Senin, 23 Juli 2012

“Tindak pidana korupsi tidak hanya sangat merugikan pembangunan berkelanjutan dan merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat "

Kejahatan yang sangat jahat

siapapun di negeri ini sudah sepakat bahwa Tindak Pidana Korupsi adalah suatu bentuk kejahatan yang jahatnya sangat-sangat luar biasa. Tindak Pidana Korupsi tidak hanya sangat merugikan pembangunan berkelanjutan dan merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat (bagian dari Hak Asasi Manusia) secara luas, yang oleh karenanya baik pencegahan maupun pemberantasannya harus ditangani dengan cara yang luar biasa pula dan perlu melibatkan peran serta aktif dari masyarakat dalam mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi Tindak Pidana Korupsi. Hal-hal inilah yang menjadikan para pakar mengklasifikasikan Tindak Pidana Korupsi sebagai Extra Ordinary-Well Organized Crime (Kejahatan Luar Biasa yang Terorganisir dengan Baik).


Dalam rangka berperan serta secara bertanggung jawab dalam pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka menjadi penting bagi kita adalah memahami terlebih dahulu rumusan delik dari suatu perbuatan-perbuatan yang oleh undang-undang sudah ditetapkan sebagai Tindak Pidana Korupsi.


Perbuatan-perbuatan yang merupakan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK), dapat dikelompokan sebagai berikut :

1. perbuatan Melawan hukum yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, sebagai mana 
    diatur  dalam pasal 2 ayat (1) dan pasal 3

2. perbuatan penyuapan, baik aktif (yang menyuap) maupun pasif (yang disuap) serta gratifikasi, sebagaimana diatur 
    dalam pasal 5 ayat(1) dan ayat (2), pasal 6 ayat(1) dan ayat (2), pasal 11, pasal 12 huruf a, b, c, dan d, serta pasal 12b 
    ayat (1) dan ayat (2).

3. perbuatan penggelapan, sebagaima na diatur dalam pasal 8, pasal 10 huruf a.

4. perbuatan pemerasan dalam jabatan, sebagaimana diatur dalam pasal 12 huruf e dan huruf f. 5. perbuatan 
    pemalsuan, sebagaimana diatur dalam pasal 9.

5. perbuatan yang berkaitan dengan pemborongan, leveransir dan rekanan, sebagaimana diatur dalam pasal 7 ayat (1) 
    dan ayat (2), pasal 12 huruf g dan huruf i.


Berdasarkan pengelompokan tersebut dapat diketahui bahwa hanya pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 saja yang mensyaratkan adanya unsur ”dapat merugikan keuangan negara”. Selanjutnya, perbuatan-perbuatan yang lainnya, sesungguhnya sudah terlebih dahulu diatur dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana, sebagai suatu perbuatan pidana umum, namun karena perbuatannya sedemikian rupa tercela dan dapat merugi kan Keuangan Negara, maka oleh pembuat Undang-Undang dikategorikan juga sebagai Tindak Pidana Korupsi.


Pemenuhan unsur pasal 2 ayat 1 UU PTPK

Unsur-Unsur Rumusan Delik Pasal 2 ayat 1 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150) adalah sebagai berikut :


Unsur pertama : setiap orang


Untuk pemenuhan dan pendefinisian maupun penafsiran terhadap unsur pertama ini dapat dipastikan, semua pihak baik dari kalangan akademisi, legislatif maupun yudikatif telah sepakat bahwa, yang dimaksud dengan Setiap orang adalah subjek hukum, yang karena perbuatannya dapat dimintakan pertanggungjawaban hukum, yaitu orang perseorangan atau korporasi, termasuk kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Termasuk pengertian setiap orang adalah sekda, Kepala Dinas, Pejabat, Pengusaha, Perseroan Terbatas, Perusahaan Daerah, Yayasan, dan siapa saja yang secara hukum dapat dimintakan pertanggungjawaban.


Unsur kedua: secara melawan hukum


Berangkat dari pemikiran bahwa Tindak Pidana Korupsi itu terjadi secara terorganisir, sistematik dan meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas (bagian dari HAM), sehingga dikategorikan kejahatan luar biasa (extraordinary crimes) yang penanganan dan pemberantasannya harus dilakukan dengan cara luar biasa pula. Pembentuk UU PTPK semula merumuskan dan mendefiniskan bahwa perbuatan melawan hukum itu mencakup semua perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.


Dalam pendekatan yuridis sosiologis, perumusan dan pendefinisian tersebut memang sangat ideal, akan tetapi dalam kacamata yuridis normatif yang mengkedepankan dogmatika dan ketaat-asaan suatu peraturan perundang-undangan terhadap konstitusi dan asas-asas yang berlaku universal, maka perumusan dan pendefinisian tersebut tidak dapat dibenarkan. Salah satu asas hukum pidana yang universal adalah asas legalitas yaitu suatu asas yang menggariskan bahwa tidak seorangpun dapat dipidana kecuali berdasarkan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada terlebih dahulu daripada perbuatannya itu sendiri. Artinya, undang-undang atau peraturan itu harus tertulis, tidak boleh diberlakukan surut, dan tidak dapat dianalogikan.


Pendekatan dogmatis itulah yang kemudian juga dipertimbangkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam memeriksa dan menjatuhkan putusan perkara Nomor 003/PUUIV/2006 tertanggal 24 Juli 2006. Menurut Mahkamah Konstitusi memang terdapat persoalan konstitusionalitas dengan kalimat pertama Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU PTPK khususnya sepanjang berkenaan dengan perbuatan melawan hukum dalam arti materiil yang telah dicoba diimplentasikan untuk menjerat para pelaku Tindak Pidana Korupsi. Mahkamah Konstitusi mempertimbangkan bahwa Pasal 28 D ayat (1) Undang Undang Dasar 1945 telah mengakui dan melindungi hak konstitusional warga negara untuk memperoleh jaminan dan perlindungan hukum yang pasti, dengan mana dalam bidang hukum pidana diterjemahkan sebagai asas legalitas yang dimuat dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, bahwa asas tersebut merupakan satu tuntutan akan kepastian hukum di mana orang hanya dapat dituntut dan diadili atas dasar suatu peraturan perundang-undangan yang tertulis (lex scripta) yang telah lebih dahulu ada;

Dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, maka perbuatan-perbuatan yang tidak patut, perbuatan yang tidak seharusnya, perbuatan yang tercela, perbuatan yang bertentangan dengan norma, semuanya harus telah diatur terlebih dahulu secara tertulis dalam suatu peraturan perudang-undangan sebagai suatu perbuatanperbuatan yang dilarang.


Kalo seseorang dimintakan tolong untuk membelikan sesuatu barang maka sudah menjadi kepatutan bahwa pada saat menyerahkan barang yang dibeli itu disertai juga dengan bukti pembelian. Hal itu adalah suatu kepatutan, kalau tidak ada bukti pembelian maka jelas menimbulkan keraguan apakah benar barang yang dibeli sesuai dengan harga yang sebenarnya atau janganjangan harga yang sesunguhnya lebih murah. Dalam keseharian hubungan yang tidak formal, seperti halnya hubungan antara manusia dengan manusia, pembelian barang yang tidak disertai bukti pembelian jelas bukan perbuatan yang dilarang atau dapat pidana, perbuatan itu hanya persoalan patut atau tidak patut. Namun lain halnya dalam hubungan formal, seorang pegawai negeri menggunakan uang Negara untuk membeli suatu barang tanpa disertai bukti pembelian, maka ketidak-patutan secara administratif tersebut menjadi suatu perbuatan yang corrupt, yang buruk, yang tercela dan apabila ada peraturan perundang-undang apapun bentuknya asalkan tertulis yang mengatur bahwa setiap pejabat yang membelanjakan uang negara harus disertai dengan bukti-bukti pembeliannya, maka perbuatan dimkasud sudah memenuhi unsur PERBUATAN MELAWAN HUKUM. Dengan tidak adanya bukti pembelian, terang dan jelas pejabat tersebut sudah dapat dipidana berdasarkan pasal 2 ayat 1 UU PTPK. Jadi jangan diplesetkan atau disesatkan bahwa perbuatan melawan hukum yang harus tertulis itu sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat 1 itu hanya PERBUATAN MELAWAN HUKUM YANG SUDAH DIATUR DALAM PERATURAN PIDANA SAJA.


Agar unsur kedua dari Pasal 2 ayat 1 UU PTPK ini dapat terpenuhi, Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim TIPIKOR hanya harus/cukup saja memastikan bahwa suatu Perbuatan Melawan Hukum yang dilakukan itu, telah melanggar atau tidak sesuai atau tidak berdasarkan pada ketentuan atau pro sedur atau kewenangan atau kewajiban yang telah ditetapkan terlebih dahulu dalam suatu peraturan perundang-undangan tertulis.


Perlu dipahami dan ditegaskan bahwa Perbuatan Melawan Hukum sebagaimana dimaksud Putusan Mahkamah Konstitusi adalah seluruh Perbuatan Melawan Hukum termasuk namun tidak terbatas perbuatanperbuatan melawan hukum administratif, melawan hukum pertanahan, melawan hukum lingkungan, melawan hukum pidana, melawan hukum pengelolaan keuangan Negara, dan melawan hukum apapun bentuk peraturannya baik Undang Undang atau Peraturan Pemerintah atau Peraturan Menteri atau Peraturan Daerah atau Peraturan Walikota, dan peraturan lainnya. Yang menjadi penting adalah, sepanjang Perbuatan Melawan Hukum itu telah melanggar ketentuan TERTULIS yang merupakan bagian dari peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud Pasal 7 Undang Undang No 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, maka terhadap pelakunya harus dapat disidik, dituntut dan divonis berdasarkan Pasal 2 ayat 1 UU PTPK.


Unsur ketiga: memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi


Unsur “memperkaya” merupakan berasal dari suatu kata kerja yang berarti menjadikan lebih kaya, yang penekanannya lebih pada Perbuatan Melawan Hukum yang berakibat terhadap adanya upayaupaya pertambahan kekayaan seseorang. Dikatakan upaya-upaya, karena “memperkaya” itu adalah suatu proses bukan hasil, artinya kalaupun proses atau upaya-upaya menjadikan lebih kaya itu belum berhasil terwujud, maka sepanjang sudah terbukti adanya Perbuatan Melawan Hukum, unsur ini sudah harus dinyatakan terpenuhi, sehingga kepada pelakunya sudah dapat disidik, dituntut dan divonis.

Memperkaya juga tidak selalu berarti bahwa suatu proses yang sebelumnya miskin kemudian mengupayakan menjadi kaya, atau suatu proses yang sudah kaya mengupayakan menjadi lebih kaya, karena “kaya” itu sendiri adalah pengertian yang sangat relatif dan subjektif. Seseorang yang sudah terbiasa setiap bulan memilki rata-rata saldo tabungan 10 juta akan menjadi merasa sangat miskin ketika rata-rata saldonya menjadi 1 juta, begitu sebaliknya seseorang yang sudah terbiasa memiliki rata rata saldo tabungan perbulannya 1 juta rupiah akan menjadi merasa kaya ketika rata rata saldonya menjadi 10 juta rupiah.


Selain itu proses bertambahnya kekayaan juga tidak selalu hanya berkenaan dengan proses bertambahnya penghasilan atau proses bertambahnya uang secara langsung. Akan tetapi, proses bertambahnya barang pun merupakan suatu proses pertambahan atau upaya peningkatan kekayaan. Sebagai contoh seseorang yang semula hanya memiliki dua setel Jas kemudian ber upaya membeli satu setel Jas baru dengan cara menerbitkan SP2D yang menggunakan anggaran belanja tidak terduga yang bersumber dari APBD yang jelas peruntukannya tidak untuk membeli Jas, maka upaya penambahan satu setel jas baru tersebut juga merupakan suatu proses pertambahan kekayaan yang Melawan Hukum.

Oleh karenanya, dengan adanya upayaupaya Melawan Hukum untuk peningkatan kemampuan daya beli dan/atau adanya upaya-upaya Melawan Hukum untuk peningkatan jumlah penghasilan dan/atau upaya-upaya Melawan Hukum untuk peningkatan nilai aset, sudah cukup dikatakan bahwa unsur “memperkaya” ini sudah terpenuhi, karena sekali lagi yang penting perbuatannnya Melawan hukum.


Unsur ke empat : dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara memahami Dengan Benar Unsur ini untuk Mempercepat Pemberantasan Korupsi


Pembuktian unsur “dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara” dalam rumusan delik Pasal 2 Ayat UU PTPK, hingga saat ini seringkali seolah menjadi suatu hambatan dan bahkan menimbulkan keraguan bagi para penyidik, penuntut umum dan hakim dalam melakukan penindakan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Keraguannya bukan terletak pada definisi “kerugian keuangan Negara atau perekonomian negara” karena sesungguhnya mengenai kerugian itu telah terdefinisikan secara jelas dan terang, bahwa berdasarkan Undang-Undang No.1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara, Pasal 1 ayat (22) : “Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya akibatnya perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai”. Sangat jernih bahwa Kerugian ini adalah akibat dari suatu Perbuatan Melawan Hukum yang disengaja maupun lalai,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar