbuatan yang
tercela, perbuatan yang bertentangan dengan norma, semuanya harus telah
diatur terlebih dahulu secara tertulis dalam suatu peraturan
perudang-undangan sebagai suatu perbuatanperbuatan yang dilarang.
Kalo
seseorang dimintakan tolong untuk membelikan sesuatu barang maka sudah
menjadi kepatutan bahwa pada saat menyerahkan barang yang dibeli itu
disertai juga dengan bukti pembelian. Hal itu adalah suatu kepatutan,
kalau tidak ada bukti pembelian maka jelas menimbulkan keraguan apakah
benar barang yang dibeli sesuai dengan harga yang sebenarnya atau
janganjangan harga yang sesunguhnya lebih murah. Dalam keseharian
hubungan yang tidak formal, seperti halnya hubungan antara manusia
dengan manusia, pembelian barang yang tidak disertai bukti pembelian
jelas bukan perbuatan yang dilarang atau dapat pidana, perbuatan itu
hanya persoalan patut atau tidak patut. Namun lain halnya dalam hubungan
formal, seorang pegawai negeri menggunakan uang Negara untuk membeli
suatu barang tanpa disertai bukti pembelian, maka ketidak-patutan secara
administratif tersebut menjadi suatu perbuatan yang corrupt, yang
buruk, yang tercela dan apabila ada peraturan perundang-undang apapun
bentuknya asalkan tertulis yang mengatur bahwa setiap pejabat yang
membelanjakan uang negara harus disertai dengan bukti-bukti
pembeliannya, maka perbuatan dimkasud sudah memenuhi unsur PERBUATAN
MELAWAN HUKUM. Dengan tidak adanya bukti pembelian, terang dan jelas
pejabat tersebut sudah dapat dipidana berdasarkan pasal 2 ayat 1 UU
PTPK. Jadi jangan diplesetkan atau disesatkan bahwa perbuatan melawan hukum yang
harus tertulis itu sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat 1 itu hanya
PERBUATAN MELAWAN HUKUM YANG SUDAH DIATUR DALAM PERATURAN PIDANA SAJA.
Agar
unsur kedua dari Pasal 2 ayat 1 UU PTPK ini dapat terpenuhi, Penyidik,
Penuntut Umum, dan Hakim TIPIKOR hanya harus/cukup saja memastikan bahwa
suatu Perbuatan Melawan Hukum yang dilakukan itu, telah melanggar atau
tidak sesuai atau tidak berdasarkan pada ketentuan atau pro sedur atau
kewenangan atau kewajiban yang telah ditetapkan terlebih dahulu dalam
suatu peraturan perundang-undangan tertulis.
Perlu dipahami dan ditegaskan bahwa Perbuatan Melawan Hukum sebagaimana dimaksud
Putusan Mahkamah Konstitusi adalah seluruh Perbuatan Melawan Hukum
termasuk namun tidak terbatas perbuatanperbuatan melawan hukum
administratif, melawan hukum pertanahan, melawan hukum lingkungan,
melawan hukum pidana, melawan hukum pengelolaan keuangan Negara, dan
melawan hukum apapun bentuk peraturannya baik Undang Undang atau
Peraturan Pemerintah atau Peraturan Menteri atau Peraturan Daerah atau
Peraturan Walikota, dan peraturan lainnya. Yang menjadi penting adalah,
sepanjang Perbuatan Melawan Hukum itu telah melanggar ketentuan TERTULIS
yang merupakan bagian dari peraturan perundang-undangan sebagaimana
dimaksud Pasal 7 Undang Undang No 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, maka terhadap pelakunya harus dapat
disidik, dituntut dan divonis berdasarkan Pasal 2 ayat 1 UU PTPK.
Unsur ketiga: memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi
Unsur
“memperkaya” merupakan berasal dari suatu kata kerja yang berarti
menjadikan lebih kaya, yang penekanannya lebih pada Perbuatan Melawan
Hukum yang berakibat terhadap adanya upayaupaya pertambahan kekayaan
seseorang. Dikatakan upaya-upaya, karena “memperkaya” itu adalah suatu
proses bukan hasil, artinya kalaupun proses atau upaya-upaya menjadikan
lebih kaya itu belum berhasil terwujud, maka sepanjang sudah terbukti
adanya Perbuatan Melawan Hukum, unsur ini sudah harus dinyatakan
terpenuhi, sehingga kepada pelakunya sudah dapat disidik, dituntut dan
divonis.
Memperkaya
juga tidak selalu berarti bahwa suatu proses yang sebelumnya miskin
kemudian mengupayakan menjadi kaya, atau suatu proses yang sudah kaya
mengupayakan menjadi lebih kaya, karena “kaya” itu sendiri adalah
pengertian yang sangat relatif dan subjektif. Seseorang yang sudah
terbiasa setiap bulan memilki rata-rata saldo tabungan 10 juta akan
menjadi merasa sangat miskin ketika rata-rata saldonya menjadi 1 juta,
begitu sebaliknya seseorang yang sudah terbiasa memiliki rata rata saldo
tabungan perbulannya 1 juta rupiah akan menjadi merasa kaya ketika rata
rata saldonya menjadi 10 juta rupiah.
Selain
itu proses bertambahnya kekayaan juga tidak selalu hanya berkenaan
dengan proses bertambahnya penghasilan atau proses bertambahnya uang
secara langsung. Akan tetapi, proses bertambahnya barang pun merupakan
suatu proses pertambahan atau upaya peningkatan kekayaan. Sebagai contoh
seseorang yang semula hanya memiliki dua setel Jas kemudian ber upaya
membeli satu setel Jas baru dengan cara menerbitkan SP2D yang
menggunakan anggaran belanja tidak terduga yang bersumber dari APBD yang
jelas peruntukannya tidak untuk membeli Jas, maka upaya penambahan satu
setel jas baru tersebut juga merupakan suatu proses pertambahan
kekayaan yang Melawan Hukum.
Oleh
karenanya, dengan adanya upayaupaya Melawan Hukum untuk peningkatan
kemampuan daya beli dan/atau adanya upaya-upaya Melawan Hukum untuk
peningkatan jumlah penghasilan dan/atau upaya-upaya Melawan Hukum untuk
peningkatan nilai aset, sudah cukup dikatakan bahwa unsur “memperkaya”
ini sudah terpenuhi, karena sekali lagi yang penting perbuatannnya Melawan hukum.
Unsur ke empat : dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara memahami Dengan Benar Unsur ini untuk Mempercepat Pemberantasan Korupsi
Pembuktian
unsur “dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara” dalam
rumusan delik Pasal 2 Ayat UU PTPK, hingga saat ini seringkali seolah
menjadi suatu hambatan dan bahkan menimbulkan keraguan bagi para
penyidik, penuntut umum dan hakim dalam melakukan penindakan dan
pemberantasan tindak pidana korupsi. Keraguannya bukan terletak pada
definisi “kerugian keuangan Negara atau perekonomian negara” karena
sesungguhnya mengenai kerugian itu telah terdefinisikan secara jelas dan
terang, bahwa berdasarkan Undang-Undang No.1 Tahun 2004 Tentang
Perbendaharaan Negara, Pasal 1 ayat (22) : “Kerugian Negara/Daerah
adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti
jumlahnya akibatnya perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai”.
Sangat jernih bahwa Kerugian ini adalah akibat dari suatu Perbuatan
Melawan Hukum yang disengaja maupun lalai,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar