Kamis, 26 Juli 2012

INDONESIA NEGARA BERANI TELAH BERUBAH MENJADI NEGARA PENAKUT

Mungkin hanya sebagian yang sependapat dan sepakat bila saya mengatakan kalau Indonesia itu adalah negara penakut. Meskipun demikian, sebagai orang Indonesia saya harus belajar berani untuk mengatakan atau berbicara apa adanya. Bukan tanpa tujuan dan makna saya mengungkapkan pernyataan ini, tetapi itu berdasarkan realita atau fakta atas apa yang telah saya dengar, lihat, rasakan atau apa yang telah saya alami sebagai warga negara Indonesia. Ada banyak bukti yang memperlihatkan Indonesia itu sebagai negara penakut, yang hingga saat ini mungkin sudah disadari tetapi tidak berani untuk menyentuhnya. Mengapa? Alasannya juga banyak, tetapi terkumpul dalam satu kata, yaitu TAKUT. Berikut adalah beberapa ketakutan yang diperlihatkan di negara Indonesia:

1. Takut untuk maju ke tahap yang lebih baik (berkembang).
Ketakutan Indonesia untuk menjadi negara maju atau berkembang terlihat sikapnya yang plin-plan atau ragu-ragu dalam menyikapi masalah perekonomian, nelayan, perkebunan dan pertanian rakyatnya. Betapa tidak? Perhatikan saja hasil produk yang lebih banyak di perjual-belikan di Indonesia adalah hasil produk luar. Mulai dari keperluan primer hingga keperluan sekunder. Sepatu, pakaian, sendal dan hingga keperluan pokok rumah tangga, sebagian besar adalah hasil import. Padahal apa yang tidak bisa dihasilkan di negara Indonesia? Hasil tanah yang berlimpah yang sebenarnya dapat mendatangkan kekayaan bagi negara Indonesia, tetapi pemerintah tidak berani mempasilitasi rakyatnya untuk mengusahakannya. Contoh: batik buatan Indonesia adalah lebih mahal harganya dibandingkan batik keluaran Cina. Mengapa? Karena di Indonesia cara mengolah dan mengerjakannya masih sangat manual di bandingkan di negara Cina. Mengapa manual? Karena lagi-lagi pemerintah tidak berani untuk mengeluarkan modal untuk menciptakan daya saing yang berstandar modern.

Selanjutnya, hasil panen para petani, pekebun dan nelayan yang sering diabaikan oleh pemerintah juga sangat mempengaruhi dan merupakan faktor penting dalam kemajuan dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Tetapi peluang ini diabaikan begutu saja, yaitu tidak berani membeli hasil rakyatnya dengan harga yang tinggi, tetapi giliran menjual pupuk meskipun harganya menekan rakyatnya, terutama dari golongan para petani atau pekebun tak dihiraukan, meskipun sebenarnya hati mereka tidak semuanya ikhlas membelinya. Artinya, mau tidak mau, dan dari pada tidak ada, ya beli saja meskipun mahal (tidak ada pilihan). Pemerintah hanya berani menjual hasil import dengan harga tinggi dibanding membeli hasil kerja keras dan keringat rakyatnya. Sehingga yang ada hutang semakin bertambah dan membengkak. Seharusnya Indonesia memperbesar daya eksport hasil negaranya ke negara-negara-negara kerja samanya.

Pemerintah Indonesia seharusnya berani mempasilitasidan menciptakan lapangan pekerjaan untuk rakyatnya, demi kesejahteraan bangsa dan rakyat Indonesia itu sendiri dan bukan untuk kepentingan pribadi. Seperti yang telah dipraktikkan oleh para politikus di Indonesia yang tidak bertanggung jawab dan tidak berkeprikemanusiaan dan prikeadilan. Saya sangat yakin, jika orang-orang seperti mereka tetap dilindungi dan tidak dibuang ke laut, maka lambat-laun Indonesia pasti akan kehilangan identitas, nama baik Indonesia akan terus dinodai oleh mereka.

2. Takut untuk mengeluarkan modal atau mengambil risiko.
Jika saja pemerintah Indonesia berani mengeluarkan modal akan ada risiko, yaitu mungkin Indonesia akan mengalami defisit untuk sementara waktu, karena sebagian besar kas negara digunakan untuk mengembangkan usaha rakyatnya, yang nantinya akan mendatangkan keuntungan berlipat ganta pada negara Indonesia itu sendiri, maka Indonesia pasti bisa bangkit setahap demi setahap dari keterpurukannya. Jadi uangnya bukan digunakan untuk kunjungan ke negara-negara dan bersenang-senang atau jalan dengan berbagai alasan yang tak jelas. Umumnya, negara yang maju dan berkembang adalah negara yang berani mengambil risiko atau miskin untuk sementara waktu, tetapi melihat fit back yang jauh lebih besar dari modal yang dikeluarkan di masa mendatang. Jika Indonesia tidak berani mengambil risiko ini, maka jangan terlalu berharap bahwa negara Indonesia akan menjadi negara yang makmur dan sejahtera, sebaliknya mungkin.

3. Takut untuk membayar mahal anak-anaknya yang pintar
 Indonesia menjadi salah satu negara yang terpuruk perekonomiannya di dunia adalah bukan karena tanpa orang pintar atau jenius. Banyak sekali orang-orang Indonesia yang pintar di bidang-bidang tertentu, entah itu di bidang politik dan ekonomi yang dapat memajukan kesejahteraan bangsa dan secara bertahap membangkitkan dapat Indonesia dari keterpurukan perekonomiannya. Salah satunya atalah Sri Mulyani yang sangat berbakat di bidang perekonomian, yang sudah jelas-jelas kualitasnya saat menyelamatkan perekonomian Indonesia sebelumnya. Tetapi negara Indonesia justru menyia-nyiakannya sewaktu di Indonesia, dan yang lebih parahnya lagi adalah ia hampir dijadikan korban politik binatang oleh para politikus Indonesia dalam kasus Bank Century.

Banyak orang yang berusaha menjadikan beliau (Sri Muliani) sebagai kambing hitam dalam kasus Bank Century, tetapi saya sendiri tidak yakin bahwa beliau terlibat dalam kasus itu. Ada banyak kejanggalan yang tidak dapat dibuktikan oleh tim pansus dan KPK dalam menangani kasus Century. Justru yang saya lihat adalah sebaliknya, yaitu mungkin mereka-mereka itu yang telah menyembunyikan uang yang dituduhkan kepada Sri Mulyani. Padahal tinggal bilang sejujurnya kalau Indonesia tidak berani membajar beliau dengan mahal berdasarkan kualitas dan kinerjanya. Itulah lah anehnya para politikus Indonesia. Jadi jangan heran jika Indonesia ini semakin terpuruk, jauh dari keadilan, kemakmuran dan kesejahteraan, karena semuanya penakut.

4. Takut untuk memberantas kasus korupsi.
Mendarah dagingnya kasus korupsi di tubuh para politikus Indonesia adalah virus yang sangat mematikan, yang lambat-laun Indonesia akan menjadi negara yang terus terpuruk dalam segala keadaan, padahal penyebabnya hanya satu, yaitu KORUPSI. Ketidakmampuan dan kegagalan yang diperlihatkan oleh para pemimpin negara Indonesia untuk menyelesaikan dan meminimalisir kasus korupsi yang ada di Indonesia adalah bahwa Indonesia itu takut untuk memberantas virus mematikan itu. Jadi bukan karena tidak mampu, tetapi karena TAKUT. Mengapa? Karena semuanya sudah terinfeksi dan tertular atau dihinggapi oleh virus KORUPSI itu. Jadi, nanti kalau dibongkar, maka si pembongkar pun bisa ketahuan kebusukannya oleh publik. Inilah yang disembunyikan oleh sebagian besar pemimpin negara Indonesia. Sungguh para koruptor adalah sama dengan binatang buas, dan bahkan lebih ganas dari itu.

Jika negara Indonesia tetap melindungi, memelihara dan memakai orang-orang seperti mereka untuk memajukan negara Indonesia ini, maka saya yakin 100% itu adalah hal yang jauh dari kemungkinan, jika kebohongan maka itu jelas. Lihat saja dari drama dan sandiwara-sandiwara yang mereka perankan di gedung DPR. Mereka mengatasnamakan diri sebagai wakil rakyat, tetapi nyatanya mereka tak ubanya sebagai WAKIL RAMPOK. Seharusnya orang-orang atau manusia seperti mereka harus dihukum gantung atau hukum mati seperti yang dilakukan oleh negara-negara berkembang, seperti Cina, Malaysia dan seterusnya. Karena jika terus-terus dilindungi orang seperti itu, maka Indonesia akan jadi negara sambah di mata dunia.

Indonesia seharusnya mempraktikkan simbolnya yang adalah burung Garuda atau burung raja Wali, yang sanggup terbang tinggi membawa Indonesia mengatasi masalah-masalah yang terjadi di dalamnya, dan bukan malah bergaul dengan ayam Kalkun, yang tidak berdaya, lemah dan bodoh. Jika itu dilanjutkan, maka Indonesia akan seperti burung Garuda yang patah sayapnya karena terkena suatu jerat. Dengan kata lain, tidak ada jalan lain selain menikmati hidupnya di bawah ancaman dan tekanan-tekanan dari negara tetangganya.

Senin, 23 Juli 2012

“Tindak pidana korupsi tidak hanya sangat merugikan pembangunan berkelanjutan dan merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat "

Kejahatan yang sangat jahat

siapapun di negeri ini sudah sepakat bahwa Tindak Pidana Korupsi adalah suatu bentuk kejahatan yang jahatnya sangat-sangat luar biasa. Tindak Pidana Korupsi tidak hanya sangat merugikan pembangunan berkelanjutan dan merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat (bagian dari Hak Asasi Manusia) secara luas, yang oleh karenanya baik pencegahan maupun pemberantasannya harus ditangani dengan cara yang luar biasa pula dan perlu melibatkan peran serta aktif dari masyarakat dalam mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi Tindak Pidana Korupsi. Hal-hal inilah yang menjadikan para pakar mengklasifikasikan Tindak Pidana Korupsi sebagai Extra Ordinary-Well Organized Crime (Kejahatan Luar Biasa yang Terorganisir dengan Baik).


Dalam rangka berperan serta secara bertanggung jawab dalam pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka menjadi penting bagi kita adalah memahami terlebih dahulu rumusan delik dari suatu perbuatan-perbuatan yang oleh undang-undang sudah ditetapkan sebagai Tindak Pidana Korupsi.


Perbuatan-perbuatan yang merupakan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK), dapat dikelompokan sebagai berikut :

1. perbuatan Melawan hukum yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, sebagai mana 
    diatur  dalam pasal 2 ayat (1) dan pasal 3

2. perbuatan penyuapan, baik aktif (yang menyuap) maupun pasif (yang disuap) serta gratifikasi, sebagaimana diatur 
    dalam pasal 5 ayat(1) dan ayat (2), pasal 6 ayat(1) dan ayat (2), pasal 11, pasal 12 huruf a, b, c, dan d, serta pasal 12b 
    ayat (1) dan ayat (2).

3. perbuatan penggelapan, sebagaima na diatur dalam pasal 8, pasal 10 huruf a.

4. perbuatan pemerasan dalam jabatan, sebagaimana diatur dalam pasal 12 huruf e dan huruf f. 5. perbuatan 
    pemalsuan, sebagaimana diatur dalam pasal 9.

5. perbuatan yang berkaitan dengan pemborongan, leveransir dan rekanan, sebagaimana diatur dalam pasal 7 ayat (1) 
    dan ayat (2), pasal 12 huruf g dan huruf i.


Berdasarkan pengelompokan tersebut dapat diketahui bahwa hanya pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 saja yang mensyaratkan adanya unsur ”dapat merugikan keuangan negara”. Selanjutnya, perbuatan-perbuatan yang lainnya, sesungguhnya sudah terlebih dahulu diatur dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana, sebagai suatu perbuatan pidana umum, namun karena perbuatannya sedemikian rupa tercela dan dapat merugi kan Keuangan Negara, maka oleh pembuat Undang-Undang dikategorikan juga sebagai Tindak Pidana Korupsi.


Pemenuhan unsur pasal 2 ayat 1 UU PTPK

Unsur-Unsur Rumusan Delik Pasal 2 ayat 1 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150) adalah sebagai berikut :


Unsur pertama : setiap orang


Untuk pemenuhan dan pendefinisian maupun penafsiran terhadap unsur pertama ini dapat dipastikan, semua pihak baik dari kalangan akademisi, legislatif maupun yudikatif telah sepakat bahwa, yang dimaksud dengan Setiap orang adalah subjek hukum, yang karena perbuatannya dapat dimintakan pertanggungjawaban hukum, yaitu orang perseorangan atau korporasi, termasuk kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Termasuk pengertian setiap orang adalah sekda, Kepala Dinas, Pejabat, Pengusaha, Perseroan Terbatas, Perusahaan Daerah, Yayasan, dan siapa saja yang secara hukum dapat dimintakan pertanggungjawaban.


Unsur kedua: secara melawan hukum


Berangkat dari pemikiran bahwa Tindak Pidana Korupsi itu terjadi secara terorganisir, sistematik dan meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas (bagian dari HAM), sehingga dikategorikan kejahatan luar biasa (extraordinary crimes) yang penanganan dan pemberantasannya harus dilakukan dengan cara luar biasa pula. Pembentuk UU PTPK semula merumuskan dan mendefiniskan bahwa perbuatan melawan hukum itu mencakup semua perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.


Dalam pendekatan yuridis sosiologis, perumusan dan pendefinisian tersebut memang sangat ideal, akan tetapi dalam kacamata yuridis normatif yang mengkedepankan dogmatika dan ketaat-asaan suatu peraturan perundang-undangan terhadap konstitusi dan asas-asas yang berlaku universal, maka perumusan dan pendefinisian tersebut tidak dapat dibenarkan. Salah satu asas hukum pidana yang universal adalah asas legalitas yaitu suatu asas yang menggariskan bahwa tidak seorangpun dapat dipidana kecuali berdasarkan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada terlebih dahulu daripada perbuatannya itu sendiri. Artinya, undang-undang atau peraturan itu harus tertulis, tidak boleh diberlakukan surut, dan tidak dapat dianalogikan.


Pendekatan dogmatis itulah yang kemudian juga dipertimbangkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam memeriksa dan menjatuhkan putusan perkara Nomor 003/PUUIV/2006 tertanggal 24 Juli 2006. Menurut Mahkamah Konstitusi memang terdapat persoalan konstitusionalitas dengan kalimat pertama Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU PTPK khususnya sepanjang berkenaan dengan perbuatan melawan hukum dalam arti materiil yang telah dicoba diimplentasikan untuk menjerat para pelaku Tindak Pidana Korupsi. Mahkamah Konstitusi mempertimbangkan bahwa Pasal 28 D ayat (1) Undang Undang Dasar 1945 telah mengakui dan melindungi hak konstitusional warga negara untuk memperoleh jaminan dan perlindungan hukum yang pasti, dengan mana dalam bidang hukum pidana diterjemahkan sebagai asas legalitas yang dimuat dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, bahwa asas tersebut merupakan satu tuntutan akan kepastian hukum di mana orang hanya dapat dituntut dan diadili atas dasar suatu peraturan perundang-undangan yang tertulis (lex scripta) yang telah lebih dahulu ada;

Dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, maka perbuatan-perbuatan yang tidak patut, perbuatan yang tidak seharusnya, perbuatan yang tercela, perbuatan yang bertentangan dengan norma, semuanya harus telah diatur terlebih dahulu secara tertulis dalam suatu peraturan perudang-undangan sebagai suatu perbuatanperbuatan yang dilarang.


Kalo seseorang dimintakan tolong untuk membelikan sesuatu barang maka sudah menjadi kepatutan bahwa pada saat menyerahkan barang yang dibeli itu disertai juga dengan bukti pembelian. Hal itu adalah suatu kepatutan, kalau tidak ada bukti pembelian maka jelas menimbulkan keraguan apakah benar barang yang dibeli sesuai dengan harga yang sebenarnya atau janganjangan harga yang sesunguhnya lebih murah. Dalam keseharian hubungan yang tidak formal, seperti halnya hubungan antara manusia dengan manusia, pembelian barang yang tidak disertai bukti pembelian jelas bukan perbuatan yang dilarang atau dapat pidana, perbuatan itu hanya persoalan patut atau tidak patut. Namun lain halnya dalam hubungan formal, seorang pegawai negeri menggunakan uang Negara untuk membeli suatu barang tanpa disertai bukti pembelian, maka ketidak-patutan secara administratif tersebut menjadi suatu perbuatan yang corrupt, yang buruk, yang tercela dan apabila ada peraturan perundang-undang apapun bentuknya asalkan tertulis yang mengatur bahwa setiap pejabat yang membelanjakan uang negara harus disertai dengan bukti-bukti pembeliannya, maka perbuatan dimkasud sudah memenuhi unsur PERBUATAN MELAWAN HUKUM. Dengan tidak adanya bukti pembelian, terang dan jelas pejabat tersebut sudah dapat dipidana berdasarkan pasal 2 ayat 1 UU PTPK. Jadi jangan diplesetkan atau disesatkan bahwa perbuatan melawan hukum yang harus tertulis itu sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat 1 itu hanya PERBUATAN MELAWAN HUKUM YANG SUDAH DIATUR DALAM PERATURAN PIDANA SAJA.


Agar unsur kedua dari Pasal 2 ayat 1 UU PTPK ini dapat terpenuhi, Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim TIPIKOR hanya harus/cukup saja memastikan bahwa suatu Perbuatan Melawan Hukum yang dilakukan itu, telah melanggar atau tidak sesuai atau tidak berdasarkan pada ketentuan atau pro sedur atau kewenangan atau kewajiban yang telah ditetapkan terlebih dahulu dalam suatu peraturan perundang-undangan tertulis.


Perlu dipahami dan ditegaskan bahwa Perbuatan Melawan Hukum sebagaimana dimaksud Putusan Mahkamah Konstitusi adalah seluruh Perbuatan Melawan Hukum termasuk namun tidak terbatas perbuatanperbuatan melawan hukum administratif, melawan hukum pertanahan, melawan hukum lingkungan, melawan hukum pidana, melawan hukum pengelolaan keuangan Negara, dan melawan hukum apapun bentuk peraturannya baik Undang Undang atau Peraturan Pemerintah atau Peraturan Menteri atau Peraturan Daerah atau Peraturan Walikota, dan peraturan lainnya. Yang menjadi penting adalah, sepanjang Perbuatan Melawan Hukum itu telah melanggar ketentuan TERTULIS yang merupakan bagian dari peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud Pasal 7 Undang Undang No 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, maka terhadap pelakunya harus dapat disidik, dituntut dan divonis berdasarkan Pasal 2 ayat 1 UU PTPK.


Unsur ketiga: memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi


Unsur “memperkaya” merupakan berasal dari suatu kata kerja yang berarti menjadikan lebih kaya, yang penekanannya lebih pada Perbuatan Melawan Hukum yang berakibat terhadap adanya upayaupaya pertambahan kekayaan seseorang. Dikatakan upaya-upaya, karena “memperkaya” itu adalah suatu proses bukan hasil, artinya kalaupun proses atau upaya-upaya menjadikan lebih kaya itu belum berhasil terwujud, maka sepanjang sudah terbukti adanya Perbuatan Melawan Hukum, unsur ini sudah harus dinyatakan terpenuhi, sehingga kepada pelakunya sudah dapat disidik, dituntut dan divonis.

Memperkaya juga tidak selalu berarti bahwa suatu proses yang sebelumnya miskin kemudian mengupayakan menjadi kaya, atau suatu proses yang sudah kaya mengupayakan menjadi lebih kaya, karena “kaya” itu sendiri adalah pengertian yang sangat relatif dan subjektif. Seseorang yang sudah terbiasa setiap bulan memilki rata-rata saldo tabungan 10 juta akan menjadi merasa sangat miskin ketika rata-rata saldonya menjadi 1 juta, begitu sebaliknya seseorang yang sudah terbiasa memiliki rata rata saldo tabungan perbulannya 1 juta rupiah akan menjadi merasa kaya ketika rata rata saldonya menjadi 10 juta rupiah.


Selain itu proses bertambahnya kekayaan juga tidak selalu hanya berkenaan dengan proses bertambahnya penghasilan atau proses bertambahnya uang secara langsung. Akan tetapi, proses bertambahnya barang pun merupakan suatu proses pertambahan atau upaya peningkatan kekayaan. Sebagai contoh seseorang yang semula hanya memiliki dua setel Jas kemudian ber upaya membeli satu setel Jas baru dengan cara menerbitkan SP2D yang menggunakan anggaran belanja tidak terduga yang bersumber dari APBD yang jelas peruntukannya tidak untuk membeli Jas, maka upaya penambahan satu setel jas baru tersebut juga merupakan suatu proses pertambahan kekayaan yang Melawan Hukum.

Oleh karenanya, dengan adanya upayaupaya Melawan Hukum untuk peningkatan kemampuan daya beli dan/atau adanya upaya-upaya Melawan Hukum untuk peningkatan jumlah penghasilan dan/atau upaya-upaya Melawan Hukum untuk peningkatan nilai aset, sudah cukup dikatakan bahwa unsur “memperkaya” ini sudah terpenuhi, karena sekali lagi yang penting perbuatannnya Melawan hukum.


Unsur ke empat : dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara memahami Dengan Benar Unsur ini untuk Mempercepat Pemberantasan Korupsi


Pembuktian unsur “dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara” dalam rumusan delik Pasal 2 Ayat UU PTPK, hingga saat ini seringkali seolah menjadi suatu hambatan dan bahkan menimbulkan keraguan bagi para penyidik, penuntut umum dan hakim dalam melakukan penindakan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Keraguannya bukan terletak pada definisi “kerugian keuangan Negara atau perekonomian negara” karena sesungguhnya mengenai kerugian itu telah terdefinisikan secara jelas dan terang, bahwa berdasarkan Undang-Undang No.1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara, Pasal 1 ayat (22) : “Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya akibatnya perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai”. Sangat jernih bahwa Kerugian ini adalah akibat dari suatu Perbuatan Melawan Hukum yang disengaja maupun lalai,

Minggu, 22 Juli 2012

Sogok dan Suap Menjadi Agama Baru di Indonesia

Ada falsafah orang Cina, mengatakan bahwa tidak ada tembok yang tidak dapat ditembus dengan peluru :"emas". Artinya tidak ada benteng yang kokoh yang tidak dapat ditembus dengan peluru : "emas". Semuanya bisa luluh dengan peluru : "emas". Sekuat apapun pertahanan akan hancur dengan tembakan peluru : "emas".

Itulah falsafah orang Cina yang dipraktekan diberbagai negara, termasuk di Indonesia. Tentu, yang dimaksud dengan peluru : "emas" itu, tak lain, sogok dan suap.
Sekarang, praktek sogok dan suap sudah menjadi budaya, dan bahkan sudah menjadi aqidah, atau menjadi agama baru. Mungkin perlu sogok dan suap itu, dimasukkan ke dalam undang-undang, sebagai agama yang ketujuh. Karena, ajaran dan falsafah orang Cina tentang sogok dan suap itu, sudah mendarah-daging,sampai ke sungsum-sungsum, terutama dikalangan para pejabat dan pemimpin di negeri ini.

Urusan apapun semuanya harus melalui sogok dan suap. Tidak ada lagi urusan yang tidak terkait dengan sogok dan suap. Mulai dari urusan KTP sampai urusan proyek negara yang nilainya triliun, semuanya menggunakan methode sogok dan suap. Sampai urusan orang matipun harus dengan sogok, dan bahkan belakangan al-Qur'an pun dikaitkan dengan sogok dan suap.

Setiap urusan yang ada pasti akan berurusan dengan sogok dan suap. Istilah yang sekarang sudah menjadi lazim itu, disebutkan dengan : "succes fee". Bahasa lain dengan kata : "uang pelicin". Itu dipraktekan oleh para kalangan pimpinan partai sampai pejabat. Semua hanya bisa terjadi dengan sistem transaksional yang ujungnya duwit, dan tidak terlepas denga sogok dan suap.

Maka hanya dalam waktu relatif singkat, Republik ini sudah bisa dikuasai oleh golongan Cina. Terutama ekonominya. Bukan golongan Cina hebat, dan pandai berbisnis. Tetapi, mereka mempraktekan falsafah mereka, yaitu tidak ada tembok yang tidak ditembus dengan peluru : "emas". Asset ekonomi negara lebih 70 persen berada di tangan orang-orang Cina. Mereka benar-benar mempraktekan falsafah yang sudah berlangsung lama di negeri leluhurnya, dan kemudian dipraktekan di Indonesia.

Ilmuwan Jepang dari Kyoto University, Konio Yoshihara, mengatakan di Asia, tidak ada kapitalis sejati. Tetapi, menurut Konio Yoshihara, yang ada, yaitu yang disebut : "Kapitalis Erzat", atau "Kapitalis Benalu". Para pengusaha, terutama pengusaha Cina, yang menukangi pejabat, dan mendapatkan lisensi (izin), modal, proteksi, dan bahkan diberikan monopoli, sehingga menjadi kapitalis. Mereka menjadi konglomerat, bukan karena kehebatan mereka dalam berdagang, tetapi lebih karena faktor mentalitas pejabat dan pemimpin Indonesia yang busuk.

Mereka tidak terlalu lama menukangi para pejabat dan pemimpin Indonesia, hanya kurang dari satu dekade, para pengusaha Cina sudah meraup asset bangsa Indonesia, hanya dengan bermodal falsafah tidak ada tembok yang tidak bisa ditembus dengan peluru : "emas".
Semua pejabat dengan mudah bisa ditekuk oleh para pengusaha, dan dimasukkan ke dalam  kerangkeng kepentingan mereka. Sampai para pejabat menjadikan para cukong "Cina" menjadi sesembahan mereka.

Coba tengok. Mulai dari LIem Sioe Liong, yang di awal kemerdekaan berkenalan dengan Jenderal Gatot Subroto, dan dilanjutkan dengan Jenderal Soeharto, sampai Soeharto, mengambil alih kekusaan di era Orde Baru. Peranan Liem Sioe Liong, memasok kebutuhan tentara waktu itu, dan semua pertemanan itu, berlanjut hingga rezim Orde Baru itu kokoh menguasai seluruh supra struktur negara.

Ketika Soeharto sudah kokoh menguasi kekuasaan, dan dengan dukungan birokrasi, militer, dan Golkar, kekuasaan benar-benar menjadi sebuah keniscayaan. Kemudian, Soeharto menjadi orang Cina yang dulu menjadi temannya, kemudian menjadi pilar ekonomi Orde Baru. Pembangunan selama Orde Baru, hanyalah memberikan kesempatan kepada kelompoknya Liem Sioe Liong, dan kroni-kroni Soeharto. Tidak ada yang lain. Bahkan di zaman Orde Baru, kalangan pengusaha Islam, di bonsai oleh Ali Moertopo, karena memang rezim Orde Baru, tidak menginginkan golongan Islam tumbuh ekonominya.

Liem diberi lisensi (izin), modal, proteksi, dan hak monopoli. Liem diberi izin mengelola import tepung, dan sampai mengolah menjadi produk mie, yang dikonsumsi puluhan juta rakyat Indonesia setiap hari. Sekarang PT Bogasari bukan hanya monopoli, tetapi sudah menjadi kartel. Karena aktitivitas PT Bogasari itu, sudah sangat raksasa, mulai dari hulu sampai hilir, dan itu ada di satu tangan. Semuanya itu, buah dari hubungan antara Liem dengan Soeharto, di tahun l950 an, dan berlanjut sampai Soeharto mengambil alih kekuasaan. Semua diawali dengan sogok dan suap.

Sekarang semua detil bisnis di Indonesia, tidak ada yang tidak berkaitan dengan orang-orang Cina. Mereka walaupun minoritas, tetapi hakekatnya mereka sudah berkuasa di Indonesia. Tidak ada pejabat di Indonesia yang tidak dapat ditekuk oleh para "taoke". Semua pejabat dengan sangat mudah bisa ditekuk oleh para "taipan" (konglomerat) Cina. Merekalah hakekatnya yang berkuasa di negeri ini.

Mengapa sampai sekarang perjanjian ekstradisi tidak pernah terwujud antara Singapura dan Jakarta. Karena, Singapura menjadi surga bagi para maling, yang merampok uang di Indonesia, kemudian disimpan di Singapura, dan pemerintah tidak dapat bertindak. Berapa banyak uang bangsa Indonesia yang dilarikan para maling itu ke Singapura?

Pusat-pusat ekonomi di Indonesia sudah dikuasai oleh para "taipan" Cina, dan dengan cara menyogok, para pejabat atau pemimpin yang ada. Tidak sulit mengangkangi para pejabat Indonesia. Hanya dengan "fulus" mereka sudah "mampus". Artinya, bisa diatur oleh para "taoke" Cina. Semuanya itu, hanyalah dengan methode sogok dan suap.  Seluruh asset negara dan ekonomi mereka kuasai. Sampai ke kampung-kampung.

Bayangkan berapa banyak pasar-pasar tradisional yang bangkrut dan gulung tikar? Akibat adanya hypermart. Di kota Depok yang sangat kecil, di sepanjang Jalan Margonda, berapa hypermart? Bahkan di Depok kota yang kecil itu, terdapat dua Carrefour. Semua itu, hanya menghancurkan pedagang kecil. Belum lagi toko Alfa dan Indomart, yang sekarang menjamur di kampung-kampung. Semua izin akan keluar dengan mudah, hanya dengan uang "recehan" kepada para pejabat.

Lie Sioe Liong sudah mati, dan dilanjutkan para "taipan" lainnya, yang sama-sama menempel kepada kekuasaan. Dengan pura-pura mendukung partai politik. Tokoh Partai Demokrat Hartati Murdaya Po, yang menjadi pengusaha terkenal, yang menguasai Jakarta Fair, sekarang berurusan dengan KPK, yang dituduh melakukan suap.

Hartati pemilik PT Handaya Inti Plantation diduga melakukan suap dan sogok terhadap Bupati Buol, miliaran rupiah, yang sudah menjadi tersangka. Tidak mungkin secara logika seorang manajer yang menyogok, miliaran rupiah kepada Bupati Buol, tanpa sepengetahuan Hartati Murdaya? Semuanya akan menjadi jelas, bagaimana kedudukan Hartati Murdaya, yang menjadi isteri Po, yang menjadi pejabat Partai PDIP.

Tetapi, sekarang sogok suap, sudah meluas, semua kelompok, golongan, dan tidak hanya monopoli ras Cina, yang melakukan sogok dan suap. Orang-orang Cina mungkin berjasa menjadi telah guru sogok dan suap, yang sekarang sudah menjadi agama baru di Indonesia.

Tidak ada satupun manusia Indonesia yang tidak mengenal sogok dan suap. Semua sudah mengenal tentang sogok dan suap. Mereka semua mempraktekan sogok dan suap dalam kehidupan sehari-hari.
Di Jepang orang-orang Cina tidak dapat berkembang, dan mereka hanya hidup di sekitar pelabuhan Yokohama, dan berjualan di kedai. Orang-orang Jepang tidak suka sogok dan suap.

Berbeda dengan para pejabat dan pemimpin  Indonesia yang hanya bisa hidup dengan makan sogok dan suap. Maka, bangsa ini sekarang menjadi budak yang hina oleh bangsa lain, termasuk bangsa Cina, dan asset ekonominya dikuasai oleh asing. Karena mereka dengan mudah dapat di sogok dan di suap. Wallahu'alam.